Sahabat Scouts Selamanya (Part 1)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Persahabatan, Cerpen Petualangan, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 26 April 2016

Suara adzan subuh bergema, begitu juga dengan suara alarm handphone yang berdering memecah telinga seisi tenda, sontak semua terkejut, mereka meraba ke sana ke mari mencari di mana sumber suara yang telah mengakhiri mimpi indah mereka. Tangan terus meraba, walau mata masih tertutup tetapi tangan mereka terus berjuang menjelajah sampai suara alarm pengganggu tersebut mati meskipun tangan-tangan itu terus meraba sesuatu yang seharusnya tidak boleh ia raba.

“Semuanya bangun, bangun, bangun,” teriak Arifin dengan kerasnya, mungkin penghuni tenda sebelah pun terbangun gara-gara teriakannya yang keras itu.
“Waktunya salat subuh, ayo kawan semua bangun kita salat,” tambah Arifin.
“Ayolah, pakai semua perlengkapan salat kalian, dan langsung membuat barisan di luar tenda,” sambung Zia.

Ini adalah hari ketiga kami berkemah di bumi perkemahan jantho, kami sedang mengikuti kemah budaya yang diadakan oleh salah satu satuan karya baru di Aceh. Kemah ini bermaksud untuk mempromosi juga mensosialisasi tentang target tugas yang akan dijalankan sekaligus pelantikan kepengurusan baru pertama kalinya untuk satuan karya ini.
Seisi perkemahan telah bersiap-siap untuk melaksanakan ibadah salat subuh, begitu juga dengan kami, kami membentuk barisan di depan tenda, walaupun mata masih terkatung-katung, tapi salat subuh adalah pencetus semangat kami untuk memulai pertualangan hari ini. Aku memimpin barisan, terlebih dahulu menghitung jumlah anggota sebelum menuju tenda ibadah yang telah disiapkan pihak panitia kemah.

Yang pertama perkenalkan, aku Arifin Defrizal, pimpinan sangga Teuku Umar ini, aku yang bertanggung jawab atas anggotaku di perkemahan ini. Yang kedua adalah Yasril Muly, cowok yang memiliki postur tinggi, juga yang paling digandrungi oleh banyak cewek, dengan tampang yang semampai dengan para model, tentunya cewek-cewek yang kami pandangi membalas pandangan kepadanya. Yang ketiga adalah Muhammad Fadli, cowok yang setia di antara kami, tidak sehari pun ia tanpa mengeluh karena jauh dengan sang pacar yang ditinggalinya di kota, jauh dari pacar yang disayanginya adalah hal yang tidak lazim baginya.

Yang keempat adalah Budi Yahya, seorang pemuda yang yang patuh dengan orangtuanya, miliki otot tubuh yang kuat, adalah tugasnya untuk mengangkat perlengkapan kemah yang berat. Yang kelima adalah Rizal Alyani, penebar pesona kelas kakap, siapa pun yang didekatinya, pasti akan terbius olehnya, walaupun itu juga seorang pria. Yang keenam adalah Nazaruddin, sang pencinta wanita, jomblo adalah kata yang asing baginya, ke mana pun dia pergi, pasti ada saja yang melekat dengannya. Yang ketujuh adalah M Zia Ulhaq, wakil pimpinan sangga ini, dia yang menggantikanku saat aku sedang tidak di tempat, senantiasa membantuku untuk memimpin sangga ini.

Namun terasa ada yang kurang, kami berangkat dari kota lhokseumawe dengan jumlah personil sembilan orang, satu orang pembina dan kami berdelapan sebagai peserta untuk kemah ini, tapi ke mana satu orang lagi, ini hari ketiga kami berkemah di sini, tapi salah satu anggota kami menghilang. Kami menoleh ke sana ke mari, menatap ke pelosok-pelosok bumi perkemahan, apa pun yang bisa dilihat mata, berharap batang hidungnya terpampang di luar sana. Namun jangankan wujudnya, hawanya saja tidak bisa kami deteksi keberadaannya, yang tampak hanya warga perkemahan yang sedang berkumpul di tenda mereka masing-masing dan bersiap menuju tenda ibadah.

“Fin, coba lihat di dalam tenda, mungkin saja dia masih ada di dalam sana,” Rizal memberi saran sambil menunjuk ke arah tenda. Dan benar saja, tanpa disadari oleh lainnya, dia masih terlelap dengan mimpi-mimpinya yang mungkin tidak indah itu. Dia adalah Muhammad Iqbal. Anggota kami yang kedelapan. Si penggila game, game desktop maupun android, semua dilahapnya, tidak lagi memikirkan berapa sudah uang yang dihabisinya untuk bermain game. Dia masih mengorok, menggunakan tas Yasril sebagai bantalan, dan mengeluarkan cairan dari mulutnya, Yasril yang melihat tasnya dialiri cairan murni tersebut pun lantas berteriak yang pastinya seisi bumi perkemahan ini mendengarnya. “Woii.. Bal, kau bangun dari tas aku,”

Salat subuh selesai kami laksanakan, sebelum kembali ke tenda kami merebahkan badan kami di atas bukit rerumputan pinggir tenda ibadah, memandang ke arah timur, menanti terbitnya sang fajar menyinari bumi perkemahan ini. Suasana di sini sangat dingin, lazimnya pagi hari saat matahari belum memancarkan cahaya emasnya. Aku terus memandangnya, sebuah titik emas di arah timur itu, yang mulai mengeluarkan cahaya jingganya, menembus awan-awan yang menghalangi laju cahaya. Saat begitu damainya aku memandang pertunjukan indah dari sang ilahi tersebut, tanpa komandan kepalaku menoleh ke kanan, dan mataku terpaku, memandang seseorang yang baru saja ke luar dari tenda ibadah. Dia yang membuat hariku di kemah ini terus bersemangat, si anak hawa yang begitu mempesona, menambah indahnya matahari terbit dengan memandangnya, Ulfa namanya, dari kwarcab Banda Aceh.

“Balik ke tenda yuk,” imbuh Rudi.
“Aku udah lapar kali nih,”
“Betul juga tuh, aku juga udah lapar,” balas Fadli sambil mengelus perutnya yang sudah keroncongan itu.
“Sesuai jadwal kurve, Iqbal sama Zia yang masak pagi ini,” perintahku pada mereka.
“Masak yang enak ya Bal,”
“Beres tu Rud, kami pagi ini bakalan masak masakan intel,”
“Wihh, masakan intel, masakan apaan tuh?”
“Intel, indomie telor,”

Kami berdelapan adalah anggota pramuka penegak putra dari SMA Negeri 2 lhokseumawe, sebelumnya kami mengirim proposal ke pihak sekolah agar mau membiayai kami mengikuti perkemahan ini, kami berdalih bahwa kami juga perlu mengikuti perkemahan-perkemahan yang dilaksanakan di luar kota kami. Setelah kami lelah membawa pulang banyak piala dari semua macam perlombaan yang ada di kota lhokseumawe itu. Awalnya pihak sekolah tidak menyetujui permintaan kami ini, walau akhirnya sekolah mengabulkan permintaan kami, tetapi hanya memperbolehkan sangga putra saja untuk ikut di perkemahan ini. Kami menempuh perjalanan dari terminal kota lhokseumawe selama 5 jam perjalanan menuju bumi perkemahan jantho, kota jantho, Aceh besar.

ADVERTISEMENT

Jam menunjuk pukul 09:00, waktunya kami menerima materi dari krida-krida, setelah menyantap masakan intel buatan Iqbal dan Zia, kami pun bersemangat menuju krida-krida materi. Terdapat delapan krida dengan penyampaian materi yang berbeda, kami dileburkan menjadi 8 kelompok, jadi tidak ada di antara kami yang tergabung dalam satu kelompok. Semua tersebar ke masing-masing kelompok baru, di kelompokku terdapat sekitar tiga puluhan lebih orang dari semua kwarcab se-Aceh. Seperti yang ku bilang sebelumnya, ada satu orang yang selalu membuatku bersemangat selama mengikuti perkemahan ini.

Dialah Ulfa, gadis yang begitu mempesona, ia satu kelompok denganku, aku begitu dekat dengannya, terkadang aku mengabaikan kakak yang memberi materi kepada kami dan hanya memandangnya terus. Dan ini tidak bertepuk sebelah tangan, ia pun sering melepas senyum manisnya itu kepadaku, dan menjadikanku seseorang yang spesial baginya. Sebelum memasuki tenda krida, tanpa ku sadari saat aku berbalik tiba-tiba aku berpapasan dengannya, bukan cuma aku yang kaget, tetapi dia lebih kaget dariku, namun inilah dia, langsung senyumnya itu yang menghentikan keadaan yang kaku ini. Begitu senangnya aku bisa berjumpa lagi dengannya, walaupun tadi subuh aku baru saja memandanginya.

“Hei, Kak Arifin. Gimana kabar Kakak hari ini?” Dengan polosnya ia menyapa diriku.
Namun aku masih terpaku, tetap kaku badan ini saat berhadapan langsung dengannya, tapi tetap ku beranikan diri.
“Hei, hei juga Ulfa.. Oh baik, Kakak baik hari ini, apalagi bisa jumpa terus sama Ulfa. Ulfa gi-gimana kabarnya? Pasti baik kan?”

Senyum manisnya itu pun kembali merekah, wah, senyum itunyalah yang membuat seakan-akan seluruh tulang tidak sanggup lagi menopang badan ini. “Kakak kenapa? Kok terbata-bata gitu ngomongnya?” tertawanya kecil diiringi senyumannya itu, benar-benar membuat tulangku ini menggigil lemas. Padahal hari-hari sebelumnya aku sudah sangat dekat dengannya, sudah sering mengobrol dengannya. Namun tetap saja saat aku berpapasan dengannya selalu seakan-akan waktu berjalan sangat lambat bahkan tidak berjalan sama sekali. Dia memandangku, mungkin dia berpikir betapa bodohnya aku saat ini, hanya diam dengan mulut terengah, dia pun kembali tertawa, sedikit lebih keras dari sebelumnya.

“Hm, Ulfa baik juga kok,” aku tidak membalasnya, aku hanya diam, dan dia juga diam menunggu aku berbicara, kami terdiam selama tiga detik, bahkan mungkin selama lima detik, Ulfa menoleh ke arah tenda krida, aku berpikir dia telah memiliki sesuatu untuk dibicarakan dalam keadaan bisu ini.
“Kak, kita masuk ke dalam yuk, semuanya udah pada masuk,”

Ulfa benar, tanpa kami sadari tinggal kami berdua yang belum masuk ke dalam tenda, aku mengangguk, lalu mengikutinya masuk ke dalam tenda prapak ini. Kami duduk berdampingan di barisan paling belakang, itu karena kami terlambat masuk ke dalam tenda dan semua barisan terdepan sudah terisi penuh. Ulfa seorang yang humoris, dan memiliki banyak bahan untuk dibicarakan, kami membicarakan banyak hal. Dia bercerita bagaimana awalnya ia mengikuti pramuka, dan hal-hal yang didapatnya selama mengikuti pramuka. Aku tidak banyak bercerita, hanya mendengarkannya mengulas satu par satu pengalamannya, aku mulai yakin bahwa hanya kepadaku saja dia banyak bercerita tentang pengalamannya, itu karena saat aku melihatnya sedang bersama orang lain.

Ia terlihat tidak begitu bersemangat seperti saat bersamaku, hanya diam dan mendengarkannya saja, tidak banyak berbicara. Kami terus mengobrol saat itu, dan sesekali memperhatikan materi yang disampaikan kakak pemateri di depan. Sudah dua jam kami mendengarkan penyampaian materi, kami memainkan beberapa permainan tradisional di krida ini, juga beberapa game kefokusan, dan penyampaian materi di krida ini pun selesai. Materi selanjutnya akan dilanjut pada jam dua belas siang, yaitu materi hiking menjelajah hutan di sekitar bumi perkemahan jantho ini. Sebelum aku kembali ke tanda, aku kembali mengingatkan Ulfa tentang perjanjian yang kami buat sebelumnya, yaitu bertemu di jembatan belakang bumi perkemahan.

“Jangan lupa nanti ya jam setengah dua belas pas di jembatan,”
“Oke Kak, sampai nanti,” senyumnya manis lalu pergi kembali ke tendanya.
Aku pun kembali ke tendaku dengan senyum gembira di bibirku ini.

Aku sampai ke tandaku, ternyata aku yang paling cepat sampai ke tenda, entah ke mana kawan-kawanku yang lainnya, aku pun membaringkan tubuhku di dalam tenda, beristirahat sejenak mengembalikan kebugaran tubuhku ya sedikit letih ini. Aku memandang sudut atap tenda yang berwarna biru ini, tanpa sadar aku pun terlelap. Sinar terang, sinar itu membangunkanku dari tidurku, dan tampak sebatang cahaya gelap terpampang di tengah sinar terang itu, ternyata itu adalah Budi, yang sedang membuka pintu tenda sehingga cahaya matahari masuk ke dalam dan membangunkanku dari tidurku.

Aku melihat jam tanganku, untung aku baru tertidur dua puluh menit, sehingga aku tidak melewatkan jadwal janjianku tadi. Aku ke luar dari tenda, meregangkan sedikit tubuhku agar udara yang masuk ke badanku kembali bekerja dengan sempurna, lalu aku ke dapur, menuangkan air ke dalam baskom, dan mencuci mukaku dengan air itu, dan duduk di bawah tenda dapur sambil mengelap air di mukaku dengan handuk kecil. Di situ telah duduk Zia, Yasril dan Iqbal, aku pun bertanya pada mereka.

“Ke mana yang lainnya? Rizal, Rudi sama Fadli?”
“Mungkin orang tuh di kantin kali lagi minum kopi,” jawab Iqbal.
Aku hanya mengangguk kecil, dan kembali mengelap mukaku dengan handuk.
“Zia, aku ke kantin dulu ya sebentar, tolong jaga tenda,”
“Yah, itu mau ke kantin apa mau ketemuan sama cewek dari Banda Aceh itu, siapa Bal namanya?
“Ulfa,” jawab Iqbal.

“Iya, si Ulfa itu,” Mereka tertawa saat Zia mengatakan itu, entah kenapa aku mulai malu saat dia menyinggung kedekatan kami.
“Udah, diam aja, tugasmu sekarang Zia persiapin perlengkapan untuk hiking kita nanti,”
“Beres tu, dan tugasmu sekarang Fin adalah ngapelin si Ulfa mie bakso wak doyah yang di kantin itu,”
Dan mereka kembali tertawa, jauh lebih keras dari sebelumnya.

Aku langsung pergi meninggalkan mereka, dan mengarahkan tujuanku ke arah jembatan itu, saat aku akan sampai ke jembatan itu, aku melihat Ulfa sedang bersama seseorang di sana, aku mengenal orang itu, sangat mengenalnya, dia adalah Rizal, anggota sanggaku. Aku melihatnya sedang mendekati Ulfa, menyebarkan gombalan basinya itu untuk merayu Ulfa, aku begitu marah melihat ini, darah yang ada di tubuh ini mulai mendidih, mendidih karena amarah yang memuncak. Aku tak menyangka temanku sendiri bisa melakukan ini, mendekati orang yang sudah sangat dekat denganku, dan dia mengetahuinya. Aku sudah tidak tahan melihat ini, tampak Ulfa yang sedikit gelisah meladeni si Rizal, Rizal terlihat memaksakannya untuk berfoto berdua, dan menyilangkan tangan kirinya ke bahu Ulfa. Aku semakin tidak tahan melihat ini, ingin aku menghampirinya untuk menonjok dan melemparkannya ke sungai.

Saat aku ingin menghampiri mereka, baru beberapa langkah aku berjalan, kakiku berhenti melangkah, Ulfa telah melihatku, dengan ekspresinya yang tidak betah itu lalu berubah sedikit senang melihatku. Aku pun tertekun melihatnya, lalu memandang lemas kepadanya, hilang sudah keberanianku menghampirinya, melihat Rizal yang masih sibuk menglihat hasil fotonya bersama Ulfa dan kembali mencoba merangkulnya untuk berfoto lagi. Aku menggeleng lemah kepada Ulfa dan dia memandangku lebih lesu dengan mata bulatnya itu, seolah dia menyadari apa yang sedang aku rasakan sekarang. Aku pergi meninggalkan mereka berdua, dan aku yakin Rizal tidak menyadari kehadiranku tadi.

Aku kembali ke tenda, menendang keras sebuah botol minuman mineral kosong yang menghalangi jalanku di depan gapura, sontak membuat teman-temanku yang ada di tenda terkejut. Mereka mengoceh mempertanyakan kenapa aku semarah ini, aku tidak mempedulikan mereka, aku langsung pergi ke tenda dapur dan langsung merebahkan tubuh di bawahnya, teman-tamanku menghampiriku, dan mempertanyakan keadaanku sekarang. Saat aku melepaskan gelang yang melekat di tanganku, dan memperhatikan gelang itu dengan ekspresi marah. Mereka seolah-olah mengerti dengan apa yang sedang aku alami, mereka kembali duduk seperti semula, dan memandangiku dengan sikap yang iba.

Tidak lama kemudian, Rizal kembali ke tenda, kehadirannya membuat aku semakin muak, aku tetap memandang gelang ini, sedikit menggenggamnya dengan erat.
“Hei, lihat semua, aku baru aja dapat nomor hp cewek manis dari banda aceh itu, si Ulfa. Lihat ni, lihat ni,” menyodorkan handphonenya kepada Yasril, Yasril tampak kebingungan, mungkin Yasril mulai sadar kenapa aku bersikap seperti ini, dan sedikit tidak mempedulikan apa yang disampaikan oleh Rizal.
“Keren kan, memang aku mampu, nantikan waktu aku jumpa lagi sama dia, bakalan ku traktirin dia makan, bakalan ku ajak jalan-jalan dia keliling bumper ini, bakalan ku..,”

Belum habis dia berbicara, aku bangun dan tanpa pikir aku melempar Rizal dengan gelang yang ku pegang dan mengenangi pelipis kirinya dengan sangat kuat, dia meronta kesakitan. “Apa-apaan kau ini?”
“Dasar kau sialan,” bentakku. Yasril, Iqbal dan Zia memegangiku dan menahanku saat aku hendak menghajarnya, mereka berusaha menenangkanku, dan Rizal masih memegangi pelipisnya menahan sakit.
“Kau kan tahu kalau aku dekat dengan Ulfa, kok bisa-bisanya kau dekatin dia hah?”
“Ya terserah akulah, jadi apa sibuknya kau,”

“Kau betul-betul baj*ngan, sampe hati kau makan hati kawan kau sendiri, ku lihat kau tadi maksa-maksa minta foto sama dia, lalu kau bangga-banggain depan aku, kau memang baj*ngan sialan, dia itu milikku, kau camkan itu di otak kau,” aku semakin keras membentak Rizal. Mereka terus menahanku saat aku maju hendak menghajarnya, tapi mereka lebih sigap, mereka terus menarikku menjauh dari Rizal, dan menyuruhku pergi meninggalkan Rizal.

“Udahlah Fin. Cukup, cukup,” perintah Zia sedikit membentak, aku memperhatikannya, aku tahu dia membentakku karena dia ingin ini tidak menambah menjadi lebih buruk lagi, lalu aku mengarahkan pandanganku ke arah Rizal dengan muak.
“Kau memang betul-betul tega kau lakuin ini sama teman kau sendiri,” ucapku dengan gusam lalu meninggalkan mereka pergi ke arah sungai yang ada di belakang tenda.

Aku pergi dengan langkah kaki yang sangat cepat, tanganku menggempal dengan erat, membentuk tinju yang siap mendarat bagi siapa saja yang menginginkannya, aku terus melangkah memasuki hutan dan sampai di pinggir sungai, aku mondar-mandir, meluapkan amarahku dengan menendang sebuah balok kayu rapuh yang ada di tanah, dan berteriak sekeras-kerasnya. Zia datang menghampiriku, dia berusaha menenangkanku, aku hanya berdiri mematung tepat di pinggir aliran sungai. Zia mengambil beberapa batu, lalu berdiri di sampingku, dan melempar batu itu ke tengah sungai, aku memperhatikan riak yang muncul dari sungai itu, aliran sungai yang tenang, menjadi bergelombang dan riak setelah Zia melemparkan batu itu, Zia menyodorkan batu lainnya yang dia pegang kepadaku.

“Ambil batu ini dan lemparkan ke sungai, ambillah. Semoga kau jadi lebih tenang setelah ini,”
Aku hanya melihati batu itu, tangan ini tidak bersemangat meraihnya, pikiranku masih kacau, bahkan tidak tahu apa yang sedang ku pikirkan saat ini.
“Ayolah,” sekali lagi Zia menawarkan batu itu. Lalu aku memandangnya, Zia mengangguk, memberi isyarat agar aku mengambil batu itu, akhirnya aku mengambilnya, memandangnya sebentar, lalu melemparkannya ke tengah sungai, kemudian Zia ikut melempar batunya juga, kami sama-sama memandang ke arah jatuhnya batu, sekarang aku merasa sedikit tenang. Zia benar-benar bisa menenangkanku.

“Yuk, kita kembali ke tenda,”
“Tapi Zia, aku gak bisa menerima ini semua, kau lihat kan apa yang dibuat Rizal, dia betul-betul mempermainkanku,” ucapku lemas, Zia hanya mengangguk.
“Aku tahu, memang berat menerima saat teman kita sendiri membuat sebuah kesalahan kepada kita, tapi Fin kau harus mengerti juga, bagaimana saat kita sedang bersama, saat kau atau aku membutuhkan teman-teman kita, saat kita sama-sama menantang terik matahari dan saat kita saling menghangatkan saat hujan deras, kau ingat itu kan. Percayalah Fin, teman adalah segala-galanya, kita bisa sampai ke sini aja karena persahabatan dan kekompakan kita, memang Rizal baru saja membuat kesalahan.”

“Tapi sebelum itu, apa kau ingat saat dia membantumu membersihkan lukamu dan menemanimu semalaman di tenda darurat saat kau sakit, dia melakukan kesalahan ini untuk kesenangannya, ya itu memang salah, tapi dia gak pernah meninggalkan seorang teman yang sedang sekarat, ingat itu,” aku hanya terdiam, perkataan Zia benar-benar mengguncangku, betul-betul aku tidak bisa lagi berpikir mana yang benar mana yang salah, pikiranku benar-benar kacau, aku marah kepada Rizal, tapi semua perkataan Zia itu benar.

“Sekarang apa yang harus ku lakukan?” aku bertanya padanya.
“Sekarang kembali ke tenda, dan pimpin kami untuk hiking nanti,”
“Kayaknya aku lagi gak bisa sekarang, pikiranku lagi kacau. Kau aja Zia yang pimpin untuk hiking nanti mau,”
Zia hanya mengangguk, lalu kembali mengajakku kembali ke tenda.
“Oke, sekarang kita balek ke tenda, masalah hiking nanti aku yang bakalan urusin, dan kau Fin, jangan buat suasana jadi mencekam lagi,”
Kami tertawa sekedarnya, hanya untuk meluruskan suasana yang pilu ini, kami pun kembali ke tenda, sesampai di tenda, aku melihat Rizal sedang duduk di bawah tenda dapur, dia melemparkan pandangannya dariku, tak tahu apakah dia sedang marah ataupun menyesal, aku langsung masuk ke tenda, mempersiapkan perlengkapan untuk hiking nanti.

Bersambung

Cerpen Karangan: M Zia Ulhaq
Facebook: M Zia Ulhaq

Cerpen Sahabat Scouts Selamanya (Part 1) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Merajut Mimpi

Oleh:
“LINE LINE.” smartphone Yumna terus saja berbunyi, padahal hari sudah masuk tengah malam. “Yeay orderan lagi!” teriaknya gembira begitu membaca pesan yang masuk. Dengan sigap jari-jarinya menari di atas

Seutas Kisah Dariku

Oleh:
Sore itu aku sedang membantu Mama memasak. Memotong-motong bawang merah dan kawan-kawannya. Aku melirik Mama yang sedang fokus mengaduk nasi di panci. Lalu berdehem, bersiap menanyakan sesuatu pada Mama.

Kelulusan dan Perpisahan

Oleh:
Saat-saat yang menegangkan adalah saat dimana Ujian Nasional akan dilaksanakan! Itu menurut teman-temanku. Tapi menurutku, Ujian Nasional sama saja seperti ulangan-ulangan biasa. Yang berbeda cuma soal Ujian Nasional di

Cinta Dan Rahasia

Oleh:
Dinda mulai memetik senar gitar…. “Terakhir kutatap mata indahmu Di bawah bintang-bintang Terbelah hatiku antara Cinta dan Rahasia Ku cinta padamu namun, Kau milik sahabatku Dilema hatiku, andai ku

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *