Menengok Lestari Menyeberang (Part 1)
Cerpen Karangan: Dali DaulayKategori: Cerpen Pengalaman Pribadi, Cerpen Sastra
Lolos moderasi pada: 28 May 2023
Semua ini terjadi ketika aku terjebak — tiada bisa bergerak untuk menyeberang jalanan yang tidak ada habis-habisnya dilewati kendaraan. Tentang betapa di jalanan itu pula aku menemukan orang-orang yang hanya kutemui sekali itu saja, tetapi masih sering kuterka bagaimana nasib mereka sekarang.
Segala macam kendaraan tidak ada habis-habisnya melewati jalan itu. Roda empat, roda dua, bahkan roda enam pun terus melaju — seperti ada rambu jalan yang menegaskan Kalau lewat jalan ini harus ngebut! Jangan sekali-kali menjadi lambat. Ini saatnya anda harus berjalan dengan cepat. Tancap gas anda! Sehingga para penyeberang harus memiliki hati dan tekad yang kuat untuk menyeberang jalan yang tidak pernah habis-habisnya dilewati kendaraan. Tidak jarang aku melihat para penyeberang yang memilih untuk berjalan jauh masuk ke gang belakang
— sebab lewat sana mereka akan menemukan sebuah jalan tikus yang menghubungi kedua sisi jalan. Akan tetapi, Beberapa dari mereka rela menunggu lama. Sebab jalan tikus dalam gang itu berliku seperti labirin. Tak jarang orang-orang kehilangan arah. Meski tidak kehilangan arah pun, perjalanannya memakan waktu yang lama. Sementara hanya dengan hati dan tekad yang kuat, jalanan yang tidak ada habis-habis dilewati itu sebenarnya dapat ditaklukkan dalam sekejap mata. Tetapi siapa yang tidak takut menyeberang jalanan. Dalam hati para penyeberang, mereka berharap bahwa setidaknya akan ada kendaraan yang menurunkan kecepatan dan mengalah. Sebagaimana aku tahu — sepertinya hal itu tidak akan terjadi. Padahal aku hanya ingin berjalan ke halte bus di seberang, aku hanya ingin pulang dan makan semangkuk mie instan.
Aku berdiam diri melihat berbagai kendaraan yang menggoyahkan topiku. Laju kendaraan- kendaraan ini tidak begitu berbeda dengan angin yang berhembus. Bisa kurasakan tetapi tidak terlalu terlihat dengan jelas. Kiranya mereka sama-sama membuat hatiku menerka. Apakah manusia benar-benar bisa mengambil keputusan. Kapan aku harus berani menggerakkan kakiku ke depan untuk menyeberang. Apakah aku harus menyiapkan — mental tidak peduli untuk dimaki, ditertawai, dan apakah aku harus mengalah? Semua pemikiran merepotkan ini hanya untuk sesederhana menyeberang ke sisi jalan lain. Berbagai macam suara klakson dari yang sangat kecil, hingga sangat bising lengkap dengan suara yang diasosiasikan dengan badut menggelegar jalanan. Seperti sebuah konser yang di mana para musisinya ditantang untuk bermain dengan klakson kendaraan saja. Maka terjadilah gebyaran konser klakson yang menghibur jalanan itu. Ya, di jalanan yang tak habis-habisnya dilewati kendaraan, bahkan tidak ada waktu untuk yang namanya kesunyian, terkecuali yang hadir — berbisik-bisik dalam kepala.
Baru aku sadari rupanya aku tidak sendiri di jalan yang tidak ada habis-habisnya dilewati kendaraan itu. Di sisi lain jalan, berdiri seorang perempuan yang kemudian aku ketahui bernama Lestari. Rambutnya bewarna pirang. Rambut Pirang itu panjang dan halus seperti terbuat dari ijuk emas yang rasanya perlu diberi makna, tetapi entah apa yang cocok untuk memaknai, keindahan rambut pirang seperti yang kutemukan pada Lestari. Hidungnya mancung-panjang seperti paruh angsa. Ujung matanya itu runcing sebab terlukis eyeliner dan bibirnya begitu merah. Lebih merah daripada delima. Lebih menggoda daripada delima. Entah mengapa Lestari juga memakai gaun yang ditutupi bulu angsa yang sudah menguning. Di balik punggungnya, tertempel juga sayap putih yang kaku dan ringkih. Sebab setiap kali angin menyapa, sayap itu seperti mau terbang — meninggalkan Lestari hanya dengan punggung yang terluka. Nasib kami rupanya sama, meski saling tidak mengenal. Kami saling mengisi tekad untuk menyeberang jalan. Ketika aku lihat wajahnya, sama seperti penyeberang pada umumnya, menganggap menyeberang hanya sebagai kegiatan yang menghambat saja. Di wajahnya tercatat tegas ketidaktenangan, dan memang hanya ketidaktenangan yang ada di struktur wajah dan kolam matanya.
Lestari menatap jalanan yang masih penuh dengan kendaraan itu meski waktu sudah hampir menunjukkan pukul tengah malam. Seharusnya orang-orang sudah berada di dalam rumah. Kembali ke pelukan orang-orang tersayang, makan sate, atau tidur nyenyak di bawah macam-macam atap di Jakarta. Terpintas sejenak dalam kepalaku, mengapa ia tidak memakai sayapnya untuk terbang saja, pasti lebih mudah, hahaha. Rupanya di antara kami berdua masih belum berani untuk menyeberang. Sementara jalanan yang tidak ada habis-habisnya dilewati — semakin penuh. Cahaya yang terdiri dari sinaran putih, kuning muda, dan beberapa kali biasan merah dan biru sebab polisi, ambulans, dan beberapa jenis mobil tertentu harus melaju lebih dahulu dan menyingkirkan cahaya lain yang tidak kalah banyaknya. Cahaya yang datang dari moncong dan bokong kendaraan-kendaraan menyinari jalanan seolah-olah lampu sorot teater.
Barangkali aku dan Lestari adalah pelakonnya dalam sandiwara terbuka ini. Warna-warna itu membuat segala hal menjadi lebih timbul. Binaran cahaya itu menari-nari di rambut Lestari. Percayalah, di dalam permainan menunggu, hal itu sangat menyita perhatianku. Sejujurnya, kali ini—aku tidak terlalu risih dalam permainan menunggu. Ada seseorang seperti Lestari di depanku. Dari tempat aku berdiri, sungguh Lestari tampak seperti malaikat yang jatuh ke Indonesia. Apakah dari tempatnya aku hanya terlihat seperti manusia biasa dengan agenda biasa seperti manusia umum lainnya? Hidup memang tidak adil, aku kira.
Lestari memegang sebuah plastik yang setelah aku lihat dengan saksama berisi kalengan susu kental manis. Barangkali Lestari juga kehausan dalam permainan menunggu ini — sebab aku melihat dia membuka satu kaleng dan meminumnya hingga habis. Lidahnya menjulur, menjilat muka kaleng hingga menggoyangkanya dari atas kepala untuk memastikan lidahnya mendapatkan tetesan terakhir. Betapa susu yang sangat manis dan kental seperti telur, ia teguk seperti air putih. Selama waktu Lestari menghabiskan susu kental itu, jalanan masih belum habis dilewati dan barangkali tidak akan pernah habis. Belum ada dari kami yang berani untuk menyeberang. Sesekali Aku lihat Lestari memajukan kakinya sebelum motor dengan kenalpot bising menyenggolnya. Seperti melihat adegan-adegan film horror, aku menutup mata ketika beberapa dari bulu angsa dari gaunnya itu terjatuh di jalan bagai daun-daun yang ikut jatuh dari ranting tatkala seorang besar menebang pohon-pohon dengan kapak yang paling sakti di dunia. Ya, meski tidak kenal, aku tetap merasa kasihan dengan Lestari. Malaikat yang nasibnya sama denganku, seorang manusia biasa. Bahkan di mata seseorang yang aku anggap seperti malaikat pun, terpancar jelas kengerian. Ketidaktenangan.
Aku sudah mulai muak dengan permainan menunggu ini. Aku harus menyeberang sekarang — dengan begitu mungkin aku bahkan bisa membantu Lestari menyeberang. Begitu aku memajukan kaki, kenalpot bising itu kembali. Pengendaranya tidak pernah memaknai arti perjalanan. Dengan helm merah bertanduk panjang dan jaket kulit yang konon katanya dan memang hanya konon terbuat dari kulit komodo—ia selalu menggeber jalanan dengan kenalpot yang mencengangkan seperti petir. Motornya itu bahkan sudah tidak layak pakai dan sudah begitu tua, tetapi sang pengendara hanya akan menggetarkan jalanan dan berputar kembali ke titik awal dan kembali menggetarkan jalanan yang tidak habis dilewati. Begitulah terus dari kematian senja hingga lahirnya fajar. Ia datang bersama sinar rembulan yang menyebabkan segala-galanya menjadi berlapiskan perak. Dan ia menghilang Ketika sinaran perak terkikis
cahaya jingga keemas-emasan dengan semburat merah dari matahari pagi yang baru saja keluar dari sarangnya. Akan tetapi, berbicara dari pengalaman, suara getaran motor itu masih menghantui jalanan, tak peduli jam berapa pun, bahkan ketika rembulan sedang tidak menayangkan sinar yang membuat segala hal menjadi berlapiskan perak. Yang terjadi berikutnya, sangat memalukan. Motor itu belum hadir dan aku sudah terpeleset sebab aku berjalan mundur karena kagok hanya dengan mendengar suaranya yang mendekat. Suara yang mencengangkan seperti petir. Walau pun saat itu ada yang suara yang terdengar lebih jelas : Suara tawa Lestari yang begitu tergelitik. Lestari, kapan terakhir kali kau tertawa?
Kendaraan-kendaraan dengan berbagai warna dan bentuk berlalu lalang seperti lomba estafet. Pastilah warna dari setiap biasan Pelangi ada di jalanan itu, meski masih kalah banyak dengan kendaraan yang hanya melintas dalam dua warna : hitam dan putih. Betapa semua kesialan ini telah terjadi kepada kita, Lestari. Betapa kita harus terjebak dan membuang waktu hanya karena ingin menyeberang — padahal perjalanan yang sesungguhnya masih sangat panjang. Belum kita harus menyeberang di jalan-jalan yang lain. Seorang tua pernah berkata : rasa kesal itu dapat membuat manusia menjadi hilang dalam diam atau amukan yang lantang nan dahsyat. Entah mengapa aku bersyukur aku adalah jenis manusia yang pertama. Maka aku terdiam. Di sisi lain jalan, Lestari pun terdiam pula, syukurlah. Di dalam kota — di mana kehidupan berjalan dengan cepat dengan segala hiruk pikuk — aku selalu menemukan kakiku berdiam diri. Selalu menjadi yang paling belakang. Merasa bersalah seakan-akan berdiam dan tidak melakukan apa-apa itu adalah dosa. Aku berharap Lestari bebas dari pemikiran semacam itu dan tidak pernah memikirkan hal semacam itu.
Cerpen Karangan: Dali Daulay
IG @dalidaulay
Muhammad Afdhal Maulana Daulay. Lebih akrab dipanggil Dali Daulay, Lahir di Medan, 28 Juli 2001. Sedang bersekolah di Institut Kesenian Jakarta, Fakultas Film & Televisi dan dengan major penulisan skenario untuk bisa terus belajar cara bertutur dan bercerita.
Cerpen Menengok Lestari Menyeberang (Part 1) merupakan cerita pendek karangan Dali Daulay, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Assalamualikum Si Gilang Kecil
Oleh: Cahya GumilarAsslamualaikum, saya cahya gumilar anak ke dua dari tiga bersaudara. Saya anak laki-laki satu-satunya di keluarga, itu berarti dua saudara saya perempuan. Saya lahir tanggal 14 bulan desember pada
Androidku
Oleh: Wida MardiatinTangan Wini sangat gatal ingin mereset gadget androidnya. Tadi hpnya dibawa untuk dibetulkan, tapi tak bisa. Wajar, ia membetulkannya ke seorang siswa SMK yang mungkin masih belajar. Wini lupa
Daily Fresh Juice
Oleh: Era Elfriana SitanggangDaily Fresh Juice Fellowship Lima Belas dibentuk pada hari Minggu, 30 Juli 2017 oleh Admin yang luar biasa yaitu Ce Hana. Dimana Daily Fresh Juice Fellowship Lima Belas dihuni
Lembaran Hitam Takdirku
Oleh: Resti Alya PutriMengapa harus aku? ahh… tidak, bukankah aku sudah mengikhlaskan semua yang terjadi pada hidupku, bahkan pada lembaran hitam takdirku. Aku tak lagi bisa menatap birunya langit dan gumpalan putih
Investasi Yang Menyakiti Hati Ayahku
Oleh: Gita Rohma Utami AsyafiiyahPada suatu hari, saat itu aku masih kelas 3 sd umurku masih sekitar 8 tahun, saat itu aku berada di rumah dengan ibuku dan adikku yang berumur sekitar 3
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply