Unfair (Part 2)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Penyesalan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 16 February 2016

Kala benar-benar terperosok ke dalam jurang tak ada seorang pun yang membuatnya bangkit, mengulurkan tangan untuk membuatnya bangun dan kembali berdiri dengan kokoh. Kala orangtua yang diharapkan memilih menjadi penolong bagi orang lain. Kala sahabat yang biasanya berdiri di samping dan merengkuhnya ke dalam pelukan hangat pengganti orangtua, menjadi kaki kala pincang, mata kala buta, telinga kala tuli, kini perlahan mengepakkan sayap dan terbang jauh mencari yang lain hanya karena insiden salah tanggap. Semuanya tak akan pernah menjadi baik. Hingga Tuhan yang akan membuatnya menjadi baik. “Berikan aku kebahagiaan hingga cahaya terang menyambutku dengan suka cita hanya untuk saat ini. Karena cahaya itu tahu bahwa aku sudah cukup untuk tidak bahagia.”

Pertengkaran hebat menguras air mata telah berlalu, meninggalkan bekas luka yang tak dapat dilihat. Luka yang belum mengering ditambah lagi luka baru yang kembali menyayat dan membuka luka lama yang belum mengering sempurna. Kala hatinya hendak menangis, sungguh mata tak sanggup lagi untuk mengeluarkan air mata yang telah terkuras habis. Tak ada lagi yang menemani setiap harinya, kecuali kamera dan handycam miliknya. Hanya itu yang ia punya, hanya itu yang mampu membasuh sedikit lukanya, walau pada akhirnya luka itu akan kembali terbuka lagi.

Diana, berpikir setelah ia menumpahkan segala keluhnya, Jane dan Lucas bisa memberikannya sedikit ruang kosong untuknya. Ternyata ia salah. Jane dan Lucas justru memilih menutup dan mengunci setiap ruang rapat-rapat hingga tak satu pun yang mampu memasukinya kecuali bagi siapa saja yang ia kehendaki. Meninggalkannya di luar dengan kegelapan, hingga ia benar-benar buta, tuli, dan lumpuh untuk menggapai impiannya. Divia, ia bersikap seolah Diana memang tak pernah ada. Menggantikan posisi Diana di sana sebagai anak kandung. Semuanya pahit.

Diana menatap lurus TV yang sedang menayangkan program yang biasanya sangat ia sukai, hanya saja untuk beberapa hari ini semua telah merubah hidupnya. Matanya hanya sekedar menatap, tapi pikiran yang kosong. Hingga perlahan tapi pasti matanya mulai berat dan terpejam, tidur di sofa dengan tv yang masih menyala. Teett… Teettt… Klakson mobil terdengar, tak lama setelah itu pintu mulai berdecit.

Langkah sepatu mulai menggema di rumah sepi ini menampakkan Jane, Divia, dan Lucas tertawa bahagia di atas kesedihan putri kandungnya. Berbagi cerita tentang apa yang mereka alami tadi, saat acara makan malam keluarga dilaksanakan pada sebuah restoran mewah. Sebuah restoran yang menyimpan kenangan mendalam bagi keluarga ini, terutama Diana. Ditatapnya tv yang masih menyala, dan seorang gadis yang tengah tertidur kala menonton tv. Seolah tak peduli, dilewatinya begitu saja. Entah terbuat dari apa hati mereka. Berselang 10 menit, Lucas manampakkan wajahnya, didekatinya Diana sambil membawa selimut tebal dan bantal.

“Papa menyayangimu, maaf jika semua yang terjadi menyakiti hatimu, putri kecil. Andai saja kamu tak disibukkan dengan hobimu, semua tak akan seperti ini. Kami menginginkan dirimu menjadi seperti Divia, yang selalu meluangkan waktu untuk kami. Tidak sepertimu yang lebih memilih hobimu daripada kami. Secara tak langsung, kamulah yang merubah kami. Satu lagi, Divia jauh lebih membutuhkan kami daripada kamu saat ini. Meskipun begitu, Diana putri kecil Papa tetaplah yang pertama,” Dikecupnya kening Diana lamat seolah menyalurkan kekuatan lewat kecupan tersebut. Diselimutinya tubuh Diana dengan selimut tebal yang ia bawa, dan meletakkan bantal sebagai alas kepala putri kecilnya, Diana. Lagi-lagi ia mengecup kening putri dengan cukup lama. Dan pergi meninggalkan Diana yang tengah tertidur.

Selamat datang Kebahagiaan. Selamat tinggal mama, papa, Divia

Pagi kembali menjelang, kala Jane, lucas, dan Divia tengah disibukkan dengan sarapan pagi. Tapi tak terlihat tanda-tanda kehadiran Diana di sana. Hanya sebuah kursi kosong yang biasanya dihuni oleh gadis itu. Jane meminta Divia untuk membangukan Diana di kamarnya, namun nihil Divia tak menemukan Diana di sana. Divia ingat, bahwa saat malam Diana tengah tertidur di sofa ruang keluarga. Bersegeralah ia menuju ruang keluarga. Didapatinya Diana yang masih tertidur pulas dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Sebenarnya Divia sedikit canggung untuk membangunkan Diana sejak pertengkaran beberapa waktu lalu. Namun apa boleh buat.

“Di, bangun waktunya sarapan,” Tak ada jawaban. “Diana ayo bangun, kita sarapan bareng,” Lagi-lagi tak ada jawaban. “Di, lo jangan becanda deh Di, ini gak lucu sama sekali,” Divia menguncang tubuh Diana lebih keras agar ia terbangun, hasilnya sama. Diana tak kunjung membuka matanya. Divia menatap wajah Diana intens, wajah pucat, suhu tubuhnya sangat dingin, tubuhnya kaku.

Cahaya itu telah datang menyambutku saat kalian tidur. Dan aku bahagia.

ADVERTISEMENT

“Di, jangan Becanda Di, sumpah ini gak lucu!” Bentak Divia. Divia mengguncang kuat tubuh Diana. Berharap Diana merespon. “DIANA, gue benci lo, ini gak lucu Di, ayo bangun jangan nakutin gini deh,”
“DIANA! DIANA!” teriaknya terus mengguncangkan tubuh Diana yang kaku, sama sekali tak bergerak. Divia menutup mulutnya, menahan isakan yang tak tertahan lagi.

“Diana, please bangun. Lo gak mati kan? Please bangun,” Sesaat kemudian Divia menangis sekencang-kencangnya berteriak menyebut nama Diana berulang kali. Membuat Lucas dan Jane yang tadinya sedang menikmati sarapan kaget, berlari menuju ruang keluarga. Didapatinya Divia yang sudah histeris dan Diana dengan tubuh kakunya.
“Gue minta maaf, udah rebut kebahagian lo. Gue janji gue bakalan pergi dari kehidupan lo asalkan lo bangun,”
“Gue harap cahaya itu gak jemput lo sekarang,”

When I am down and oh my soul, so weary
When troubles come and my heart burdened be

Lucas dan Jane mendekati Diana, mereka berjalan dengan tergopoh-gopoh. Lucas duduk bersimpuh memegang pergelangan tangan Diana, mencari letak denyut nadi. Sungguh Lucas hanya dapat terdiam dan mengulum semuanya, lidahnya seakan kelu untuk mengatakan sesuatu. Jane juga duduk bersimpuh di samping Lucas, menatap lucas penuh arti. Lucas menggeleng. Jane menangis histeris. Mereka terlambat untuk memberikan cahaya dan kebahagiaan pada Diana. Hingga cahaya dan kebahagiaan itu sendiri yang datang menjemput Diana tanpa sepengetahuan mereka.

Then, I am still and wait here in the silence
Until you come and sit awhile with me

Disebutnya berulang kali nama Diana Lovita, tak sedikit pun gadis yang tengah terbaring menjawab.
“Diana, bangun sayang. Mama sayang kamu. Kamu gak boleh pergi ninggaln Mama. Hiks… Diana kamu mau Mama peluk kan? Nih, Mama udah peluk kamu,” Tak ada respon dari Diana.
“Mama juga udah di samping kamu sekarang. Sekarang giliran kamu untuk bangun. Kamu masih marah sama Mama sayang? Sampe kamu gak mau bangun dan bicara sama Mama,” Tangis Jane benar-benar tak terbendung.

Sekarang ia mengerti mengapa Diana mengatakan bahwa ia sangat membutuhkan dirinya dan Lucas untuk saat ini, dan inilah saat ini itu. Lucas menatap putri kecilnya yang sudah tak bernapas, air mata mengalir, penyesalan telah ia rasakan. Inilah balasan Tuhan untuk mereka, menyia-nyiakan putri kecil mereka, dan menjadikan hobi Diana sebuah alasan atas perubahan sikap mereka, bukanlah hal yang benar. Dikecupnya tangan yang dingin dan kaku itu berulang kali. Divia, gadis itu menyesal seharusnya ia menyadari akan kecemburuan yang Diana alami beberapa tahun ini setelah kedatangannya.

“Diana bangun please, maafin gue. Maafin gue udah ngerebut semuanya dari lo. Maafin gue,” tangisnya, Divia memeluk lututnya sendiri membenamkan wajahnya diantara lipatan tangan, dan menangis histeris. Tangisan kembali menggema di setiap sudut ruangan, kali ini bukanlah tangisan Diana tapi tangisan Jane, Lucs, dan Divia yang meratapi kepergian Diana untuk selamanya.

You raise me up, so i can stand on mountains
You raise me up, to walk on stormy seas
I am strong , when I am on your shoulders
You raise me up.. to more then I can be

Semuanya tak berarti lagi, tangisan yang dielukan tak sedikit pun membuat Diana terbangun kemudian datang dengan senyuman kebahagiaan menyambut mereka. Itu semua hanya mimpi semu yang tak akan pernah terjadi. Karena Diana telah lelah untuk menunggu kebahagiaan itu, dan membiarkan kebahagiaan sejati menjemputnya sebelum ia berpamitan kepada Jane, Lucas, dan Divia dalam tidur abadinya.

You raise me up, so i can stand on mountains
You raise me up, to walk on stormy seas
I am strong, when I am on your shoulders
You raise me up.. to more then I can be

Batu nisan bertuliskan DIANA LOVITA adalah kado terakhir yang diberikan oleh Jane dan Lucas. Diusapnya batu nisan, dengan senyuman tipis. Semoga kamu tenang di sana. Itulah kata yang mereka ucapkan sebelum pergi meninggalkan tempat peristirahatan terakhir Diana Lovita. Sesampai di rumah, berbondong-bondonglah mereka memasuki kamar Diana, ditatapnya berbagai macam figura dengan gaya konyol Diana. Senyuman Jane dan Lucas kala mereka melihat sebuah foto lama.

Foto ketika Diana yang masih berumur empat tahun yang tertawa lepas saat berada dalam kolam renang. Dikenangnya kenangan manis antara Diana dan Dirinya. Hingga handycam kesayangan Diana, berada tepat di depan mereka. Lucas dan Jane menatap Divia, diambilnya Handycam tersebut. Berbagai macam video terekam di sana,semua tentang keseharian Diana. Hingga video yang pertama kali dibuat oleh Diana, menampakkan Diana dengan wajah yang sembab. Video tersebut diambil 5 tahun yang lalu tepat pada tangga 22 September 2010.

“Hai, semua? Apa kabar? Pasti baik kan! Gue gak tahu apa yang terjadi dalam hidup gue, entah itu cuma perasaan gue atau enggak. Yang pasti gue ngerasa Mama dan Papa menjauh dari gue. Gue ngerasaian jarak yang terbentang cukup luas di antara Mama dan Papa. Gue gak tahu apa itu? Gue coba untuk memungkiri semuanya, hingga gue bener-bener lelah. Gue cuma nunggu Tuhan buat nyabut nyawa gue, karena gue tahu hidup gue gak bakalan lama lagi.”

“Lo tahu gak, kalau beberapa hari yang lalu gue, check up ke dokter. Gue ngerasain sakit kepala yang luar biasa, bahkan gue mimisan dan darahnya gak berhenti-berhenti kel uar OMG. Hingga gue tahu kalau gue kena Leukimia awal stadium 3. Gue gak tahu apa yang harus gue lakuin. Apa sebaiknya gue bilang sama Mama dan Papa? Tapi gue takut Mama dan Papa gak percaya dan nganggep itu hanya cara gue untuk dapet perhatian. Atau mungkin gue pendem sendiri aja kali yah! Mungkin itu jauh lebih baik. Tapi gue harap, Tuhan gak nyabut nyawa gue sebelum gue ngungkapin semua yang gue rasain ke Mama, Papa, dan Divia. Gue sayang kalian semua. Andai kalian semua tahu kalau sebenarnya di sini gue yang ngerasa namanya sakit. Oke, gue harus bisa bertahan, ayo Diana lo kuat lo pasti bisa bertahan.”

“Gue sayang Mama, Papa, dan saudara kembar tapi beda gue Divia. Divia bagi-bagi dong kebahagiaan lo dengan Mama dan Papa ke gue. Jangan ngambil sendiri, kan kasihan guenya entar mewek mele. Bhaaksss… Love You All. Love you so much…. Bye.” Video tersebut dibawakan Diana dan ditutup dengan sifat alay Diana, membuat Jane, Lucas, dan Divia terkekeh geli sambil meneteskan air mata. Mengumpat kebodohan mereka sendiri. Yang sama sekali tak mengetahui bahwa Diana mengidap Leukimia. Sebegitu burukkah mereka hingga sama sekali tak mengetahui apa pun tentang Diana. Orangtua yang buruk.

Terlalu lambat untuk menyadari tentang semua yang sebenarnya terjadi, hingga saat ini hanya saksi bisu yang menjelaskan apa yang terjadi. Saksi yang dijadikan alasan tentang setiap kedustaan dan ketidakadilan yang diciptakan. Sampai mereka tak menyadari ketidakadilan yang tercipta telah menjerumuskan orang yang dicintai jauh ke dalam sana. Seseorang itu telah memanggil tapi mereka tak kunjung datang memberikan uluran tangan.

Seseorang itu menahan sesak karena oksigen yang menipis dan gas beracun yang mulai terpompa masuk ke dalam tubuhnya. Hingga seseorang itu mengalah dan berhenti berharap pada mereka yang berada di luar, memilih berharap pada cahaya abadi yang sudah pasti datang. Hingga pada akhirnya kedustaan yang mereka sendiri ciptakan itulah yang akan menohok hatinya kembali. Dan kedustaan itulah yang akan menjerumuskan mereka jauh lebih dalam pada penyesalan tak berujung. Dan sekali lagi, saksi bisu itulah yang memberitahu mereka akibat kedustaan mereka sendiri. Kedustaan sang perenggut kebahagiaan. Unfair.

Tuhan aku telah jauh terperosok ke dalam sana, aku berusaha bangkit untuk menggapai mereka, dan berharap pada takdir dunia. Namun aku gagal Tuhan, aku kembali terperosok jauh lebih dalam saat aku menyadari hidupku tak akan lama. Maaf aku kembali menangis Tuhan, sungguh karena aku sudah tak kuasa menahan luka. Luka itu sangat dalam, walau hanya disayat dengan ucapan. Saat ini tepat 2 minggu kejadian itu, aku sungguh masih tak dapat menggapai semuanya, aku berpikir semua akan kembali seperti semula. Namun aku salah, aku hanya kembali terperosok, mereka benar-benar tak lagi memberiku ruang.

Namun sehrausnya aku sadar, bahwa namaku tak akan lagi tertoreh di hati mereka, bahkan nama itu sudah terbuang dan mungkin terkubur hingga hanya menyisakan tulisan tanpa arti. Seharusnya aku sadar bahwa yang pertama hanyalah nama itu. Sebuah nama yang tiba-tiba datang dan mengubur namaku. Dan aku sadar bahwa kini aku benar-benar sudah tak berarti lagi. Tuhan jemput aku. Aku mendengar tawa datang mendekat, lalu kemudian menjauh. Ingin rasanya aku menyapa. Tapi mataku tak kunjung terbuka. Aku merasakan kecupan hangat mendarat di keningku memberikanku sedikit kekuatan, walau aku masih belum bisa membuka mata. Ku dengar ucapan yang cukup menyesakkan dadaku. Ingin rasanya aku berteriak menyanggah semuanya, seolah-oleh akulah penyebab semua ini.

Saat aku mencoba memberontak, cahaya terang datang padaku, entah dari mana membawaku pergi, memisahkan rohku dengan ragaku. Sungguh cahaya itu benar-benar menyilaukan, dan sesaat aku tersenyum. Ku lihat ragaku yang sudah tergolek tak berdaya di sofa. Tapi papa masih tak menyadari bahwa aku memang sudah tiada. Papa pergi meninggalkan ragaku dengan memberiku kecupan lagi. Aku pergi untuk selamanya. Selamat tinggal Luka. Dan sekali lagi aku bahagia. Selamat datang kebahagiaan. Selamat tinggal Mama, Papa, dan Divia.

Tamat

Cerpen Karangan: Indah Dwi Kurnia
Facebook: Indah Dwi Kurnia

Cerpen Unfair (Part 2) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Mimpi

Oleh:
Ya, inilah aku seorang gadis kecil yang hidupnya tidak seberuntung kalian. Ya, inilah aku gadis kecil yang setiap hari mengamen di pinggir jalan demi untuk sesuap nasi. Namaku Celvia

Kebenaran Untuk Dimengerti

Oleh:
Dita berlari mengejar sebuah mobil berwarna merah yang melaju kencang dari arah rumahnya.. entah apa yang ada di pikirannya saat ini.. berlari tak kenal lelah, tak tau sudah sejauh

Maafkan Aku Ummi

Oleh:
Hari ini aku resmi menjadi suami wanita yang aku sayangi. Aku dan Aisyah pernah pacaran selama 2 tahun. Kini ia telah resmi menjadi istriku. Aku bahagia sekali. Perkenalkan, namaku

Mayfly

Oleh:
Pada hari yang biasa-biasa saja di Benua Ametrine, seorang gadis yang bernama Nacha Carnelian berlari keluar dari rumahnya. Ia lelah dengan peraturan ketat di rumahnya. Nacha merupakan seorang bangsawan,

Bucing

Oleh:
Aku membuka tudung saji di meja dapur. Kembali kudapati hanya ada satu telur ceplok dan nasi yang sudah dingin di sana. Raut wajahku langsung semu. Kemudian aku melangkah ke

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

2 responses to “Unfair (Part 2)”

  1. azkiyatun says:

    Keren cerpenya. aq sampe nangis

  2. Bastian says:

    Njjiiiirrrr ….. jngan buat cerpen yg kek ghini doonkkk … Sialan loe .. masak gua yg baca di bikin nangis … gua kan cowok , preman pasar ….. klu ketemu gua . gua jitak loer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *