Indah Pada Waktunya

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 24 January 2022

“Akan ada cara Tuhan mengindahkan suasana,
setelah kita menganggap caranya fana”

Hidup dan kehidupan bukan hanya tentang bagaimana manusia mampu bernafas. Tetapi bagaimana memanusiakan manusia hingga berkelas. Seumpama roda, hidup dan kehidupan akan selalu berputar. Entah ruang atau orang yang mungkin saja berbeda. Benar, beda. Ya beda pandangan beda perlakuan.

Begitu pun dengan siswa pendiam ini. Hidup sederhana tidak menjadikan pemilik nama nama Acepia mudah menyerah. Meskipun ia bersekolah di lingkungan yang mungkin dipandang berkualitas, sedangkan kondisi keluarga serba pas-pasan. Bahkan dipandang sebelah mata oleh salah satu guru seni di sekolahnya. Suatu ketika ia terlambat datang ke sekolah, karena jarak dari rumah ke sekolah jauh dan ia tinggal di desa namun bersekolah di kota. Jarak dari rumah ke sekolah tidak menjadikan ia lelah, karena ia tetap konsisten dengan sekolah yang ia pilih.

Suatu ketika ia terlambat datang ke sekolah, tepatnya 06.45 dan mendapat hukuman untuk membersihkan lapangan sekolah. Setelah itu ia baru diizinkan untuk masuk kelas. Usahanya tidak hanya sampai disitu. Saat masuk kelas pun diberikan hukuman berupa berdiam diri di depan kelas. Seorang anak pemalu ini menjadi tidak percaya diri karena hari pertama masuk sekolah sudah mendapat hukuman karena telat.

Beberapa hari kemudian
Lagi-lagi ia telat. Namun kali ini kesalahannya menjadi double karna ia tidak memakai seragam batik. Ia pun pasrah karena memang orangtua pun belum mampu untuk membelikan seragam batik dan seragam olahraga. Niatnya untuk sungguh-sungguh menuntut ilmu menjadikan ia berani untuk datang sekolah.

Sesampainya di sekolah
Tentu melewati hukuman sekolah double yakni mendapat hukuman dari sekolah dan dari guru mapel pertama yang kebetulan guru seni tersebut sangat terkenal tegasnya. Ia hanya diberikan izin masuk kelas, namun tidak boleh duduk di kursi karena harus berdiri saja di depan kelas selama pembelajaran berlangsung.

Seminggu kemudian
Ia telat kembali, dengan hari yang sama dan kesalahan yang sama. Karena sampai detik itu pun ia belum mampu membeli seragam. Kali ini hukumannya menjadi lebih melelahkan. Ia diintruksikan untuk naik tangga dari lantai dasar ke lantai tiga dengan jalan jongkok. Hal itu dilakukan sebanyak 25 kali. Setelah selesai ia masuk kelas kembali.

Detak demi detak semakin cepat mengiringi tiap derap langkahnya. Cemas, takut dan rasa malunya semakin mendarah daging, karena ia sering telat dan tidak berseragam.

Sesampainya di kelas kembali.
“Kamu ini ya, muka saja kalem dan berjilbab tapi hati bagai harimau” dengan lantang teriakan tersebut menyentuh telinga. Pia pun tertunduk merasa bersalah, takut dan malu dengan temannya. Seketika teman-temannya pun menatapnya dan merasa ketakutan juga. Pia jadi merasa minder dengan temannya, terlebih orang yang ia sukai sejak awal masuk sekolah.

Hari-hari berlalu, ia pun tidak terlambat lagi. Seragam pun telah ia miliki. Namun lagi-lagi kejadian itu masih sangat menggores hatinya bila mengingatnya. Akhirnya setiap ada pelajaran seni, ia tidak masuk sekolah. Goresan batinnya seolah mengakar hingga bertunaskan trauma dan membumi hanguskan semangat yang selama ini ia tanamkan. Ia butuh waktu dua hari untuk mencoba melupakan kejadian tersebut.

ADVERTISEMENT

Keesokan harinya
Orang yang ia sukai tidak masuk sekolah karena sakit. Awalnya pia pun biasa saja. Namun setelah seminggu Pia si pemalu ini penasaran, dan menanyakan kabarnya ke teman-temanya yang lain.

“Fajar kenapa kok tidak sekolah-sekolah?” dengan suara lembut terkesan bisik-bisik ke teman wanitanya. Veni pun menjawab “sakit Pi, sakit tipus dan dirawat di rumah sakit”. Pia terkejut mendengar kabar orang yang ia sukai dalam diamnya.

Dua hari kemudian
Siang itu. Daun-daun menari ria berirama angin-angin surga. Ternyata bahagia itu sederhana. Sesederhana mengagumi dalam diam dan merawatnya dengan sapa senyuman. Terdengar angin surga bermelodi cinta yang terlantun dalam ucap orang yang ia damba. “Pi, ini buku ips kamu, yang beberapa hari lalu kamu tidak masuk. Jadi aku simpan, maaf ya”. Sambil menundukkan pandangan Fajar pun memberikan buku itu kepada Pia. Dengan rasa yang gemetar dan malu, Pia pun menjawab dengan tersendat-sendat “iii.. iiiya Jar makasih yah”. Lalu pia pergi ke kantin.

Sesampainya di kantin. Fajar pun ternyata memiliki tujuan yang sama-sama ingin ke kantin dengan teman-teman lainnya. Begitu pun Pia. Teman-temannya silih berganti menuju kantin. Ternyata selama Fajar di kantin, ia mencuri-curi pandang untuk melihat dan memperhatikan tingkah Pia. Karena Pia merasa ada yang melihat diam-diam, ia pun menoleh ke kiri dan ke kanan yang ternyata tidak ada yang memperhatikannya. Kemudian Fajar perhatikan Pia kembali. Dan tepat saat itu Fajar ketahuan oleh Pia, ternyata yang tadi ia rasa benar. Benar bahwa ada yang memperhatikannya, yaitu Fajar.

Hari demi hari ia lalui dengan kepura-puraan. Menutupi segala rasa yang masih ia rahasiakan. Lelah memang mencintai dalam diam. Ketahuan menjadi malu, tidak diketahui menjadi pilu. Benar hidup memang pilihan. Setiap insan berhak memilih tanpa paksaan. Seperti Pia yang memilih diam meski terkadang mengharapkan senyum sapa dari orang yang ia idam-idamkan. Ibarat menunggu kering disaat musim hujan. Laksana menyukai mentari, namun memeluk bulan. Sesuatu yang menurutnya tidak mungkin.

Beberapa hari kemudian
Tepat pagi itu, dibawah meja Pia menemukan sebungkus coklat bertuliskan roman-roman mesra. Ia tidak tahu siapa pemilik coklat tersebut. Bel istirahat pun berbunyi “kriiiiinggggg… kriiiiinggggg… kriiiiinggggg” semua siswa keluar kelas menuju kantin. Hanya Fajar masih didalam kelas, sedangkan Pia sudah bersiap-siap menuju kantin dengan merapihkan bukunya terlebih dahulu. “Semoga suka ya dan jangan telat lagi” terdengar suara khas dari belakang sudut ruang kelas. Pia pun menoleh kebelakang kelas dan ternya itu suara Fajar. Pia hanya membalas dengan senyuman sambil menunduk malu “terimakasih”.

Tepat hari senin. saat pelajaran pertama Fajar tidak hadir. Dalam diam netra Pia menjelajah ke setiap sudut ruang. Namun Fajar belum terlihat hadir. Bu Dewi pun mengabsen siswa dengan menyebutkan namanya satu per satu.

“Fajar… Fajar mana? Fajar Hadir?” panggil bu dewi saat absen. “Fajar sakit bu. Tadi dibawa ke UKS saat upacara. Sakitnya kambuh dan belum sembuh total kata orang tuanya” sahut Irwan.

Siang harinya. Fajar pun baru bisa masuk kelas kembali setelah istirahat di UKS. Beberapa menit setelah pelajaran dimulai, kondisinya pun semakin melemah. Hingga akhirnya memutuskan untuk menelpon orangtuanya dan menjemput Fajar untuk istirahat dirumah.

Sesampainya orangtua Fajar, bu Dewi pun bertanya “Fajar sakit apa bu? Kok kelihatannya semakin hari semakin pucat wajahnya”. Ibunya pun tersenyum dan menjawab “maaf bu Fajar sebenarnya sudah parah sakitnya. Bahkan sudah divonis dokter. Tapi saya tidak bisa memberi tahu sakitnya.” Pia yang mendengar perbincangan itu pun kaget mendengar ucapan ibu Fajar. Ternyata orang yang ia kagumi sudah memiliki penyakit berat.

Pia yang baru saja bersemangat kembali sekolah, kini seolah hancur lagi setelah mendengar kabar Fajar yang sebenarnya.

Empat hari pun berlalu. Fajar pun belum terlihat ada di sekolah. Hal ini membuat Pia teringat kembali kejadiaan lalu. Lagi-lagi ia ingin menyerah jika mengingat kejadian awal masuk, karena masih merasa takut dengan guru yang ucapannya tidak enak didengar itu. Terlebih, kondisi Fajar yang sejak kejadian setelah upacara membuatnya semakin ingin menyerah. Seolah ia bersudut pandang bahwa sekolah adalah tempat pencipta luka.

Benar saja. Tepat pukul 10.32 wali kelas mengumumkan kabar duka dari Fajar. Saat itu Pia merasa menyesal karena orang yang ia kagumi telah tiada. Menjadikan Pia semakin tak bersemangat untuk Sekolah.

Setiap hari Pia murung dan tak lagi ceria di sekolah. Semangatnya hilang, orang yang dikagumi pun telah berpulang. Cinta memang bukan matematika yang dapat dihitung berapa kali pertemuan dan berapa kali kehilangan. Faktanya cinta memang tak dapat dirumuskan, tapi rasa cinta dapat disematkan dalam sebuah harapan. Begitu pun dengan Pia, kehilangan orang yang diharapkan membuat patah yang tak berkesudahan. Hingga ia ingin menyudahi sakit dengan memutuskan berhenti sekolah.

Ia pun berhenti sekolah. Setiap harinya selalu mengurung diri di kamar, mengingat perkataan gurunya tersebut. Ia berpikir bahwa hukuman yang diberikan tiada henti, terlebih dengan perkataanya tersebut. Ia selalu bergumam dalam hati “untuk apa sekolah jika hanya untuk menerima hukuman dan hukuman”. Tidak makan, tidak minum dan tidak keluar kamar membuat pikiran Pia semakin merasa stress. Harus menanggung malu karena tidak bersekolah, sedangkan adik dan kakaknya masih bersekolah. Berpikir bahwa tetangga selalu membicarakan tentang Pia yang bodoh karena tidak ingin sekolah. Padahal semua hanyalah pikiran negatif Pia.

Sunyi, sepi setiap hari yang Pia rasakan. Seakan semua keluarga menjauhinya. Padahal setiap menit ayahnya selalu membujuk Pia untuk makan dan minum agar tidak sakit. Ibu mengajak Pia untuk liburan, karena khawatir dengan kondisi anaknya yang setiap hari selalu mengurung diri. Orangtua Pia hanya tahu bahwa ia memiliki masalah dengan guru, tanpa tahu persoalan Fajar. Pia pun tidak ingin melihat orang meskipun kelurga atau ayah dan ibunya. Ia selalu menutup muka jika ada siapapun yang menghampiri. Namun nyatanya tetap saja luka dari sebuah benda tak bertulang memang menghunus relung Pia yang paling dalam.

Setahun kemudian
Ayah dan ibu membujuknya untuk sekolah kembali agar tidak menyesal dikemudian hari. Namun Pia pun tidak mau. “Tidak ada kata terlambat untuk belajar. Tidak apa-apa Pi berhenti dari sekolah itu. Daftar baru lagi aja di sekolah lain ya” bujuk ibunya. “ayo Pi semangat, Allah tidak akan merubah suatu kaum jika bukan kaum itu sendiri yang mengubahnya. orangtua hanya mengarahkan, yang bisa merubah ya diri kamu sendiri” sambung ayahnya. Pia pun tetap terdiam tanpa satu kata pun terucap.

Detik demi detik ia selalu mempertimbangkan kembali perkataan orangtuanya. Tiba-tiba Pia teringat ucapan Fajar bahwa Pia jangan telat lagi. Ia pun meyakinkannya dengan mengingat ucapan orangnya bahwa tiada kata terlambat untuk belajar. Esok harinya. Pia pun memutuskan untuk mau menuruti keinginan orangtuanya untuk kembali sekolah dengan sekolah yang berbeda.

Pia pun kembali bersekolah di sekolah lainnya

Semangat barunya kini tumbuh kembali. Hingga ia berprinsip “harus bisa lebih baik dan malu jika tidak ada perubahan dari hari kemarin”. Hal itu yang mendorong Pia untuk selalu rajin belajar dan mengerjakan tugas tepat waktu. Selama di sekolah baru Pia dikenal sebagai anak yang pintar. Setiap minggu mendapat nilai ulangan matematika 100. Ia selalu mendapat juara kelas dan juara umum pertama disekolahnya. Tak jarang ia mengikuti lomba matematika dan sains tingkat nasional, serta menjadi siswa kebanggaan disekolahnya karena selalu membawa nama baik sekolah barunya.

Tiga tahun kemudian
Ia menjadi siswa SMA dengan tetap dikenal sebagai anak yang pintar dan teladan. Masih tetap menjadi juara kelas dari kelas X sampai kelas XII. Ia pun semakin sering dipilih untuk mewakili lomba matematika dan biologi disekolahnya hingga mendapat juara kembali.

Indah tak selamanya berjalan lurus, namun indah adalah ketika kita berhasil melewati segala rintangan dan memenangkan sebuah perjuangan. Begitupun dengan Pia, semakin hari semakin meningkatkan kualitas diri.

Cerpen Karangan: Fildza Malahati
Facebook: Fildza Malahati
Mahasiswa Pascasarjana PGMI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 24 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com

Cerpen Indah Pada Waktunya merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Bullying

Oleh:
Hari itu terasa sangat berat untuk melangkah. Sangatlah gelisah hatiku para teman temanku memusuhiku (bahkan, mulai membullyku) karena aku memakai tas yang kebetulan motifnya sama seperti yang geng mereka

Malam yang Panjang

Oleh:
Sepertinya ini akan menjadi malam yang panjang. Suara jarum jam dinding pun terasa sangat lama. Seperti enggan berpindah dari satu angka ke angka yang lain. Sekarang, jam menunjukkan pukul

Menara Impian

Oleh:
Hembusan angin membuat gorden melambai-lambai. Lantai ruangan itu dipenuhi dengan cipratan cat berbagai warna. Kuas, palet, dan kertas yang berserakan menambah kesan tak teratur. Ruangan itu terlihat sepi, hanya

Berawal dari OSIS

Oleh:
Kriiing, alarm berwarna biru muda berbentuk doraemon langsung membangunkanku. Namaku sasa aku merupakan anak tunggal di keluargaku, dan keluargaku termasuk keluarga yang berada. Hari ini hari pertama aku bersekolah

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *