Tangisan Di Penghujung Ramadhan

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Pengalaman Pribadi, Cerpen Ramadhan
Lolos moderasi pada: 25 April 2017

Tiga minggu Bulan Ramadhan telah aku dan adikku lalui, kini memasuki minggu ke empat atau lebih tepatnya minggu terakhir ramadhan. Hari itu adalah hitungan ke-23 hari berpuasa, aku dan adikku masih tetap berpuasa seperti biasanya, waktu menunjukkan pukul lebih kurang 07.25 menit, aku terbangun dari tidur setelah sholat subuh seusai sahur. Aku yang biasa usil terhadap adikku perempuanku itu membangunkan dari tidurnya dengan cara menggelitik pada bagian perut dan kakinya. Awalnya terjadi pertengkaran antara aku dan adikku dikarenakan ulahku yang usil terhadapnya. Namun pertengkaran kami dihentikan oleh ibu yang menegur dan menasehati kami berdua, dengan teguran yang mengenai bulan suci ramadahan. Keheningan disaat itu mulai terjadi setelah ibu menegur kami berdua. Aku dan adikku hanya bisa terdiam membisu saling menatap mata, karena menyadari kesalahan kami berdua.

Setelah ibu menasehati kami berdua, aku mulai mengambil hati adikku dengan mengajaknya untuk bermain sepeda di halaman depan rumah. Senang bercampur lelah yang aku dan adikku rasakan, rasa dahaga pun sudah mulai terasa pada saat itu.
Aku melihat tubuh adikku yang penuh dengan keringat, akupun tahu apa yang dia rasakan karena aku juga merasakan hal yang sama dengannya. Terasa sinar matahari yang pagi hari itu mulai menyengat aku mengajak adikku untuk beristirahat di pondok kecil buatan ayahku di halaman belakang rumah. Baru beberapa menit beristirahat di pondok kecil itu, aku dikejutkan dengan suara adikku yang tiba-tiba memberi ide permainan yang akan dilakukan.

Adikku yang masih berumur tujuh tahun dan duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar, mengajakku bermain permainan yang dia sukai pada setiap bulan ramadhan. Pikiran yang masih kekanakan aku yang berumur sebelas tahun yang duduk di bangku kelas V Sekolah Dasar, menyetujui ide permainan adikku itu. Bisa dibilang lucu permainan yang aku setujui itu, yaitu memasak lilin dengan menggunakan lilin. Aku membentuk lilin yang sudah dimasak seperti kue bolu bikinan ibuku, begitupun dengan adikku.

Saat asyiknya bermain muncul adik sepupuku yang bernama Arif dari halaman depan rumahku, dengan menggunakan sepeda akimbo miliknya “hai, kalian lagi main apa?, aku boleh ikutan gak?”. Arif juga ingin ikut bermain bersama aku dan adikku. dengan singkat aku menjawab tawaran Arif “boleh rif, uuuh pasti seru ni kalo kita nain rame rame”.

Lelah dan dahaga saat itu sudah sangat kami rasakan, kami bertiga pun menyudahi permainan dengan beristirahat di pondok kecil yang ada di belakang rumah. “aduh kak gerah sekali, malah haus lagi” keluh adikku yang sedang duduk di sampingku, “ah kamu dek, gak boleh bilang seperti itu kita kan sedang puasa, entar batal lo puasa kamu dek” kataku yang mencoba menasehati adikku, dengan secetus Arif berkata “iya ni, aku juga merasa haus”. aku pun membalas perkataan Arif “sabar sajalah!!”.

Rasa lelah pun sudah mulai mendingan, adikku yang berdiri dari duduknya, mengajak aku dan Arif untuk mandi, “kak mandi yuk, sudah siang ni, bentar lagi masuk waktu sholat zuhur, kak arif juga mandi di rumah kami ya..!!”, “iye dek, kakak juga udah merasa lelah ni”, jawabku. “iya iya aku juga mau mandi di sini kok” lanjut Arif. karena memang dari bangun tidur pagi kami belum mandi. Kaki kami bertiga pun mulai melangkah ke arah pintu belakang rumah meninggalkan pondok kecil tersebut. Aku yang berjalan pada urutan terdepan dan adikku pada urutan terakhir, menjelang sampai ke pintu belakang, kami hanya bercerita tentang permainan yang kami sudah lalaui bersama.

Sambil bercerita, adikku yang tadinya berjalan di belakang Arif tiba-tiba ia memotong jalanku dan berada di depanku. Sesampainya di depan pintu, ibuku keluar membuang bungkusan-bungkusan resep kue ke tempat pembuangan sampah di belakang rumah, karena pada saat itu ibuku baru saja selesai membuat kue Loyang untuk persiapan lebaran.
Sempat ibuku melarang kami masuk melalui pintu belakang, “kalian jangan masuk dari pintu belakang ya, karena lantai disapur masih licin”, kata ibu memberi tahu kami bertiga. Selain dari lantai dapur yang masih licin, juga di pinggiran pintu dengan jarak lebih kurang 100 cm dari tiang pintu, terdapat kompor yang di atasnya ada wajan yang berisi minyak goreng masih panas, bertakaran 2 kg di dalamnya.
Aku tak tahu apakah adikku mendengar semua perkataan ibuku pada saat itu, ketika aku dan Arif hendak membelokkan badan untuk bermaksud masuk dari pintu samping rumah, akan tetapi adikku tetap melangkah masuk ke pintu belakang tersebut.

Di depan mata kepalaku sendiri, naas yang menimpa adikku, dia jatuh karena terpeleset licinnya lantai di dapur. Alangkah terkejutnya aku, “ibuuuu” teriakku memanggil abuku, “ya allah adikkuuu” disambut teriakan arif terkejut, “ada apa nak”, tanya ibu dengan suara yang keras dan terkejut, hati yang tadinya senang kini berubah seketika, saat itu aku merasa darah ku beredar tidak beraturan membuat rasa tubuhku lemah tak berdaya, ditambah dengan raungan yang disertai tangisan Arif yang mungkin terkejut dengan peristiwa tersebut. Adikku jatuh dan kesandung wajan yang berisi minyak goreng panas, bertakaran 2 kg yang tertumpah kesebagian tubuh dan kepala adikku.

Adikku saat itu masih bisa bangun dan berlari sambil berteriak kesakitan ke arah ruang tengah, “ya allaaah, ibuuuu sakiiit, aduuuh kaaak, tolooong periiiih kaaak” teriak adikku kesakitan sambil berlari. Entah apa yang dia rasakan, mungkin karena membawa rasa perih dan sakit yang dia rasakan dari panasnya minyak goreng yang mengenai tubuh dan kepalanya.

Aku dan Arif hanya bisa menangis dan berteriak memanggil ibuku yang berada di belakang rumah, “ibuuuu adiik bu, terkena minyak goreng panas” teriakku memberi tahu ibu yang sambil berlari mengarah pintu belakang rumah, “ya allaah anaaakku, astaugfirllah, anaakku” sambil menangis ibuku berteriak dan mengejar adikku yang berlari ke arah ruang tengah setelah ia jatuh, air mata kami mulai bercucuran tak tertahan lagi. Mendengar teriakan aku dan Arif yang sangat histeris, ibuku pun berteriak menangis seperti tak percaya hal itu terjadi pada adikku. Dari ruang tengah adikku berlari seraya menangis, merintih keakitan dengan memanggil ibuku. Ibukupun langsung mendudukkan adikku dipangkuannya, panasnya minyak goreng tersebut perlahan membuat kulit adikku kepanasan dan mengelupas, situasi panik saat itu membuatku mati akal, aku kira dengan menyiram adikku dengan seember air ketubuhnya dapat meredekan rasa perih yang adikku rasakan. Akan tetapi usaha ku sia-sia, dengan aku siramnya air ke tubuh adikku tidak membuahkan hasil.

ADVERTISEMENT

Mendengar tangisan dan raungan kami yang memecahkan suasana siang hari itu, para tetangga ramai berdatangan ke rumahku. Semua orang yang melihat adikku dalam yang keadaan luka bakar, dengan kulit yang mengelupas berwarna merah, mereka semua menangis seakan merasakan perihnya yang adikku rasakan saat itu, suasana siang itu semakin penuh dengan suara isak tangis oleh semua keluargaku, yang melihat kondisi adikku sangat memprinhatinkan.
Salah satu dari tetangga menelepon ayahku yang sedang bekerja untuk menyuruhnya pulang. Rumahku semakin dipenuhi oleh orang-orang yang berdatangan, mungkin kejadian itu sudah terdengar di telinga orang-orang kampung. Tak lama kemudian ayah ku sampai di rumah, alangkah panik bercampur khawatir yang aku lihat dari raut wajah ayah. Dalam keadaan yang sedang menangis, ayahku segera menghubungi pihak ambulan untuk membawa adikku ke Rumah Sakit Umum Siak

Sesampainya di Rumah Sakit Umum Siak, saat itu pelayanan terhadap kondisi adikkuku sangat lamban sekali, membuat semua keluargaku takut terjadi sesuatu dengan adikku. Setelah satu jam menunggu barulah pihak rumah sakit melayani kondisi adikku dengan dimasukkan ke ruang perawatan luka bakar, dengan segera doktor menangani luka bakar adikku, waktu yang menunjukkan pukul 15.45 menit saat adikku masih dalam penanganan doktor, aku yang terlihat lemah dan pucat karena dalam keadaan yang sedang berpuasa terpaksa harus membatalkan puasaku dihari itu.

Ayah dan ibuku menyuruhku pulang kerumah tanteku yang berada di Siak, untuk mandi dan makan di sana, “nak kamu pulang ke rumah tantemu dulu ya untuk makan dan mandi di sana nanti malam baru datang lagi ke rumah sakit, jangan lupa sholat dan do’a untuk kesembuhan adik kamu nak” kata ayahku yang mencoba memberi pemahaman kepadaku, mungkin ayah dan ibuku juga mengkhawatirkan keadaanku yang mulai melemah sejak kejadian itu terjadi.

Malam pun tiba, aku dan tanteku pun pergi kerumah sakit kembali untuk melihat kondisi adikku. Tepat pukul delapan malam keluargaku dikejutkan dengan kabar dari hasil ronson adikku, yaitu dari hasil yang didapati oleh doktor bahwasanya ada pembengkakan yang serius pada bagian kepala adikku.
Dengan kondisi yang sangat serius seperti itu membuat penanganan untuk adikku di Rumah Sakit Umum Siak, tak sanggup untuk menangani luka bakar adikku yang sangat serius. Dikarenakan perawatan seadanya di Rumah Sakit Umum Siak, mengharuskan adikku untuk dirujuk ke Rumah Sakit di Kota Pekan Baru. Pukul Sembilan malam adikku di berangkatkan dari Siak Ke Kota Pekan Baru menuju Rumah Sakit Santa Maria.

Sesampainya di rumah sakit Santa Maria alangkah kecewa bercampur takutnya kami, karena pada saat itu Rumah Sakit Santa Maria tidak bisa menerima pasien lagi, katanya pasien dirumah sakit tersebut sudah penuh, sehingga jika dipaksapun adikku untuk dirawat di sana maka perwatannya sangat lama sekali, sedangkan keadaan adikku saat itu sudah sangat darurat sekali butuh perawatan yang sangat cepat.
Akhirnya keluargaku segera memutuskan untuk dirujuk ke rumah sakit Ibnu Sina Kota Pekanbaru, di RS Ibnu Sina tersebut barulah adikku segera ditangani secara intensif, dan saat itu adikku segera dimasukkan kedalam ruang UGD, di dalam ruang UGD adikku mengalami koma selama kurang lebih lima jam, dalam keadaan koma tersebut aku, nenek, dan ayahku masuk ke ruang UGD tersebut untuk melihat adikku, aku melihat pada saat itu kepala adikku 2 kali lebih besar dari ukuran kepala yang normal. Melihat kondisi adikku yang hanya bisa terbaring di tempat perawatannya air mata pun mulai membasahi pipiku.

Pukul empat subuh adikku sadar dari komanya, segera doktor membawa adikku keruang ronson untuk melihat apa penyebab kepala adikku membengkak. Akhirnya dari hasil ronson diketehaui bahwa kepala adikku juga terkena minyak goreng panas tersebut dan harus dilakukan operasi pembersiahan pada bagian kepala adikku sebanyak tiga kali. Kembali air mata seluruh keluarga yang mendengar berita tersebut bercucuran keluar membasahi pipi kami.

Keesokan harinya adikku segera dibawa ke ruang operasi, untuk melakukkan operasi pembersihan tahap pertama, setelah selesai melakukan operasi pembersihan kulihat kepala adikku yang mana satu helai rambut pun tak ada lagi dibagian kepalanya, hanya kulit berwarna merah yang aku lihat, melihat kondisi seperti itu air mata ini tak mampu untuk kutahan.

Sampai lebaran tiba, adikku masih di rawat di RS Ibnu Sina dalam keadaan yang masih belum ada kemajuan sama sekali. Kami sekeluarga pun berlebaran di Rumah Sakit. Tiga belas hari lamanya adikku dirawat di RS Ibnu Sina, sehingga karena faktor ekonomi, terpaksa adikku dirujuk ke rumah sakit Umum Kota Pekan Baru, dalam keadaan yang masih memprinhatinkan.

Selama kurang lebih tiga bulan adikku dirawat di RS Umum, dan pada akhirnya dalam keadaan yang masih tahap pemulihan adikku dibawa pulang ke rumah nenekku. Hampir empat bulan lamanya adikku dirawat di rumah yang dibantu oleh doktor puskesmas dan juga menggunakan obat-obatan tradisional yang dipercayai oleh keluargaku yang dapat menyembuhkan luka bakar yang dialami oleh adikku.

Atas izin dari Tuhan Yang Maha Kuasa, adikku dapat sembuh dari luka bakar yang sangat serius. Meskipun belum sembuh total seperti sedia kala. Luka bakar yang membekas pada bagian belakang kiri adikku yang masih butuh untuk tetap diobati. Sedangkan pada bagian kepala adikku hingga sekarang, rambut yang tumbuh belum menutupi semua kepalanya, sehingga dengan kondisi yang tidak ditumbuhi rambut seutuhnya, mengharuskan adikku untuk menggunakan hijab.
Terlebih dari itu semua, kami sekeluarga sudah sangat bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena telah menyembuhkan adikku dari luka bakar yang dialaminya. Namun hingga sekarang kami masih mengharapkan tumbuhnya rambut pada seluruh bagian kepala adikku, seperti selayaknya rambut perempuan lainnya.

Cerpen Karangan: Md. Navri Zulirfan
Facebook: Navry Putra Melayu
nama lengakap: Md. navri zulirfan
ttl: siak, 07 november 2000
agama: islam
status: pelajar
sekolah: SMA N 1 SUNGAI APIT

Cerpen Tangisan Di Penghujung Ramadhan merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Menengok Lestari Menyeberang (Part 1)

Oleh:
Semua ini terjadi ketika aku terjebak — tiada bisa bergerak untuk menyeberang jalanan yang tidak ada habis-habisnya dilewati kendaraan. Tentang betapa di jalanan itu pula aku menemukan orang-orang yang

Antara Cinta dan Kagum

Oleh:
“Pak Mukadis ada gak?” tanyaku pada Ferry, ketua kelas di kelas XI IPA 1. “Pak Mukadis ada, cuma katanya nanti yang masuk bukan dia. Ada PPL dari Untan yang

Umur 25 and Still Counts

Oleh:
Seminggu lalu gua dikirimin undangan pernikahan dari temen deket. Dia temen semeja gua waktu SMA. Dari WA, gua ngucapin makasih dan minta maaf karena gua gak bisa dateng. Pas

Wajibkah Puasa?

Oleh:
Sore yang cerah dihari pertama bulan ramadhan. Di sudut pusat kota tampak sebuah mushola sederhana dengan seorang ustazah muda dan cantik dikerumuni oleh anak anak yang sedang mengaji. Ustazah

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *