Menengok Lestari Menyeberang (Part 2)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Pengalaman Pribadi, Cerpen Sastra
Lolos moderasi pada: 28 May 2023

Dari tempat aku berdiri, terdengar lagu Kamu Harus Pulang oleh band Slank. Seorang pria berbadan gagah dan tegak keluar dari warung yang redup dengan banyak stiker-stiker poster kampanye yang sudah robek, meninggalkan banyak sekali kepala-kepala yang melayang di pintu warung. Pria menyalakan rokok dan mulai ikut bernyanyi sebelum suara ratusan klakson itu mengalahkan suaranya. “Santai aja, bro!” ia melempar rokoknya ke jalanan. Dilihat sekilas, wajahnya mengingatkanku dengan aktor Abimana Aryasatya. Agar mudah diingat, kita panggil saja beliau Abimana II [1]. Aku tidak tahu ada apa dengan malam ini sebab Abimana II mengenakan kostum serigala. Kostum bewarna abu-abu dengan bulu yang tebal itu sebenarnya sudah tidak layak pakai. Kotor, lembab, dan bau rokok. Meski pun kostumnya payah, ia terlihat tegak dan bijaksana daripada serigala-serigala lain. Tentu saja serigala lainnya yang pernah aku lihat adalah yang ada di acara-acara fauna dalam televisi. Bung Abimana II barangkali adalah serigala paling tanggap di dunia. Andaikata dia ini tinggal di kebun binatang—pastilah dia sudah jadi maskot. Beribu-ribu orang yang datang dari penjuru dunia rela mengantri panjang di kebun binatang hanya untuk melihatnya. Pastilah wajah Bung Abimana II terpampang di baju, botol minum, dan menjelma boneka yang dibawa oleh anak-anak kecil sambil menyahutkan — serigala itu keren sekali, meski tidak sebesar harimau, ia sangat tegak dan bijak. Aku suka!

Abimana II lalu berjalan ke sebelahku. Dia belum memakai topeng serigalanya yang ia pegang di tangan. Dengan kencang dan nyaring, ia membuka mulut dan menunjukkan taringnya yang bewarna kuning dan tidak tertata dengan rapih seperti beling-beling kaca yang terpajang di atas pagar-pagar rumah. Barulah ia melolong — seperti seorang siluman serigala. Lolongan itu begitu kencang hingga aku tidak memperdulikan suara bising kenalpot motor yang mencengangkan seperti petir, yang masih saja mondar-mandir. Abimana II lalu mengambil nafas dalam dan kembali menghirup rokok sambil berjoget mengikuti alunan lagu dari radio. Gerakannya begitu kasar dan absurd tetapi elegan di waktu yang bersamaan. Seperti bentuk gerakan tari yang telah hilang ribuan tahun lalu dari dunia. Jalanan yang tidak pernah habis dilewati itu menjadi padat untuk sementara, sebab semua orang merekam Gerakan Bung Abimana II yang terus berjoget dan menutupnya dengan lolongan yang begitu kencang. Begitu lantang. Memanglah betapa absurd serigala yang satu itu.

Di seberang jalan, Lestari rupanya membalas lolongan itu. Ia melambaikan tangan dan terlihat begitu jelas kesenangan terpancar dari matanya — yang padahal sepersekian detik lalu hanya berisi kengerian dan ketidaktenangan. Aku tak tahu apakah hubungan yang dimiliki Lestari dan Abimana II ini bisa disebut sebagai cinta, yang jelas mau hubungan apapun itu — telah mendorong Lestari untuk menyeberang. Tidak berjalan dengan cepat, Lestari berlari. Bulu dari gaunnya berjatuhan di jalan — seperti angsa yang sedang diburu. Aku akhirnya menengok Lestari menyeberang. Sementara aku masih berdiam saja di tepi jalanan.

Dering telepon bernada dangdut berbunyi. Abimana II mengangkat telepon dengan wajah yang siap untuk menerkam. Begitu menyeramkan. Jika mengingat kata tua itu, maka mungkin

Abimana II ini tergolong sebagai jenis manusia kedua : mengamuk dengan lantang nan dahsyat bila kekesalan telah datang ke dalam hati dan pikirannya.

“Hei, bangsat, kau ini ada hanya untuk menafkahi Lestari— dan memang hanya untuk menafkahi dia. Itu saja! Kau cukup menyekolahkan anaknya, memastikan ia bisa beli gaun yang cantik di mall, di mana setiap toko mempunyai pintu. Dan membawanya makan enak. Hati angsa.”

“Maksudmu foie gras?” Terdengar bisik-bisik dengan nada mengejek dari telepon.

“Ya itu! Jangan pikir aku bodoh, ya, Ayam Sial. Lestari bahkan bisa hidup sendiri apabila ia tidak dipaksa ayahnya yang kolot itu. Ia adalah perempuan paling sabar dan berani. Sayang sekali melihatnya bersama ayam seperti kau. Cinta kalian itu murni hidup dalam tulisan saja.”

“Preman kampungan seperti dirimu tahu apa soal cinta?”

“Aku tahu bahwa aku dan Lestari memilikinya. Mungkin aku memang tidak tahu artinya secara harfiah, tetapi cinta itu—seperti sebuah perasaan yang harus dijaga.”

ADVERTISEMENT

“Oh begitu, ya?”

“Iyah.”

“Aku ini calon suaminya. Sudah seharusnya aku memberikan cinta yang paling besar dan paling baik untuk Lestari.. Aku akan meletakkannya di kasut terempuk di Indonesia. Lestari akan lupa rasanya tidur di atas batu. Untuk itu, Jangan pernah ikut campur akan cinta dan kebahagiaan kami.”

“Ayam, kau itu tidak tahu apa-apa soal kebahagiaan. Kau ini hanya harus mengurusi masalah finansial tahi kucing, Perihal kebahagiaan Lestari — kau serahkan saja kepadaku! Bangsat!”

“lebih baik kau tinggalkan Lestari sendiri. Urusin aja kebahagiaanmu sendiri. Engkau saja tidak punya uang — masih berani bicara tentang kebahagiaan Lestari? Oh iya… kalau kau masih cari pekerjaan, bagaimana reputasimu dalam menyikat kotoran? Kau bisa jadi pembersih kolam renang rumahku dan Lestari? Uangnya lumayan loh… bisa buat beli steak dengan mashed potatoes. Kalau rajin, nanti juga bisa beli foie gras dan caviar.”

“Pekerjaan bagi serigala sepertiku hanya untuk menyantap ayam sepertimu… TOLOL!”

Aku lihat bagaimana Abimana II berbicara dengan geram. Layar itu menjadi basah karena air liurnya yang berjatuhan seperti keluar dari selang. Ia meremas telepon itu, andaikata bila Lestari masih jauh, pastilah sudah hancur menjadi kepingan telelon genggam itu. Ya, begitu menyeramkan.

Lestari telah tiba di depan kami. Abimana II mengelap keringatnya dengan lengan dari kostum serigala yang lembap dan kini pastinya lebih lembap. Lestari menatapku dengan anggun. Begitu anggun dan cantik. Bagai seorang malaikat, ia menghampiriku, matanya menjadi yang paling manis — dalam sejarah mata paling manis di dunia.

“Mas, kalau nyeberang di sini emang susah. Rame, gak bakal habis kendaraan lewat. Kalau mau, masuk gang sana, lurus saja mengikuti jalan yang meliku seperti labirin, dan akan halte bus lain di sana. Jalanan di sana pun lebih sepi… tapi Mas-nya harus jalan agak jauh.”

Lestari, aku sudah tahu itu, tetapi, terima kasih.

Lestari lalu merangkul Abimana II dengan erat. Senyumnya itu bagai Begitu berbeda wajah seseorang ketika berhasil mencapai tujuannya. Betapa keraguan dan ketidaktenangan bisa berubah menjadi kebahagiaan dalam sekejap. Abimana II menyalakan dan menyodorkan Lestari rokok yang hanya tinggal satu batang. Di bawah lampu jalanan mereka saling bertukar asap. Sesekali mereka tersedak, tetapi diakhiri dengan tawa. Ada yang bergejolak di dalamku berkata bahwa itu seperti cinta, tidak, belum terlalu tepat, barangkali apa yang mereka punya adalah cinta yang tulus.

“Lestari, ini akan jadi malam terakhir bagi sang serigala dan angsa ya?”
“Sepertinya begitu, Mas Eros”
“Kalau begitu, mari kita pastikan malam ini tidak terlupakan.”
“Aku pasti bisa pastikan itu, Mas.”

“Lestari, apakah Kamu bahagia?”
“Maksudnya?”
“Tidak… untuk memastikan saja Hmmm, kalau cinta, menurutmu, cinta itu apa?”
“Aduh, Mas, jangan tanya yang susah begitu dong. Susah. Aku tidak tahu. Mungkin, cinta itu adalah seperti yang kita miliki.”
“Oh, ya? Apakah itu?”
“Ketika segala sesuatu seketika tidak terlihat menyeramkan, dan segala sesuatu menjadi tidak begitu penting. Ketika segala sesuatu seperti saling melengkapi. Ketika kita rela mengorbankan segalanya. Ketika ia ada. Entahlah, mungkin begitu.” Pipi Lestari memerah.

Abimana II mengelus perut Lestari. Ia lalu melolong ke arah rembulan perak.

“Tapi kamu ini, ngidem kok, susu kental manis? Yang lebih mahal dong! Susi! Stik! Foie Grass! hahaha.”

Lestari dan Abimana II lalu masuk ke dalam rumah dan mematikan lampu. Mereka tidak lupa untuk nemutar lagu—Melayang oleh January Christy. Malam itu gairah sepertinya bergejolak. Setidaknya bisa aku buktikan dari sebuah jalan raya di mana tidak pernah kosong akan kendaraan. Dan selamanya jalanan itu akan tetap begitu.

Seperti sesuai saran dari Lestari, aku berjalan sedikit jauh masuk ke dalam gang. Dan masuk lebih jauh lagi ke dalam jalan tikus yang berliku seperti labirin, meninggalkan jalanan yang tidak ada habis-habisnya dilewati kendaraan. Selama berjalan kaki, terbayang dalam pikiranku yang pada malam itu sudah lelah terganggu — seekor angsa raksasa yang sedang menyusui anak-anak serigala hingga habis susu yang manis nan kental. Bagaimana tetes demi tetes — susu itu jatuh membasahi selimut dan juga sprei kasur. Setelah merasa kenyang. anak-anak serigala itu akan bermain-main dengan gigi dan kuku mereka yang tajam. Mencakar habis-habisan kasur paling empuk di Indonesia.

Aku tidak pernah punya masalah dengan labirin. Aku sudah terbiasa dengan keruwetan. jalan hidup, sehingga cukup mudah bagiku menemukan gerbang keluar jalan tikus itu. Aku langsung disambut sebuah jalan raya yang lain. Memang lebih kecil dan tekstur aspalnya sangat parah. Lestari benar, jalanan itu memang sangat sepi. Hanya ada mobil bak yang memutarkan lagu dangdut dan menjual gorengan. Bagaimana sebuah jalan raya yang terletak tidak terlalu jauh dapat terlihat begitu berbeda. Di satu jalan, terlihat seperti seakan-akan manusia sibuk melewati jalanan itu dengan laju yang cepat. Seakan-akan diperintahkan untuk menjauh sebab nanti akan ada bom nuklir yang jatuh tidak jauh dari jalanan itu. Sementara di jalanan lainnya, kesepian berkuasa. Pesawat kecil seperti model Cessna Caravan pun rasanya bisa mendarat di sana.

Entah kesialan mengikuti aku atau tidak. Sebab saat sedang ingin menyeberang — hampir saja aku terserempet truk yang membawa ayam-ayam malang dalam keranjang di bagian belakang. “Nyeberang pakai mata, tolol!” teriak supir truk yang lalu kembali menancap gas. Ayam-ayam dalam keranjang berkokok seperti meminta tolong kepadaku. Maaf, ayam, apalah yang bisa kuperbuat?

Setelah itu, akhirnya aku bisa menyeberang di jalanan yang sepi. Di antara suara daun-daun yang meliuk dan juga hembusan angin malam yang membuatku bergidik, Masih bisa kudengar suara kenalpot yang mencengangkan seperti petir dan cahaya-cahaya kendaraan yang terdiri dari warna kuning, putih dan sesekali warna biru dan merah itu tampak seperti fatamorgana di guru pasir yang tidak berujung. Di bawah sinar rembulan yang membuat segala hal seperti berlapiskan perak?, ketika aku sudah di sisi jalan dan hendak melanjutkan perjalananku yang masih panjang. dalam kesunyian yang paling sunyi —?? aku seperti bisa mendengar suara lolongan serigala yang begitu derau. Begitu pedih.

Catatan
[1] Dalam buku kumpulan cerpennya, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, pada cerita Secangkir Kopi dan Sepotong Donat, Umar Kayam mendeskripsikan seorang tokoh dengan kalimat “dilihat sepintas lalu, rupanya mirip Orson Wells” beliau lalu menyebut tokoh tersebut sebagai Orson Wells II.

Cerpen Karangan: Dali Daulay
IG @dalidaulay
Muhammad Afdhal Maulana Daulay. Lebih akrab dipanggil Dali Daulay, Lahir di Medan, 28 Juli 2001. Sedang bersekolah di Institut Kesenian Jakarta, Fakultas Film & Televisi dan dengan major penulisan skenario untuk bisa terus belajar cara bertutur dan bercerita.

Cerpen Menengok Lestari Menyeberang (Part 2) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Mengaji Oh Mengaji

Oleh:
Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata yang benar-benar ku alami. Namaku Farah Aulia Ghufran, biasa dipanggil Farah oleh teman-teman. Sambil menyeruput sedikit teh hangat, pikiranku kembali pada sesuatu yang

Lampu Penerang Jalan dan Perempuan Bergaun Merah

Oleh:
Ia barangkali terlalu banyak, mendengar, menyaksikan, sedari pagi buta, sedari cahaya mulai beranjak keluar, bahkan hingga malam dan gelapnya yang merayap menutupi langit dengan sempurna, ia tetap mendengar, menyaksikan,

Sial

Oleh:
Malam minggu yang cerah di taman kota. Aku duduk bersama pacarku. Seorang bidadari yang salah alamat sehingga turun ke bumi. Dan sekarang ia sedang mampir di hatiku. Wajahnya nan

Menangis Hanya Untuk Dia

Oleh:
Di selang sehari hari aku bertemu dengan orang yang aku sayang. Nama ku nurul aprilia Aku sayang sekali sama cowok itu tapi dia gak tau sama sekali rasa sayang

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *