Rahasia Gelap Dibalik Jas Putih

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Misteri
Lolos moderasi pada: 15 October 2023

Di lorong-lorong sunyi Rumah Sakit Jiwa St. Agnes, langkah-langkahku menghantui kesunyian. Sinar matahari senja menyusup masuk melalui jendela besi yang menghasilkan bayangan-bayangan menyeramkan di lantai dingin. Aku Denis, seorang dokter yang telah menghabiskan bertahun-tahun di tempat ini, berusaha memberikan kenyamanan bagi jiwa-jiwa yang retak.

Pandangan penuh empati dan senyum lembutku sering kali memberikan sedikit harapan bagi mereka yang terjebak dalam dunia kegelapan gangguan mental. Namun, di antara kehangatan dan cahaya yang saya coba bawa, tersembunyi kepenasaran yang menggerogoti pikiran saya. Saya selalu ingin memahami, lebih dalam, apa yang menghantui mereka dan memaksa pikiran mereka masuk ke alam yang lebih gelap.

Kasus Amelia, pasien dengan misteri yang membingungkan, telah menjadi fokus perhatianku. Mata keruhnya menyimpan kisah yang belum sepenuhnya terungkap. Namun, aku juga merasa bahwa menggali lebih dalam bisa membuka pintu menuju kebenaran yang mungkin lebih menyeramkan daripada yang aku bayangkan. Meskipun sebagai seorang dokter aku cenderung berpegang pada akal sehat, tetapi keraguan tetap menghantui saat aku mempertimbangkan realitas apa yang mungkin telah melukai Amelia.

Aku mendekati pintu ruangan perawatan Amelia. Berhati-hati, memasuki ruangan dengan harapan dapat menghubungkan jalan pikiran kami. Di sana, Amelia duduk, menatap ke arah yang kosong, mencoba menghindari pandangan yang hanya bisa dia lihat. Aku merasakan aura ketidakpastian yang mengelilingi Amelia dan memutuskan untuk menggunakan pendekatan yang lebih lunak.

Tatapanku bertemu dengan matanya yang penuh rasa curiga dan ketakutan. Aku mengerti bahwa aku tidak bisa memaksakan kepercayaan atau pemahaman kepadanya. Yang bisa kulakukan adalah mendengarkan dengan cermat, mengamatinya dengan seksama, dan mencoba membangun ikatan yang mungkin bisa membantu kami menemukan jalan keluar dari kegelapan yang menghantuinya.

Setiap kata yang keluar dari bibir Amelia terdengar rapuh, seperti keretakan dalam jiwa yang mendalam. “Saya tahu ini terdengar gila, Dok,” Amelia berkata, suaranya gemetar. “Tapi saya tidak gila. Ada sesuatu yang merasuki pikiran saya. Sesuatu yang tak kasat mata, tapi begitu kuat.”

Aku memandangnya dengan penuh perhatian, mencoba menangkap nuansa kebenaran di balik kata-katanya. Sebagai seorang dokter, aku telah melihat berbagai variasi dari kelainan mental, tetapi tidak pernah dalam ukuran ini. Namun, rasa skeptis masih merajai pikiranku. Kugenggam pena dengan erat, mencatat setiap detail yang diceritakan oleh Amelia.

Amelia meneruskan kisahnya, berbicara tentang eksperimen yang ia lakukan untuk berhubungan dengan entitas tak terlihat. Aku merasa semakin terpaku oleh alur ceritanya yang menghanyutkanku ke dalam dunia pikiran dan khayalannya. Tapi masih ada suara-suara dalam diriku yang mencoba untuk menegaskan akal sehat, menolak untuk menerima bahwa sesuatu yang tak terlihat dapat merusak pikiran manusia dengan cara ini.

Setelah obrolan selesai, aku pun pulang karena hari sudah mulai sore. Aku tiba di rumah dan melangkah ke ruang kerja pribadiku. Cahaya senja merenda ruangan, menyoroti buku-buku dan arsip-arsip yang menjajaki perpustakaan pribadi ini. Ruang ini menjadi tempatku merenungkan sejumlah misteri yang kerap datang dalam bentuk cerita pasien, termasuk Amelia.

Aku menemukan laci tersembunyi di tengah arsip yang berantakan. Di dalamnya, terdapat foto orang-orang yang pernah kutemui di Rumah Sakit tempatku bekerja, beberapa foto telah diberi tanda silang merah. Aku memandangnya dengan ekspresi serius, membiarkan mataku melintasi foto-foto itu. Tanda silang merah hanya sebagian kecil dari cerita yang ada di balik mereka.

ADVERTISEMENT

Dalam pikiranku, ingatan tentang pertemuan dengan Amelia masih jelas. Pengakuannya yang membingungkan dan penampilannya yang lemah tak henti berputar di dalam benak. Khawatir terus-menerus menyelinap ke pikiranku, bukan karena khawatir terhadap kesehatan mentalnya, tapi karena sesuatu yang lain.

Aku mengunci laci rahasia itu, menyimpan segala petunjuk di baliknya. Matahari tenggelam dan ruangan menjadi semakin gelap. Aku tahu bahwa ada perjalanan yang harus aku hadapi, baik dalam membantu Amelia atau menghadapi perasaan yang selalu merayap. Dalam situasi ini, benang-benang kebenaran dan rahasia tampak saling terpaut. Aku harus menjaga segalanya agar tetap tersembunyi.

Keesokan harinya, aku kembali ke Rumah Sakit Jiwa St. Agnes. Suasana di sana terasa seperti biasa. Langkah-langkah kaki para pasien dan staf mengisi lorong-lorong sunyi, menciptakan irama yang terasa begitu akrab. Aku memasuki ruang perawatan Amelia dengan harapan bahwa kali ini dia mungkin memiliki jawaban lebih jelas.

“Saya ingin tahu, Amelia,” kataku perlahan, “Apakah Anda sudah menceritakan ini pada orang lain, atau hanya pada saya?”
Amelia menatapku, pandangannya berubah-ubah seolah berusaha menilai kepercayaanku. “Saya hanya bercerita pada Anda, Dok,” jawabnya dengan ragu.

Aku mencatat jawabannya dan meneruskan pertanyaan, “Sejak kapan Anda merasa terpengaruh seperti ini? Adakah peristiwa tertentu yang memicu semuanya?”
Amelia merenung sejenak, bibirnya bergetar sebelum dia berbicara. “Malam ketika saya melakukan percobaan itu, semuanya berubah. Entah bagaimana, saya merasa seperti ada yang selalu mengawasi.”

“Dan apakah Anda punya gambaran mengapa Anda dipilih? Mengapa Anda?” tanyaku lebih lanjut, mencoba mencari kaitan di antara petunjuk-petunjuk yang tersembunyi.
Wajahnya menjadi ragu, “Saya tidak tahu pasti, Dok. Saya merasa seperti saya hanya menjadi alat dalam rencana yang lebih besar.”

Seketika itu, kebenaran tampak menggelayut di antara kata-kata Amelia. Petunjuk-petunjuk yang perlahan terungkap dari setiap jawabannya memberikan gambaran yang mengejutkan. Namun, aku masih perlu menyusun potongan-potongan ini menjadi satu kesatuan yang utuh.

Malamnya, Aku kembali menemui Amelia. lorong-lorong Rumah Sakit Jiwa St. Agnes terlihat gelap dan sepi. Pelan-pelan, aku melangkah menuju ruangan Amelia, langkahku hampir tak terdengar. Ruangan itu hening, hanya terangkat oleh napas terengah-engah Amelia yang duduk sendirian di tempat tidurnya. Aku tahu bahwa sudah saatnya untuk menggerakkan benang-benang permainan yang telah aku rancang.

Aku mendekati Amelia dengan senyum lembut, mencoba menenangkannya. “Saya ingin membantu Anda, Amelia,” ujarku, suaraku penuh dengan keyakinan palsu. “Saya punya cara yang mungkin bisa menghilangkan pengaruh ini.”

Tanganku meraih obat di saku, memberikannya pada Amelia. “Sebelum kita melakukannya, coba minum ini dulu,” kata saya dengan suara lembut, sambil memberikan obat padanya. “Ini adalah obat tambahan yang dapat membuat pikiranmu lebih tenang.”

Amelia meraih obat itu dengan tatapan cemas, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menelannya. Tatapan yang ia berikan mengandung harapan, dan aku melihat betapa ia merindukan bantuan. Namun, keinginannya untuk sembuh juga menjadi kelemahan yang dapat aku manfaatkan.

Ketika obat itu mulai bekerja, aku mengamati dengan penuh perhitungan. Amelia mulai merasa lelah, matanya perlahan-lahan tertutup. Dan di saat itulah aku mulai memakai peralatan yang telah aku siapkan sebelumnya. Menghapus semua barang dan benda yang telah aku pegang dengan selembar kain, walau aku telah menggunakan sarung tangan, tapi aku ingin tetap memastikan semuanya aman.

Setelah melaksanakan rencana dengan Amelia, aku kembali pulang dengan perasaan campur aduk. Dalam ketenangan ruangan kerjaku, aku merenungkan setiap langkah yang telah kulakukan. Aku pergi ke ruangan rahasia, mencoret satu foto dengan spidol berwarna merah. Aku harap ini yang terakhir.

Keesokan harinya, matahari muncul di cakrawala dengan sinar yang cerah. Aku merasa ada ketenangan di udara, meskipun dalam hatiku, ada kegelisahan yang tak terungkap. Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum menghadapi hari yang penuh tantangan.

Namun, panggilan telepon pagi itu membawa berita yang membuat detak jantungku melonjak. “Dokter,” suara perawat terdengar serak di seberang sana, “Saya ingin memberitahumu bahwa pasienmu, Amelia, meninggal semalam. Sepertinya dia keracunan makanan.”

Setelah mendengar berita melalui telepon, aku kaget. “Apa? Amelia meninggal?” suaraku terdengar gemetar, seolah-olah aku terkejut. “Saya akan segera datang ke sana.”

Tatkala aku menutup telepon dengan santai, aku pun menikmati seteguk kopi yang telah kuseduh sebelum akhirnya berangkat.

Sesampainya di Rumah Sakit Jiwa St. Agnes, langkah-langkahku terasa mantap. Aku langsung mencari staf dan perawat yang berhubungan dengan kasus Amelia. Mata mereka terlihat bingung saat aku mendekati mereka, dan aku berusaha mempertahankan ekspresi terkejut.

“Apakah ada yang melihat apa yang terjadi pada Amelia?” tanyaku cepat, mencoba untuk menemukan potongan-potongan yang hilang dalam pertunjukan ini.
Staf dan perawat saling berpandangan, dan setelah beberapa saat, salah satu dari mereka akhirnya berkata, “Maaf, Dok, sepertinya tidak ada yang melihat.”
Aku mengangguk, tapi masih merasa ragu. “Tapi ini aneh. Mengapa kalian yakin bahwa dia keracunan?”
Staff menjawab, “Kami telah memeriksa segala kemungkinan, Dok. Tidak ada yang mencurigakan, tidak ada sidik jari ataupun kejanggalan lainnya yang menandakan adanya penyusup.”

Rasa lega melintas dalam hatiku, seperti satu beban besar yang terangkat. Saksi mata yang aku kawatirkan ternyata menang tidak ada. Ditambah lagi aku sangat tahu betul dimana saja CCTV dipasang.

Kemudian, salah seorang dari perawat itu mulai berbicara dengan nada merenung, “Anda tahu, Dok, ada empat pasien yang telah meninggal dengan cara yang sama. Dan yang menarik, mereka semua memiliki satu ciri yang sama.”
Aku berpura-pura tidak tahu, meskipun dalam hati, aku sudah menduga arah pembicaraan ini. “Apa itu?” tanyaku dengan ketertarikan yang tulus.
“Mereka sering berkata bahwa mereka tidak gila,” lanjutnya, dan dalam sekejap, keseluruhan pertunjukan ini menjadi semakin menarik. Dan utuk ke 4x nya mereka akan menginterogasi juru masak yang tak berdosa.

Cerpen Karangan: Nan
Facebook: facebook.com/nan.phtml

Cerpen Rahasia Gelap Dibalik Jas Putih merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Mata Yang Sama

Oleh:
Pagi itu, aku datang dengan terburu-buru. Sampai di kelas, aku buka pintu yang tertutup rapat itu. Dan… BOOOM. Kelas masih kosong. Ah sial, ku pikir sudah terlambat, begitu kiranya

Rumah Tua Itu (Part 3)

Oleh:
Wanita itu berjalan mendekatiku dan mengelus-elus pipiku. Perasaanku semakin aneh ketika dia mendekatkan wajahnya ke wajahku dan menatapku dengan tatapan manja. “Nama kamu Aldi kan?” Aku tidak menjawab. “Kamu

Megalomania

Oleh:
Semua orang itu bodoh. Mereka tidak tahu apa-apa dan mereka sukanya menilai orang. Mereka tidak tahu apa-apa tentangku dan mereka sudah membenciku. Kecuali dia. Jessica, dia adalah segalanya bagiku.

Sahabat Cuek

Oleh:
“Hahaha!” aku tertawa riang saat bermain kejar-kejaran bersama sahabatku, Elly. Dia adalah sahabat terbaikku selamanya! Namaku Ani, sejak kecil aku sudah sangat akrab dengannya karena kami ini tetangga dekat.

Aku Yang Lain

Oleh:
Aku berumur 14 tahun. Aku duduk di kelas 3 SMP. Aku tidak tau sejak kapan keanehan ini dimulai, tetapi beberapa hari ini seperti ada orang yang membuat kehidupanku terbagi

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *