Tragedi

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Misteri, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 23 May 2013

Dini terbangun mendengar suara gaduh di lantai bawah. Ia keluar kamar mencoba memastikan suara gaduh tersebut. Namun, apa yang dilihatnya di bawah sangat membuatnya takut. Keringat dingin mulai membasahi sekujurnya, gemetar dan lemas. Sadar keadaanya kini terancam, ia lalu memasuki kamar kedua adiknya dan membangunkan mereka perlahan.
“Kenapa sih kak?” Keluh Rido yang masih mengantuk.
Dengan cepat Dini menutup mulut kedua adiknya “Huss, diam. Rido, Rizky cepat bangun!”
“Ada apa sih kak? ini baru jam satu, aku nggak bakal terlambat sekolah kok”
“Rido, kakak mohon kamu bangun cepat, pakai jaket, ambil tas dan isi tasmu dengan beberapa baju!” Perintah Dini setengah berbisik. Sedangkan ia sibuk memakaikan si bungsu jaket tebal. Setelah selesai mereka keluar melalui jendela dengan sangat hati-hati dan berlari meninggalkan rumah.
“Kak kenapa kita kesini? Kenapa ibu dan ayah tidak ikut?” Tanya Rido yang masih bingung.
“Iya kak, Rizky takut”
“Sayang, nanti kakak jelasin, yang penting kita terus jalan yah. Kalian tenang saja Allah bersama kita” Dini mencoba menenenangkan kedua adiknya.

Ia melihat arlojinya yang menunjukkan tepat pukul 12 malam. Mereka terus berjalan menembus kebun karet yang sepi dan gelap dengan hawa dingin yang menusuk. Setelah setengah jam mereka berjalan, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah yang cukup besar di samping danau.
“Assalamu’alaikum, tante zie” Dini mengetuk pintu. Setelah lumayan lama akhirnya si pemilik rumah membukakan pintu.
“Wa’alaikumsalam, Dini ada apa selarut ini kesini? kalian di antar siapa? mana ayah dan ibu kalian?” Tanya Zie yang terkejut dengan kedatangan keponakannya itu. Dini memeluk tantenya sambil menangis. Zie bingung ia langsung menyuruh mereka masuk.
“Cepat masuk udara di luar sangat dingin nanti kalian bisa masuk angin” Mereka duduk di sofa ruang tamu.
“Maaf tante kalau aku dan adikku mengganggu, Dini nggak tahu harus kemana lagi. Dini takut tante” Ucap Dini dengan airmata yang terus mengalir dari mata gadis manis tersebut. Ekspresi wajahnya begitu menggambarkan betapa takut dan sedihnya ia saat ini.
“Memangnya ada apa Din?” Tanya Zie penasaran. Dini tak berhenti menangis membuat kedua adiknya bingung.
“Din ada apa sebenarnya?” Zie mengulang pertanyaan yang belum di jawab dini.
“Ibu dan ayah, tante…”
“Ada apa dengan mereka?” Zie semakin penasaran.
“Ibu dan ayah… mereka di bunuh” Tangis Dini semakin jadi, Rido dan zie terkejut begitu pula dengan Rizky si bungsu yang masih berumur lima tahun. Zie bengong seakan tak percaya dengan apa yang baru dikatakan Dini.
“Apa? Apa yang kamu katakan itu benar Din? mas Satrio dan mbak Citra…” Tanya Zie seakan tak percaya
Dini megangguk, Rido menangis mendengar apa yang terjadi pada kedua orang tuanya.
“Siapa yang melakukan hal itu Din? Siapa ?” Zie ikut menangis.
“Aku nggak tahu tante, aku lihat dari lantai atas saat itu lampu di lantai bawah tidak dinyalakan semua, jadi Dini tidak melihat jelas siapa pembunuh itu” Dini menghela nafas. “Aku langsung mengambil inisiatif untuk keluar mengajak Rido dan Rizky, karena aku tahu korban berikutnya adalah kami bertiga” Suasana menjadi semakin berduka, semua menangis di malam yang sunyi itu.

Zie mengantar keponakannya ke kamar yang terletak di lantai dua.
“Kalian bertiga tidur disini ya, kamar tante ada di sebelah. Kalau kalian perlu sesuatu panggil saja tante, kalian akan aman disini. Besok pagi kita ke kantor polisi”

Jam menunjukkan pukul 01.30, namun mereka belum bisa tidur. Rido sudah tidak menangis, tetapi ia sangat terpukul. Sedangkan Rizky bersandar di pangkuan Dini. Suhu badan Rizky mendadak naik.
“Ya Allah, kamu demam Riz, kalian tunggu sebentar ya kakak mau tanya tante zie apa dia punya obat penurun demam atau tidak”
Dini mengetuk pintu kamar Zie, tetapi tak kunjung di buka. Ia mencoba membuka pintu kamar yang ternyata tidak di kunci.
“Tante… tante zie” Suasana di kamar itu gelap. Setelah menemukan saklar, Dini langsung menyalakan lampu. Betapa terkejutnya ia saat melihat Zie yang sudah tergeletak bersimbah darah.
“Masya allah tante…” Dini menghampiri zie untuk memastikan apakah tantenya masih hidup.
“Inna lillahi wa inna illaihi rojiun” Zie sudah meninggal dan ia tahu siapa yang melakukan ini, yaitu orang yang sama yang membunuh kedua orangtuanya. Dini semakin ketakutan. Berarti si pembunuh itu sedang berada di dalam rumah ini.

Dini panik, ia tak tahu harus berbuat apa. Ia langsung menemui kedua adiknya dan memerintahkan kepada mereka agar diam, lalu ia mencoba menghubungi seseorang menggunakan Hp milik Zie yang ia temukan di atas meja.
“Assalamu’alaikum” Terdengar suara laki-laki di seberang sana.
“wa’alaikumsalam, kak Ilham ini Dini”
“Ada apa Din telepon kakak jam segini? pake berbisik segala. Kangen ya?”
“Kak, sekarang aku dan adikku dalam keadaan bahaya ada seseorang yang ingin membunuh kami”
“Membunuh kalian? Kamu nggak bercanda kan Din?”
“Aku serius, kak aku mohon cepat datang kesini aku takut. Sekarang aku di rumah tante zie dan orang itu sudah membunuh tante Zie”
“Oke, aku akan kesana untuk saat ini kamu harus hati-hati cari benda yang bisa menjadi senjata untuk kalian”
Dini membongkar seisi kamar untuk mencari sesuatu yang bisa ia pakai sebagai senjata. “Kalian berdua masuk ke dalam lemari. Apapun yang terjadi kalian tidak boleh keluar. Jika terjadi sesuatu kalian teriak yang keras oke” Perintah Dini. Rido dan Rizky menuruti apa yang di perintahkan kakaknya. Mereka masuk ke dalam lemari yang lumayan besar.

Dini keluar kamar dengan pemukul kasti siaga di tangannya. Ia jalan perlahan menuruni tangga menuju dapur mengambil obat penurun demam untuk Rizky. Tiba tiba si pembunuh datang dan menarik rambut Dini lalu menyeretnya. Dini berteriak ketakutan. Sekuat tenaga ia berusaha melawan. Dini melihat sebuah pisau tergeletak di atas meja makan tak jauh darinya. Ia berusaha meraih pisau tersebut sementara si pembunuh masih menyeretnya. Akhirnya Dini berhasil mendapatkan pisaunya. Ia segera tancapkan ke arah si pembunuh dan mengenai tangannya. Si pembunuh teriak kesakitan dan melepaskan Dini. Sebuah peluang bagi Dini untuk kabur. Ia masuk ke gudang bersembunyi di balik barisan kaleng cat kosong. Dengan nafas yang terengah-engah dan jantung yang berdebar tak karuan. Ia menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri sambil mengintip ke arah pintu. Tiba tiba seseorang dari belakang mendekap mulut Dini, ia terkejut mencoba melepaskan.
“Hus.. Din ini aku Ilham” Bisik laki-laki tersebut. Dini menoleh kebelakang “Kak Ilham..”
“Kamu sedang apa disini?”
“Tadinya aku mau ambil obat penurun demam di dapur buat Rizky, tapi si pembunuh itu langsung menyerang aku makanya aku sembunyi disini”
“Harusnya kamu nggak keluar, kamu tunggu aku”
“Tapi aku kasihan sama Rizky”
“Aku sudah lihat pria itu sewaktu aku masuk lewat pintu belakang, tangannya berlumuran darah dan ia menuju ke lantai atas” Sontak Dini teringat kedua adiknya yang masih ada di dalam lemari.
“Kamu mau kemana Din?” Tanya ilham yang melihat Dini berlari keluar. Ilham mencegahnya dengan menarik lengan Dini.
“Lepasin kak, kedua adikku masih ada di lantai atas mereka dalam bahaya” Dini masih mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Ilham.
“Din dengarkan aku, kita pasti akan selamatkan kedua adikmu, tapi bukan dengan cara seperti ini. Kamu akan terbunuh. Orang ini sangat berbahaya” Akhirnya Dini berhenti dan menuruti kata-kata Ilham. “Aku ada ide, bagaimana kalau adik mu yang mencari bantuan keluar?” Usul Ilham.
“Kakak gila, mereka bisa saja terbunuh di luar sana. Menyuruh anak usia 5 dan 12 tahun buat cari bantuan melewati kebun karet, terlebih Rizky sedang sakit. Aku nggak mau!” Tolak Dini “Lalu bagaimana kalau si pembunuh itu mengejar mereka?”
“Din cuma itu satu-satunya jalan, tugas kita di sini menahan pembunuh itu agar tidak mengejar kedua adikmu” Ilham mencoba memberi pengertian kepada perempuan yang sangat ia sayangi sejak dua tahun lalu itu.
“Tapi…”
“Din aku mohon” Dini mengalah.

Ia dan Ilham berjalan keluar penuh kewaspadaan. Akhirnya mereka berhasil sampai di kamar tempat kedua adik Dini berada lalu segera membuka lemari. Mereka langsung memeluk Dini.
“Kakak kemana saja aku takut” Kata si bungsu lirih.
“Kok ada kak Ilham? kalian berdua pacaran ya? Goda Rido.
“Kamu apa apaan sih, suasana sedang genting seperti ini masih saja bercanda”
“Rido dan Rizky, kalian bisa bantu kakak?” Tanya Ilham. Mereka mengangguk “Kalian tolong cari bantuan keluar, minta tolong sama orang-orang untuk memanggil polisi kasih tahu disini ada orang jahat”
Dini menatap kedua adiknya. Berat rasanya untuk mengatakan hal ini.
“Sayang kalian pasti bisa, minta bantuan dan selamatkan diri kalian. Kalian harus jadi Superman dan spidermannya kakak, ayah, dan ibu. Kakak menunggu kalian disini”
“Tapi kalau nanti kakak juga meninggal sama seperti ayah dan ibu gimana?” Tanya Rido. Air mata Dini mulai keluar membasahi pipinya.
“Sayang, hidup dan mati seseorang ada di tangan Allah. Jika kakak di takdirkan hidup, kakak pasti akan tetap disini menunggu kalian. Kakak kuat dan kalianpun harus kuat” Perasaan Dini tak karuan. Khawatir, itulah sebagian besar perasaanya saat ini. Terlebih Rizky sedang demam dan mereka harus melalui kebun karet. Ia hanya bisa pasrah. Brakk… braak tiba tiba terdengar suara pintu kamar yang hendak di dobrak. Ilham segera menahan pintu tersebut. “Din cepat antar Rizky dan Rido keluar aku akan menahannya di sini”

Dini segera mengantar kedua adikknya keluar lewat jendela dengan susah payah karena jarak yang lumayan tinggi. Kedua adik Dini berlari menembus kebun karet. Sementara Dini kembali masuk membantu Ilham menahan pintu. Akhirnya si pembunuh itu berhenti mendobrak pintu.
“Kak, apa orang itu sudah pergi?” Tanya Dini yang masih menahan pintu. Ilham menggeleng, nafasnya tersengal-sengal “Kita harus keluar dari sini” Ucapnya. Mereka keluar kamar, namun ternyata si pembunuh masih berada di depan pintu. Ia langsung menyerang Ilham. Dini panik ia langsung mengambil guci keramik lalu membantingnya di kepala si pembunuh. Dini membantu Ilham untuk kabur ke lantai bawah. Si pembunuh mengejar mereka dengan membawa parang.

Sementara itu…
“Kak, Rizky capek aku juga takut” Keluhnya berhenti berjalan. Suasana di kebun karet itu memang sunyi, sepi dan dingin dengan pohon-pohon karet yang berukuran tinggi. Menambah kesan menyeramkan. Rumah Zie dan rumah mereka memang terletak agak jauh dari perumahan warga. Jalan tercepat untuk mencapai perumahan warga ialah melalui kebun karet tersebut.
“Rizky, kamu dengarkan tadi apa kata kak Dini. Kita harus kuat. Kita harus bisa membantu kak Dini kamu jangan takut Allah akan melindungi kita”
“Tapi Rizky capek kak”
“Ya sudah kamu naik ke punggung kakak”

Mereka kembali melanjutkan perjalanan di tengah kesunyian malam. Sebenarnya ia pun lelah, tapi tak tega rasanya melihat adiknya Rizky yang kelelahan dan sedang demam membiarkannya berjalan terus, Sedangkan mereka tidak bisa berhenti berjalan karena harus secepatnya mencari bantuan.

ADVERTISEMENT

Dini dan Ilham belari menuju pintu depan, namun terkunci. Mereka kembali berlari ke arah kolam renang. Dini bersembunyi di bawah kursi dan Ilham di sebelah patung putri duyung. Si pembunuh masih mencari mereka berdua, ia terdiam matanya menatap tajam ke arah kursi. Dini semakin takut pembunuh itu semakin dekat. Lalu menarik kakinya dan menyeretnya. Dini berteriak minta tolong. Si pembunuh itu mengayunkan parangnya hendak membunuh Dini, namun Ilham bergerak cepat menghadangnya dan akhirnya dialah yang terkena sabetan parang si pembunuh. Arrghhhh…
“Kak Ilham…” Teriak Dini.
“Din… cepat lari” Kata Ilham sambil memegangi perutnya yang berlumuran darah.
“Tapi… kak ilham…”
“Ja.. jangan perdulikan aku, cepat… lari selamatkan nyawamu” Dini berlari sambil menangis. Ia tak tahu harus kemana. Sementara si pembunuh terus mengejarnya. Dini terpojok ia tak bisa kemana mana lagi.
“Siapa kamu? mengapa kamu membunuh ayah dan ibuku?” Si pembunuh hanya terdiam dan terus berjalan mendekati Dini. Dini sama sekali tidak mengenali pria tersebut, mungkin dia seorang pembunuh bayaran pikirnya. Pria tersebut berbadan tinggi berusia sekitar 30-an.
“Mengapa kamu membunuh ayah, ibu, tante Zie dan kak Ilham? apa salah mereka semua? Dan sekarang engkau akan membunuhku kan?” Si pembunuh mengayunkan parangnya. Dini menyilangkan tangannya sambil mengucap takbir. Dorr… terdengar suara tembakan. Si pembunuh terkapar dengan peluru menembus kepalanya.
“Kak Dini…” teriak Rido dan Rizky yang datang bersama polisi dan beberapa warga. Mereka berpelukan. Polisi segera mengamankan si pembunuh itu.
“Kalian berhasil sayang, terima kasih” Ucapnya terharu.

Pagi ini udara mendung tertutup kabut berselimut duka. Setelah selesai acara pemakaman kedua orangtua dan tantenya. Dini dan kedua adiknya pergi ke rumah sakit. Ia memasuki ruangan yang di dalamnya terdapat seorang laki-laki yang sedang terbaring lemah.

“Bagaimana keadaanmu kak?” Tanya Dini duduk di sebelahnya.
“Lebih baik” Jawabnya.
“Aku pikir aku tidak akan bertemu denganmu lagi untuk selamanya kak Ilham” Ilham tersenyum. Dini mengambil sebuah koran yang masih baru lalu membukannya dengan berita utama di koran tersebut
“SEPASANG SUAMI ISTRI PENGUSAHA KEBUN TEH DAN ADIK IPARNYA TEWAS DI BUNUH REKAN KERJANYA DENGAN MOTIF DENDAM”.

Cerpen Karangan: Intan Hanana
Blog: hananazahra.blogspot.com
Facebook: Intan Hanana

Cerpen Tragedi merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Sandiwara Agustus

Oleh:
Pada sore hari terdengar langkah kaki yang menuju ke kamarku, pelan-pelan langkah kaki itu semakin dekat. Saat aku membuka mata, Ibu sudah ada di depan mataku. Aku menatap Ibu

Aku Sayang Kak Lia

Oleh:
Angin mulai berhembus menusuk kulit. Gadis ini menatap kosong ke depan. Memperhatikan dedaunan yang melayun-ayun mengikuti irama hembusan angin di depan balkon kamarnya. Tiba-tiba, pintu kamar gadis ini terketuk.

Perjalanan Silatku

Oleh:
Burung berkicau matahari memamerkan keindahannya, aku bergegas menuju ke sekolah. Istirahat pun tiba kakak kelas osis sosialisasi di kelas kelas tentang memilih ekstrakulikuler apa yang diminati tidak ketinggalan kelasku

Impian

Oleh:
Ini adalah kisah dari seorang gadis lugu yang mempunyai sejuta impian di dalam dirinya, namanya Zahra setiap menjelang fajar menyingsing dari balik gelapnya malam ia sudah siap dengan sekeranjang

Soup Untuk Ibu

Oleh:
Aku tidak bisa masak. Tidak punya hasrat untuk belajar memasak. Bahkan sepertinya aku benci masak. Mencium bau bumbu bikin perutku mual. Aroma bawang bombay bikin aku fertigo. Aku lebih

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

4 responses to “Tragedi”

  1. I'anatul Khoiroh says:

    Keren dan mengharukan. .

  2. ya ampun, deg degan banget

  3. Tiana says:

    Keren bangeetttt bikin deg2 an?

  4. Benedicta says:

    Wah,,, hebat, keren bikin deg-degan. Seru lagi 🙂 😀

Leave a Reply to Farah Ramadhina Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *