Menjemput Impian yang Tertunda

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Motivasi, Cerpen Pengalaman Pribadi
Lolos moderasi pada: 14 August 2015

“IMPIAN” hatiku tertegun jika berbicara mengenai hal yang satu ini, takutnya setengah mati jika membicarakannya apalagi melihat kenyataannya yang sungguh mengerikan bagiku. IMPIAN yang selama ini aku punya dan hampir seluruh jiwaku dibuatnya merana, karena ia tak kunjung berubah menjadi kenyataan dan malah dengan setianya hanya menjadi seonggok impian yang hanya tersimpan di otakku saja.

Masa kecilku ditemani dengan sejuta impian, mungkin judul sebuah buku “Sang Pemimpi” milik penulis favoritku ADREA HIRATA tepat dengan diriku. Sebuah impian yang lahir dari seorang perempuan kecil yang berasal dari sebuah kampung terpencil, di sebelah utara Tapanuli, Sumatera Utara, tepatnya di suatu desa sederhana namanya adalah Borbor ya, borbor dan mungkin letak desaku ini tidak akan anda temui di google maps heheheh.

Namanya yang begitu unik yang belum pernah aku dengar dari sekian juta nama di muka bumi ini, akan tetapi itulah desaku, tanah kelahiranku, desa yang jauh dari kebisingan kota, desa yang begitu nyaman dan desa itu juga ikut andil dalam melahirkan anak-anak bangsa Indonesia dengan berjuta impian yang mereka bawa dan mungkin salah satunya adalah aku, yaaa aku.

Hanya saja aku tidak seberuntung mereka, yang punya impian yang sama dan lambat laun aku turut menyaksikan mimpi mereka sudah menjadi sesuatu yang nyata. Tidak seperti mimpiku yang asyik menggantung dan hanya menjadi bayang-bayang di hidupku. Impian yang terus melekat dan mengikutiku seolah tidak mau pergi sebelum ia berubah menjadi sesuatu.

Andai aku bisa berlari memutar waktu, mengulangnya kembali maka aku akan memperbaikinya semampuku. Tapi apa dayaku? Semua diluar kekuatanku, semua di luar batas kemampuanku. Tetapi betapa sadarnya aku ada yang lebih tahu semua tentang impianku dan ia menyaksikan semua impian–impianku yang akhir–akhir ini mulai kabur bahkan mungkin sudah mulai berlalu.

Mengecap bangku kuliah memang sempat kurasakan dan seperti teman-teman lainnya, aku sangat senang dan sangat bergairah menjalani awal-awal masa pekuliahanku itu, meskipun pada akhirnya aku tidak lulus ke universitas negeri di kotaku. Tetapi yang kurasakan saat itu adalah semangat yang meluap–luap, dengan semangat 45, atau mungkin jika ada satu tingkat lagi diatas semangat 45 mungkin itulah semangatku waktu itu.

Waktu terus berjalan seperti biasanya, seolah tidak peduli denganku. Waktu yang berlari begitu jauh dan tampakknya begitu enggan menoleh kepadaku yang masih tetap diam di tempatku. Dan pada awal memasuki semester II perkuliahanku, semua mulai berubah harapanku mulai pudar, impianku mulai buyar dan semangat 45 yang sempat kumiliki perlahan–lahan menipis bahkan berhasil menghantarkan aku ke titik terendah dalam hidupku.

Hari-hariku berubah kelam, mentari seolah enggan memperlihatkan wajahnya dan bulan pun seakan tidak mau muncul di hadapanku, bahkan bintang pun terlihat begitu kejam ikut serta menyempurnakan kesedihan yang kualami. Ya itulah yang keadaanku saat itu.

Semua mimpi yang aku bina dari sejak kecilku seolah direnggut oleh ketidakadilan, aku hanya bisa menyalahkan diriku, keadaanku, dan menyalahkan sang waktu yang tidak pernah berpihak padaku. Dan sampailah di satu hari, ketika aku mengetahui bahwa sosok yang aku sayangi dan sosok yang selama ini aku banggakan itu harus terkulai lemah dan seolah tak berdaya lagi mendampingiku untuk mewujudkan semua impianku dan itulah pelengkap kerapuhanku.

Tanpa sadar tetes–tetes air bening yang selalu keluar dari mata indahku berubah menjadi teman setia yang menemani hari–hariku, seolah–olah dia ikut meratapi semua kalut dalam hatiku. Dan akhirnya aku memutuskan untuk mulai mencari sebuah pekerjaan, setidaknya meringankan sedikit beban yang selama ini hanya bertengger di pundak ayahku dan ibuku, walaupun aku sadar semua usahaku itu tidak akan memberikan pengaruh yang berarti namun aku tetap melakoninya.

ADVERTISEMENT

Dan akhirnya aku pun diterima bekerja di sebuah supermarket di daerah jl. suparman Medan. Dari mulai pukul 09.00 s/d 17.00 sore dan aku sangat bersyukur mendapat pekerjaan itu. Pagi sampai sore aku bekerja dan malamnya aku masuk kuliah, beruntung sekali di tempat aku kuliah, ada kelas karyawannya, walau sering sekali aku ketinggalan mata kuliah tetapi itu tak menghalangiku untuk tetap bekerja.

Waktu pun terus berjalan dan masih tetap sama seperti biasanya ia tidak mau menungguku ia berlari begitu saja tanpa menghiraukan aku yang sedang tertatih mengejarnya, tak terasa masa trainingku pun berakhir dan itu artinya aku diterima menjadi salah satu karyawan tetap di supermarket yang terbilang elit di kota ku itu.

Hari-hari tetap aku jalani seperti biasa dan hampir tidak berbeda dari hari sebelumnya. Saban hari menggeluti hal yang sama, pagi hari diisi dengan bekerja dan malamnya aku menjalani kuliah, melelahkan sekali. Tetapi aku tetap bersemangat.

Pada satu sore setelah seharian bekerja jam pun menunjukkan pukul 17.00 wib itu artinya akan segera pulang kerja dan entah mengapa tubuhku rasanya begitu lemas sekali terasa sekali tenaga ini terkuras habis setelah bekerja seharian dan aku memutuskan tidak masuk kuliah malam itu, setelah sampai ke kamar kostku, aku langsung merebahkan tubuhku dan berharap mendapatkan satu kesegaran setelahnya.

Pada saat aku sedang menikmati istirahatku yang sangat berarti itu, tiba-tiba seluruh perhatianku dialihkan oleh suara bising ternyata ponsel jadulku berbunyi, dengan tanganku aku mulai meraih ponselku yang tergeletak di sudut tempat tidurku. Hatiku bertanya–tanya siapa gerangan yang berani menggangu istirahatku sore itu, dengan mata yang sedikit berat karena menahan rasa kantuk, aku melirik ponselku, aku tertegun saat aku tahu yang menghubungiku sore itu adalah ibuku, rasa cape dan kantuk yang tadinya sempat menghinggapiku, hilang dalam sekejap saat aku mendengar suara lembutnya mulai mendarat di telingaku, aku sangat rindu sekali pada wanita suci itu.

Aku mulai menyimak semua kalimat yang diucapkanya, dengan seksama aku coba mengerti setiap kata yang dikatakannya padaku tubuhku mulai kaku, bibirku kelu dan mulutku diam seribu bahasa dan tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Tetapi aku mencoba tenang dan mulai menghibur diriku dan ternyata itulah awal dari semuanya, pikiranku berkecamuk, karena malam itu juga aku harus memutuskan satu keputusan yang jelas-jelas bertentangan dengan semua yang kuharapakan.

Kalimat ibuku kembali terngiang di telingaku. Kalimat sederhana yang sarat makna.

“nak, mamak gak mampu sendiri boleh tidak mamak bagi sedikit beban ini padamu”

Dengan logat batak yang sangat kental ibuku mengucapkan kalimat itu dan dengan hati yang sedikit lega aku memutuskan untuk menemani wanita tulus itu tak tega rasanya hati ini menolak semua permintaan wanita suci itu, aku sangat mengaguminya andai kata malaikat dapat kusejajarkan dengannya, ya itulah “wanita tegar yang pernah kukenal”

Dan dengan mantap aku memutuskan berhenti dari pekerjaanku, dengan sedikit berat kulangkahkan kakiku meninggalkan pekerjaanku dan kuliahku dan mulai melupakan setiap impian-impianku yang terlalu tinggi dan terbilang tidak masuk akal, mimpi yang sudah pernah kurajut dan kususun sangat rapi di benakku dan yang kupikirkan saat itu hanyalah.

“Kesehatan ayahku dan kebahagiaan ibuku walau aku tahu betul kalau wanita itu tidak bahagia melihat anak bungsunya harus menghentikan pendidikannya, aku tahu dia sangat tersiksa sebelum ia meminta itu kepadaku. Tetapi tak sedikitpun terbersit di benakku menambah kepedihan hatinya.

Hari berganti hari dan seperti biasanya sang waktu telah pergi jauh dan dengan gesit berlalu meninggalkanku yang sedang merajut asa, semua kulalui dengan ikhlas hati dan mulai mencurahkan seluruh perhatianku sepenuhnya kepada sosok yang kukagumi itu, satu pribadi yang tidak pernah menyakitiku ya, dia ayahku.

Satu tahun sudah aku menemaninya, tiap malam aku dan ibuku melaluinya dengan rasa takut, takut kehilangan ayahku malam itu tetapi Tuhan masih memberikan dia kesempatan hidup walaupun tidak begitu panjang dan akhirnya tepat hari kamis sore hari di tanggal 14 april 2008 ayahku menghembuskan napas terakhirnya, seolah tidak percaya karena hari itu dia begitu tampak sehat.

Di hari terakhirnya itu aku dipaksa untuk bernyanyi sebelum dia meninggal, aku tidak punya firasat sedikitpun, ternyata salah satu lagu kesukaanya yang sempat kulantunkan di sampingnya menghantarnya kepada ketenangan abadi, duniaku serasa berhenti, aku ingin meraung tetapi air mataku sulit rasanya untuk menetes tidak tahu mengapa tapi yang jelas tenggorokanku sakit sekali dan ternyata setelah kusadar air mataku sudah mulai mengering mungkin karena sering menangis.

Dan hujan pun turun mengguyur desaku sore itu, seakan–akan ikut meratapi kepergiannya. Pikiranku mulai buyar semangatku kembali sirna. Yang ada di benakku hanya satu “Tuhan tidak adil padaku dan aku merasa Tuhan juga ikut pergi meninggalkanku, tetapi apa dayaku aku hanyalah seonggok daging yang tak mampu merubah kuasaNYA,”

Aku belajar ikhlas walau sangat berat bagiku untuk jauh darinya, perpisahan memang menyebalkan. Aku hanya bisa berdoa dan meratapi kepergiannya dan berharap Tuhan memberikanku satu kekuatan dari sisa–sisa kekuatanku untuk tetap bertahan mengahadapi hal–hal yang tidak bisa kuubah dengan tanganku yang lemah ini.

Selang berjalannya waktu aku kembali mencoba menapaki kehidupanku, kembali kulangkahkan kakiku yang sempat terhenti rasanya ingin masuk ke dalam mimpi dan tinggal di sana selamanya, tetapi aku tidak bisa mengelaknya inilah hidup, hidup dalam kenyataan bukan dalam bayang–bayang dan dengan kepala yang terangkat aku mulai mengumpulkan sisa–sisa kekuatanku dan kembali merapikan puing–puing semangatku yang sudah berantakan dan nyaris tak bersisa, tetapi dengan dukungan ibuku aku mampu melewati semua badai dalam hidupku, meskipun dalam waktu yang lama aku berada dalam lubang keterpurukan, benar kata ibuku dunia ini memang lembah air mata.

Rumitnya kisah hidup yang mampu menghantarkanku kepada satu ketegaran dan aku sadari Tuhan begitu mengasihiku dan masih tetap bersamaku, hanya saja aku tdak pernah sadar akan keberadaanya yang sangat luar biasa dan itulah alasan mengapa aku masih tetap berdiri hingga sekarang dan tetap berani hidup dan andai saja seisi laut adalah tinta dan seluruh cakrawala adalah kertasnya, itu semua tidak akan mampu melukiskan betapa dalamnya, tingginya dan luasnya kasih sayang Tuhan dalam hidupku.

Kalau mungkin tidak ada Tuhan mungkin aku sudah berada dalam barisan orang–orang yang putus asa dan tak berpengharapan, di lembah keterpurukanku sekalipun Dia tetap menunjukkan cintaNya. Dan kasihNya itu mampu merubah cara pandangku tentang “arti kehidupan”.

Kaki harus terus berjalan dan berlari bila perlu, selamat bertemu kembali denganmu, “hai impianku yang sempat tertunda,”

Aku kembali lagi menata impianku aku tidak akan membiarkannya terkubur dan sampai membusuk, impianku harus kuperjuangkan kembali, tidak akan kulepas lagi, banyak hal yang harus kupertaruhkan untuk semua impianku dan inilah pandanganku tentang IMPIAN.

• Impian, jika hanya dipendam saja itu hanya menjadi lamunan di siang bolong yang tidak akan pernah berubah menjadi apapun jika aku tidak berani memulainya.
• Impian, jika tidak dipertahankan atau diperjuangkan ia hanya akan menjadi timbunan-timbunan dari pikiran yang tidak jelas kemana akan bermuara.
• Impian, jika hanya berpangku tangan ia akan berubah jadi kenyataan dari “mimpi burukmu” selama ini.

Aku mulai mengerjakan impianku, mungkin dengan berani “menulis” ini aku sudah memulai langkah awalku untuk meraih semua mimpi-mimpiku, kejar terus impianmu, tidak peduli mimpimu kecil ataupun besar yang terpenting adalah beranilah “mengerjakan mimpimu itu, jangan berhenti, sampai impianmu menjadi “SESUATU”. Jangan tunggu, segeralah, KERJAKANLAH IMPIANMU.

Cerpen Karangan: Pestauli. Pangaribuan
Facebook: Pesta Pangaribuan
Terkadang banyak hal yang tidak bisa diucapkan dengan mulut ini, tetapi dengan menulis semua pengalaman ini, mampu mewakili semua apa yang kualami dalam hidupku. Ini kisahku.
Salam penulis

Cerpen Menjemput Impian yang Tertunda merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Impian Anak Pemulung

Oleh:
“pak ni minum dulu” aku menyodorkan minum untuk bapaknya yang sedang asik meremukan kaleng-kaleng bekas yang kami cari. Bapak menerima minuman yang ku sodorkan tanpa berkata-kata. Mungkin karena bapak

Touch The Sky

Oleh:
Kalau bukan tekad yang kuat, apalagi yang bisa mendorong kita untuk bangkit setelah jatuh? Kawan, itu adalah motto hidupku. Jika aku tidak memiliki sesuatu yang disebut tekad, aku tidak

Tak Disangka

Oleh:
Di sebuah kota besar yang berada di antara benua asia dan Australia,pada pagi hari seperti biasa seorang pekerja serabutan berangkat dengan gesit langsung memenuhi kewajibanya sebagai seorang kepala keluarga

Mimpi Berto

Oleh:
Pada Suatu malam di sebuah kampung terpencil di ujung timur Indonesia, hiduplah seorang anak kecil yang bercita-cita menjadi seorang pemain sepakbola. Ia adalah Berto, remaja muda yang berasal dari

Perjuangan Kehidupan

Oleh:
Kini hidup ku yang tentunya serba bingung. yang ketika aku ada pengumuman Kelulusan SMP memasuki SMA, yang aku ingin kan berencana untuk memilih SMAN, tetapi sayang dengan hasil nilai

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

One response to “Menjemput Impian yang Tertunda”

  1. Febi says:

    Analisis nilai agama nya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *