Luka Masa Lalu

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Misteri, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 27 February 2016

– POV 2
Sebuah seringai menghiasi wajahmu serupa serigala yang menemukan mangsa dan siap menerkamnya. Mungkin pagi ini keberuntungan menyelimutimu, suasana sepi, dan incaranmu kini ada di depan mata. Bukankah ini yang kau tunggu-tunggu? Tak sia-sia selama ini kau mencari info untuk merampungkan hasratmu. Mobil yang kau tumpangii bersama temanmu merayap membuntuti gadis SMA yang baru ke luar dari Qini Mart. Sepertinya ia merasakan kecurigaan. Untuk memastikan, dirinya menengok ke belakang.

“Tangkap dia, sekarang!”

Sejurus kemudian, temanmu ke luar dan menyergap gadis itu. Cukup mudah, ternyata dia gadis lemah walaupun sedikit meronta. Tak berapa lama mereka sudah ada di mobil. Lalu, dengan sigap kau menginjak pedal gas sambil terbahak -yakin rencanamu akan berjalan sempurna.

– Normal POV
“Dinda Neferuuuu! Giliranmu …” Diyan memekik tinggi di ambang pintu kelas XII. Tidak aneh, karena efek suara cempreng Diyan, beberapa anak kelas XII bolak-balik ke dokter THT.
“Apa?” dengan tampang basi si pemilik nama menoleh.
“Koran harian, hari ini kau yang membayarnya.” Diyan menaruh koran di dekat Neferu yang sedang menghitung uang dolar (baca: receh), “sudah, tak usah dihitung!”
“Hei, hei, itu lebih dari Rp. 1500, Diyan!” Perasaannya dongkol. Ia tidak akan menemui indahnya makan siang karena uangnya dirampas.
“Anggap saja sedekah,” pungkas Diyan seraya melenggang pergi dengan senyum penuh kemenangan. Gadis cerewet yang dilanda nasib sial ini membuka setiap halaman koran, setidaknya hal itu sedikit mengobati kedongkolan hatinya.

“Kriminalitas! Sebuah keluarga melaporkan kepada polisi bahwa anggotanya menjadi korban pemerk*saan. Namun, hal tersebut tidak diindahkan oleh pihak kepolisian. Pengaduan itu memang benar, tapi kami tidak mengurusi kasus pemerk*saan kucing oleh kucing tetangga,” ujar Briptu Windi saat diwawancarai. “Huaaa ini berita absurd!” komentar Neferu histeris. “Berisiiik!” teman sebangku Neferu -yang tengah tidur- berdesis.

“Apa peduliku, Sharmay?” Kembali ia fokus membaca, “wow, kasus penculikan! Anak dari Wakil Ketua Kapolres Kota Tasikmalaya telah diculik dua hari yang lalu saat keluar dari Qini Mart. Saksi mata mengatakan, korban memakai PSAS dan menjinjing keresek dibawa oleh pria berjubah hitam mencurigakan. Lalu mereka pergi menggunakan sedan hitam. Situasi saat itu sepi karena masih pagi. Saksi mata pun mengaku dirinya hanya bisa tergugu melihat aksi itu. Tetapi, ia masih ingat plat nomornya Z 1615 HS.” Dirinya belum selesai membaca, tapi koran tadi telah raib oleh Sharmay. ‘Huaaa.. menyebalkan!’ hatinya mengumpat.

– POV 2
Kau punya keberanian tinggi rupanya. Begitu leluasa dirimu berkeliaran di jalan raya dengan mobil hitam itu. Baru saja kau ke luar dari sebuah toko, langkahmu tergesa menuju ke parkiran. Ya, kau tetap manusiawi bukan? Masih mempunyai rasa khawatir kalau-kalau polisi meringkusmu di sini. Dengan cepat kau masuk ke mobil, lantas melajukan mobil dengan terburu. SREEET! Apa itu?” tanya temanmu seraya menengok ke belakang. Ekor matamu melirik kaca spion, tampak seorang remaja mengumpat setelah selembar kertas HVS -yang berasal dari Jaguarmu- menerpa mukanya.

“Tak penting, hanya sampah!” jawabmu dingin.
“Apa kau yakin dengan rencanamu?” Topik pembicaraan pun beralih.
Keningmu berkerut, lalu mendengus kesal, “Kau meragukanku, Kai?”

Kai terdiam. Mungkin dia beranggapan tiga tahun kau mendekam di jeruji besi akan mempengaruhi kelihaianmu. Tapi, kau membuktikannya dengan ‘keluar’ dari sana untuk memenuhi hasrat terpendam tiga tahun lalu. Sekilas tatapanmu terkunci pada Voice Changer dekat persneling. Sudut bibirmu tersungging mengingat percakapan -tempo lalu- yang akan menggiring mangsa pada perangkap.

ADVERTISEMENT

“Aku ingin uang sekoper. Datanglah secara jantan dan hanya boleh membawa pistol Revolver saja! Ku tunggu jam 20.00.”
“Kau pikir menculik itu tindakan jantan?!” Kau terkekeh mendengar amarah di seberang telepon itu.
“Di mana aku harus menemuimu?” tanyanya lagi.
“S43Q214O, tiga langkah di masa lalu.”
“Maksudmu?”
“Pecahkan teka-teki itu, Bodoh!” Kau menyudahi pembicaraan itu dengan nada sarkasme.
‘Permainan akan segera dimulai!’ Hatimu bergumam bersamaan dengan persneling yang kau tarik, kemudian pedal gas kau injak untuk menambah laju mobil. Yaa, malam ini adalah penentuannya.

– Normal POV
Sore hari, di sebuah halaman rumah, seorang gadis duduk di atas kursi rotan. Kaki kirinya dilipat di atas kursi, namun sebelahnya lagi dibiarkan menggantung: katakanlah setengah bersila(?). Sesekali ia meringis dengan kedua mata terpejam kala tangannya menempelkan kapas -yang telah ia lumuri obat merah- ke telapak tangannya yang kanan. Tepat di depannya ada meja kecil yang sesak dengan beberapa barang, ada kotak P3K, baskom berisi air berwarna cokelat, obat merah, dan sebungkus kapas. Perhatiannya beralih saat seorang pengendara motor datang. Gadis itu tentu tidak asing, karena motor tersebut sering mengantar jemputnya sekolah. Si pengendara duduk di dekat gadis tadi.

“Datang dengan jidat berlipat-lipat kau tampak ‘manis’, Sharmay. Kehkeh!” Gadis berwajah oriental itu menyapa dengan nada ejekan.
“Neferu, apa yang kau lakukan?” tanya Sharmay. Ia lebih memilih mengabaikan ejekan Neferu.
“Siang tadi latihan karate di lapangan, dan saat kumite aku terjatuh. Telapak tanganku hanya lecet sedikit,” papar Neferu, sorot matanya terfokus pada benda putih yang ada di tangan Sharmay, “apa itu?”
“Kertas HVS. Kertas ini keluar dari sebuah mobil hitam dan mendarat di wajahku ketika aku di parkiran.” Sharmay melemparkan kertas itu, alih-alih mendarat di meja, malah tercelup ke dalam baskom, “ups!”

“Hadeuuuuh, Sharmay apa yang kau lakukan? In air bet–” Neferu menggantung ucapannya melihat perubahan pada HVS itu, “biru!”
“Tentu saja. HVS kan mengandung zat pati. Sedangkan obat luka berwarna cokelat itu karena mengandung yodium dalam bentuk povidone iodine. Zat pati adalah sumber energi bagi tubuh kita, ketika zat pati bertemu yodium, maka HVS itu akan berwarna biru.” Sharmay menjelaskan dengan malas.
“Lalu, kenapa ada tulisan putih ini?”

Sharmay kini terpaku pada deretan alfabet dan angka berwarna putih. “Tulisan ini dari lilin, sehingga bagian kertas tetap berwarna putih karena lilin menghalanginya dari yodium.”
“Z 1615 HS TOLONG. S43Q214O, tiga langkah di masa lalu,” Neferu mengeja tulisan tersebut. “Sharmay, sepertinya ini pesan rahasia dari seseorang.”
“Aku pikir begitu. Z 1615 HS? Hmm.. seperti tak asing di pendengaranku, apa kau merasa begitu, Nef?”
“Tentu saja, Z 1615 HS adalah plat nomor mobil penculik anak Wakil Kapolres Tasikmalaya. Andai koran pagi itu tak kau buang mungkin kita punya info lebih banyak,” gerutu Neferu.
“Sudahlah, kita pecahkan huruf dan angka aneh ini! S43Q214O, tiga langkah di masa lalu.” Sharmay berpikir keras. Tampak tangannya memainkan dagu seolah sedang membelai janggut, begitulah kebiasaannya.

Neferu mencoba menduga-duga, “Menurutku kalimat ‘tiga langkah di masa lalu’ itu kuncinya. Hmm, tiga langkah di masa lalu mungkin maksudnya adalah tiga kali mundur atau dikurang tiga, karena masa lalu bisa diartikan sesuatu yang di belakang serta masa lalu dianggap minus oleh kebanyakan orang. Jika mundur 3 langkah dari huruf S, maka kita akan mendapati huruf P. 43 64, lalu dikurang 3, maka hasilnya 61. Abjad ke 61 adalah–” Neferu sadar Z saja abjad ke 26. “Huaaa … pusing pala barbie!” ucapnya frustasi.

Mendengar analisis temannya yang sedikit mengarah ke anabel, Sharmay malah manggut-manggut. “Neferu, analisismu boleh juga, 43 4x4x4. Pangkat ini tidak untuk dikalikan, tapi menunjukkan bahwa angka empatnya ada tiga. 4-3 berari huruf A, maka A-nya ada tiga buah. Begitupun dengan Q2, Q-3N. Ingat N-nya dua. Sisanya 14 dan huruf O.”

“Kenapa 14 dan O? Mungkin saja angka 1, 4, dan angka 0 (nol),” protes Neferu.
“Tidak, kau hanya akan tambah pusing saja. 1-3 -2, huruf apa yang akan kau temukan?” sejenak Sharmay menatap Neferu seolah berkata ‘tidak ada kan?’. “Jadi, 14-3 11 huruf K. Lalu, mundur tiga langkah dari O adalah huruf L. Huruf yang terkumpul yaitu PAAANNGKL. Kita harus menyusunnya dengan menyisipkan huruf vokal di antara huruf konsonan. PANANAGKL, PANGAKLAN, errr …”

“PANGKALAN!” celetuk Neferu, sudut bibirnya terkembang memamerkan seluruh gigi putihnya serupa senyuman yang dimiliki tokoh anime jepang: Naruto.
“Pangkalan kan kampung mati, lagi pula di sana ada gudang dan bangunan tua dekat danau. Mungkin para penculik itu memanfaatkannya.” Ia beranjak dari tempat duduknya.
“Kau akan ke sana?” selidik Sharmay.
“Kita,” Neferu meralat ucapan Sharmay, “jika analisis kita benar, meskipun sedikit mendekati anabel bahkan analog (kata Bang Julian :3), setidaknya untuk memastikan saja. Kalau perlu kita selamatkan korban,” ucapnya berapi-api. Andai Neferu Bangsa Saiyan, tentu kini ia telah mengeluarkan super saiyan -saking semangatnya.

Saat langit mulai berselimut gelap, sebuah sepeda motor yang ditunggangi dua gadis melaju membelah jalanan. Pohon-pohon besar berjejer sepanjang jalan, sepi. Tentu saja, karena yang mereka tuju adalah kampung mati, Pangkalan. Mereka memilih tak melapor polisi karena analisis mereka bisa dikatakan konyol. Sharmay menepikan motornya dekat pagar kawat. Perjalanan satu jam menggunakan motor cukup membuat pegal pinggangnya.

“Neferu, kau tak lupa bawa alat-alat itu kan?” tanya Sharmay sedikit berbisik. Tak ada jawaban. Ia menaburkan pandangan ke segala arah, tapi temannya tak ia temukan. Keringat dingin mulai mengucur. Buru-buru ia pergi ke kawasan tempat bangunan-bangunan tua berada. Netranya tetap waspada memerhatikan keadaan sekitar. Tak sengaja pandangannya jatuh ke atas menara air, seketika pupil matanya membulat, “S-sniper! Hmm–” keterkejutannya berkuadrat, seseorang telah membekapnya dari belakang, lantas menyeret ke gang dekat drum-drum bekas.

– POV2
“Nah, Anak Manis, sekarang pukul 19.30. Berdoalah semoga Ayahmu lekas datang ke mari setelah memecahkan teka-teki konyolku. Hahaha, kalau tidak, maka kau akan mati secara perlahan. 25-30 menit dalam posisi seperti ini akan membuat darah mengucur dari telinga, mulut, mata dan hidungmu. Jadi, nikmati saja!” Kau mengancamnya sambil menggerek tali yang mengikat kakinya, sehingga kepala gadis itu ada di bawah. Melihat gadis itu menangis tak sedikit pun rasa iba mengetuk hatimu. Kau beringsut darinya, namun langkahmu terhenti karena kau menginjak sesuatu. Tepat di bawah kakimu ada lilin, kertas, dan tas milik gadis yang sedang ‘menikmati perbuatanmu’. Untuk melakukan ide gila ini kau rela berkeliaran tadi sore untuk membeli katrol dan tali ke toko.

Kau mengabaikan benda tak berguna itu. Kemudian kau menghubungi Kai, “Bagaimana Kai? Sudah ada perkembangan?”
“Belum. Ku pikir dia tak bisa memecahkan teka-tekimu,” jawabnya di seberang telepon.
“Meski ia tak dapat memecahkan itu, tapi ia pasti mengingat sesuatu hal…” sejenak kau menjeda ucapanmu karena teringat tiga tahun silam, “atau naluri seorang Ayah tidak akan salah. Lumpuhkan saja, jangan sampai menembak bagian vitalnya, karena pertunjukan akan dimulai olehku.” Klik! Kau menutup percakapan, lantas mempersiapkan perlengkapanmu. Tiba-tiba…

SREEET!

Sebuah pisau lipat melayang ke arahmu dan memberikan segores luka di pelipis kiri, kau tak bisa mengelak. Bersamaan dengan itu, seorang bocah meloncat dan menangkap gadis yang tadi kau ikat. “Kerja bagus, Sharmay!” pekiknya riang seraya melepas ikatan pada gadis itu.
“Tentu saja, aku kan atlet kasti waktu SD.” Muncul lagi seorang bocah dari balik peti-peti tua dengan melompat layaknya aktor Hollywood, dan mendarat dengan mantap.
“Bocah ingusan!” desismu. Mereka telah merusak rencana yang kan menuntaskan hasratmu.
“Pak Tua, kami tidak sedang flu,” tukas bocah yang bernama Sharmay.

Hal itu membuatmu tambah naik pitam. Tanpa pikir panjang kau menodongkan pistol ke arah mereka. “Benar-benar bocah ingusan! Apa yang kalian lakukan di sini? Seharusnya saat ini kalian tidur dalam selimut tebal. Tapi, jika kalian mau, aku akan menidurkan kalian selamanya di sini. Kahkahkah”
“Terima kasih atas tawarannya, Pak Tua. Kami susah payah menerobos ke mari bukan untuk tidur, betul begitu, Sharmay?”
“Yah, betul sekali, Neferu.” Sharmay menoleh ke arah temannya, lantas berucap, “sepertinya rencana selanjutnya harus kita jalankan.” Neferu -bocah yang bersama sanderamu-mengangguk.

Jempolmu sudah menarik hammer, tinggal telunjukmu yang akan mengintruksi peluru untuk melesat dari laras pistol glock. Sharmay, bocah itu berlari untuk mengambil sebuah tongkat. Dorr, dorr, dorr, dorrr. Bocah itu berguling cepat seperti trenggiling, dan pelurumu hanya menghancurkan kaca jendela besar yang menghadap danau. “Sial!” umpatmu. Sementara kau sibuk, bocah satu lagi bersama tawananmu berlari ke arah pintu keluar. Kau akan menembaknya, namun sebuah tongkat hendak menghujammu, tapi kau sempat mengelak.

PRAKK!

Sekali, bola kasti yang juga dilempar Sharmay menghempaskan pistol yang kau genggam. Pergerakan Sharmay begitu cepat -mungkin karena kau sudah tua- kini ia tepat di hadapanmu, lalu menghadiahi dengan beberapa pukulan dan tendangan. “Cuki cudan…,” sebuah pukulan menohok arah perutmu, “cuki gedan…,” pukulan selanjutnya sedikit bergeser ke bawah perut, detik berikutnya, ia memungkas dengan memekik, “bengkoang nanaaass!” Tendangan putar punggung kakinya mendarat di pipimu hingga kau terjengkang. Kantung kecilmu yang berisi senjata pun terlempar ke dekat Neferu yang tengah menonton.

Kau bangkit dengan amarah yang bergelora, mana mungkin kau kalah dengan bocah ingusan. “Bocaaaah!” Kau berseru seraya menyerbu ke arah Sharmay. Sharmay pun melompat, lalu menyerang dengan tendangan melayang. Namun, kau mampu menangkap kakinya, lantas kau lempar bocah itu hingga terjatuh menabrak tumpukan drum-drum. Dia kaget melihat sesuatu berkelip-kelip di antara tumpukan drum itu.

“Kenapa Bocah? Biar ku beri tahu, itu bom. Kau akan ku habisi sebelum bom itu meledak.” Kau tertawa melihat raut cemas pada wajah Sharmay.
“Sharmaay … tangkaap!” Neferu, bocah satu lagi itu melempar benda berbentuk nanas yang diambilnya dari kantung kecilmu tadi. Dengan bersusah payah, Sharmay menangkapnya. Tanpa pikir panjang, ia mencabut pin pengaman dari granat nanas, kemudian ia lemparkan ke arahmu.

Empat …

“Cepat keluaaar, Neferuu!” pekik Sharmay, ia pun berlari ke tempat yang mungkin bisa menyelamatkannya.

Tiga …
Dua …
Percuma, kau tak akan selamat!
Satu …
DUAAARRR …. DUAAARRR …

– Normal POV
DORR! Lelaki itu mampu melumpuhkan sniper dengan sebutir peluru saja. Tentunya, karena ia menembak dari tempat yang tidak diketahui si sniper. Sejurus kemudian, ia berlari ke tempat persembunyian pria yang sempat terluka karena bahunya terkena tembakan sniper saat memasuki kawasan ini.

“Bapak tidak apa-apa?” tanyanya cemas.
“Tidak, Windi. Aku baik-baik saja. Terima kasih, tak salah aku membawamu ke mari.”
“Itu sudah menjadi tugas saya, Pak Faizal. Sebaiknya kita lekas temukan anak Bapak!”

Mereka bergegas pergi. Tak berselang lama, mereka mendengar suara ledakan dari gudang tua. Perasaan duka menyelimuti hati Pak Faizal -seorang polisi berpangkat Kompol sekaligus Wakil Ketua Kapolres Kota Tasikmalaya- karena tak bisa menyelamatkan anaknya. Air mata menggenang membuat netranya mengabur.
“Abaaaah!” Pak Faizal memeluk anak gadisnya. Bahagia tak kepalang mengetahui sang anak selamat. “Bagaimana kau melarikan diri, Neng Anna?”
“Mereka menyelamatkanku, Bah,” jawabnya seraya menunjuk seorang gadis yang meraung serta meratap sendu gedung yang terbakar.
‘Mereka?’ batin Pak Faizal.

“Sharmaay … Sharmaay … kau pergi begitu cepat, lalu, sekarang yang akan mengantar-jemputku siapa?”
“Sabar ya, Neng,” Windi mencoba menenangkan Neferu, “karena telah menyelamatkan Neng Anna, kami akan menggantikan Sharmay untuk mengantar pulang Neng,” bujuknya lagi.
“Aku tak semudah itu untuk mati, karena tingkat DAN-ku adalah DAN II.”

Semua orang menoleh ke sumber suara, seorang gadis berjalan mendekati mereka dengan terseok. Tubuhnya basah kuyup. Neferu langsung berhambur ke arahnya, lalu memeluk gadis tersebut. Tangisan Neferu semakin pecah, “Ya, dalam karate kau satu tingkat di atasku, Sharmay.” Tak berselang lama, kawasan yang tadinya sepi kini ramai oleh polisi dan wartawan. Anak Pak Faizal pulang lebih dulu karena masih syok. Sharmay dan Neferu yang mengalami luka ringan langsung ditangani. Neferu menanyakan bagaimana Sharmay bisa lolos dari ledakan.

“Saat itu posisiku dekat kaca jendela besar yang pecah, jadi aku meloncat ke danau,” jelas Sharmay.
“Terima kasih, kalian telah menyelamatkan anakku dan telah mengalahkan Peace -ketua dari penjahat yang kabur dari tahanan.” Pak Faizal menghampiri mereka.
Mereka pun tahu mengapa Pak Faizal bisa datang ke tempat ini. Bukan karena telah memecahkan teka-teki itu, tapi karena … “Naluri seorang Ayah tidak akan salah. Lagi pula ini tempat di mana Peace dibekuk bersama kelompoknya tiga tahun silam,” ucap pria berpangkat Kompol itu.

Beberapa hari kemudian…
“Shaar–” belum sempat Dian memanggil Sharmay, dari arah belakang Neferu telah menjejali mulutnya dengan dompet.
“Kali ini aku yang bayar,” kata Neferu seraya mengambil koran harian dari tangan Diyan.

Diyan pun mencabut dompet yang menancap di mulutnya. Sejenak ia memerhatikan dompet itu. Kosong. Dirinya menarik napas, lalu berteriak, “Dinda Neferuuuu! Kembalikan uangkuuu!” Sharmay dan anak kelas XII langsung menutup kedua telinga karena tak mau gendang telinga mereka pecah. Sementara itu, Neferu tengah bergembira. Pertama, karena telah membalas perbuatan Diyan. Kedua, dia dan Sharmay muncul di koran -bukan sebagai orang hilang, tapi sebagai penyelamat korban penculikan.

– POV 2
3 tahun lalu.
Celaka! Para polisi itu telah mengetahui markasmu dan mengepung tempat ini. Beberapa anak buahmu telah dibekuk, bahkan ditembak karena melawan. Kau memerintahkan anak semata wayangmu untuk lari ke danau. Sempat kau berdebat dengannya karena ia bersikukuh untuk bersamamu.

“Ayah menyayangimu, Nak. Ayah tak ingin kau terluk, karena naluri seorang Ayah tak pernah salah, menurutlah!” ucapmu kala itu. Kau merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.
Kau terdesak saat baku tembak dengan polisi. Tanpa diduga, beberapa peluru melesat ke arahmu, kau sempat pasrah. Mungkin nyawamu berakhir di tangan para polisi itu. Namun, tak disangka anakmu melindungimu dari peluru-peluru itu. Melihat anakmu mati, pertahananmu runtuh. Kau menyerah. Tapi, dirimu berjanji akan membalaskan dendam, bagaimanapun caranya kepada orang yang telah membunuh anakmu, dialah Faizal.

RENGSE

Cerpen Karangan: Sharmay H. A
Facebook: https://mobile.facebook.com/sharmay.humay?
Seseorang yang menyukai puisi sederhana dan cerita jenaka 🙂

Cerpen Luka Masa Lalu merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


3 La

Oleh:
Kenalin nih, namaku Bela. Aku tinggal di Semarang. Aku punya sahabat namanya Vela dan Mela. Dari kecil, kami udah sering main bareng karena kami bertetangga satu jalan. Aku, Vela

Sahabat Pengertian

Oleh:
Di suatu malam yang dingin disertai hujan yang deras aku dan sahabatku yang bernama Badrun berteduh di suatu gedung sanggar tari, sekian lama kami berada di sana hujan tak

Selembar Kertas di Pangkuannya

Oleh:
“lihatlah balon-balon itu, mereka melayang menuju awan. Semoga balon-balon itu menyampaikan suratku kepada Tuhan” “iya, mereka terbang membawa kebahagiaan kita. Nisa… memangnya apa yang kamu tulis?” tanya Fanesa “kau

Pencurian Di Sekolah

Oleh:
Lagi, lagi dan lagi. Belakangan ini sering terjadi pencurian di sekolahku. Kebanyakan korbannya adalah mereka yang tidak mau menaati peraturan sekolah. Barang yang dicuri biasanya adalah handphone milik siswa

Rahasia Kamar Lantai Tiga (Part 2)

Oleh:
Hal aneh yang Mary temukan lainnya terjadi beberapa hari setelah hari itu. Suatu keadaan memaksa Mary untuk turun ke ruang bawah tanah hari itu. Alangkah terkejutnya Mary saat melihat

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *