Hutan Larangan

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Lingkungan
Lolos moderasi pada: 15 July 2021

“Jangan main ke hutan situ, banyak penunggunya.”

Begitulah semua orang di desaku percaya pada rumor tentang hutan larangan yang berada di atas bukit di bagian selatan desa. Sejak saat itu, satu per satu, segala aktifitas yang berada di sekitar hutan mulai ditinggalkan.

Rumor ini pertama kali mengudara beberapa tahun belakangan dan semakin meluas karena banyaknya suara-suara aneh yang terdengar dari dalam hutan pada malah hari, juga beberapa warga desa yang mencoba masuk ke hutan untuk memastikan, ternyata tidak pernah kembali lagi. Katanya, diculik sang penunggu. Katanya, diajak tinggal selamanya di hutan. Atau yang lebih parah lagi, katanya, dijadikan tumbal hidup-hidup.

Sejujurnya, hutan larangan atau apa pun sebutannya, rasanya aku tak terlalu penasaran. Selama tidak masuk ke dalamnya, bukankah semua akan baik-baik saja?

Tapi pendapatku berubah 180 derajat sejak kedatangan Mas Andi.
Mas Andi adalah anak kepala desa yang kembali pulang ke desa setelah merantau menempuh pendidikan sarjananya di kota. Mas Andi sering berbagi cerita dengan anak-anak seusiaku tentang bagimana pendidikan yang ia lalui, juga hal-hal baik lain yang membuatku ingin lebih rajin belajar lagi. Mas Andi bercerita kalau dia adalah seorang sarjana kehutanan. Ia ingin hidupnya sama seperti hutan yang bisa bermanfaat bagi banyak orang. Karena itulah ia kembali ke desa. Ia juga ingin aku dan teman-temanku bisa menjadi seperti hutan, yang bermanfaat bagi banyak orang juga.

Hingga suatu waktu, saat sedang serunya bercerita tentang hutan, salah satu temanku bertanya kepada Mas Andi bagaimana pendapatnya tentang hutan larangan.

Aku ingat Mas Andi tersenyum saat bercerita, mengingat kenangannya dengan hutan larangan. Bagaimana seluruh masa kecilnya bersama teman-temannya ia habiskan dengan bermain di hutan larangan. Katanya, sedih saat mengetahui hutan yang dulunya seperti rumahnya sendiri saat ini malah ditakuti oleh seluruh penduduk desa. Mas Andi juga bilang kalau tanah di hutan larangan adalah tanah yang paling enak untuk dibuat bermain sepak bola. Luas dan teduh. Ah, mendengar ceritanya saja bisa membuat hatiku penasaran, jangan-jangan hutan larangan memang tidak seburuk yang selama ini dibicarakan? Jadi bagaimana mungkin aku bisa menolak saat Mas Andi mengajakku pergi ke hutan larangan malam ini?

Bersama Mas Andi dan juga kelima temanku yang lain, aku datang ke hutan larangan. Dari luar, sejujurnya, hutan larangan tidaklah jauh berbeda dari hutan yang selama ini sudah pernah aku lihat. Kecuali, adanya papan bertuliskan dilarang masuk di depannya. Dari depan, meski hari sudah mulai gelap, pelahan kami mulai masuk ke dalam hutan. Rasanya, aku sudah nyaris menghapus pikiran menakutkan tentang hutan ini sampai sayup-sayup terdengar suara yang asing di telingaku. Suara yang keras dan menghentak, semakin kencang, dan semakin kencang, memecahkan sunyi yang meliputi hutan larangan.

Setelah itu, semua berlangsung dengan cepat, Mas Andi mengajak kita semua keluar dari hutan dan menuju desa dengan berlarian panik, kita semua membuat kehebohan di dalam desa, sampai akhirnya seluruh warga desa berkumpul di balai desa untuk menuntut jawaban dari Mas Andi.

Ayah Mas Andi, Pak Kepala Desa, berusaha meredakan emosi warga, lalu ia menepuk pundak Mas Andi, meminta Mas Andi untuk berbicara. Aku tidak akan lupa wajah tenang Mas Andi saat menjelaskan, “Tidak ada yang namanya hutan larangan, tidak ada penunggu hutan yang selama ini warga takuti. Saya dengar sendiri dengan jelas suara apa itu, itu suara mesin. Bukan penunggu atau hantu, itu pasti manusia!”

ADVERTISEMENT

Meski saat itu rasanya pernyataan Mas Andi tidak sama sekali meredakan emosi warga, tapi kenapa rasanya aku justru percaya pada apa yang dikatakan Mas Andi? Suara mesin? Ah, rasanya aku bisa memercayai itu, aku mendengarnya sendiri!

Sejak kejadian itu, Mas Andi pergi kembali lagi ke kota, hal yang lebih dari cukup untuk meredakan emosi warga. Kepergian Mas Andi berdampak pada kosongnya hari-hariku dan teman-temanku di desa. Setelah pulang sekolah, tidak ada lagi Mas Andi yang akan bercerita dan berbagi di saung desa tentang banyak hal. Sedikit banyak aku jadi teringat nasihat-nasihat Mas Andi tentang hutan. Mas Andi selalu menekankan, tidak ada hutan yang menakutkan, semua hutan itu bermanfaat. Meski banyak warga yang belum percaya, setidaknya, aku percaya.

Kepergian Mas Andi juga berdampak pada ucapan-ucapan warga yang entah kenapa selalu mengaitkan bencana yang terjadi di desa kami dengan hutan larangan. Sawah gagal panen karena hutan larangan, hujan besar karena hutan larangan, pemadaman listrik karena hutan larangan. Ah, padahal bukannya bulan-bulan ini memang musim hujan? Wajar saja bukan bila hujan turun deras, lalu petir tidak sengaja menyambar trafo desa sehingga listrik padam?

Kenapa harus terus-terusan mengaitkannya dengan hutan larangan?

Aksi warga yang terus-terusan menyalahkan hutan larangan semakin menjadi-jadi karena hujan yang berminggu-minggu turun membuat desa kami terendam banjir. Karena berpotensi longsor akibat desa yang dikelilingi perbukitan, akhirnya seluruh warga desa diungsikan ke tempat yang lebih aman. Malam harinya, longsor benar-benar meratakan desa. Untungnya, tidak ada korban jiwa dari bencana yang menimpa desa kami. Di antara rasa berkabung yang menyelimuti, tetap saja, seakan tidak ada hal lain yang bisa disalahkan, warga tetap saja mengkaitkannya dengan hutan larangan.

“Desa kita pasti dikutuk karena mengganggu hutan laragan. Seharusnya, tidak ada yang boleh memasuki hutan larangan. Hutan itu banyak penunggunya, hutan itu terlarang.”

Apa benar? Apa mungkin benar semua bencana yang terjadi karena ulah kami yang sengaja masuk ke hutan larangan waktu itu?

Di tenda pengungsian, kebutuhan kami cukup terpenuhi. Anak-anak sesuaiku tetap sekolah berkat bantuan para relawan. Makan dan tidur pun rasanya cukup nyaman meski merindukan rumah tempat tinggal kami yang sebenarnya.

Tiga hari setelah berada di pengungsian, televisi memberitakan kejadian longsor yang meratakan desa kami. Selanjutnya semua yang dikatakan oleh berita membuat asumsi tentang hutan larangan berubah total. Juga, semua yang dikatakan Mas Andi di malam sebelum ia pergi meninggalkan desa ternyata terbukti benar.

Penebangan liar, kata berita itu. Penebangan yang sudah menghabiskan lebih dari 80 persen hutan larangan, menjadikannya hutan gundul, sehingga tidak mampu lagi meresap air hujan yang turun deras selama berminggu-minggu, hingga akhirnya longsor meretakan desa, membuat kami kehilangan rumah dan harta benda kami.

Mas Andi benar. Tidak ada yang namanya hutan tanpa manfaat. Andai saja kami sadar dari jauh-jauh hari, mungkin kami bisa mencegah bencana itu terjadi. Alam memang sudah punya jalan takdirnya, sekarang hanya bagaimana kita sebagai manusia merawat dan melindunginya.

Mas Andi datang ke pengungsian keesokan paginya untuk menjenguk Ayah dan Ibunya, juga warga desa yang lainnya. Seluruh warga desa tampak merasa bersalah dan meminta maaf kepada Mas Andi.

“Tidak ada yang namanya hutan terlarang, yang terlarang adalah perilaku manusianya,” tambah Mas Andi yang disambut anggukan seluruh warga.

Cerpen Karangan: Peggy Laras Purwatika
Blog: Wattpad.com/plpurwatika
Peggy Laras, Gemini, ENTP, BTS ARMY, 199x, Tim Bubur Nggak Diaduk

Cerpen Hutan Larangan merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Teater Nahkoda

Oleh:
Nesya: Errrggghhh… gerahnya minta ampun deh! Neraka bocor kali ya.. erggghhh… kami telah menunggu selama 7 jam disini, namun aula belum juga dibuka. Lio: Sabar sya, kita semua juga

Petualangan dan Cinta (Part 2)

Oleh:
Setibanya di tenda lau kawar kami bergegas kembali melaksnakan sholat berjamaah yang dipimpin oleh fahmi. Setelah makan malam selesai kami mulai agenda berikutnya yaitu membuat lingkaran dan membakar kayu

Risalah Hati (Part 1)

Oleh:
Petir terus menyambar, raga ini rapuh seakan ingin tumbang layaknya dahan pohon di seberang jalan sana. Aku hanya terpaku, terdiam membisu di bawah naungan payung sambil ditemani derasnya hujan.

Risalah Hati (Part 3)

Oleh:
13 November 2015, Mt. Cikuray, 2821 MDPL 13.00 PM Aku dan kawan-kawan dari komunitas Lidi Rimba mendaki puncak Cikuray. 2821 MDPL aku tempuh dengan kawan-kawan komunitas Lidi Rimba. Diperjalanan

Bumi Pertiwi (Part 2)

Oleh:
Waktu yang sudah dijanjikan pun tiba. Tiga bulan sudah mereka berjuang untuk pergi menikmati liburan bersama-sama, dan tepat hari ini mereka berempat telah menginjakan kaki di Bandara Soekarno-Hatta untuk

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *