Tulus Samar
Cerpen Karangan: Suci ArianiKategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Galau, Cerpen Motivasi
Lolos moderasi pada: 19 August 2016
Kali ini embun menyergap hebat dengan ribuan pasukan yang halangi pandangan luar jendela kamar. Ciptakan tetes demi tetes dari kaca transparan tepat di depan mata. Seperti kita. Mungkin tetes itu adalah aku dan pemandangan yang terhalang embun adalah kau, sedangkan jendela kaca transparan adalah takdir. Aku yang mencoba menembusmu, menembus sesak setiap kali rindu menyergap. Berlari membawa luka hingga berhasil dan tiba di depan matamu. Walau selalu tak pernah mencapai dirimu. Tak pernah mencapai dasar hatimu karena takdir yang hanya izinkan aku sebagai pihak yang mengejarmu. Mungkin. Mungkin saja.
Embun semakin samarkan pandangan luar kamar. Kuputuskan untuk keluar menikmati dingin yang semakin menusuk. Syal coklat membelit manis leher dengan mantel tebal agar terasa lebih hangat meski sebenarnya tak memberi efek samping untuk menghangatkan hati dan mengobati luka.
Suasana sore itu memang menyerangku dengan dingin yang membatu. Tak apa. Tak masalah bagiku karena melebihi itu pun dingin di hati inilah yang sebenarnya sudah membatu. Embun melesat indah memasuki rongga tenggorokan meluncur mengalahkan perih dan rasa sakit. Aku menikmati. Benar-benar menghibur meski yang kulakukan hanya menutup mata membiarkan embun menempel di kelopakku.
BBYYYUURRR..
Mengagetkanku. Apa itu? Suara batu? Terlalu besar mungkin batu itu. Mungkin ada seorang yang menceburkan batu ke danau dekat taman ini atau seorang anak yang bermain di danau.
Kembali aku menutup mata menyibukan diri bersama sekeping kenangan. Juga menyibukan diri seakan tak mendengar gemericik air yang terus-menerus mengganggu. Ah.. Kali ini tak bisa. Aku menyerah. Tak jauh dari taman ini memang ada danau kecil tapi yang ku tau tak banyak orang yang mendekati danau itu. Terlebih karena tak banyak yang tau danau kecil itu.
“Hey ! Apa yang kau lakukan?” teriakku menangkap tubuh seorang yang tertimpa kursi roda di bibir danau. Aku menegakan kursi rodanya sebagaimana posisi seharusnya. Dan mengangkat tubuhnya yang basah ke kursi roda. Dia hanya diam dengan sesekali tersenyum kecil. Semakin dingin, terlebih karena sepatu sneakersku terkena air danau.
“Kau baik saja?” tanyaku setelah ia terduduk di kursi bantunya.
Senyum khas dan anggukan pelan menghiasi wajahnya.
Baiklah kurasa kau akan baik saja disini. Aku membalikan badan melangkah meninggalkan danau itu.
“Kau tak ingin menikmati suasana tepi danau?” suaranya menghentikan langkahku. Aku kira dia tunawicara.
“Tidak” aku menoleh sejenak.
“Jika kau punya masalah katakan saja dalam hati, di tepi danau ini angin dan arus air akan membawanya”. Aku menoleh sepenuhnya melangkah lagi mendekatinya.
Ucapannya benar-benar mampu membuat langkahku kembali.
“Yaa aku bisa melihatnya”. Ia mendongakan kepala karena kursi roda yang rendah dengan mata kecilnya yang seperti ikut tersenyum.
“Kau merindukan seseorang?” tanyanya lirih
“Ya…” jawabku singkat. Bukan ingin menjawab dengan singkat, tepatnya tak dapat menjelaskan lebih jauh. Tak sanggup.
“Mengapa tidak temui saja?”
“Dia tak ingin melihatku lagi. Sayangnya dia tidak merindukanku sebagaimana aku”
“Kau mencintainya?” tembaknya.
“Sangat”. Jawabku pasti.
“Lalu apa masalahnya?” ia mengerutkan kening.
“Dia tidak mencintaiku lagi. Sedang aku, selalu mengejar dia yang semakin jauh. Terlalu jauh bahkan”. Aku menatap sendu ke ujung danau.
“Kau ingin bersamanya?”. Sontak aku menatapnya heran.
“Tentu”. Pertanyaan macam apa itu.
“Kau yang salah menanggapi perasaanmu. Jika kau mengerti arti tulus yang sebenarnya kau tak akan merasa sakit. Dan kau hanya akan menikmati setiap rindu yang datang. Kau mencintainya. Lalu apa lagi? Bukankah itu yang terpenting? Kau memilikinya di dalam hatimu bukan?”
Aku diam.
Orang ini aneh. Aneh karena baru bertemu sekitar 10 menit lalu, bahkan aku tidak mengenalnya. Apa yang dikatakannya benar. Hanya saja aku yang terlalu sulit menerima kebenaran itu.
“Kau pernah jatuh cinta?” kali ini aku yang bertanya. Setidaknya ia harus sudah merasakan sebelum menyadarkanku mengenai tulus yang samar.
“Pernah” ia tersenyum lebar.
“Lalu?”
“Dia pergi meninggalkanku bersama pilihannya. Terlebih karena keadaanku saat ini”. Ia berkata dengan senyum kecil.
Damai sekali tampaknya. Aku iri padanya.
“Waktu itu. Aku melihatnya berkhianat di depan mataku. Aku berlari sambil menangis, naasnya aku tak melihat mobil yang melaju saat melintasi jalan. Karena aku terlalu sibuk dengan rasa sakitku hingga tak mempedulikan diri sendiri”. Kilau matanya menggambar perih.
Aku merasa melukainya.
“Maaf…”. Aku gugup
“Tak apa”
“Berdamailah dengan dirimu sendiri. Jangan biarkan rasa sakit mengambil alih seluruh keadaan. Suatu saat, jika kau beruntung maka ia akan sadar. Namun jadilah berharga. Jangan izinkan dia menyakitimu” lanjutnya. Ia menggerakan dua roda besar di kursi itu. Berbalik dan meninggalkanku bersama penyesalan. Penyesalan karena aku tak bisa setangguh dirinya.
Embun semakin penuhi suasana tepi danau. Menusuk dingin hingga ke tulang. Kembali aku menikmati titik demi titik mendarat di kelopakku. Ada sasuatu yang memasuki diri. Menjalar ke dasar jiwa, mencari akar rasa sakit dan merenggutnya habis. Tak tersisa. Dingin tak lagi berbalut sesak. Aku bagai diriku sendiri. Sebelum menemukanmu. Sebelum mengenal luka. Setiap udara melesat indah memasuki tenggorokan dan kuhembuskan sebagai suatu nuansa baru. Terimakasih luka melukis pelajaran dalam perih.
Hey… Aku belum bertanya nama gadis itu siapa!
Tamat
Cerpen Karangan: Suci Ariani
Facebook: Sucy Ariani
Cerpen Tulus Samar merupakan cerita pendek karangan Suci Ariani, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Entah
Oleh: Vid AuliaIsak tangis mewarnai pemakaman siang itu. Di samping kuburan baru itu, berdiri seorang pria tanpa isak tangis yang mempengaruhinya. Saat semua orang berlalu dari hadapannya tinggalah dia seorang diri.
Musuhku Sahabatku Sendiri
Oleh: Edi Suliswanto“Sekarang biarkan aku yang pergi” celetuk riana yang memang sudah jengkel dengan kelakuan fikri “oke, kalau itu maumu” jawab fikri dengan nada tinggi Suasana menjadi tegang, pertengkaran keduanya tak
Egois
Oleh: Yuli Ayu AgustinAyesa Reinata, gadis berusia enam belas tahun itu memasuki ruang kelas barunya dengan kaku, seolah kakinya ditahan oleh talian godam. Sudah dua hari ini dia berada dalam sekolah barunya
Tentang Viana
Oleh: Nizahsy LubisSemilir angin datang berhembus, menerbangkan lembut rambut gadis jelita yang tidak jauh dari hadapanku. Tawanya yang bisa membuat pikiranku tak pernah lepas dari dirinya. Senyumnya, sifat ramah tamahnya yang
Bunga Terakhir (Part 2)
Oleh: Nawang Sari IndahSiang ini setelah pelajaran aku segera keluar kelas dan mencari Alsa, ternyata dia belum keluar kelas, akupun kekantin dulu untuk membelikannya minum, dan menunggunya di depan kelasnya. Setelah dia
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply