Hujan Dan Air Mata (Part 1)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Dalam Hati (Terpendam), Cerpen Patah Hati
Lolos moderasi pada: 21 April 2016

Aku suka jika hujan turun. Karena aku selalu ingat, ketika hujan turun aku bisa menghabiskan waktu hingga dua jam hanya berdua denganmu saja. Aku ingat, ketika hujan turun, kau selalu menunggu jemputanmu tiba, begitu juga denganku. Entah kenapa, jemputanku dan jemputanmu selalu datang paling akhir dibanding anak-anak lain. Saat kita menunggu bersama, sering kali hujan turun. Aku tahu betul kebiasaanmu ketika hujan turun. Kau hampir selalu menengadahkan kedua tanganmu di bawah tetesan air dari atap sekolah. Lalu kau akan usil mencipratkannya padaku, dan jika aku membalasmu kau selalu saja ngambek.

Atau, kau selalu menyobek halaman tengah buku tulismu. Lalu melipat kertas itu hingga membentuk perahu. Lalu kau menghanyutkannya pada selokan di depan kita. Ka terus menatap perahu itu berlayar hingga menghilang dari hadapan kita. Aku suka jika hujan turun. Karena sering kali ketika kau mengerjakan tugas di rumahku yang hanya berjarak empat rumah dengan rumahmu, hujan sering kali turun, menghambat kepulanganmu. Saat itulah kau lebih banyak mengeluarkan suaramu dibanding saat di sekolah. Kau ceritakan segala hal padaku. Dan saat itulah aku semakin mengenal dirimu.

Juli 2015
Sejak setengah enam tadi matahari bermalas-malasan, hingga detik ini ia tak juga muncul. Kelabu, itu adalah warna yang mendominasi langit pagi ini. Aku masih berdiri tegak, menatap beberapa jenis bunga yang tumbuh subur di taman rumah sakit ini. Entah sudah berapa lama, mungkin sudah hampir satu jam. Di belakangku, aku tahu kau tengah duduk sambil menatapku, aku bisa merasakan itu. Namun sejak tadi kau sama sepertiku, hanya diam. Aku tak tahu harus berkata apa denganmu, karena terlalu lama aku menjauh darimu hingga canggung hadir di dalam jiwaku saat ini. Seolah aku baru saja bertemu dengan seseorang yang sekali pun belum pernah bertemu denganku.

Mengapa kau tak mengatakan sesuatu padaku? Marahkah kau padaku karena selama ini aku menghindarimu? Atau mungkin kau takut karena kau berpikir bahwa justru akulah yang marah padamu sehingga membuatku menjauh darimu?
“Kenapa, sejak tadi langitnya mendung terus ya?” Tanyamu tiba-tiba.
Aku melirikmu. Ku lihat kau tengah menatap langit yang diselimuti gumpalan awan kelabu.
“Mendung terus, tapi kenapa nggak hujan-hujan ya?” Tanyamu lagi.
Aku tak menanggapi pertanyaanmu, karena aku tak tahu mesti berkata apa.
“Aku pengen deh, sekarang hujan turun. Rasanya udah lama banget nggak hujan-hujanan kayak dulu.”
Aku tetap diam. Semenit berlalu, aku tak lagi mendengar ocehanmu. Bisu kembali menyelimuti kita.

Juni 2014
Aku ingat kejadian sore itu, ketika langit mengutus gerimis untuk turun ke bumi. Hari dimana untuk pertama kalinya aku menolak permintaanmu. Hari dimana aku melihat ada yang beda darimu. “Steven!” Seseorang memanggilku, ketika aku hendak pergi ke ruang ganti. Aku enggan berhenti, karena ku tahu itu pasti dirimu. Aku hafal betul suaramu.
“Stev! Tunggu.” Ku dengar kau memanggilku lagi, memintaku untuk berhenti melangkah. Namun aku terus saja melangkah. Tiba-tiba sebuah ide datang di otakku. Segera ku ambil headset di dalam tasku, lalu ku sumbat kedua kupingku dengan headset itu. Ujung headset itu ku masukkan ke dalam saku celanaku. Berlagak tengah mendengarkan musik, walau ujung headset itu tak ku hubungkan pada port handphone-ku.

“Stev!” Ku percepat langkahku, berharap kau menyerah dan berhenti memanggilku. Jujur, siang itu aku tak ingin bertemu denganmu. Aku ingin menjauh darimu.
“Stev…ven. Tung..gu.” Ku dengar suaramu terbata-bata, sepertinya kau terengah-engah. Entah kenapa mendengar suaramu seperti itu membuatku merasa khawatir. Segera ku balikkan badanku, mencoba memastikan keadaanmu.

Ku lihat kau berdiri beberapa langkah cukup jauh di depanku. Namun dari tempatku, aku bisa melihat pergerakan dada dan perutmu. Aku tahu kau pasti terengah-engah. Aku ingin menghampirimu, namun ada suatu bisikan di telingaku yang menyuruhku untuk tak mendekatimu. Aku diam di tempat, mematung sambil menatapmu. Ku lihat kau mengusap hidungmu berulang kali. Aku tak bisa terus berdiam diri mematung. Aku tahu keadaanmu kini sedang tidak baik-baik saja. Segera ku berlari kecil menghampirimu. Ketika aku datang, kau masih sibuk mengusap hidungmu. Ku lihat cairan berwarna merah hati terus mengalir dari lubang hidungmu. Kau berusaha untuk membersihkannya.
“Sa.., ka..kamu nggak apa-apa?” Tanyaku iba. Mungkinkah ini salahku? Membiarkanmu berlari mengejarku. Membuat cairan itu mengalir.

Kau berhenti mengusap hidungmu. Kau tatap aku. Aku bisa melihat wajahmu begitu jelas. Saat itu, aku bertanya pada diriku, siapakah yang ada di hadapanku? apakah yang ada di hadapanku adalah dirimu atau bukan? Karena aku merasa bahwa bukan dirimu yang tengah berdiri di hadapanku, melainkan sesosok mayat hidup. Ya, kau mirip mayat. Kulitmu lebih putih dari biasanya. Tatapanmu sayu. Bibirmu kering. Kau tak berkata apapun, kau hanya menggeleng.

“Tadi kamu manggil aku?” Tanyaku bodoh.
Kau mengangguk.
“Maaf ya, aku nggak denger. Tadi lagi dengerin musik.” Ucapku bohong sambil melepas headset yang menyumbat kedua kupingku.
Kau mengangguk sambil menyunggingkan sebuah senyum manis. “nggak apa-apa kok.”

“Ada apa?”
“Mau latihan basket ya? Selesai jam berapa?”
“Kamu nggak dijemput?”
Kau menggeleng, “Mama sama Papa lagi ke Surabaya, nengok Kak Azriel. Terus, mobil yang satunya lagi masuk bengkel.”
Ku pasang wajah penuh penyesalan “Yah, maaf Sa. Tapi aku nanti pulang maghrib. Kamu mau nunggu aku sampai maghrib?”
Ku lihat kekecewaan terpancar dari kedua bola matamu.
“Maaf ya Sa.”
“Iya, nggak apa-apa kok. Ya udah kalau gitu, aku naik taksi aja. Eee, aku duluan ya.”
Kau segera membalikkan badanmu, melangkah menjauh dariku. Ku tatap punggungmu hingga menjadi sebuah titik kecil tak kasat mata.

ADVERTISEMENT

Kau tahu? Sore itu anak basket tengah menjadi pemain drama. Aku memang ada latihan basket, namun sejujurnya tak sampai maghrib, aku latihan basket hanya sampai jam setengah lima sore. Maaf aku berbohong padamu. Namun sore itu entah kenapa rasanya aku enggan pulang bersamamu, dan aku enggan jika harus berdua denganmu. Maaf tentang kejadian sore itu, karena kejadian sore itu adalah gerbang kebohonganku selanjutnya.

Januari 2013
Sadarkah kau? Tiap ada momen khusus dalam hidupmu, angkasa seolah telah merencanakan untuk mengutus rintik hujannya ke bumi. Seperti suatu hari sepulang sekolah kau berteriak nyaring setelah membaca SMS yang awalnya aku tak tahu dari siapa.
“Apaan sih teriak-teriak?” Tanyaku sewot karena teriakanmu itu membuat telingaku serasa tuli secara tiba-tiba.
Kau mengacungkan telunjuk dan jari tengah kedua tanganmu sambil tersenyum lebar. “Maaf..” Ucapmu dengan wajah sumringah, bahkan setitik rasa bersalah pun tak ku lihat di wajahmu.

“Aku seneng banget Stev.”
“Seneng banget, terus pake acara bikin telinga orang budek?”
“Maaf. Udah minta maaf juga, sewot banget sih.” Ucapmu kesal.
Aku diam, memasang wajah jengkel. Sesaat kemudian kau sodorkan ponsel cerdasmu ke depan wajahku.

From: Bu Maya
“Ibu tadi ke Dinas penddikan. Kamu juara satu, maju ke provinsi.”
Begitu tulisan yang ku baca di layar ponselmu. Aku memandangmu tak percaya.
“Dari lima peserta?”
“Enak aja!” Kau memukul lengan kananku sedikit keras hingga berbunyi. “Nggak ngerti dari berapa peserta, yang aku ingat dari empat puluh satu sekolah.”

Dan, hari ini pun menjadi momen yang menurutku itu adalah momen besar untukmu. Hari ini Adit dengan malu-malu menyatakan perasaannya. Kau tahu? Agatha, sahabatmu yang juga merupakan sepupu tak ku kehendaki (ya, karena Tuhan tanpa meminta persetujuanku menakdirkanku memiliki sepupu selayaknya Ibu tiri dalam kisah Cinderella sepertinya) Menakut-nakutiku.
“Hari ini Adit mau nembak Lissa. Lo udah tahu?” Tanyanya datar.
“Ya udahlah, orang dia temen gue.”
“Terus?”
“Terus? Maksudnya?”
“Ya terus lo gimana? Ngebiarin aja Lissa ditembak Adit?”
“Ya iyalah. Masa gue mau ngelarang Adit nembak Lissa?”

“Lo nggak apa-apa?”
“Ya nggak apa-apa.”
Agatha memasang wajah putus asa “Kok lo nggak ada ekspresi apa-apa sih? Masa gitu? Lissa mau ditembak Adit kok lo tenang-tenang aja?”
Aku tertawa geli. “Oh, maksud lo, gue suruh panik gitu. Suruh panas, suruh was-was kayak lo gitu? Suruh berlebay-lebay ria?”
“Ya iyalah, dimana-mana kalau gebetan kita mau diambil orang jelas kita khawatir.”

“Santai ajalah. Selama ini siapa sih yang pernah diterima Lissa? Lagian lo sendiri kan yang bilang kalau Lissa itu Royal Princess. Like a diamond, cuma orang-orang yang bener-bener mampu aja yang bisa jadi pacarnya. Jadi, santai ajalah.”
“Iya, emang bener. Tapi, gimana kalau kali ini dia nerima Adit?”
“Ya, berarti gue harus turut berbahagia karena sahabat gue jadian sama sahabat kecil gue.” Ucapku sambil tersenyum santai.

Kau tahu, aku selalu memasang wajah riang dan santai di hadapan Agatha dan aku selalu sukses membuatnya percaya bahwa aku baik-baik saja, walau kenyatannya aku tak begitu. Kenyataannya aku selalu khawatir bila ada seseorang yang menyatakan perasannya padamu. Jujur, siang tadi aku begitu khawatir. Aku takut jika kau juga memiliki rasa yang sama dengan Adit. Karena sama dengan anak-anak yang lain, menurutku kau dan dia begitu serasi. Menurutku, kau dan dia begitu dekat. Dan aku selalu melihat kau selalu tertawa bahagia saat dia ada di dekatmu.

Namun sepertinya Cupid siang tadi batal untuk datang ke taman sekolah, hadir di antara kau dan Adit. Karena siang tadi langit nampak pucat, matahari bersembunyi malu-malu di balik kelabunya awan. Meski di sekolah tadi hujan belum turun, mungkin di rumah Cupid, hujan sudah turun dengan lebat, sehingga ia enggan datang untuk memanah hatimu untuk Adit. Tak perlu berbohong, tentu aku senang ketika kau mengatakan. “Di luar sana, ada yang jauh lebih baik dari aku yang aku yakin juga memiliki rasa yang sama dengan yang kamu rasakan.”

Tapi aku ingin tertawa jika harus berkata jujur tentang perasaanku. Aku senang, namun aku merasa kasihan pada Adit. Ya, kau tahu kan dia sahabatku? Sangat kejam rasanya jika aku harus tertawa bahagia ketika Royal Princess sepertimu tak memiliki rasa yang sama dengan apa yang ia rasakan. Namun, kenyataannya aku memang bahagia ketika aku tahu hal itu. Ah, aku memang sahabat yang kejam. Kau tahu? Tuhan adalah sutradara yang sangat pandai membuat sebuah drama kehidupan. Ketika kau mengatakan hal itu, mendadak saja gerimis turun. Lucu, itu menurutku. Adit tak menangis, namun ku tahu hatinya menangis, dan langit mewakili tetesan air matanya dengan air hujan.

Maret 2013
Pagi ini aku dan yang lain begitu menanti kehadiranmu. Tiga hari kau tak hadir di antara kami, demi mengharumkan nama sekolah bersama grup orchestra sekolah. Kami sangat ingin mendengar pengalamanmu selama tiga hari di luar kota. Kami ingin tahu apakah kau dan anak-anak orchestra lainnya pulang membawa kemenangan atau tidak. Jam menunjukkan pukul 06:50 tapi kau belum juga muncul di hadapanku dan yang lainnya, hingga bel tanda pelajaran pertama dimulai kau belum juga muncul di hadapan kami. Sepuluh menit berlalu, ketika guru berwajah eropa dengan mata sipit seperti orang Jepang itu mengabsen kami, tiba-tiba saja pintu kelas yang tadinya tertutup rapat secara perlahan terbuka. Sesosok gadis berambut panjang yang acak-acakan muncul dari balik pintu, gadis itu adalah kau.

Kau melangkah mendekati guru itu sambil merapikan dirimu. Penampilanmu tak seperti anak lainnya. Kau layaknya seorang atlet yang baru saja selesai mengikuti lomba maraton.
“Maaf Pak, saya terlambat.” Ucapmu tanpa memandang guru itu. Entah mengapa kau menundukkan wajahmu, tak memandang guru itu. Mungkin, saat itu kau berpikir bahwa yang ada di hadapanmu adalah Pak Eros, maka kau merasa takut lalu menundukkan wajahmu. Kau salah, guru itu bukan Pak Eros, melainkan Kak David. Guru paling cakep dan kece menurut sahabat-sahabat perempuanmu, dan tak bisa ku pungkiri, menurutku juga begitu, guru itu tampan dan keren bahkan menurut semua anak laki-laki di kelas kita, guru itu memang tampan dan keren.

Guru itu memandangmu dalam diam. Ia menatapmu lekat, entah mengapa guru itu tak berkata apapun. Perlahan kau mengangkat wajahmu, mungkin saat itu kau kebingungan mengapa Kak David yang kau kira Pak Eros tak berkata apapun dan tak memarahimu.
“Lissa?” Ucap guru itu ragu ketika kau telah mengangkat wajahmu.
Ku lihat ada rasa kaget yang terpancar dari kedua matamu, dan pada wajah Kak David pun juga begitu. Kalian saling diam beberapa detik, tak sampai satu menit.

Jika apa yang kau alami adalah sebuah sinetron atau film, mungkin benda-benda dan orang lain di sekitar kalian menjadi blur. Lalu terdengar musik tegang atau menye-menye. Namun kenyataannya tak begitu, karena kejadian itu bukanlah sinetron ataupun film. Kau segera menundukkan wajahmu lagi. Entah itu hanya perasaanku atau bukan, ku rasa kau begitu ketakuatan dan tak ingin menatap wajahnya.
“Ee..saya boleh duduk?” Tanyamu sedikit terbata.
Kak David mengedipkan kedua matanya, dengan kikuk dia menjawab. “E, eh, iya. Boleh, silahkan duduk aja.”
Kau berjalan cepat munuju bangkumu, seolah kau menghindari cowok itu. “Kenapa Lissa kayak kaget gitu ya? Kayak udah pernah ketemu Kak David, apa emang pernah ketemu, atau mungkin mereka saling kenal?” Batinku bertanya.

September 2013
Kemarin sore di rumahku, seperti biasa aku dan kamu mengerjakan pekerjaan rumah. Kali ini tak tahu kenapa kau yang meminta untuk datang ke rumahku. Padahal hari itu aku sedang tak membutuhkan bantuanmu, dan ku rasa kau tak pernah minta bantuanku untuk mengerjakan pekerjaan rumah karena mungkin kau sadar bahwa aku terlalu bodoh untuk membantu anak secerdas dirimu menyelesaikan pekerjaan rumah. Ada yang beda darimu. Kau tampak tak bersemangat. Sebisa mungkin ku coba untuk bersikap biasa dan menceritakan berbagai hal padamu agar kau tersenyum. Ya, kau memang tersenyum, namun ku tahu senyummu itu bukan senyum yang biasanya kau berikan untuk orang-orang di sekitarmu. Senyummu adalah sebuah senyum simpul yang relatif sepat bak pisang belum matang. Bukan senyum masam yang menyegarkan yang dimiliki oleh jeruk nipis, senyummu sepat, menggelikan di lidah.

Aku menyerah. Lalu suasana selayaknya lagu milik Jamrud yang berjudul Pelangi di Matamu pun terjadi. Tiga puluh menit aku dan kamu saling diam dan membisu. Hingga akhirnya aku berusaha memancingmu agar kau mau menceritakan hal yang ku duga telah membuncah di dalam benakmu. Memancingmu bicara seperti memancing ikan hiu dengan pancingan ikan lele. Rambutku serasa memutih, gigiku mulai ompong, dan aku pun mulai terbungkuk demi menunggumu bicara. Puji Tuhan Pekikku dalam hati ketika kau mulai membuka suara.

Saat kita sampai pada pertengahan ceritamu menuju klimaks. Tuhan mengagetkanku dengan suara petir, aku berteriak bak anak perempuan, dan kau… Kau diam dan memasang wajah datar. Rasanya saat itu jiwaku dan jiwamu tertukar. Bukankah seharusnya aku yang santai sepertimu dan kau yang menjerit kaget selayaknya mahluk bernama hawa pada umumnya? -berteriak lebay. Aku terus mendengarkan ceritamu. Ya terus mendengarkannya, hingga akhirnya ku tahu siapa tokoh utama selain dirimu dalam ceritamu. Kagetku ketika mendengar nama itu melebihi kagetku ketika mendengarkan suara petir tadi. Di akhir ceritamu kau hanya diam, dan aku tak bisa menanggapinya, aku tak bisa berkata apa-apa, atau lebih tepatnya aku tak berani berkata apapun.

Bersambung

Cerpen Karangan: ImaRosyi
Blog: http://imarosyi.blogspot.com
ImaRosyi merupakan pelajar SMK yang membutuhkan sumbangan suplemen peninggi badan.

Cerpen Hujan Dan Air Mata (Part 1) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Last Kiss

Oleh:
Namaku Devi Pratiwi aku bersekolah di SMK BINTANG NUSANTARA SCHOOL aku mempunyai seorang kekasih yang bernama “Sandy Adit Tya” aku dan adit sudah menjalin hubungan selama satu bulan aku

Kamu, Cinta Dalam Diamku

Oleh:
Dalam diam Aku mengagumimu, dari jauh dan tanpa kata. Aku berpikir sejenak, sejak kapan mata ini mulai mencari-cari keberadaanmu, memandangimu diam-diam, curi-curi pandang yang anggun. Dosakah Aku yang ingin

Hilangnya Rasa

Oleh:
Aku menghela nafas. Di depanku, Ata masih diam dengan fikirannya. Kalau hanya untuk berdiam seperti ini kenapa harus bertemu? Ata tampak membenarkan posisi duduknya, membuka mulut, namun urung mengatakan

Aku Rindu

Oleh:
Aku berangkat menuju sekolah dengan langkah yang santai, suasana yang masih sepi, damai dan tenteram. Kurasakan angin yang bertiup di pagi hari, terasa sejuk. Tak lama kemudian, matahari mulai

Sketsa Lamaran

Oleh:
Pohon-pohon begitu rindang, toleh kanan dan kiri masih tetap saja pohon. Di depan malah lubang besar menunggu bus Cahaya Bone, untuk masuk sebentar. Sumpang Labbu nama cebolan besar itu.

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *