Generasi Tua Itu

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Nasionalisme
Lolos moderasi pada: 12 December 2020

Sisa hujan pagi tadi masih terasa di pucuk-pucuk daun kamboja dan melati, mengaburkan wangi tanah dan bunga-bunga yang ditabur di atasnya. Telat, orang-orang desa sudah kembali menuju rutinitas masing-masing, meninggalkan formalitas mengubur tetangga yang tadi mereka lakukan hanya agar tak mendapat dosa.

Pemakaman kini sepi, tak ada satupun yang tersisa disana selain beberapa petugas yang membawa cangkul dan keranda, tetapi mereka hanya berlalu sambil melirik Ara dengan acuh. Hal seperti ini sudah dapat dinalarkan Ara, sebab tak ada satupun orang di desa ini yang mengenal Pak Darmo selain dirinya. Pelan-pelan gadis berseragam pramuka itu mendekati makam Pak Darmo yang masih basah dan harum, seolah megingatkan semua kebaikan Pak Darmo yang tak pernah ia katakan dan perlihatkan saat masih muda dulu, sebelum ia tua dan rapuh. Gadis itu menunduk, lalu menaburkan bunga dengan mata yang kian sembab.

Ara menjumput segenggam tanah makam lalu menaburkannya lagi, pikiran lintas waktu berlarian dalam kepalanya. Samar-samar dibayangkannya pakaian Pak Darmo yang berwarna putih kekuningan. Lalu, senyum pria tua itu saat Ara tak sengaja masuk ke kebun dan melihatnya mengelap sebuah senapan tua yang sering ia bawa berjalan kaki mengelilingi desa.

“Ara ya?” Suara Pak Darmo begitu serak, mungkin karena rokok kretek favoritnya kini mulai menggerogoti jantung dan tenggorokan, melakukan pengkhianatan. Ara mengangguk dan mendekat, seragam putih birunya sedikit kotor terkena ilalang lebat di kebun belakang Pak Darmo. Ia kini duduk tepat disamping Pak Darmo sambil menopang dagu, menatap wajah tua Pak Darmo yang masih terlihat segar.

Pria tua itu sudah bertahun-tahun tinggal di desa, namun tak ada satupun yang mau mendengarnya bicara. Bahkan para ibu sering menakut-nakuti anaknya saat ia lewat, bagi mereka Pak Darmo tak lebih dari orang gila yang menggunakan pakaian militer tiap Senin dan membawa senapan tanpa peluru. Tetapi bagi Ara, Pak Darmo ialah pejuang sesungguhnya yang hanya ingin bernostalgia, mengingat masa-masa jayanya dan merasakan detak nasionalisme dalam nadinya.

Ara paham mengapa Pak Darmo berusaha mengais keping-keping kebahagiaan sekaligus kebanggaan yang ia punya. Hanya satu alasan, yaitu tak ada lagi yang bisa diharapkan seseorang tanpa sanak keluarga selain dirinya sediri. “Ara mau mendengar cerita saya?” Gadis yang dipanggil mengangguk semangat. Ia menunggu tiap kata yang keluar dari bibir Pak Darmo, walaupun sesekali terjeda batuk dan helaan nafas panjang.

Rintik hujan jatuh lagi, rupanya langit kini ingin ikut bersedih. Baiklah, Ara mulai berdiri dan beranjak pulang. Ia tak peduli walaupun banyak orang melihat ke arahnya keheranan. Beberapa bertanya terang-terangan, “Kamu cucunya Darmo?” dan Ara menanggapinya dengan anggukan, lebih dari itu, ada Darmo dalam dirinya. Ah, andai saja Ara diberi kesempatan untuk bisa berbicara sebentar saja, ia ingin menjelaskan kepada semua orang bahwa Pak Darmo begitu berjasa bagi mereka, tanpa pria tua itu, hanya akan ada hutan lebat, tak ada tempat aman bagi mereka untuk tinggal dan bekerja. Tapi selayaknya manusia biasa, orang-orang hanya menilai apa yang mereka lihat. Dan dalam kehidupan, ada banyak Darmo yang teracuhkan di sudut-sudut rumah, seperti juga ada banyak pejuang yang perlu diperjuangkan masa senjanya oleh generasi penerusnya.

Cerpen Karangan: Annisa Kusumawardani
Blog: cupofrainydays.wordpress.com

Cerpen Generasi Tua Itu merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Akan Kuhapus Air Matamu, Ibu

Oleh:
Awan putih menggumpal bergerak sedikit demi sedikit di bawah selembar langit luas berwarna biru cerah. Aku terduduk di atas kasurku dengan kepala menoleh keluar menatap ke langit indah ciptaan

Bahagia

Oleh:
“Bahagia itu ketika kau tahu indahnya negerimu ini.” Namaku Yudha, lebih tepatnya Syudha Bahroni. Aku murid kelas IX di salah satu MTS di Yogyakarta. Selama 3 tahun aku menyandang

Mereka Kembali Lagi

Oleh:
Aku duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu dengan secangkir kopi yang menemaniku. Suara burung berkicauan membuat suasana menjadi nyaman dan tentram. Terlihat Jumali tetangga disamping rumah sudah

Korban

Oleh:
Seorang pria tua duduk sendirian memandangi jalanan kota yang ramai. Matanya berbinar menyaksikan lalu lalang orang-orang yang tengah disibukkan dengan berbagai kepentingannya. Ada yang bercakap-cakap dalam keriuhan, tawar menawar

The Light

Oleh:
– Cahaya negeri ini adalah kita – “Peringatan HUT RI yang ke-70 tahun ini kenapa begitu sepi? Tidak meriah seperti tahun lalu.” “Pada sibuk mungkin.” “Sibuk? Tapi setiap tanggal

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *