Jogjakarta dan Hujan Bulan Juni
Cerpen Karangan: Wafiqoh MaulidiaKategori: Cerpen Pengalaman Pribadi, Cerpen Perpisahan, Cerpen Sastra
Lolos moderasi pada: 14 June 2022
Jogjakarta. Sebuah kota bersahaja yang paling meninggalkan bekas dan sulit binasa dalam ingatan seorang puan. Entah sejak kapan ia menaruh suka dan entah ada kekuatan magis apa yang membuat kota ini begitu hangat setelah kota kelahirannya.
Sore itu, Jogjakarta diguyur air langit yang ragu-ragu menjatuhkan dirinya. Tiap butirannya menghampiri seluruh bumi hingga ke titik nol kilometer Jogjakarta. Satu-satunya keramaian yang bisa diterima dengan selapang-lapangnya. Netranya menatap titik magis yang jadi tempat terekamnya berbagai peristiwa. Ia menyantap nikmat lukisan Tuhan di tengah-tengah keramaian yang seolah-olah terabaikan begitu saja. Ditemani makhluk luar angkasa yang juga mengelana di sebelahnya, mereka bersama menyusuri tiap ruas jalan dengan atmosfer teduh yang rasanya tidak akan didapatkan kembali di tempat-tempat lainnya.
Jogjakarta mengajak mereka mengelilingi labirin dengan jalan seribu cerita tanpa ujungnya. Cerita yang akan selalu segar dinikmati bak kanigara yang mekar minggu lalu di taman belakang rumah. Meski nantinya si makhluk luar angkasa akan kembali pulang ke negeri antah-berantah, setidaknya mereka sempat mengukir secuil memori untuk nantinya bersedia diingat di kemudian hari. Sebab, kita tidak pernah bisa meramal soal putaran waktu dan potongan kisah. Ada halaman kosong yang menanti dituliskan ceritanya. Mungkin saja makhluk luar angkasa itu bersedia menceritakannya kembali lewat sebuah buku yang nantinya diterbitkan dan meledak di pasaran.
Kala itu, di bulan Juni Jogjakarta merayakan gerimis dihiasi lembayung pada langit-langitnya. Teori mengenai sesuatu di Jogja ternyata bukan isapan jempol belaka. Sore itu, seorang puan benar-benar membuktikannya. Benar kata Pak Sapardi, “Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni. Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu.” Jika Pak Sapardi melihat betapa arifnya hujan di Jogjakarta sore itu, ia pasti sudah melahirkan milyaran puisi untuk dibawa pulang. Ia akan menyaksikan ribuan kalimat yang semula bungkam dengan lancang ditiup melalui desau angin dan membumi ke sela-sela dedaunan di ruas jalan titik nol kilometer Jogjakarta. Ia pasti sudah mencintai Jogjakarta sejak pertama kali mendengarnya. Kota penuh aksara yang berhasil membuat seorang puan jatuh suka berulang-ulang kalinya. Kota yang melahirkan cerita singkat ditengah rintik yang mengguyur pelan membasahi jalanan dan menghangatkan setiap perbincangan.
Malam sebelum kaki melangkah meninggalkan Jogjakarta, seorang puan dihinggapi resah seolah tiada habisnya. Ada rasa tak ingin beranjak menyudahi sesuatu yang baru saja menggetarkan tubuhnya. Belum sempat rasanya menuliskan berbagai macam diksi untuk menggambarkan kesempurnaan yang menggema. Di tengah-tengah perjalanan pulang dan badai dalam kepala, ia menolehkan muka pada jendela bus yang dipenuhi embun malam sambil bersabda, “Kita tidak akan pernah bisa untuk lupa, terkadang ada yang terlampau lekat dan butuh waktu untuk lenyap dan bersekat. Entah bisa menguap diingatan atau justru melebur dalam tiap inti semesta, selamanya.”
“Pak Sapardi, aku titipkan Jogjakarta pada syair-syair yang nantinya akan kulahirkan. Entah sendirian, atau dengan siapa nanti akan kusinggahi kembali kota ini, aku sungguh menanti saat itu tiba. Jogjakarta dan hujan bulan Juni seolah memelukku kembali, aku dengan senang hati akan kembali meski dalam kurun waktu yang tidak pasti.” ucap seorang puan sambil memejamkan matanya dan mengikhlaskan Jogjakarta di hari yang sama.
Cerpen Karangan: Wafiqoh Maulidia
Cerpen Jogjakarta dan Hujan Bulan Juni merupakan cerita pendek karangan Wafiqoh Maulidia, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Rantha (Part 2)
Oleh: Ditha Kirani“Aku tahu kamu gak sebodoh itu untuk tahu bahwa di depanmu ada lubang, tapi kamu tetap menjatuhkan diri kamu disitu!” Ia berdiri dari duduknya, dan memakaikan jaketnya kembali ke
Kepergian Pertama
Oleh: Daswara Bumi AyuAir sisa hujan semalam masih tersisa di jalan membuat kolam-kolam kecil, menimbulkan percikan air ketika sepeda motor dan mobil melintas mengenai pejalan kaki di pinggir trotoar. Riana masih setia
Mata Angin
Oleh: Ridha KusmawarUtara, bawa Timur temui Barat. Selatan bantu Utara untuk bawa Barat pada Timur. Tenggara, jangan ambil Barat dari Timur. Tuhan, sudikah kau pantaskan Timur dengan Barat? Aku menunggumu, walau
Mahkota Daun Teh
Oleh: Aoi TanakaAku berdiri di atas sebuah batu tua di tengah derasnya air terjun. Kurentangkan kedua tanganku, perlahan mataku pun kupejamkan. Saat ini aku hanya merasakan kedamaian hidup yang membuatku tak
Dipta dan Pilihannya
Oleh: Desy Puspitasari“Ini pesanan anda.” Senyum Reni sambil menaruh makanan dihadapan seorang wanita paruh baya, kemudian beralih pada sosok lelaki di hadapan wanita tersebut. Mata Reni membesar dalam sekejap. “Mas Dipta?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply