7 Kata Terakhir Dari Sahabatku

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Persahabatan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 24 September 2014

Namaku Febri, aku berumur 13 tahun. Aku tinggal bersama ayah dan ibuku di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Aku mempunyai seorang sahabat yang bernama Dwi. Aku kenal dia sejak SD. Dwi orangnya baik, asik dan enak diajak curhat. Tapi kadang-kadang dia orangnya suka jail. Dia sudah tidak mempunyai Ibu lagi, jadi dia menganggap Ibuku sebagai Ibunya juga.

Jam menunjukan pukul 7.00. Hari itu sangat cerah, aku berjalan menuju sekolah sendirian tanpa ditemani sahabatku, Dwi. Aku tak tau kenapa belakangan ini dia selalu jaga jarak kepadaku. Setiap aku mendekati dia untuk menanyakan sesuatu hal, tetapi dia hanya menatapku dengan tatapan kosong lalu beranjak dari hadapanku.

Satu minggu berlalu. Hari ini hari ulang tahunku. Sama seperti biasanya, dia masih tidak mau berbicara ataupun bertemu denganku lagi. Aku kira dia ingat dengan hari ulang tahunku. Aku sangat kecewa saat itu. Bel kelas berbunyi, aku pun memasuki kelas sendirian dengan wajah cemberut. Aku tidak berkonsentrasi saat jam pelajaran, dikarenakan aku masih memikirkan tentang kelakuan sahabatku Dwi. Aku hanya melamun sepanjang jam pelajaran. Sampai-sampai salah satu guru yang mengajar di kelas menegurku untuk tidak melamun saat jam pelajaran. Aku hanya mengangguk dan mencoba untuk berkonsentrasi ke materi pelajaran.

Bel istirahat berbunyi. Saat itu hujan deras dan semua teman-temanku sudah meninggalkan sekolah. Kebanyakan dari mereka dijemput oleh orangtua masing-masing dan ada juga yang berjalan kaki dengan nekat menerobos hujan. Aku menunggu jemputan di depan ruang kelas, kebetulan ruang kelasku tepat di depan pagar sekolah. Aku ditemani oleh satpam sekolah yang bernama Pak Ahmad. Di tengah turunnya hujan aku dan Pak Ahmad hanya berbincang-bincang seputar murid-murid yang nakal dan pelajaran sekolah. Jujur, Pak Ahmad orangnya asyik di ajak berbicara, walaupun dia orangnya agak kelihatan sedikit sangar.

Tak lama kemudian, datanglah seorang pria berkumis yang menaiki sebuah mobil mewah. “Sepertinya aku mengenal orang itu”, gumamku dalam hati. Dia menghampiriku dan tersenyum. “Benarkah kau yang bernama Febri?”, ucap pria berkumis itu. “Iya benar, ada apa Pak?”, jawabku. “Bisakah nak Febri ikut bersama Bapak ke rumah sakit? Ada yang merindukanmu di sana”, “Rumah sakit Pak? Siapa yang sakit?”, tanyaku dengan ekspresi wajah tegang. “Kamu ikut saja dengan bapak” jawab Pria itu. “Baiklah Pak”. Aku dan Pria berkumis itu berjalan ke arah mobil dan dengan segera berangkat ke rumah sakit. Dan meninggalkan Pak satpam sendirian. Di tengah perjalanan kami tidak berbicara sepatah kata pun. Saat itu aku sangat gelisah, dan tidak tau harus berbuat apa-apa. Aku hanya diam dan berusaha tenang.

30 menit kemudian sampailah kita di Rumah sakit, nama rumah sakit itu RS Sanglah. Aku mengikuti Pria berkumis itu ke salah satu ruangan di Rumah Sakit. Betapa terkejutnya aku saat melihat orang yang berbaring lemah di atas tempat tidur dengan jarum infuse yang tertanam di punggung tangan mungilnya. “Dwii…!!!”, aku berteriak sangat keras. Lalu aku menghampirinya dan menggenggam tangan kirinya dengan erat. “Dwi kau kenapa? Kau sakit apa? Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?” ucapku tergesa-gesa. Dwi hanya tersenyum dan tidak mengatakan sepatah kata apapun. Aku semakin panik dan bingung. Di tengah-tengah kepanikanku, tiba-tiba ada 5 orang dokter dan 2 orang perawat yang memasuki ruangan ini. “Maaf bapak dan adik harus menunggu di luar, karena kami akan melakukan beberapa tahap-tahap pemeriksaan” ucap salah satu dokter. Aku dan pria berkumis itu hanya mengangguk dan menuruti perkataan salah satu dokter.

Saat kami berjalan menuju luar, aku sempat menatap wajah Pria berkumis itu, tampaknya dia sangat gelisah dan sedih. Aku mulai bertanya kepada Pria berkumis itu, “Maaf Pak saya mau bertanya, sebenarnya Bapak itu siapa?”, ucapku. “owh iya Bapak belum memperkenalkan diri bapak. Nama Bapak pak Agus, saya adalah Bapaknya Dwi”. Aku hanya diam dan menatap Bapak itu beberapa detik lalu kembali menunduk. “Jadi sebenarnya apa yang terjadi pada Dwi Pak?”, tanyaku dengan wajah penasaran. “Jadi begini, Dwi itu sejak 3 tahun yang lalu mengidap penyakit kanker darah (Leukimia) yang memang tidak bisa disembuhkan dalam waktu singkat. Dan itu pun harus mengikuti serangkaian proses Kemoterapi. Dokter sempat memvonis 1 minggu yang lalu, kalau dwi hanya dapat bertahan hidup selama 10 hari saja. Karena sel kanker tersebut sudah menggerogoti badan dwi”. Aku tidak bisa berkata apa-apa aku hanya menundukkan kepala dan menangis sejadi-jadinya.

Saat itu dokter keluar dari ruangan Dwi. Wajah dokter itu tampak lesu dan sepertinya penuh kekecewaan. Pak Agus segera menghampiri dokter itu dan ia menanyakan sesuatu hal, “Bagaimana keadaan anak saya dok?”. Dokter tidak merespon pertanyaan Pak Agus ia hanya menunduk dan diam. “Dokter sebenarnya apa yang terjadi dengan Dwi dok?” ucapku sambil menangis di hadapak dokter. “Maaf kita sudah berusaha semaksimal mungkin tetapi Tuhan berkata lain”. Tanpa berfikir panjang aku langsung berlari menuju ruangan itu dan benar saja dugaanku, Dwi sudah meninggalkanku untuk selama-lamanya”. Saat itu juga aku menangis sangat keras dan teriak-teriak memanggil nama Dwi. Percuma saja Dwi hanya tertidur dan tidak mungkin bangun kembali. Saat itu juga Pak Agus menghampiriku dan menangis tetapi dia kelihatan lebih tegar dari ada aku. Ia memberikanku sebuah surat, lalu ia menjelaskan bahwa surat ini dari Dwi. aku sesegera mungkin membuka amplop dan membaca isi surat itu dengan perlahan. Isi surat itu:

“AKU SANGAT SENANG BISA BERKENALAN DENGAN DIRIMU”

Begitu membaca 7 kata yang ada di dalam surat itu, aku langsung memeluk tubuh sahabat terbaikku yang sudah tidak bernyawa.

ADVERTISEMENT

Keesokan harinya adalah hari pemakaman Dwi. aku menghadiri pemakaman tersebut bersama seluruh keluargaku. Setelah selesai pemakaman, setiap minggu aku selalu datang ke makam dwi untuk mendo’akannya. Semoga tenang di alam sana Dwi, walaupun kita beda kehidupan tapi aku yakin kau selalu ada di hati kecilku.

Cerpen Karangan: Ayu Febriyanti
Facebook: aiiu febriyanthie

Cerpen 7 Kata Terakhir Dari Sahabatku merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Kolecer Jejen

Oleh:
Sudah dua hari anak itu menangis dan bersembunyi dari peradaban. Matanya sudah sayu dan kulitnya seolah mulai menempel dengan tulang. Ya, semenjak matanya mengeluarkan air mata, anak itu menghentikan

Takdir

Oleh:
Sore ini hujan kembali jatuh membasahi bumi, kupandangi tetes demi tetes butiran hujan dan sesekali kuulurkan tanganku untuk merasakan dinginnya hujan sore ini dari jendela kamarku. Angin bertiup seakan

Ma, Pa, Selamat Tinggal

Oleh:
“Ma, Pa kenapa kalian terus-terusan berkelahi? Apa kalian tidak kasihan terhadap anak tunggal kalian ini?!, Aku sakit Ma, Pa! Aku sakit bukan di fisik ku! Namun dihatiku! Aku butuh

Anak Baru Sahabatku

Oleh:
Selamat pagi dunia, aku sangat bahagia karena ini pertama masuk sekolah SMA setelah libur panjang semester 1, semuanya tampak sama, kecuali salah satu dari seorang murid yang duduk di

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

One response to “7 Kata Terakhir Dari Sahabatku”

  1. wakid bin sardia says:

    saya suka baca cerpn tp gak bisa buat cerpen, padahal saya berkeinginan bisa buat cerpen

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *