Sahabat Pria Bukan Berarti Pacar

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Persahabatan, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 27 January 2016

“Bukan keluarga, bukan saudara, bukan kekasih. Tidak terlahir dari rahim yang sama, juga tidak memiliki ikatan darah yang sama.”

Ryan adalah salah satu nama yang ku kenal sejak 4 tahun yang lalu. Di mana kami harus dipertemukan dalam satu ruangan kelas. Awalnya hubungan kami memang berjalan kurang baik. Aku tidak menyukai sikap playboy yang sangat melekat pada dirinya. Ku akui ia memang tampan, wajar saja jika ia banyak menjadi idaman para wanita. Tapi, yang tidak ku sukai adalah kebiasaannya gonta-ganti wanita, membuatku enggan untuk dekat-dekat dengannya. Aku dan dia bisa dibilang dua manusia yang sangat berbeda aliran, aku adalah orang yang sangat menghargai arti sebuah cinta.

Cinta memiliki peranan tersendiri bagiku, sementara Ryan adalah tipe orang yang suka bersenang-senang dengan cinta, sehingga ia tak pernah mendalami arti cinta sesungguhnya seperti apa, hanya pacaran – putus – move on – cari pacar lagi, begitu pun seterusnya. Aku rasa sebenarnya ia tidak pernah benar-benar merasakan jatuh cinta. Sebenarnya kami sering kali beradu argumen hanya karena hal-hal yang sepela dan terkesan tidak penting, tapi semuanya selalu meledak begitu saja karena perasaan kesal yang mungkin ada dalam diri kami masing-masing.

Segala sesuatu kadang bisa terjadi dan berubah begitu saja. Bukankah tak ada yang pernah tahu bagaimana kehidupan ke depan berjalan, bagaimana seseorang hidup, dan tentunya bukan hal yang tak mungkin saat dua negara yang berabad-abad lamanya sudah menjadi musuh bebuyutan, kemudian memilih untuk berdamai? Tentunya Tuhan sudah mengatur itu semua dengan sesempurna mungkin. Begitu pun dengan aku dan Ryan. Saat itu ia benar-benar sedang merasa terpuruk dengan masalahnya. Aku tidak bisa berpura-pura untuk tidak tahu, karena aku memang tahu masalah yang saat itu sedang ia hadapi.

Sebagai seorang manusia, tentunya hati nurani itu ada, jujur sikap Ryan yang sangat menjengkelkan tidak bisa menggoyahkan hatiku untuk merasa tidak peduli padanya, aku merasa aku harus memberikannya semangat dan motivasi agar dia tidak terpuruk dengan masalahnya itu. Hingga malam itu, aku beranikan diri untuk mengirim pesan padanya, walaupun agak gengsi, tapi aku benar-benar tidak senang melihat ia yang akhir-akhir ini menjadi sering terpuruk dan menyendiri. Harap-harap cemas aku menunggu balasan pesannya, takut-takut nanti dia malah mengejekku, atau merespon hal-hal yang akan membuatku sangat menyesal telah mengirim pesan padanya. Tak lama suara dering terdengar jelas dari handphone-ku.

“Ada pesan.” bisikku sedikit berlari meraih handphone-ku yang sengaja ku simpan di atas tempat tidur. Namun aku sedikit bernapas lega karena ia memberikan respon positif, terlebih ia mengungkapkan bagaimana perasaannya saat itu. Akhirnya aku pun kembali meresponnya, hingga tanpa ku sadari aku menghabiskan kurang lebih satu jam untuk saling mengirim pesan singkat (SMS-an). Sejak saat itu Ryan jadi sering mengirim pesan sekadar menanyakan tugas atau curhat padaku. Aku senang dengan hal itu, karena semakin lama aku rasa Ryan tidak sepenuhnya seperti yang aku bayangkan selama ini. Sebenarnya ada rasa canggung bagiku saat aku dekat dengannya.

“Ciee akur, jangan-jangan kiamat bakal dipercepat nih.”
“Wah besok kayaknya bakal gempar nih dunia.” ataupun ejekan-ejekan lain dari teman-teman saat melihat aku akur dengan Ryan.

Ejekan-ejekan seperti itu rasanya sudah mulai terbiasa hinggap di telinga kami, dan aku dan Ryan juga tidak pernah merespon hal itu berlebihan. Semakin dalam aku mengenal Ryan, ternyata aku banyak menemukan kecocokkan dengannya, dia baik padaku, dan jika orang lain mengatakan ia sombong, menurutku tidak, mungkin anggapan orang lain sama dengan anggapanku dulu saat aku belum mengenalnya. Tapi, setelah mengenalnya anggapan-anggapan negatif itu sirna satu per satu. Hal yang lebih konyol bagiku adalah, di mana anak-anak lain banyak yang menganggap bahwa kami ini pacaran, dan lebih ekstrimnya lagi banyak mantan, gebetan ataupun orang-orang yang suka pada Ryan terlihat ketus, dan sebagian langsung melabrakku agar menjauhi Ryan. Hal yang ekstrim tapi membuatku benar-benar ingin tertawa terbahak-bahak.

“Ya wajarlah kalau punya temen ganteng terus populer kayak aku sih pasti banyak yang sirik.” celoteh Ryan merespon ceritaku. “Kamu kok mau temenan sama orang kayak gitu Re?” Pertanyaan-pertanyaan itu banyak bermunculan dari sekelilingku. Terkadang aku kesal dengan mereka, aku tahu Ryan itu seperti apa, tapi anggapan mereka terhadap Ryan tak pernah lebih dari anggapan negatif. Ku rasa kami benar-benar cocok dan bisa jadi sahabat yang baik. Kami sering melakukan kegiatan bersama seperti hunting, traveling, makan bersama, atau sekadar bercerita mengenai segala hal.

ADVERTISEMENT

Saat itu tiba, di mana aku benar-benar jatuh hati pada seorang pria bernama Randi. Ia adalah teman sekelasku sekarang, sedangkan aku dan Ryan tidak sekelas karena kami mengambil jurusan yang berbeda, Ryan mengambil jurusan TI sedangkan aku Administrasi Perkantoran, karena kebetulan kami masuk SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) bukan SMA (Sekolah Menengah Atas). Randi adalah pria pertama yang mampu membuatku tersipu malu saat ia menatapku. Mungkin karena sebelum-sebelumnya aku tidak pernah jatuh cinta pada seseorang sehingga pengetahuanku tentang cinta juga memang sangat minim.

“Apa? Bocah kok jatuh cinta, kamu tuh masih kecil jangan dulu pacaran!” Ledek Ryan merespon ceritaku.

Padahal sebenarnya umur kami saja hanya terpaut 1 tahun. Dia lahir satu tahun lebih awal dariku. Aku yang sama sekali tidak tahu, tidak mengerti dan benar-benar blank dengan cinta, sedangkan Ryan adalah orang yang benar-benar paham, terlebih dia adalah raja gombal yang sudah berhasil melumpuhkan beberapa wanita. Perbedaan itu tentunya selain memberikan dampak negatif, tapi juga memberikan dampak positif, aku jadi bisa sharing, atau sekadar bertanya-tanya, apalagi dia itu pria, dan tentunya aku wanita sehingga orang yang ku sukai tentunya pria pula, jadi pastinya dia akan mengerti mengenai bagaimana pria itu, hal yang mereka sukai, mereka benci, dan hal-hal lainnya.

“Re, kamu itu pacar Ryan, yang anak TI itu ya?” Suara Randi sedikit mengagetkanku yang sedang fokus membaca novel, terlebih pertanyaannya yang membuatku lebih syok lagi.
“Aaaaahhhh… kenapa dia malah bilang gitu, padahal sebenarnya jelas-jelas orang yang aku suka itu kamu, kenapa semua orang malah nyangka aku pacaran sama Ryan sih.” Gerutuku dalam hati. “Re?” Tanya Randi lagi.

“Eehh iya… mmm… ngga kok, itu gosip dari mana sih? Kamu tuh salah, aku emang dekat sama Ryan, ya tapi cuma sebagai sahabat, apalagi aku udah bareng sama dia dari SMP (Sekolah Menengah Pertama) jadi wajar aja kalau kita dekat, kan bukan berarti sahabat cowok itu pacar!” Kataku kemudian.
“Oh gitu, soalnya denger-denger kalian pacaran, padahal gak apa-apa lo, mmm… cocok kok!” Jawab Randi.
“Hancur, remuk, atau banting-banting aja sekalian hati aku dari pada kamu ngomong kayak gitu, aaahhhh… tega banget sih kamu malah bilang gitu.” bisikku dalam hati.

Aku tak merespon pertanyaannya hanya tersenyum kecut mendengar jawabannya itu. Ternyata benar kata Ryan, mungkin aku memang belum saatnya jatuh cinta, terasa konyol semuanya. Kini, aku dapat merasakan senang, kemudian hari berikutnya sakit. Merasakan gejolak yang bergelora, tapi terkadang dibuat padam begitu saja. Apalagi sekarang Randi jadi sangat dekat dengan Vani teman sekelasku juga. Hatiku terasa dicabik-cabik setiap harinya. Aku mengungkapkan semua kekesalanku itu pada Ryan.

“Kalau kamu ngerasa udah siap buat jatuh cinta, kamu juga harus siap buat ngerasain sakit hati, gak akan ada cinta kalau yang ada hanya salah satunya.” kata Ryan sambil tertawa.

Dia memang tak pernah serius, segala sesuatu selalu ia bawa santai, tetapi sikapnya itu selalu membuatku merasa nyaman dan melupakan semua masalahku. Hal yang membuatku senang adalah saat ini Ryan sudah memiliki pacar, yang tentunya sekolah di sekolah yang sama dengan kami. Hal itu membuatku senang, karena dengan seperti itu, tentunya orang lain tidak akan menganggap bahwa kami pacaran lagi, dan yang terpenting adalah Randi sekarang benar-benar tahu bahwa aku tidak pacaran dengan Ryan. Tapi, hal yang membuatku tak mengerti adalah kenapa 99% orang masih mengatakan bahwa aku pacaran dengan Ryan.

“Hai, apakah kalian mengerti bahwa sahabat pria bukan berarti pacar?” Ingin rasanya aku berteriak di tengah-tengah lapangan basket agar semua warga sekolah mendengarnya.
“Re, Ryan mana? Tumben gak ke kelas? Masih sama Ryan kan?” Tanya Santi yang saat itu sedang berkumpul dengan teman-teman lainnya, di sana juga ku lihat ada Randi dan Vani. Anak-anak yang lain pun akhirnya mulai berkomentar, aku lihat Randi hanya tertawa. Rasa kesal mulai berkecamuk di jiwaku antara rasa cemburu melihat Randi dekat dengan Vani, dan anggapan-anggapan mengenai hubunganku dan Ryan.

“Kalian tahu, Ryan itu pacarnya Siska! Dan apa kalian tahu, sahabat pria bukan berarti pacar!” Jawabku ketus membuat anak-anak jadi terdiam. Entah setan apa yang merasuk dalam jiwaku saat itu, dengan perasaan marah bercampur kesal, aku langsung melangkahkan kakiku menuju kelas Ryan. Di sana aku lihat Ryan dan teman-temannya sedang berkumpul di teras depan kelasnya. Aku hanya diam tak berkata apa pun, tapi Ryan sudah mengerti, ia langsung bangkit dan berjalan ke arahku, masih tanpa sepatah kata pun aku langsung melangkah ke lapangan basket. Tanpa komando Ryan mengikutiku.

“Sahabatan sama kamu itu benar-benar bikin bete tahu gak, semua orang kira kita pacaran termasuk Randi, terus dia jadi jauh sama aku, dan sekarang dia deket sama Vani, padahal kamu tahu, aku bener-bener suka sama Randi, aku cinta sama dia, dan kamu tahu, itu semua gara-gara kamu!” Kataku dengan nada membentak. Ryan sama sekali tak merespon ucapanku, dia hanya tersenyum menanggapinya. “Ini gak lucu! Gak ada yang lucu! Enggak bisa setiap masalah kamu anggap sepele, oke aku tahu kamu itu playboy makanya kamu gak akan pernah bisa ngerti perasaan aku sekarang ini gimana.” Aku langsung pergi meninggalnya.

Dari kejauhan ku lihat Ryan masih berdiri mematung di sana. Sampai akhirnya bayangnya sudah tidak bisa ku tangkap lagi. Perasaanku saat ini benar-benar kacau, rasa marah, benci, kesal, sedih, menyesal semuanya campur aduk di hatiku, sehingga kini air mata yang menjadi saksi bisu semua perasaanku itu. Aku biarkan air mata ini terus berjatuhan membasahi tulang pipiku, berharap ada sedikit kedamaian yang nantinya bisa ku rasakan.

Sejak hari itu aku jadi tidak pernah bertemu, bercerita atau sekadar bercanda tawa dengannya. Kini, aku berusaha benar-benar menjauhinya. Seperti ada sesuatu yang hilang dariku, ternyata tanpa ku sadari sosok Ryan selama ini sudah sangat berarti bagiku, sebagai sosok insan bernama sahabat. Di satu sisi, hari ini adalah hari yang tak pernah ku duga-duga sebelumnya. Sore itu tepat saat jam pulang, Randi mengatakan hal yang sama sekali tidak ku bayangkan akan dia katakan sebelumnya. Ia mengungkapkan perasaannya padaku. Seharusnya aku merasa senang, tapi sedih juga hinggap di jiwaku kembali aku mengingat sikapku kemarin-kemarin pada Ryan.

“Tapi, aku dekat dengan Ryan, dan dia sahabatku.” ucapku terdengar begitu perlahan.
“Tidak apa-apa, seperti yang kamu bilang, sahabat pria bukan berarti pacar bukan?” Jawab Randi membuat jiwaku makin terkoyak, perasaan bersalah benar-benar melekat erat di hatiku, aku benar-benar merasa menyesal dengan sikapku kemarin-kemarin. Tak dapat ku bohongi hatiku memang benar-benar memilih Randi, sehingga dengan satu anggukan saja, mampu merubah hidupku dan mampu merubah statusku dengan Randi.
“Ran, maaf, aku harus pergi dulu, ada satu urusan lagi yang harus aku selesaikan, kamu pulang duluan aja ya!” Ucapku langsung berlari ke luar berharap Ryan masih ada di ruangan di kelasnya.

“Ryan ada?” Tanyaku pada salah seorang teman sekelas Ryan.
“Kayaknya aku lihat tadi dia udah pulang deh.” Aku bingung sekarang, perasaan bersalah ini ingin segera ku ungkapkan dan meminta maaf pada Ryan.
“Tapi, apakah Ryan akan memaafkan sikapku yang sudah keterlaluan, ku rasa dia bahkan sudah tidak ingin berteman denganku lagi.” kembali air mata mengungapkan semua rasa bersalahku.

Sore itu hujan kembali turun, di bawah derasnya hujan dibarengi dengan adanya petir membuatku sangat ketakutan. Randi sudah pulang karena memang tadi aku memintanya pulang duluan. Di sekolah juga sudah sepi, aku kembali masuk ke ruangan kelasku bersembunyi di bangku paling belakang karena ketakutan. Tiba-tiba…
“Bisakah kamu tidak selalu menangis, apakah kamu tak tahu betapa jeleknya wajahmu saat sedang menangis!” Aku langsung bangkit mendengar suara itu, seorang pria berdiri di hadapanku.

“Ryan?” Bisikku. Ia tersenyum padaku, aku langsung menghapus air mataku dan bangkit mendekatinya.
“Ryan, maaf… maaf aku.” belum sempat melanjutkan kata-kataku, air mataku kembali berjatuhan.
“Ah udah, udah lupain apa yang udah terjadi, dan jangan nangis kamu jelek banget kalau lagi nangis Re!” Ledek Ryan. Aku tertawa mendengar ucapannya, dan menepuk bahunya.

“Jangan pernah kau kira aku ini cengeng, siapa pula yang menangis aku hanya kelilipan.” jawabku sambil mengucek-ngucek mataku yang masih berair. Sejenak kami sama-sama terdiam, berdiri kaku sibuk dengan perasaan masing-masing. “Ryan kamu berarti buat aku, kamu sahabat yang paling baik yang pernah aku miliki, maaf jika ucapanku kemarin membuatmu terluka.” ucapku kemudian. Ryan tidak merespon ia hanya mengangguk dan tersenyum padaku.

“Tahukah kau, aku sudah jadian dengan Randi hari ini?” Ucapku dengan nada bersemangat.
“Ku harap dia bisa bersabar memilki pacar sepertimu.” Ryan kembali meledek. Sesaat dibarengi suara rintikan air hujan yang mulai mereda, tawa terdengar menggema mengisi seisi ruangan itu. “Tapi, apakah Randi tidak akan salah paham melihat hubungan kita?” Tanya Ryan kemudian, kali ini ia terlihat serius. “Tentu saja tidak, semua orang harus mengerti tidak ada batasan jenis dalam persahabatan, dan yang harus mereka tahu, persahabatan pria dan wanita bukan berarti mereka pacaran, dan Randi juga pasti akan mengerti, aku memiliki sahabat pria yaitu kamu. Sahabat pria bukan berarti pacar bukan?” jawabku.

Lalu kami mulai melangkah pergi karena hujan juga sudah reda. Tahukah kau Ryan, jalan persahabatan yang kita lalui mungkin awalnya memang dipertemukan dengan hal yang kurang menyenangkan. Tapi sekarang aku benar-benar merasa senang bersahabat denganmu. Satu hal lagi kawan, perlu kalian ketahui, punya sahabat pria bukan berarti itu pacar.

Cerpen Karangan: Margareta Wila
Facebook: Margareta Wila

Cerpen Sahabat Pria Bukan Berarti Pacar merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Sakit Hati Yang Luar Biasa

Oleh:
Di setiap pagi kujumpai orang-orang yang kusayang, hari-hari kujalani dengan keceriaan dan kesedihan yang bergiliran mengiringi jalan hidupku. Aku tahu aku tidak sempurna karena kesempurnaan hanyalah milik allah swt,

Salah Arti Bahasa

Oleh:
Di pagi hari yang cerah, kelas 8A yang berada di lantai dua SMP Nusa Bangsa sudah terlihat ramai. Murid-murid yang ada di dalam kelas itu sangat bersemangat memulai kegiatan

Hai

Oleh:
Semua mata memandang ke arahku, mata mereka terus berpijar tanpa henti. Seperti ingin menerkam mangsa. Apa yang telah kuperbuat sehingga mereka menatapku seperti itu? Perlahan kuperhatikan satu demi satu

Senandung Kampus Biru

Oleh:
Matahari terasa terik sekali di bulan Juni ini, seolah berada di negeri padang pasir, tiada awan, tiada angin berdesir, hanya panas terik menyengat. Dua orang sedang asyik mengobrol, atau

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *