Puisi itu Milik Siapa? (Part 1)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Romantis, Cerpen Misteri
Lolos moderasi pada: 12 August 2019

“Ya tuhan…” Gumam Mela, beberapa kali dia menggeleng tak percaya mendengar cerita mistisku.
“Percaya gak percaya, inilah yang terus aku alami,” ucapku lagi meyakinkan perkataanku yang tempo waktu kepadanya, sahabat baikku.
“Ok Hyena! Kamu santai aja dulu, kita tetap berpikir baik, kita cari tahu dengan perlahan dan aku akan bantu kamu.” Mela menatapku dengan khawatir.
“Aku gak begitu memusingkan soal itu. Aku cuma bingung, sebaik itukah dia? Menuliskan puisi untukku setiap hari, dan aku yakin itu puisi karangannya sendiri.” balasku atas ucapan Mela. Obrolan kami tak jauh dari raut kebingungan semenjak hampir dua minggu ini aku selalu dihantui oleh lembaran puisi yang dituliskan untukku. Setiap lembarnya selalu dituliskan “Dear Hyena,” namun tak pernah ada nama pengirimnya. Setiap kali aku menemukan lembaran puisi itu, selalu dituliskan dengan kertas dan warna tinta yang sama. Yang selalu berbeda adalah isi puisi, dan letak aku menemukannya. Terkadang ada di dalam tasku, sepatu, laci meja, depan pintu rumah, pernah juga diselipkan dalam lembar buku catatan. Entahlah siapa pelakunya, bahkan teman satu jurusan di kampus tidak ada yang mahir menulis puisi, yang bagiku penuh makna itu.
“Ya sudah Hyen, aku pergi dulu. Lanjutkan aja makannya.” Ucap Mela sembari beranjak pergi dari hadapanku dan meninggalkan kantin. Kepergian Mela sejenak membuatku kembali berfikir keras penuh pertanyaan “puisi itu milik siapa?”.

Jam kuliah hati ini sudah berakhir, dengan langkah cepat kuhambur langkahku menuju tempat parkir, menjemput vespa antik yang selalu kukendarai setiap hari. Sekilas sempat terpikir olehku, sejak pagi aku belum mendapati lembaran puisi yang biasanya sudah kubaca berulang itu. Apa mungkin? Si pengirim mulai lelah?. Kugapai Helm yang sejak tadi terletak rapi pada leher vespaku. “-DEG!-” jantungku berdebar kencang, selembar kertas yang baru saja kupikirkan tiba-tiba jatuh dari dalam helm yang ingin kukenakan, tanpa perintah aku segera membentang lipatan rapi kertas itu.

Dear Hyena

Pernahkah sang awan mengeluh?
Tidak!
Pernahkah ia menangis ketika dihantam petir?
Tidak!
Itulah aku.
Berseru bagai seekor semut
Menjerit bagai seekor jangkrik
Menangis bagai seekor kucing
Siapa yang bisa menebak rasa ini?
Bingkai doa dibalik hujan
Yang rautnya sinar usang
Dalam diam gejolak api di hati melahap jantung
Akulah taburan awan hitam
Yang mencintaimu dalam diam

Aghlan Renovall

“Whuuaa!!!” aku berseru cukup kencang, untung saja tempat parkir ini cukup sepi, sehingga tidak ada seorang pun yang memperhatikan tingkah anehku.
“Oh my god!” seruku lagi sembari mengulang kata terakhir yang tertulis pada lembaran itu. “Aghlan Renovall? Siapa dia?” kali ini si pemilik puisi mencantumkan namanya “dasar picisan!”. Mungkinkah dia mahasiswa juga? Atau sekedar orang iseng? Aku tidak mengenali nama ini, cukup asing rasanya.
Tapi aku harus tahu siapa dia, enak saja membuatku penasaran seperti ini seenaknya.

Tanpa aba-aba aku meraih ponsel di saku celanaku, untuk menelepon Mela.
“Ha, hallo!” aku segera memulai percakapan setelah nada sambung itu menghilang.” Mela! Aku (…)”
“Maaf Hyena, aku lagi ada jam kuliah sekarang, nanti aku telpon balik.”
~tutt ~tutt
Belum sempat aku bicara, dia dengan cepat memutuskan telepon. Damn! Sial! Haruskah aku menunggu sampai dia pulang? Tidak, aku harus cari tahu sendiri.

Sejenak aku terdiam menatap sekeliling, diantara barisan mobil yang berbaris di depanku, seorang dosen cantik dari jurusan praktik bahasa inggris, baru saja keluar dari mobil mewahnya. Dengan cepat aku memutuskan untuk menghampirinya dan bertanya tentang nama pria itu, mungkin saja dia tahu.
“Exuse me miss Lavine,” sapaku, dengan ramahnya dia tersenyum kearahku.
“Iya, Hyena kan?” sapanya kembali dengan bahasa.
“Boleh mengganggu sebentar miss? I want to ask you something”.
“yes, please”
“E, apakah miss mengenal nama pria ini? Mungkin saja dia salah satu mahasiswa di kampus ini.” aku bertanya sembari menunjukkan kertas puisi yang bertuliskan nama itu.
“Aghlan Renovall?” ulangnya
“Iya Miss” Anggukku.
“Ok, waiting a sec.” ucapnya mulai berpikir dengan tatapan kosong.
Beberapa detik dan cukup lama Miss Lavine terdiam.

“Miss tahu?” sapaku membuatnya mengalihkan pandangan kembali kepadaku. “Hm.. Begini Miss, sudah dua minggu terakhir ini aku selalu dikirimkan puisi-puisi, setiap hari. Sebelumnya dia tidak pernah menuliskan namanya, dan ini adalah puisi yang baru saja kutemukan terjatuh dari dalam helmku yang kutinggalkan di tempat parkir ini” Miss Lavine kembali terdiam mencerna penjelasanku.
“Ini pasti orang lain, dengan sengaja menggunakan nama samaran.,”
“Maksud Miss?”
“Iya, pemilik nama itu sudah meninggal empat tahun yang lalu”.
“what?” mataku terbelalak tak percaya, sedangkan raut wajah Miss Lavine benar-benar penuh keseriusan. “Miss tolong jangan bercanda.” tambahku.
“I’m seriously.” jawabnya, dengan raut yang benar-benar meyakinkan. “Itu! Disana,” tunjuknya ke arah jembatan penghubung lantai dua yang terlihat jelas dari posisi kami berdiri. “Dia meninggal setelah jatuh dari atas sana.”
“Innalillahi…” gumamku mengerutkan dahi, “apa maksud orang ini menggunakan namanya.”
“Mungkin dia hanya ingin menakutimu dengan nama itu, yang saya tahu, Pria pemilik nama itu kuliah di bidang sastra, puisi karyanya banyak diabadikan di Maja Pogan (suatu halaman di sebuah majalah sastra yang berisikan puisi kiriman penulis umum terbaik).”
“Di, dia penulis puisi?”
“Iya, sudah jangan dipikirkan lagi. Esok, jika kau dapati lagi puisi seperti itu koleksi saja, atau kirim ke Maja Pogan. hehe”. Tawa Miss Lavine memecah ketegangan, sembari berlalu dari hadapanku.
“Thanks for your information Miss!”. Teriakku padanya. Dia hanya melambaikan tangan tanpa menoleh ke arahku, dengan langkah yang semakin cepat berlalu.

ADVERTISEMENT

“Apa Hyena? Tidak mungkin.” Mela menekan kedua pipinya dengan telapak tangan, tak percaya dengan cerita tentang selembar puisi yang kutemukan kemarin. “Kau tidak takut?” tambah Mela, lalu duduk tepat di sampingku. Saat itu kami berdua tengah berdiri di atas jembatan penghubung antar gedung, yang sempat membuatku cukup penasaran untuk menginjakkan kaki lebih lama di sini.
“Benar, aku mulai takut. Tapi sesuai katamu, tetap berpikir baik.”
“Iya betul! Dan jangan sampai stress gara-gara itu.” godanya.
“Hehe, iya iya”. Jawabku dengan terkekeh.

Pagi yang sedikit mendung. Pukul 09.00 pagi, aku berjalan keluar rumah untuk menunggu angkot di depan, kemarin Vespa bututku sakit lagi, dan baru kuantar ke bengkel. Jadi terpaksa naik angkot. 10 menit menunggu tidak terlihat satu angkot pun yang lewat. Dengan kesal, aku memutuskan menunggu sambil berjalan kaki perlahan.

Damn! Sial! Gerimis mulai merintik, dingin, rambut dan pakaianku sudah tidak teratur lagi bentuknya, aku berjalan dengan kekesalan dengan beberapa kali menghentakkan kaki ke aspal jalan, membuat air yang menggenang berhambur naik. Sejenak aku berhenti melangkah, sebuah mobil Silver berhenti tepat di sampingku dengan tiba-tiba. Kaca gelap di jendela pengemudi mulai turun, dengan usaha keras aku mencoba menebak si pemilik mobil mewah ini.
“Oh my God! Orang kaya?” seru batinku cukup terbelalak melihat wajah tampan dari dalam mobil. Seorang pria berambut cokelat, berkulit putih, yang masih menyembunyikan matanya dibalik kacamata hitam. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan ramah.

“Kamu siapa??” ucapku dengan nada cukup tinggi, sebab gerimis ini semakin deras memecah kesunyian.
“Kamu sengaja jalan kaki, atau menunggu seseorang?!” dia melempar pertanyaan dengan beraninya mengacuhkan pertanyaanku yang terlebih dahulu.
“Angkot!”. Balasku singkat dengan raut kesal.
“Ayo bareng! Kita sekampus.” pintanya
“Aku tidak mengenalmu!” teriakku.
“Arghh! Cerewet” omelnya. Dengan cepat turun dari mobil menarik pergelangan tanganku. Entahlah petir apa yang menyambarku saat itu, jantungku terasa lepas ketika disentuh jemari lembutnya, aku menurut saja. “Terlalu lama di bawah hujan, bisa sakit.” tambahnya menarikku masuk ke dalam mobil. Mobilpun melaju dengan cepat, kami saling diam di dalam bising hujan yang semakin deras.

“Hey! Kamu siapa? Sok peduli? Padahal tidak kenal.” omelku, memulai percakapan.
“Tapi aku mengenalmu!” balasnya.
“Aku tidak!”
“Ya, Ok,”
“Ok apa?”
“Ok, akan aku jelaskan. Namaku Aghlan Renovall, aku yang selalu menuliskan puisi untukmu akhir-akhir ini.”
“Whatt??” kedua mataku membulat seperti bola, mungkin lebih terkejut lagi dari yang kemarin ketika bersama Miss Lavine. Aku terkejut bercampur ketakutan, sembari menjauhkan diri darinya, membungkan mulut dengan telapak tanganku sendiri. Bukankah? Aghlan sudah tiada?.

“Kenapa malah ketakutan?” ucap pria itu bingung.
“Cepat, hentikan mobilmu!” teriakku ingin segera berlari jauh dari dekat pria menakutkan ini.
“Hey! Kau ini kenapa?”
~cyeeetthh~ Ban mobil bergesek keras dengan aspal, sebab pria ini menginjak rem mobilnya terlalu cepat dan keras.
Tanpa aba-aba aku berusaha menarik dan mendorong pintu mobil. Namun DAMN! terkunci.
“A, apa maksudmu? Kumohon keluarkan aku dari sini.” pintaku dengan nada ketakutan.
“Hyena! Ada apa denganmu? Tenangalah…” kini kedua tangannya berada di atas bahuku, sontak aku mematung.
“Jelaskan perlahan kenapa kamu ketakutan melihatku?”
“Bu, bukannya kamu sudah mati?”
“Hahaha…” dia tertawa dengan nada malas. Apa maksudnya? Apakah dia benar-benar hantu?.
“Sudah mati? Ya memang sudah mati” ucapannya lagi-lagi membuatku terbelalak “tapi dia bukan aku.” tambahnya.
“Maksudmu?”
“Eghlan Renovall, itu namanya!. Dia kakakku, meninggal 4 tahun yang lalu. Kamu keliru, namaku Aghlan! Bukan Eghlan.” jelasnya. Membuat bola mataku yang sempat membulat kembali kebentuknya semula.
“Hhuhhhhhh..” aku menarik nafas lega.

~PLAKK!! dan dengan kecepatan tinggi tanganku sontak menamparnya. Dia terkejut, tangan kanannya berada di pipi menahan sakit.
“Kenapa aku ditampar?”
“Kamu harusnya sadar dan tau! Kamu sudah membuat aku sakit, karena setiap hari harus menerima puisimu yang membosankan itu. Satu lagi, kau itu sudah seperti hantu yang membuat aku ketakutan, dan ternyata itu kakakmu yang meninggal itu? (…)”
“Stop! Ok, aku minta maaf. Aku tidak akan mengirimnya lagi. Tapi aku mohon, jadilah temanku ya.” Rayunya dengan raut memohon. “Hey ayolah! Maaf ya.. Kau itu cantik dan manis, tapi akan lebih cantik lagi jika aku dimaafkan. Ok! Deal?”. Rayunya dengan nada menggoda.
“Aishh! Dasar kau. Ok baiklah..” aku memutuskan untuk memaafkan kekonyolannya.
“Yeah! Terimakasihh..” serunya dengan senyum sumringah sembari memutar pandangan ke arah jalan. Mesin mobil kembali menyala dan melaju cepat menuju kampus.

Cerpen Karangan: Lala kayyy
Blog: lalakayyywrote.wordpress.com
Nama asli saya Lala karmila, 19 tahun, asal bengkulu utara, bengkulu. Penulis pemula.
Fb: lala kayy TL
Ig: @lala_cloud
Email: lalakayyy878[-at-]gmail.com

Cerpen Puisi itu Milik Siapa? (Part 1) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Dibalik Tirai Penguasa

Oleh:
“Tom, tunggu saya!” teriak John dengan suara yang lantang “Ayo cepetan! Meetingnya udah mau mulai” balas Thomas Thomas dan John baru saja memakirkan mobilnya di depan lobby kantor dan

Misteri Kakek Berkepala Botak

Oleh:
“Kia sayang, ayo sarapan dulu” seperti biasa, mama sudah menyiapkan sarapanku. “Ya ma” jawabku. Aku segera melahap habis sarapanku lalu pergi ke taman. “Holdie! Holdie!” aku memanggil anjing kecilku

Girl And The Theory

Oleh:
Gadis itu terlihat sangat terburu-buru semenjak memasukki gerbang Starhigh. Ia terus saja berjalan dengan langkah panjangnya dan wajah yang menunduk, hingga -BUKK- Ia menabrak sesuatu yang membuatnya terjatuh ke

Pangeranku Tanpa Sayap

Oleh:
Angin bertiup kencang. Langit kelabu. Daun-daun gugur berhamburan. Pohon-pohon bambu bergoyang. Ada suara seperti memanggil-manggil dari jauh. Tak lama kemudian hilang ditelan angin. Lalu guntur di langit seketika bergemuruh.

Misteri Jasad Dalam Air (Part 2)

Oleh:
Dari sorot matanya, Lazuardi jelas tak suka dengan pertanyaan itu. Namun memandang nenek itu adalah guru spiritualnya sejak dia masih menjadi bromocorah hingga kini dia pensiun karena usia serta

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *