Pertemuan Musim Dingin

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 15 June 2016

Musim dingin. Lagi-lagi ia datang. Kenapa musim dingin tahun ini begitu membosankan seperti tahun-tahun yang lalu?. Tak ada yang spesial. Tak ada yang dapat membuat deretan gigi putihku terlihat. Tak ada yang dapat membuat perutku sakit karena seharian penuh tertawa. Tak ada. Sekali lagi tak ada.

Aku hanya bisa menggumam kesal di atas tempat tidurku yang berantakan. Sesekali ku alihkan pandanganku ke kehidupan luar yang masih terus ramai, walaupun salju hari ini turun begitu derasnya.

Liburan musim dingin selalu ku habiskan di dalam apartement. Tak pernah sedikitpun aku berniat untuk keluar dari istana kecilku ini. Rasanya begitu enggan. Sangat.

Tapi kali ini. Kakiku terus melangkah ke arah pintu apartement tanpa aku sadari. Tanganku meraih satu buah syal hijau peas yang sedari tadi menggantung lembut di tumpukan baju kerjaku yang belum sempat ku setrika.

Udara dingin menyambutku ketika aku telah berada di halaman apartemenku. “Dingin” itu kata yang terlukis jelas di wajah ovalku. Kedua tanganku enggan ku keluarkan dari kantong jaketku yang menggelantung kokoh di sela-sela jahitan baju. Sesekali tangan mungilku merapihkan syal hijau peasku yang berubah posisi karena tertiup oleh angin musim dingin yamg cukup membuat tubuh manusia menggigil dibuatnya.

Kaki ku melangkah menyusuri jalanan kota. Bahkan kali ini aku tak mau menggunakan bus ataupun mobil pribadiku. Aku hanya ingin mengikuti langkah kakiku saja.

Tiba-tiba pandanganku terfokus pada kafe kecil itu. Pria yang sedang berusaha keras meniup satu gelas cokelat panas di tangan kekarnya.
“Indonesia, Chineses, Belanda” pikirku. Pria itu memiliki bentuk tubuh dan wajah perpaduan dari tiga negara. Terlihat kulit putih mulusnya tertular dari darah Chinesesnya. Sedangkan wajah oriental dan gerak-gerik kesopanannya terturun dari negara Garuda. Sedangkan mata birunya terpampang dari benua Eropa.

Pria itu membalas tatapanku. Dia tersenyum. Lalu ku alihkan pandanganku ke tempat lain. Entah berapa lama aku memandangnya dari balik kaca kafe ini?. Dia mengingatkanku pada seseorang. Aku berharap dia tak mengingat wajahku tadi ketika kami salang menatap.
Ku percepat langkah kakiku dari halaman kafe itu. Dari pria itu lebih tepatnya. Aku tak mau mengingat. Tak mau.
Sekelebat bayangan kecil muncul di otakku yang sudah penuh sesak dari memori-memoriku yang lain.

“Kau ini. Menjauhlah dari pandanganku. Menjauhlah! kau seperti penguntit. Bahkan lebih buruk dari itu. Aku tak pernah menyukaimu. Menjauhlah dari diriku sekarang juga. Dan untuk selamamya” teriak pria itu lantang sambil mendorong kasar gadis polos di hadapannya yang sedang terisak lemah.
Pria itu begitu emosi. Marah. Dan kesal. Gadis ini selalu menguntipnya kemanapun ketika ia pergi. Dia begitu risih.
“Sudah ku bilang menjaulah dari hadapanku. Manjauhlah” teriak pria itu lagi hingga membuat gadis itu menambah irama tangisannya.
Hati gadis itu begitu terluka. Seperti disayat dengan sejuta jarum berkarat yang tidak bisa terlepas.
“Walaupun kau tak menyukaiku, ku mohon jangan lakukan ini. Aku bisa menghilangkan perasaan ini dan bersahabat baik denganmu. Ku mohon jangan biarkan aku pergi” ujar gadis itu bangkit dari tubuhnya yang tergeletak lemas di atas tanah karena dorongan keras dari pria itu. Lututnya sedikit terluka karena goresan kecil oleh kerikil-kerikil batu.
“Aku tak pernah mau menjadi sahabatmu lagi. Tak akan pernah Rosa. Tak akan pernah. Kau mengerti kan sekarang” jawabnya lalu pergi begitu saja tanpa ada secercik rasa bersalah pun yang terlukis jelas di wajahnya.
Rosa hanya bisa memandang sedih punggung pria itu dari kejauhan. Ia terus terisak.
“Bagaimana bisa kau seperti ini?. Bagaimana kau bisa melakukan ini?. Siapa yang membuatmu seperti ini?. Ya, itu adalah pacar barumu. Kau bahkan rela meninggalkan sahabat kecilmu deminya. Hingga kau melakukan ini pada sahabat mu dengan alasan cinta yang pernah ku lantangkan kepadamu” tukasnya dalam hati.
Pandangan sinis Rosa muncul. Ia tegaskan pada hatinya, bahwa ia akan pergi. Benar-benar pergi. Seperti yang Egit katakan kepadanya.

ADVERTISEMENT

Tak akan pernah kembali

Ku jatuhkan tubuhku di balik pohon cemara yang dipenuhi potongan-potongan salju tebal. Syal hijau peasku mulai terkikis jatuh di bawah tanah hitam yang berselimut salju.

Aku benar-benar tak ingin mengingatnya. Tak ingin. Sangat tak ingin. Tuhan jangan biarkan memori buruk ini hadir kembali. Jangan biarkan mutiara kecil berharga ku ini mulai terkikis habis olehnya. Jangan biarkan butiran hitam dimataku muncul kembali di mata sayu ku. Jangan biarkan aku terisak oleh cinta burukku ini. Jangan pernah. Ku mohon jangan.
Kenangan dan memori itu sudah cukup membuatku sakit. Membuatku terluka. Membuatku terus teringat akan orang yang dulu menorehkan cerita lucu dalam kehidupanku. Ku mohon bawalah dia pergi. Seperti yang ia inginkan dulu. Ya! seperti itu. Seperti dulu.

Air mataku terus terjatuh. Hal yang sudah ku pendam beberapa tahun kenapa harus kembali terungkap?. Aku sudah benar-benar melupakannya. Sudah. Namun kenapa memori hitam ini membawa hatiku kembali kepada hatinya. Tawanya. Leluconnya. Semyumnya. Dan hiasan pemdirian teguh jiwanya.
Aku tak mau goyah oleh perasaan. Tak mau kembali terpuruk oleh memori hitam ini. Tak mau kembali memiliki perasaan yang dulu membuatku berpisah darinya.
Aku terus terisak. Wajahku bertambah memerah karena udara dingin yang terus berhembus setia. Rambut panjang ku acak-acakan. Tanpa sadar aku melakukannya.

Aroma parfum yang sangat ku kenal itu tercium. Aroma bulgaria. Ku mohon jangan biarkan dia menemuiku. Berdiri di hadapanku. Bahkan mengatakan satu kata pun. Aku tak mau melihatnya dan mendengarnya.
Ku pejamkan kedua mataku. Ku tundukan kepalaku. Kedua tanganku yang berbalut hangat oleh sarung tangan rajutan ibuku ku tempatkan di kedua telingaku yang membeku kedinginan. Berharap dengan ini sedikit membuatku membaik. Aku bahkan menghindar dari suaranya dan tatapan wajahnya.

Aroma parfum itu semakin menyeruak. Dan dentingan suara sepatu meremas dinginnya salju semakin terdengar santer di telingaku. Aku benar-benar takut mengingat kejahatan yang pernah ia buat di hatiku dan di kehidupan laluku.
“Apa yang ia lakukan disini?” pertanyaan itu selalu mengiang di telingaku ketika ingatan tentang memori itu mengalun deras.

Suara langkah kaki itu berhenti tepat di hadapanku. Ku mohon aku harus teguh dengan pendirianku. Jangan pernah sedikit pun, detik ini, ku buka mataku dan melihat wajah jahatnya. Jangan…

“Hai..” kata-kata itu meluncur deras dari mulut tanpa bersalahnya. Suara yang sering aku dengar dulu. Tapi aku benar-benar tak ingin mendengarnya untuk kali ini. Dan mungkin untuk selamanya.

“Bagaimana kabar mu?” ujarnya lagi, tanpa ada nada bersalah sedikitpun yang tertoreh dari suaranya.
Apa dia benar-benar tak pernah merasa pernah membuatku sakit?. Bahkan jauh lebih buruk dari kata sakit.

“Bagaimana kabarmu?” tanyanya lagi

“Bagaimana kabarmu, Rosa?”

“Ku rasa kau senang berada di negara baru ini. Tapi sayangnya kau salah, Indonesia lebih indah darinya. Ah.. Kau masih sekecil ini ya?. Berapa tahun kita tak bertemu?. Dua, tiga, empat atau tujuh?” ujarnya panjang lebar.
“Bahkan dia tak mengingatnya” omelku dalam hati.
“Ku pikir kau sangat baik. Ya begitu…”
“Ya! Aku jauh lebih baik ketika kau tak berada di hadapanku sekarang” jelasku. Tanpa ku perhatikan mataku mulai menatap keberadaannya. Telingaku mendengar lengkingan khas suaranya.
“Maafkan aku. Kau tetap sahabatku seperti dulu” ucapnya kali ini penuh rasa bersalah.
“Akhh” aku mendesah

Aku mulai merapikan rambutku. Mengambil syal hijau peasku dan menaruhnya kembali ke posisi semula. Tubuhku, ku mulai tegakan dengan tangan sedikit mengusap keras air mataku yang masih bergulir lembut.
“Ya!. Dulu sejak kau menyuruhku pergi. Sejak itu pula aku tak akan pernah mau lagi menjadi sahabatmu. Cinta yang membuatmu hilang arah. Bahkan alasan cinta yang ku suarakan dulu menjadi alasan kuat bagimu menyuruhku pergi dari kehidupan ku dan dari negara yang sama sekali tak ingin ku tinggalkan”
“Kau bahkan sama sekali tak berubah. Kau tak bisa menjaga perasaan orang lain. Kau egois, Egit” tambahku kembali, sembari melirik sekilas wajah Egit dan perempuan bertubuh jangkung di sebelahnya. Lalu aku berjalan pergi meninggalkan mereka berdua.

Memori masa lalu amat membuatku sakit. Namun hal itu bukan menjadi halangan untuk melanjutkan kehidupanku dimasa depan.

Cerpen Karangan: Ria Rizky Darmawan
Facebook: Ria Rizky Darmawan

Cerpen Pertemuan Musim Dingin merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Asmara Belia

Oleh:
Ku lajukan armada roda duaku perlahan, dengan hembusan angin yang terasa menyentuh kulitku perlahan. Sesekali ku guratkan senyuman, namun tetap saja wajahku nampak masam. Kini kembali ku terbawa dalam

Monster Love (Part 5) Menangis

Oleh:
Beberapa menit pun kami tiba di museum yang memamerkan barang-barang bersejarah serta tulang-tulang dinosaurus yang lengkap (andai itu ada di kenyataan), Pak Guru pun menjelaskan setiap benda dan tempat

Ikatan Indah Ikatan Persahabatan

Oleh:
Inilah hari yang kami tunggu, hari dimana kami akan melakukan perjalanan melukiskan sepotong kehidupan yang menyenangkan. Pagi yang cerah, indah tersaput gumpalan awan putih, seolah langit pun mendukung petualangan

Surat Untukmu Sahabat

Oleh:
Dear Sahabat, Jika kamu membaca ini, aku harap kamu masih mengingatku. Mengingat kebersamaan kita sebelum semua sirna. Hari itu, kamu masih tersenyum dan bercanda denganku. Keesokan harinya, kamu tidak

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *