Senyum di Puncak Lawu

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Perjuangan, Cerpen Romantis
Lolos moderasi pada: 25 November 2016

Aku bisa merasakan bagaimana dinginnya tempat ini nanti malam. Mendung di sudut sore itu sudah mulai menebal, matahari pun sudah mulai bersembunyi. Padahal ini masih jam 2 siang.

Di ujung atas sana ada puncak yang akan aku datangi. Terkadang kelihatan, terkadang tertutup awan. Mungkin ini kesempatan terakhirku untuk melihatnya hari ini sebelum tertutup mendung yang akan mebawa hujan. Aku berniat mendakinya sendiri. Ya, melewati perjalanan yang begitu menyenangkan dengan suara-suara hewan yang tak pernah kudengar di kota. Dengan harum bunga edelweis yang tak mungkin kupetik dan kubawa pulang.

Jam tangan sudah menunjukan 2:30 dan aku sudah makan siang. aku berangkat.
Jarak antara Pos keberangkatan dengan pos satu tidaklah jauh. Hanya sedikit gelap karena masih banyak pohon yang tinggi di kanan kiri. Masyarakan juga masih banyak yang berlalu lalang mengunjungi perkebunan mereka.

Di pos satu sudah bertemu dengan beberapa pendaki yang turun. Beberapa pendaki meminta sedikit air minum padaku untuk menghilangkan dahaga mereka. Itu biasa karena memang di atas tidak ada sumber air. Ada sebenarnya, tetapi bagiku memang tidak terlalu bersih untuk dikonsumsi.

Sampai di pos dua aku mampir untuk istirahat sebentar, walau semangat masih menggebu, dan tenaga masih kuat. Tetapi istirahat tetap diperlukan untuk menjaga kekuatan dan semangat itu. Disana ada satu gadis yang juga sedang istirahat. Pakaiannya bukan khas pendaki, walau itu tidak memberitahukan kepadaku dia pendaki pemula atau memang sudah berpengalaman.

“Minum mbak?” Sapaku sambil menawarinya air minum.
“Makasih mas, masih ada kok.” Sambil dia juga menunjukan botol minumnya, yang entah kenapa aku tadi tidak melihatnya.
“Sudah turun dari atas mbak?”
“Baru mau naik ini mas. Hehe”
“Sendirian?” Dia istirahat sendiri karena memang kupikir dia sudah turun. Jadi bisa ditinggal teman temannya. Karena memang sudah dekat dengan perkampungan.
“Iya mas. Maunya sendiri, tapi karena mau hujan jadi saya pilih buat nunggu pendaki lain aja, cari barengan.”
“Oh.”
“Boleh barengan sama masnya saja?”
“Hah?” Aku tidak ada masalah sebenarnya, hanya saja niatku untuk menikmati pendakian sendiri jadi terhambat. “Boleh saja” lanjutku.

Berangkat dari pos dua berdua dengannya. Aku masih belum punya hasrat untuk mengajaknya kenalan. Hanya sesekali ngobrol sudah berapa banyak puncak yang didatangi? Sudah berapa perjalanan yang seru seru? Saling berbagi informasi di gunung semeru, dan dia membagi pengalamannya di gunung sumbing. Dan ternyata dia lebih banyak mencapai puncak dibandingkan aku.

Hutan sudah mulai berkurang. Tinggal tersisa pohon mati dan kering disana sini. Mendung semakin gelap walau seharusnya belum mulai gelap. Kami tetap berjalan dengan langkah yang pelan tetapi pasti, karena memang begitulah seharusnya. Tanjakan mulai curam. Dia di depan. Langkahnya mantap tanpa sedikitpun mengeluh. Sepertinya dia memang menikmati perjalanan ini.
Sedikit membuatku heran, jika memang dia berpengalaman mendaki, kenapa dia harus menunggu teman untuk melanjutkan perjalannnya? Bukankah dia sudah terbiasa sendiri. Tapi aku tak berniat menanyakannya. Mungkin karena memang dia takut dengan kemungkinan hujan malam ini.

Hujan mulai datang. Dia mengajak untuk berteduh dulu di pos terdekat. Secara kebetulan ada pos di dekat situ. Walau aku sendiri sudah lupa itu pos yang keberapa. Hujannya lebat. Beberapa pendaki yang tadi di depan kami untuk naik, dan ada beberapa pendaki yang baru turun juga ikut berteduh.

Di tengah tengah kami semua yang kedinginan termasuk dia, dengan cekatan dia mengumpulkan sampah sampah yang berserahkan. Terutama sampah plastik. Dikumpulkannya di satu tempat.
Ini hal yang tidak biasa buatku. Biasanya jika aku berniat untuk membawa sampah turun, aku akan mebersihkan sampah ketika aku turun dari puncak. Ketika naik, aku hanya mengamati, seberapa banyak sampah yang akan kubawah turun nanti? Atau dimana titik yang ada banyak sekali sampah.
Tapi ternyata dia tidak mengumpulkan sampah untuk dibawa turun. Dia mengumpulkannya di tengah para pendaki berteduh dan mulai membakarnya. “Untuk penghangat saja di tengah hujan. Plastik mudah terbakar, semoga tidak mati tertiup angin.” Itu yang dikatakannya pada semua, tetapi akhirnya menatap ke arahku.
Spontan aku pun mendekat, selain mencari penghangat juga agar apinya tidak mati tertiup angin. Obrolan mulai datang dari pendaki lain. Seputar puncak yang eksotis ketika pagi, dan tentu saja para pendaki yang turun selalu bilang bahwa puncak sudah tidak jauh lagi dari pos dimana kami istirahat. Padahal dari pengalamanku sebelumnya, Pos itu belum separuhnya perjalanan kami. Dan memang begitulah pendaki, seolah ada aturan tidak tertulis “jangan patahkan semangat pendaki yang baru naik.”.

ADVERTISEMENT

Hujan yang turun sampai magrib tiba. Langit sudah mulai gelap hujan baru reda. Beberapa pendaki yang turun sudah bergegas. Dan untuk pendaki yang naik sudah mulai persiapan dengan mantel dan anti airnya jika sewaktu waktu hujan datang lagi setidaknya mereka bisa tetap kering sampai tempat berteduh berikutnya. Aku pun sama dan termasuk menyiapkan senter untuk penerang jalan.

Tiga puluh menit berjalan dari pos terkahir kami istirahat. Aku masih berjalan berdua dengan gadis itu. Hujan mulai turun lagi. Mantel segera kusiapkan setidaknya tas dan perlengkapanku tidak boleh basah. Dia pun melakukan hal yang sama. Tidak ada tempat berteduh, tidak ada pondok. Aku mencoba untuk tetap berjalan sambil mencari sedikit celah di tebing, mungkin bisa untuk berteduh walau sempit. Dan akhirnya dapat.

Kami masuk dengan tas dimasukan terbih dulu. Lalu mantel kami gelar bersama sebagai atap. Di cela tebing itu kami berdua. Seperti sedang berpelukan tapi sebenarnya tidak. saling berhimpit agar kedua badan kami bisa terlindungi dari hujan. Angin lebih kencang lagi, dan kami pun makin kencang memegang mantel yang jadi atap tadi. Makin lebat lagi hujan turun, dan kami semakin saling berhimpit. Karena memang basah dan dingin. Apalagi posisi sudah di ketinggian. Sebelum start naik, di cemoro sewu saja sudah dingin walau tidak hujan. Disini jauh lebih dingin lagi.
Kami saling memegang mantel dan saling berpelukan untuk menghangatkan tubuh masing masing. Saat ini aku tidak bisa berfikir apa apa. Antara aku mengenalnya atau tidak, yang pasti kami memang saling butuh untuk bertahan malam itu. Hingga hujan reda, tetapi angin masih berhembus kencang. Kami masih berhimpitan. Entah mengapa jadi semakin dingin.

“Kita tidak bisa lebih lama bertahan disini. Karena kita sama sama tidak ada tenda. Kita harus lebih cepat untuk bisa naik sampai pondok di puncak, dan berteduh menghangatkan diri disana. Ayo bergegas.” Ajakku dengan tegas.
Kami pun segera bersiap. Gerimis masih turun, kabut makin pekat, dan hujan masih bisa sewaktu waktu turun. Sebenarnya jika sendiri aku bisa saja bertahan dengan kondisi demikian, entah kenapa karena aku bersamanya, jadi aku tak bisa berdiam diri dalam kondisi seperti ini.

Sempat beberapa kali kami berhenti dan saling berpelukan, sambil menggosok punggung masing masing. Jaket tebal dan tas yang begitu berat tidak bisa melindungi kami dari dingin waktu itu. Kami berjalan perlahan tapi tidak berhenti kecuali sesaat. Kami harus secepatnya sampai pondok.

Sampai pada di suatu area yang datar, kami kehilangan arah. Tidak ada satu pun petunjuk kemana arah ke puncak.
Aku berputar putar mencari jalan ke puncak. Kabut tidak kunjung tipis, dingin masih menusuk. Masih belum ketemu dimana jalannya. Sedikit frustasi karena malam semakin dingin. Aku kembali ke gadis tadi, selain memastikan dia tidak apa apa juga karena tasku sengaja kutinggal bersamanya. Aku tak tahu mesti berbuat apa.

“Mas dimana arah jurang? Kalau tidak salah Jalan ke puncak deket jurang ke arah kiri.” Dia berkata sambil terengah-engah kedinginan ketika melihatku kembali.
“Sebentar, aku cek dulu” aku bergegas mencari jurang. Iya entah kenapa aku lupa jalan ke puncak. Kabut masih tebal sampai akhirnya kutemukan jalannya. Aku bergegas kembai dan mengajaknya segera jalan lagi. Jalan dari tempat kami ke arah puncak selain gelap dan berkabut, ternyata merupakan pematang, dimana kanan dan kiri kami adalah jurang. Aku tidak tau seberapa dalam jurang itu, karena memang lampu senter tidak mampu memberikan penerangan yang baik. Aku hanya mencari dimana kakiku bisa melangkan dengan benar.
Di jalan yang begitu berbahaya itu kami tetap bergandengan. Entahlah, tapi aku merasa takut dia terpisah dariku malam ini. Tangannya tetap kugenggam sampai kami tiba di pondok.

Gerimis masih turun, Kabut masih tebal dan dingin semakin menusuk. Di pondok ada orang lokal yang memang sengaja menjual makanan instan. Di pondok ini juga banyak ilalang yang sengaja ditaruh di sana sebagai lantai, agar bisa dijadikan alas untuk tidur dan beristirahat, tentunya agar bisa merasa hangat.

Kami berdua memesan air panas, lalu menyeduh coklat yang kubawa. menikmati hangatnya coklat sambil melihat senyumnya kali ini. ya, dengan senyumnya. karena sebelumnya aku sama sekali tak melihat bagaimana wajah dan ekspresinya. setidaknya aku tidak begitu mengamati.

Jam sudah menunjukan jam 11:30 malam. ini sudah larut, dan sudah terlalu dingin untuk tetap terjaga. aku mengajaknya untuk istirahat, agar esok bisa menikmati puncak sedari pagi.
Aku gelar sleeping bag, begitupun dia, kami tidur bersebelahan. hanya kutatap sejenak saja wajahnya sebelum aku tidur. senyum yang menghangatkan untuk dingin puncak lawu malam ini.

Sebelum subuh aku sudah terbangun. kulirik sebelah kananku ternyata dia sudah tidak ada. tiba tiba saja aku penasaran dan ingin mencarinya. Ternyata dia pergi ke belakang Pondok. Disana dia menunggu pagi terbit di ufuk timur. Sambil duduk di sebuah batu kecil dan segelas coklat yang sudah dingin ada di tangannya.

“masih terlalu gelap untuk menikmati sunrise.” sapaku.
“tak apa. sambil menikmati coklat hangat dan bintang dari jarak yang lebih dekat.”
Aku tersenyum saja, sambil menatap bintang bintang yang ada di langit timur puncak lawu.
Lama kami hanya terdiam saja, aku duduk di sebelahnya di batu yang kurang lebih sama, menghadap ke timur hanya saja aku tanpa coklat. hingga akhirnya, pemandangan yang begitu menakjubkan ada di timur.
Bintang nampak jelas di langit, dan di jalanan kota yang tampak dari puncak begitu kelap kelip dengan berbagai warna lampunya. dan kedua pemandangan itu dipisahkan oleh garis horizon sang fajar. begitu indah pemandangan kala itu.
“inilah yang kutunggu, sampai saat ini aku hanya menemuinya di puncak lawu.” suaranya memecah keheningan.
Aku masih terkagum menikmati pemandangan di depan mataku, dan juga masih tetap heran dengan perempuan di sampingku. Sesama indahnya untuk kutemui di puncak gunung yang sudah mati ini.
Dan senyum gadis itu, seolah membalas senyum sang fajar yang membelah antara langit dan bumi jauh di timur sana. Begitu hangat senyumnya, juga cahaya pagi kala itu, bahkan aku lupa dingin malam ini.

Pagi ini aku hanya menikmati dua pemandangan yang sebelumnya belum pernah kutemui itu. menikmati hangatnya suasana yang semalam telah hilang di perjalanan. Kami bahkan ke tugu puncak lawu hanya mengambil 1 foto saja dan kemudian langsung turun kembali. entahlah, aku juga merasa, setelah pagi yang menakjubkan tadi, aku tidak ingin berlama lama di puncak. bagiku tak ada yang lebih indah daripada pagi tadi.

Malam ini sudah seminggu setelah aku naik gunung lawu. masih tergambar jelas bagaimana kejadian malam itu. masih terekam dengan detil apa yang terjadi. Antara aku menyesal atau masih dengan egoku, aku belum berkenalan dengan gadis itu.
Aku membuka halaman google, dan aku sengaja browsing dengan kata kunci, “puncak lawu 30 Juli 2016” entah di halaman ke berapa dari pencarian google, dan entah ada hal apa yang membuat aku memilih link itu untuk kubuka. Ternyata link itu menuju ke sebuah blog memajang fotonya di puncak lawu. Foto itu aku yang mengambilnya dengan hapenya. WOW. ini kebetulan sekali. Di bawah foto itu ada tulisan yang membuatku tehenyak.

“Ia yang lengannya kecil namun menggenggamku dengan eratnya.
ia yang senyumnya dingin sedingin lawu kala itu.
ia yang tak pernah sebutkan nama dan bertanya nama.
ia-lah yang menemaniku hingga kepuncaknya.

di malam yang berkabut, dengan sikapnya ia jadi selimut.
dalam keadaan gelap, ia menjadi mata dimana kami kehilangan arah
aku menemukan tangan yang menuntunku, meski dengan ikatan yang tak pernah terikat

ia lelaki yang bersamaku menyongsong mentari.
seperti horizon fajar ia hadir
memisahkan antara keindahan malam kota dan bintang.
dan ia, memisahkan antara keberanianku sebagai pendaki, dan kelemahanku sebagai perempuan.”

Dan di balik dinding kamarku, aku bergetar membacanya.

Selesai.

Cerpen Karangan: Abdillahwahab
Facebook: fb.com/abdillahwahab

Cerpen Senyum di Puncak Lawu merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Senyuman di Langit Awangga

Oleh:
Awan mendung menggelayut langit Awangga. Angin dingin berhembus menerkam kebahagian. Semua berganti muram. Awangga telah lelah dipermainkan oleh alam. Dan saat ini negara itu telah jatuh dalam kemurungan. Kesedihan

Semusim Untuk Selamanya

Oleh:
Yaaa… Aku mau nya cuma kamu?? Bukan dia, hanya kamu yang ada dipikiranku saat ini dan mungkin entah sampai kapan. Cuma kamu, bukan Tito yang mamberikan aku sebuah kalung

Cinta Dalam Novel

Oleh:
Aku Kirana, kerap disapa Nana. Aku siswi kelas 12 IPA di salah satu SMA favorit di Bali. Aku baru setahun di sekolah ini. Iya.. aku pindahan dari SMAN 7

Jurus Terakhir

Oleh:
Pandu seorang pemanah ulung. Tembakannya selalu tepat sasaran. Belum ada seorang pemanahpun yang melampoi skornya setiap perlombaan. Berbagi medali kejuaran dari tingkat lokal maupun regional terpajang rapi di kamarnya.

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

One response to “Senyum di Puncak Lawu”

  1. Diaz Sandi says:

    Ini baru cerpen. Kelas…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *