Sempurnalah Lukaku

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Patah Hati, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 8 September 2016

Pelajaran Bahasa Inggris hari ini berakhir seiring berderingnya bel istirahat. Penghuni kelas berhamburan ke luar tidak sabar, khawatir akan antrean panjang di kantin.
“Van, lo sakit?” Vanka terenyak dari lamunannya saat seseorang duduk di sampingnya. Dia menoleh sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Seorang gadis berambut panjang sedang menatap wajahnya dengan intents.
“Enggak. Gue nggak pa-pa, Feb.” Jawabnya sambil merogoh handphone dari saku.
“Wajah pucet kayak vampire gitu masih bilang nggak pa-pa?” Tanya Febi sedikit meninggikan suara. Bukan bermaksud membentak. Dia hanya khawatir dengan kondisi Vanka. Pasalnya sejak tadi pagi, Vanka hanya diam duduk manis di bangku. Saat guru menyampaikan materi, dia menyimak dengan menopang dagu. Dan sesekali menempelkan wajahnya di meja. Tidak seperti biasanya, selalu aktif dengan semua mata pelajaran.
“Lagi ada masalah?” Tanya Febi lebih detail.
Jari-jari Vanka tiba-tiba berhenti memainkan handphone, menoleh sekilas ke arah Febi, lalu kembali berkutat dengan handphonenya.
“Ih, ni bocah handphone mulu. Helloowww, Ada orang disini.” Tangan Febi tidak sengaja menyenggol lengan Vanka, “Badan lo panas?” Febi memegang dahi Vanka, ternyata benar. “Kita ke UKS aja, yok?”
Vanka menggelengkan kepala pelan. Febi menghembuskan napas lewat bibirnya, kesal.
‘dasar batu’
“Iya udah, gue beli in teh anget aja, yak?” tawar Febi.
Vanka tersenyum, “Iya.”
“Gue tinggal bentar nggak pa-pa, kan?”
Vanka menonyor lengan Febi, “Emang gue anak kecil. Pake pamit segala. Udah sana pergi.” Usir Vanka sambil mendorong tubuh Febi agar segera berdiri.
Febi terkekeh pelan, “Iya, Ndoro. Ni juga mau pergi.” Ucapnya sebelum berhambur ke kantin dengan langkah seribu kaki.

Melihat Febi sudah pergi, Vanka menyimpan kembali handphone ke saku lalu beranjak dari kursinya. Melangkah ke luar kelas. Berjalan lemas melewati koridor sekolah. Menaiki tangga menuju Rooftop dengan tujuan menepati janji. Vanka menaiki anak tangga dengan ketidakyakinan. Takut sesuatu hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun pikiran negatif itu dibuangnya jauh-jauh. Dia yakin semuanya akan baik-baik saja.

Sekuat tenaga Vanka mencoba menetralkan detak jantung yang semakin membara. Tetapi gagal, dikarenakan sepasang matanya melihat sosok pria sedang menyandarkan punggungnya di tembok dengan tatapan kosong memandang langit yang perlahan berubah menjadi hitam. Detak jantung Vanka semakin tidak karuan. Alhasil, panas yang dirasakan oleh tubuhnya berubah menjadi hawa dingin. Dengan langkah kaki gemetaran Vanka mendekati pria tersebut.
“Kevin”
Mengetahui namanya dipanggil. Pria itu mengangkat wajah. Matanya bertemu dengan sosok gadis yang selama ini menempati hatinya. Entah dia harus bahagia atau justru sedih melihat gadis itu sekarang berada sisinya.
“Kenapa?” Kevin segera angkat suara.
“Gu.. gue minta maaf soal kemarin” Vanka menunduk, tangannya yang gemetaran mulai dingin dan … tes … Sebulir keringat menitik di alisnya. Vanka mulai memikirkan kata-katanya, “Gue tau kok, gue salah. Nggak semestinya gue ngebentak lo dengan kata-kata kasar. Tapi sungguh, gue nggak punya maksud atas kejadian kemarin.”
Vanka berhenti sejenak menghembuskan nafas sedari tadi dia tahan. Matanya berkaca-kaca, keringat bercucuran keluar dari tubuhnya. “Gue bener-bener minta maaf”
“Nggak usah dibahas. Saya males ngomonginnya.”
“Tapi lo maafin gue, kan?”
“Iya. udah ngomongin itu aja?”
Vanka mengangguk.
“Sekarang ganti saya yang mau ngomong.”
Raut wajah Vanka tampak memperhatikan.
“Mulai saat ini, kita temenan aja” Kata Kevin langsung ke intinya, “Karena saya nggak mau kamu terus-terusan paksa hati kamu buat mencintai saya.”
Vanka terkejut, “Vin, maksud lo apaan sih? Gue nggak ngerti.”
Kevin memandang kedua iris mata Vanka dalam-dalam, “Kayaknya memang ini jalan terbaik. Yaitu menjalankan kehidupan masing-masing. Tanpa ada ikatan kita.”
Kevin tidak tega melihat keadaan Vanka. Muka pucat, rambut kusut, mata sembab, bahkan ada lengkungan hitam tepat di bawah kelopak matanya. Jujur. Sebenarnya Kevin tidak mau memutuskan hubungan ini. Namun situasi yang menginginkannya.
Vanka tersenyum samar, “Vin, gue nggak nger-”
“Memang tidak mudah meluluhkan hati kamu, Van. Butuh waktu untuk itu. Selama ini saya berjuang meskipun saya tidak tau bakalan berhasil atau enggak.” Jelas Kevin memotong ucapan Vanka.
Vanka tidak bisa berkata apa-apa. Dia tidak mengerti dengan jelas apa maksud dari ucapan Kevin tadi. Dan diam adalah pilihannya.
“Kamu tau, kenapa saya bisa jatuh cinta sama kamu?” Kevin menarik nafas, “saya juga tidak tau pasti apa alasannya. Yang jelas rasa itu tumbuh seiring berjalannya waktu.”
Memang benar semua kenyataan pahit yang terjadi disebabkan oleh waktu. Seandainya waktu tidak bergerak, kehidupan yang semula baik seterusnya kehidupan itu akan baik-baik saja.
“Saat saya menyadari kamu suka dengan Efendi, hati saya seperti ditikam. Perlahan mulai retak. Kenapa kamu nggak bilang aja, Mil. Kalau kamu sebenarnya suka sama Efendi.”
Bibir Vanka terkatup. Ternyata ini yang dimaksud Kevin. Vanka bingung harus berbuat apa saat ini. Karena memang benar apa adanya, dia menyukai Efendi.
“Takut kalau saya marah? Takut kalau saya menonjok Efendi?” Kevin terkekeh pelan, “Saya memang berandalan, nakal, suka berantem tapi saya tidak sepengecut itu, Van. Lebih baik kamu bicara terang-terangan di depan saya meskipun kenyataan itu pahit.”
“Tapi saya bisa apa? merubah sifat dan tingkah laku sama seperti dia? saya tidak bisa melakukan itu. Saya tidak suka menyamakan kehidupan saya seperti orang lain. Saya lebih suka jadi diri sendiri.”
Vanka sedari tadi membungkam kini mulai angkat suara, “Gue nggak nyuruh lo jadi pribadi orang lain.” Vanka berusaha tenang. Tahu kalau masalah ini pakai emosi, tidak berujung membaik.
“Tapi kenapa hati kamu enggan untuk menerima saya. Segitu jeleknya kah saya di mata kamu? Apa kesabaran saya menunggu kamu bisa buka hati kurang cukup? Atau ada sisi lain dari saya yang nggak kamu suka? Hubungan kita itu aneh. Kesannya selalu saya yang mengejar, saya selalu berharap. Sementara kamu? Kamu cuek. Perhatian kecil pun tidak pernah saya terima dari kamu. Kamu nggak pernah menganggap hubungan ini ada. Itu yang saya liat dari sikap dingin kamu selama ini.”
Tubuh Vanka mematung seketika. Penjelasan yang cukup panjang dan lebar itu berhasil mencolos hatinya. Egois. Satu kata penilaian yang dapat disimpulkan buat dirinya sendiri.
“Maaf, Vin. Gue bener-bener minta maaf” Vanka menyesal.
Kevin menarik punggungnya yang semula menempel di tembok, berdiri mendekati Vanka, “Apa permintaan maaf cukup mengobati luka di hati saya?” Pertanyaan yang sukses membuat Vanka bungkam. Seperti mengerjakan soal matematika tiba-tiba lupa rumus. Buntu. Tidak bisa menemukan jawaban yang pasti.
“Saya minta maaf. Bila dengan adanya saya mengganggu kehidupan kamu. Saya akan pergi.”
Vanka mendongak, matanya berkaca-kaca. Ingin rasanya dia mengatakan pada Kevin supaya tidak pergi. Tapi Vanka terus membungkam, seperti di kunci. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari bibirnya. Dia terlalu takut jika ada pengucapan satu kata yang salah bisa membuat semua ini tidak karuan.
Kevin tersenyum samar, “Saya pergi bukan karena putus asa, tapi karena saya tidak mau mengorbankan hati untuk patah kedua kalinya.”
Patah. Sebuah kata sempurna mewakili perasaanya. Sekarang hati itu sudah patah, karena seseorang mengkhianatinya. Dan Kevin akan pergi tidak mau hatinya menjadi umpan untuk kedua kalinya.
“Jadi, perjuangan saya cukup sampai disini. Saya hanya memperjuangkan apa yang patut diperjuangkan. Karena nggak mungkin kan, saya terus berjuang sementara yang diperjuangkan mengharapkan cinta orang lain.” Air mata yang Vanka tahan akhirnya jatuh juga di kedua pipinya. Hatinya teriris mendengarkan ucapan Kevin tadi.
Kevin mengusap air mata di kedua pipi Vanka dengan lembut. Hangat. Itulah yang dirasakan Vanka saat jari tangan Kevin menyetuh kulitnya, “Lupakan kejadian ini. Anggap semua ini sebagai angin berlalu.”
Tangan Kevin beralih pada kedua bahu Vanka, “Sekarang kamu bebas. Tidak ada yang mengganggu kamu mendapatkan cinta dari Efendi. Berjuanglah, Van. Kamu pasti bisa.” Kevin menyunggingkan senyuman manis di bibirnya. Lebih tepatnya senyuman palsu. Karena itu dibuat-buatnya agar dia tidak terlihat lemah di depan Vanka. Sesungguhnya dia terluka.
“Andai kamu sudah berhasil mendapatkan cinta dari dia, jangan di sia-sia kan. Genggam. Jangan di lepaskan. Belajar lah menghargai sesuatu yang kamu miliki.”
Lapisan bening tipis sudah menggenang di kelopak matanya. Siap untuk jatuh lagi, “Vin, gue-”
“Udah mau masuk” Potong Kevin sambil melihat jam tangan di tangan kirinya, “Nggak mau ke kelas?” tanyanya. Vanka tahu Kevin sedang mengalihkan pembicaraan.
“Iya. Hmm.. Gue balik dulu.”
“Mau bareng saya?” Kevin tidak sadar, bahwa ajakan tadi membuat lukanya semakin dalam, karena kebodohannya sendiri.
“Nggak usah. Gue bisa sendiri.”
“Iya udah. Hati-hati.”
Vanka berbalik, tidak mau lama-lama berdua dengan Kevin. Itu akan membuatnya semakin merasa bersalah karena membuat hati seseorang terluka. Secepatnya Vanka menjauh. Air mata yang di tahannya kembali membanjiri kedua pipinya yang memerah.

Kevin memperhatikan punggung Vanka yang bergerak semakin jauh, hingga akhirnya menghilang di balik tembok dan tidak terlihat lagi.

Cerpen Karangan: Assifa Rohmalya
Facebook: Assifa Rohmalya

Follow dong:
Ins:
1. Assifarohmalya_
2. rhmlyasfa96
Twit: @assifa_rohmalya
Wattpad: assifarohmalya
Makasih semua… LoveYou

Cerpen Sempurnalah Lukaku merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Jangan Duakan Aku

Oleh:
Malam itu, aku habis putus sama pacarku yang namanya andika, karena dia sudah selingkuh di belakangku. Kemudian aku teringat dengan ajakan dari jun, seorang sahabat yang paling bisa ngertiin

Epipahny

Oleh:
Pada siang hari ini terlihat seorang guru yang sedang mengajar murid-muridnya guru tersebut bernama Yudi salah satu guru seni budaya di SMA ini “Baik Anak anak untuk materi hari

One Special Love For Mom

Oleh:
“Fel.. gue boleh nanya sesuatu nggak sama lo?” tanya Bram di tengah langkah mereka saat mereka telah melakukan rutinitas seperti biasanya. Yaitu, latihan band bersama. “Tanya aja pake izin.

Segi Empat

Oleh:
Suhu kotaku yang sejuk di pagi hari membuatku beranggapan lebih baik jadi cacing di kasur daripada harus menggerakan gayung berisi air. Namun kewajiban berkata lain sebagai seorang siswa sekolah

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *