Anindira Dirgantara (Part 1)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Romantis, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 9 April 2022

I got so much pain and time until I can face today without, you know, tangis histeria dan linangan airmata. Well, I don’t say if I don’t cry. I am crying. Still. Tapi rasa sakitnya mulai banyak berkurang. Thanks to my hard time so far. Hehehehe

Hai, aku Anindira. Anindira Angelina. Gadis yang tak belia lagi, sudah melewati masa puber dengan segala dramanya, dan sudah pernah pula jatuh hati lalu patah hati. Ckckckck. Hari ini tanggal 28 Maret. Untuk yang ke-17 kalinya, aku merayakan hari perpisahanku dengan mama. Sudah 17 kali ternyata. Benar-benar tidak terasa. Well, let me tell you. My mom passed away waktu aku umur 10 tahun. Too young, right? Tetapi namanya perpisahan ya mau tidak mau harus dihadapi dan dijalani. Setelah itu, aku hidup berdua dengan ayah, yang dua tahun setelah kepergian mama memilih menikah lagi dengan wanita lain. It means that I have a stepmother. Sama seperti kisah sinetron tentang Ibu dan anak tiri, aku mengalami banyak hal yang sama. Catat: hal sama yang menyedihkan. Huhuhuhu…

“Lo udah lama?” Aku mengalihkan fokusku dari secangkir coklat panasku dan menengadah menatap sesosok laki-laki yang menjulang tinggi di depanku ini. Senin ini aku sengaja mangkir dari kerjaan. Semacam kebiasaan di tanggal 28 Maret setiap tahunnya. Memperingati hari perpisahanku dengan mama sendirian. Yang tiga tahun lalu mulai kurayakan berdua dengan laki-laki ini.
“Lo telat 15 menit…” Jawabku sambil menggeser kursi agar dia duduk disebelahku.
“Boss gue ngomel mulu, terpaksa gue dengerin bentar tadi…” Dia meraih menu book dan mulai memilih. Aku membiarkannya. Walaupun aku tahu dia pasti akan memilih menu yang sama: Ice Matcha.
“Ice matchanya satu yaa mba…” Ucapnya pada waitress yang sudah menunggu orderannya. Aku tersenyum. Aku tak pernah salah kalau tentang laki-laki ini.

“Apa alasan lo ga masuk hari ini?” Setelah merapikan kemejanya, -yang sebenarnya sudah rapi-, dia menatapku dan mengajukan pertanyaan barusan.
“Ya biasaa, ijin. Ga enak badan…”
“Kalo lo karyawan gue, gue udah pecat lo tau ga?”
“Untungnya lo bukan boss gue…” Ucapku tak kalah sengit darinya.
“Jadi lo mau gue temenin kemana hari ini? hunting foto? Belanja?” Percakapan kami terpaksa terhenti ketika waitress mengantarkan Ice Matcha miliknya.
“Gue mau ke pantai…” Dia terkejut dengan jawabanku barusan. “Pantai?” tanyanya lagi, memastikan. “Lo kan ga suka pantai, Nin…”
“Gue mau ke pantai, Ta…” Tentu saja barusan aku meminta sembari memberikan senyum terbaikku. Aku tahu, dia tidak akan bisa menolak permintaanku. Apalagi ini hariku, ahh, hari sedih sebenarnya. But let’s enjoy…

Awan Dirgantara
Aku memandangi wajah manis didepanku ini. 5 detik yang lalu, baru saja ku-iyakan permintaannya untuk ke pantai bersamaku. Lihat? Dia senang sekali. Walaupun aku heran ada apa dengannya, tiba-tiba minta ditemani ke pantai. Hampir 3 tahun mengenalnya, pantai tidak pernah masuk di salah satu list tempat favoritnya. But who cares? Yang penting dia bisa senang. Persis seperti ini.

Aku memanggil makhluk cantik ini dengan panggilan ‘Nin’. Dia memanggilku ‘Tara’. Padahal namaku begitu panjang. Awan Dirgantara. Teman-temanku yang lain memanggilku ‘Awan’. “Aku pengen panggilan yang berbeda, Tara…” itu adalah jawabannya ketika aku menyuarakan protesku dengan nama panggilan yang dia sematkan padaku, yang menurutku, nama ‘Tara’ itu seperti nama perempuan. Tentu saja aku kalah, dia menolak protesku, dan yaaa, tak kusangka hampir 3 tahun aku mendengar nama panggilan itu darinya.

Witing tresno jalaran soko kulino. Pepatah Jawa ini benar adanya. Seperti aku yang mulai menyukai Nin karena terbiasa bersama dan melakukan banyak hal sama-sama. Entah apa deskripsi yang tepat untuk kami berdua. Aku akan mencarinya, tak segan menelponnya dan bertanya dia sedang apa dan dimana, apakah sudah makan atau belum. Dia juga melakukan hal yang sama. Sering sekali merepotkanku dengan permintaan dan tingkah manjanya. Memintaku mencari sate padang enak di jam yang hampir tengah malam, atau memintaku menemaninya membeli martabak. Dia juga tak segan menemaniku selagi aku sakit, dan berperan seperti ibuku yang cerewet dan banyak mengomeliku. Dan jangan lupakan betapa dia begitu dekat dengan Ibuku.

“Kita ke pantai mana, Ta? Yang pulang sore aja ya, jangan yang jauh-jauh. Besok gue harus kerja, ga mungkin ijin lagi..” Dia membuyarkan lamunanku. Aku mulai berpikir.
“Iya, lo tenang aja. Gue tahu tempat yang bagus kok…”
“Ntar singgah di apartment gue bentar, Ta. Gue mau bawa baju ganti aja. Mana tau ntar gue main air.. hahahhaha…” Aku tersenyum mendengar tawa renyahnya. “Sama nanti jangan lupa ke minimarket ya, Ta. Gue mau beli jajanan juga. Pokoknya hari ini gue mau makan sampe kenyaang…” lanjutnya. Lagi-lagi aku mengiyakan semua pintanya. Tak ada yang tak mungkin kulakukan sepertinya. Kalau sudah menyangkut Nin, aku bisa melakukan apa saja.

Tentu saja tanpa banyak basa-basi, aku mengajaknya pergi. Maklum, ini sudah hampir jam 10, dan perjalanan kesana bukan sebentar. Dan aku juga ingin membiarkannya lebih santai hari ini. Kali ketiga menemaninya memperingati hari kepergian Ibunya, aku selalu berusaha menyenangkannya. Aku tahu banyak hal yang tak mudah yang sudah dia lalui sejauh ini. Dan aku adalah salah seorang manusia yang sangat bangga padanya. Juga menyayanginya.

Anindira Angelina
Aku sedang merapikan kamarku ketika aku mendengar ponselku berdering nyaring. Hari Sabtu ini cukup sendu sedari pagi. Hujan sudah turun sejak dini hari tadi. Rintik-rintik memang, namun cukup membuatku malas keluar rumah. Janjiku dengan Tara untuk lunch bareng diluar siang ini pun terpaksa kubatalkan. “Lo ke rumah aja, gue masakin mie goreng…” Itu adalah sogokan agar Tara tak mengomeliku karena membatalkan janji tiba-tiba karena kemalasanku. Dan aku tahu Tara tidak bisa menolak sepiring mie goreng pedas buatanku. Aku mengakhiri percakapan setelah kudengar dia menjawab ‘OK’ di ujung sana.

ADVERTISEMENT

“Sorry, kerjaan gue payah banget ditinggal..” Aku bahkan belum menyuarakan apa-apa ketika membuka pintu itu, Tara sudah minta maaf duluan. Kulirik jam, sudah pukul 2 siang. Pantes Tara barusan meminta maaf. Sudah terlalu siang untuk makan siang ternyata.
“Lagian lo aneh sih, Sabtu kok masih kerjaa…” Seperti biasa aku ngedumel tanpa maksud apa-apa. Pengen ngedumel saja. Kubiarkan Tara duduk di kursi dan menyandarkan lehernya. Sepertinya kerjaannya benar-benar banyak kali ini. Aku berjalan ke dapur dan menyiapkan makan siang. Pemandangan seperti ini sebenarnya tidak aneh diantara aku dan Tara. Kami seringkali berkunjung ke apartment masing-masing. Dan tanpa canggung.

“Ta, yok makan…” Aku memanggilnya dari dapur. Kutunggui dan tak ada jawaban. Setengah kesal, aku berjalan ke ruang depan. Bersiap-siap mengomelinya. Lagi. Lalu aku mendadak terpaku pada tempatku ketika kulihat Tara tertidur dengan pulas di kursi itu. Aku berjinjit dan berjalan pelan-pelan mendekatinya. Berusaha tak berisik. Kubiarkan aku duduk disebelahnya, memandangi wajah pulasnya. Keningnya mengernyit. “Apa yang sedang dia pikirkan? Bahkan ketika tidur pun dia senang berpikir. Dasar Tara…” gumamku dalam hati. Aku meletakkan telunjuk kananku di antara keningnya yang mengernyit. Mataku menyapu wajahnya yang tampan dan manis. Alis matanya yang lebat, rahangnya yang kokoh, hidungnya yang tak terlalu besar, dan bibirnya yang manis seperti gula-gula. Aku merekam wajah Tara dalam ingatanku.

Ada yang berdesir di dadaku. Bukan hanya sekali ini. Kerap kali aku menyadari perasaan berdesirku ketika sedang berdua dengan Tara. Aku tak berusaha mengingkari atau menepisnya sekuatku. Aku tahu aku menyukainya. Aku menyukai Tara. Sejak dulu. Sudah lama. Namun di depan Tara aku berusaha terlihat biasa saja. Tak menunjukkan rasa tertarikku sama sekali. In case Tara tak menyukaiku seperti aku menyukainya, maka aku akan kehilangan Tara. Kehilangan momen-momen indahku dengan Tara, seperti hari ini.

Cukup lama kubiarkan Tara tertidur. Bahkan suara dengkurannya sudah mulai membentuk nada-nada tak beraturan. Aku duduk disebelahnya, meraih satu buku yang baru kemarin mulai kubaca. ‘Sebuah seni untuk bersikap bodo amat’. Buku ini memang sedang aku butuhkan. Mengingat overthinking dan tak nyamannya aku di lingkungan kerjaku akhir-akhir ini. Kulanjutkan membaca bukuku. Hujan masih saja turun dengan rintiknya…

Awan Dirgantara
Aku menggeliat dengan kepala yang lumayan berat. Entah sejak kapan aku tertidur. Aku melihat sekelilingku. Ahh aku baru ingat kalau sekarang aku sedang di apartment nya Nin. Jam dinding Nin menunjukkan pukul 3 sore. Sudah berapa lama aku tertidur? Aku hendak bangkit dan mencari Nin ketika kurasakan pundak sebelah kananku berat, seperti tertimpa sesuatu. Aku tersenyum ketika mendapati kepala Nin terkulai disana, di pundak kananku. Nin juga sepertinya tertidur sama sepertiku. Dengan pelan aku mengangkat kepalanya dan kusenderkan ke kursi, kuletakkan bantal kursi dibelakang kepalanya. Rambutnya yang berantakan kurapikan dengan jari-jari tanganku.

Untuk sebentar aku memandangi wajah Nin. Wajah manisnya tak pernah bosan kupandangi, sekalipun kami sudah hampir 3 tahun selalu bersama. Bulu mata Nin sangat lentik dan panjang. Hidungnya lancip dan pipinya penuh. Tanpa riasan sama sekali seperti saat ini, wajah Nin tetap tampak manis seperti biasanya. Antara sadar dan tidak, aku menyusuri wajah Nin dengan jari-jariku. Aku tahu jantungku sudah berdebar-debar dengan sangat kencang. Berkali-kali aku harus berusaha semampuku untuk terlihat biasa saja di depan makhluk manis ini. Nin tidak pernah tahu betapa besar usahaku untuk menjaga sikap ketika sedang bersamanya. Ditambah dengan tingkah lucunya, berkali-kali pertahananku hampir gagal.

Ditengah asyikku memandangi Nin, tiba-tiba ponselku berbunyi. Tentu saja Nin terbangun. Mata kami bertatapan sekitar 3 detik, hingga kuputuskan beranjak menjauh untuk menjawab ponselku. ‘siapa sih yang nelpon?’ gerutuku dalam hati. Ah, Ibu ternyata.

Selesai bercakap-cakap dengan Ibu, kudapati Nin masih di kursi dengan mata setengah mengantuk. Sepertinya dia sedang berusaha kembali ke dunia nyata.
“Gue lapar…” Aku bersuara ketika kudapati perutku juga bersuara. Sudah terlalu sore, hingga aku lupa aku belum makan siang. “Lo udah makan, Nin?” tanyaku lagi pada Nin.
“Gue tadi nungguin lo makan, lo nya ketiduran…”
“Terus lo ikut-ikutan tidur juga?” Aku membercandainya. Dia menyeringai dengan kesal. Kutarik tangannya dan mengajaknya ke dapur.
“Lo yang masak?” Aku cukup heran dengan makanan yang sudah tersusun diatas meja. Ada ayam goreng sambal belacan, sayur lalapan, kerupuk, ikan asin dan tentu saja mie goreng, kesukaanku. Walaupun berwajah bule, selera makanan Nin memang selalu begini, ndeso. Dan anehnya, aku menyukainya.
“Iya gue yang masak. Tenang, ga gue racunin kok…” Candaan khas Nin. Aku tersenyum dan mulai menyantap makananku. Entah karena sudah lapar atau memang masakan Nin enak sekali, aku makan dengan lahap. Dengan berbagai cerita yang mengalir dari mulutku, aku dan Nin menghabiskan waktu sore itu dengan santai. Hujan masih saja turun dengan rintiknya…

Cerpen Karangan: Tanty Angelina
Blog / Facebook: Tanty Angelina
IG : @Tanty_angelina / @setengah_cerita

Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com

Cerpen Anindira Dirgantara (Part 1) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Flower Crown Penghujung Cinta

Oleh:
Siang itu, sama seperti biasanya. Lagi-lagi aku mencuri kesempatan untuk bisa memandangnya. Dari balik layar laptopku, aku berusaha melihatnya saat sedang menikmati makanan dan juga minuman bersama teman-temannya. Meskipun

Pesan Kesedihan

Oleh:
Jam sekolah sudah selesai. Pasukan siswa keluar ramai ramai penuh suka cita, Bak semut pohon keluar dari sarangnya. Hari ini aku males banget pulang ke rumah, entah apa yang

The Flower of War (Part 2)

Oleh:
Rabu, 21 November 2018 Anya bangun dari tidurnya dengan malas. Kesiangan pula. Membuat Mamanya marah-marah. “Anyaaaa! Kenapa bangun siang lagi? Kasihan Papamu setiap hari harus telat karena kamu. Udah

Ismail Kecilku

Oleh:
Pagi yang sangat cerah. Tadi malam begitu lelap tidurku. Yah, karena Adik yang tidur satu kamar denganku sedang pulang ke kampung. Dan rencananya, pagi ini mereka baru akan datang

Berbeda

Oleh:
— Not Ten, One Hundred, or One Thousand, but One Zero, One Zero Zero, and One Zero Zero Zero. — “… I’ll love you for a thousand Years.. ah

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *