Sepenggal Kisah: Necessary 1st (Part 2)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Persahabatan, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 26 January 2016

Dengan santai aku hendak melangkahkan kakiku ke luar ketika anak-anak yang tadi berfoto menghampiriku. Ada apa? Tanyaku dalam hati. Mereka menghampiriku dengan wajah sangar dan mulai mengelilingiku.

“Heh, mau ke mana kamu?!”
“Mana respect-nya dek?”
Oh… mau akting ala-ala komdis juga ternyata. Ya ampun, sampe segitunya.
“Bercandanya jelek!” Mereka tertawa.

Selepas adzan Isya kami masih bersiap-siap untuk acara berikutnya di api unggun. Tapi nampaknya api unggunnya belum sempurna dan kami harus masih menunggu. Aku salut pada panitia yang sudah menyiapkan acara ini. Meski sederhana tapi mereka mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Alfi dan rekan-rekan yang lain berada di halaman membuat persiapan di api unggun. Sekarang aku berada di teras sambil mendengarkan anak-anak bernyanyi dan sesekali ikut bersenandung. Ada Deda, Ikhlas, Cece, Vikrar, Rury, Tessa, dan Ghifari. Mataku tertuju pada api unggun yang letaknya agak jauh dari situ. Api unggunnya mulai besar dan tampaknya sudah cukup sempurna. Aku menoleh, dan melihat Vikrar yang sedang menyanyikan lagu Clarity dengan penuh penghayatan sampe matanya merem melek. Bang Indra ke luar dan sudah berganti pakaian dengan celana training dan kaos, tak lupa jaket.

“Ya ampun Bang, itu celana taun berapa?” tanya Ghifari seraya menunjuk celana Bang Indra yang bertuliskan ‘SMK 1 Cimahi’. Bang Indra mengeluarkan cengiran khasnya. “Sssstt..” Katanya. “Eh, ke sana yuk. Udah pada siap.” Kata Bang Indra. Kami pun bangkit dan menuju api unggun.

Kami bisa merasakan rumput yang basah di bawah telapak kaki kami meski kaki kami terlapisi alas. Udaranya begitu dingin sampai hidung kami memerah dibuatnya. Namun begitu kami mendekat ke api unggun setidaknya kami bisa menghangatkan diri. Tanpa disuruh kami sudah langsung melingkari api unggun. Cahayanya cukup untuk menerangi malam yang gelap itu. Ya, menerangi malam gelap dan perlahan masuk menerobos menerangi hati kami.

“Selamat malam semuanya! Nah sekarang kita mau ada games nih.” Kembali Dini mengambil alih acara. Kami mengadakan games ringan, bernyanyi sambil mengedarkan makanan ringan. Lagu yang kami pilih adalah lagu anak-anak seperti pelang-pelangi dan balonku. Enggak tahu kenapa. Mungkin sekedar nostalgia tentang masa kecil kami, atau mungkin karena biar enggak ribet milih lagu yang panjang. Setelah melakukan games ringan host membacakan hasil dari angket yang kami kumpulkan ketika makan malam tadi. “Hasil dari angket yang tadi udah ada nih, sekarang mau kita bacain. Tapi inget ya ini mah buat seru-seruan aja jadi kalau ada yang kurang berkenan jangan di ambil hati ya.” Kata Dini, dan inilah hasilnya…

“Manbis tercantik adalah… Nadia.”
“Manbis terganteng adalah… Ilyas.” Pasangan super…
Yang dapet gelar Manbis terwibawa adalah Bang Indra.
“Mungkin bukan terwibawa, terwibawa teh karena faktor paling tua iya kan?” komentar Bang Indra ketika dikalungkan gelar Manbis terwibawa oleh Anbar. Anak-anak tertawa, yah ada benarnya juga sih. Lalu setelah itu ada Manbis ter-hedon yang disabet oleh Kevin. Pemuda berambut berantakan itu maju dengan cueknya. Setelah dia kembali duduk ia bertanya pada Stefany.

“Emang aku hedon?”
“Emang kamu hedon.”

Kategori selanjutnya adalah Manbis yang ter-ancam punah. Enggak ngerti juga sebenernya mereka dapet ide kategori ini dari mana? Tapi ya namanya juga seru-seruan, dan yang mendapatkan gelar ter-ancam punah adalah Finki. Mungkin ada beberapa alasan tertentu kenapa banyak yang memilih Finki sebagai Manbis yang ter-ancam punah. Pertama, memang sifat dan karakternya unik selain itu mungkin karena Finki sekarang sedang mengikuti tes untuk masuk ke IPDN, yang berarti jika Finki lulus semua tes-nya dia akan pindah ke IPDN. Dengan kata lain jika Finki akan pergi, dia memang ter-ancam punah lalu host-pun mengumumkan kategori lainnya.

Malam semakin larut dan beberapa orang sudah mulai membuat jagung bakar. Kami masih mengelilingi api unggun dengan diiringi petikan lembut gitar. Mungkin kami hampir pada acara inti di sini. Satu persatu dari kami mulai berbicara, mungkin sekedar curhat atau mengungkapkan perasaannya tentang acara ini. Dari pembicaraan ini kami mencoba untuk membuka gerbang pembatas yang selama ini menghalangi dan memasuki sebuah dunia baru yang dipenuhi dengan rasa kepercayaan. Dari sini kami mendengarkan keluh kesah dan pendapat dari beberapa anak manusia yang sedang mencari jati dirinya. Sesekali diiringi dengan canda tawa dan tak jarang suasana tiba-tiba berubah menjadi sendu.

ADVERTISEMENT

“Yah, kalau Sultan mah gimana ya? Da emang gini orangnya, suka bercanda jadi jangan diambil hati.” Lalu kami tertawa.

Kami juga baru tahu kalau dulu sebelum bertemu di sini ternyata Alfi dan Bang Indra pernah bertemu sebagai rekanan di sebuah perusahaan. Raut nostalgia menghiasi wajah mereka berdua dan sesekali tersenyum. Lalu Ades yang menceritakan perjuangannya masuk UPI setelah gagal masuk ke beberapa universitas negeri. Silmi yang sebenarnya tidak suka ketika ia ditunjuk sebagai presidium ketika sidang LKM. Alfi yang menyemangati kami, atau mereka yang menceritakan keluarganya dan segala masalahnya. Kami tumpahkan di sana. Suara berkeretak terdengar ketika api dalam tungku terus membakar kayu menjadi debu. Bang Indra memegang mikrofon namun belum juga berbicara sepatah kata pun.

“Muntahin aja Bang!” Kataku. Lalu ia berpura-pura muntah sambil tersenyum.
“Aduh apa ya? Jadi bingung…”

Lalu malam itu kami pun tahu bagaimana perjalanan seorang Bang Indra hingga ia bisa duduk bersama kami di sini, malam ini. Bagaimana dia melalui pilihan berat antara bekerja dan kuliah beberapa tahun lalu. Bagaimana seorang anak sulung dan satu-satunya anak laki-laki dalam keluarganya harus bekerja dan menyimpan dulu keinginannya untuk meneruskan pendidikan. Bagaimana dia dengan susah payah akhirnya mendapatkan izin dari orangtuanya. Lalu bagaimana ia melewati masa-masa sulit. Bagaimana dia begitu mempercayai mimpi-mimpinya hingga ia bisa berada di sini malam ini.

“…Lalu aku seneng banget ketemu sama Ades.” Bang Indra melirik Ades yang duduk tak jauh darinya. Mata gadis itu sedikit berair memantulkan nyala api dengan jelas.
“aku inget waktu sidang LKM, waktu kita dipersilahkan maju untuk public speaking Ades bilang gini ‘…kalau aku enggak mulai sekarang lalu kapan lagi?’ itu tuh sama banget sama visi aku selama ini. Kalau aku enggak mulai sekarang, aku enggak akan pernah bisa mulai.” Sendu. Terlalu sendu. Indah dan begitu cantik mimpi-mimpi anak manusia ini. Begitu murni sebetulnya jika kita mau melihatnya lebih lama dan lebih dekat lagi. Namun terkadang kita tidak sabar dan hanya melihat sekilas hingga kita tak bisa melihat kemurniannya.

“Nah, sekarang kita ngomongin nama angkatan. Gimana? Udah ada yang punya ide?” tanya Bang Indra. “Atau mau Equilibrium aja?” Yah ide itu entah kenapa muncul beberapa hari yang lalu di grup angkatan. Anak ekonomi banget, kan? “Gimana kalau sesuatu yang berhubungan dengan perubahan. Kita kan ingin banget tuh tahun depan jadi lebih baik lagi dari tahun ini.” Aku lupa apakah aku yang bilang begitu atau orang lain.

“Nah, kita udah dapet tuh kata kuncinya. Perubahan ya. Sekarang mau apa jargonnya?” Tanya Bang Indra lagi. Lengang kemudian.
“Change.” Kata salah seorang dari kami. Hening lagi. “Gimana kalau Changer?”
“Ranger? Ranger itu kan agen. Kita kan sebagai agen perubahan juga.”
“Eh boleh tuh.”
“Tambahin better. Kan ingin lebih baik.”
“Jadi sepakat ya. Ranger, Changer, Better?”
“Ya!!!” Seru kami.
“Oke.” Bang Indra kembali mengambil alih. “Kita tes suara ya?”
“MANBIS 2015!!!”
“RANGER! CHANGER! BETTER!”

Ku gadahkah kepalaku ke atas langit. Haru itu menyeruak seperti nyala api yang menghangatkan kami. Malam ini begitu syahdu dengan jutaan bintang yang berkelipan di atas kami. Seperti kunang-kunang yang menari-nari di angkasa. Rasanya seperti pintu surga telah dibuka sedikit agar kami bisa mengintip keindahan di dalamnya. Dipadu suara binatang malam yang menjadi pengiring bintang-bintang yang menari di sana. Tuhan tengah tersenyum mendengar teriakan muda-mudi ini dan andaikan kau bisa melihat harapan-harapan kami terbang ke angkasa bak sulur-sulur benang yang menjuntai ke langit. Di sepertiga malam kedua itu harapan-harapan kami, mimpi-mimpi kami, tujuan-tujuan kami didengar langsung oleh sang pencipta dan semesta beserta isinya menjadi saksi. Terima kasih semesta. Terima kasih Tuhan.

Pagi hari di BRSPP Lembang…
Masih berselimut sarung, bangun tidur, dan belum mandi. Anak-anak ini nongkrong di depan teras sambil minum susu murni hangat. Tak jauh dari sana kami melihat segerombolan anak dengan seragam berwarna hijau sedang berbondong-bondong menuju lapangan.

“Bang mereka siapa sih? Bajunya samaan gitu.” Kata salah seorang dari kami.
“Mereka teh orang-orang yang lagi rehab.” Jawab Bang Indra santai sambil minum susu.
“Rehab? Rehabilitasi apaan?” tanyanya lagi.
“Enggak tahu. Mungkin rehabilitasi nark*ba.”
“Jadi Bang? Selama ini kita diem di tempat rehabilitasi nark*ba?”
“Iya, sebenernya secara enggak sadar kalian itu lagi direhabilitasi di sini.”
Bercandanya parah.

Cerpen Karangan: Kharisma
Blog: rahmaniakharisma.wordpress.com

Cerpen Sepenggal Kisah: Necessary 1st (Part 2) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Hari Hukuman Nathalie

Oleh:
Mentari pagi menyapa dengan sinar hangat yang terpancar dari jendela kamar. Nathalie, cewek yang periang, cerdas, dan mudah bergaul ini sudah terbangun dari mimpinya. Sedangkan Nathan yang notabennya cowok,

Hadiah Terburukku

Oleh:
Huaaaaammm. Aku menguap. Rasanya mengantuk sekali. Suasana kelas yang ribut membuatku tidak semangat belajar. Aku Justin Jones. Hari ini hari ulang tahunku. Karena itu aku sangat bersemangat pulang ke

Magic Book

Oleh:
Randi adalah anak SMP biasa yang tinggal bersama ibu dan kakak perempuannya, sedangkan ayahnya sudah tidak ada sejak dia berumur tujuh tahun. Sejak saat itu ibunya menjadi ibu sekaligus

Pengalaman Lomba Matematika

Oleh:
Awalnya saya ikut lomba matematika, karena saya iseng ikut-ikutan teman saya yang bernama Rendra. Waktu itu pas saya kelas dua SMA. Saya ikut dan ternyata soalnya tidak mudah. Caranya

Hari Ini, Esok dan Seterusnya

Oleh:
Aku bersembunyi di semak semak, ingin memata matai 2 insan yang telah menyakiti hatiku. Kulihat mereka tengah bercanda tawa dengan gembiranya, wanita yang kucintai bersama pria yang ku benci.

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *