Bukan Titik

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Persahabatan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 11 November 2013

Sudah seminggu sahabatku, Dinda meninggalkanku. Bukan pergi untuk satu dua hari, tapi untuk selamanya. Ya, dia meninggal dunia. Karena penyakit itu, penyakit hati yang menggerogoti tubuhnya.

Ternyata, lama sebelum aku tau kalau dia sakit, dia sudah mengetahui penyakit ini. Dia hanya menyembunyikannya dariku. Tak ingin membuatmu sedih, itu katanya tiap kali aku bertanya kenapa tak memberitahuku tentang penyakitnya.

Seminggu sebelum dia meninggal, kami sempat berjalan-jalan bersama di taman. Duduk di tempat favorit kami. Di bawah pohon mangga. Di sana, kami biasa bertukar cerita. Membicarakan banyak hal, saling berkeluh kesah. Ya, walau memang aku yang lebih sering berkeluh kesah padanya. Dia sudah seperti seorang kakak bagiku. Mengajariku banyak hal.
Banyak sekali kenangan bersamanya yang tak akan bisa aku lupakan. Dia selalu mengisi hari-hariku, menjadi penasehat utama di tiap permasalahanku. Dia tidak pernah mengeluh, terutama pada sakit yang dideritanya.

Dan tepat dua minggu yang lalu, di bawah pohon mangga favorit kami, aku mulai mengetahui kenyataan pahit itu.
Saat kami sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Dinda mengeluh dadanya sakit. Aku langsung mengajaknya pulang, sampai rumah dia langsung tertidur. Setelah Dinda benar-benar terlelap, aku pamit pulang, tanpa berpikiran kalau Dinda sakit parah.

Keesokan harinya aku langsung menuju ke rumah Dinda, saat itu memang sedang liburan sekolah. Sampai di depan rumah Dinda, terlihat sepi. Aku mencoba memanggil Dinda, tapi yang keluar Bi Inah. “Non Dinda sakit, Non. Sekarang ada di rumah sakit.” Kata Bi Inah sedih.
Rumah sakit? Apa dia sakit parah? Pertanyaan itu berkecamuk di hatiku. Aku takut dia kenapa-kenapa. Aku buru-buru pulang ke rumah dan menceritakan semua ke bundaku.
“Ya sudah sayang, kamu sabar. Berdo’a semoga Dinda baik-baik saja.” Hibur bunda setelah aku menceritakan semuanya. “Sekarang kamu ganti baju ya, Nay. Sekarang kita ke rumah sakit.” Kata bunda. Aku hanya bisa menganggukkan kepala.

Aku dan bunda segera bersiap menuju rumah sakit. Berharap Dinda akan baik-baik saja.
Sampai rumah sakit, aku melihat Tante Irma, ibu Dinda menangis di ruang tunggu. Om Andi, ayah Dinda berusaha menenangkan Tante Irma. Bunda langsung menghampiri mereka. Tante Irma memeluk Bunda.
“Bagaimana keadaan Dinda?” tanya Bunda saat Tante Irma sudah lebih tenang. “Livernya semakin parah, dokter sudah angkat tangan.” jawabnya parau. Aku tidak sepenuhnya mengerti, yang aku tau hanya Dinda sakit parah. Dan aku sangat mengkhawatirkan hal itu.
Beberapa lama berselang, seorang suster keluar dari ruangan tempat Dinda dirawat. Dia berkata, “Dinda sudah sadar. Silahkan masuk.”
Aku, bunda, Tante Irma, dan Om Andi masuk ke ruangan Dinda. Aku sedih melihat keadaannya, lemah. Dikelilingi selang dan mesin-mesin. Keadaan Dinda sangat menyedihkan.
Tapi saat aku berdiri di sampingnya, dia sama sekali tidak seperti orang sakit. Tidak ada raut sedih di mukanya, dia tersenyum di hadapan kami. Walau senyumannya tidak bisa menutupi muka pucatnya. Senyum tulus itu, yang selalu membuatku nyaman bersamanya, juga dengan tatapan mata teduhnya. Memberi banyak arti.

Tak terasa, hari sudah sore. Bunda memutuskan untuk pamit, awalnya aku tidak ingin pulang. Aku ingin menemani Dinda di sini, tapi dia membujukku untuk pulang. “Kau harus pulang, beristirahatlah. Aku akan baik-baik saja.” Akhirnya aku mau pulang.

Sampai rumah, setelah membersihkan badan aku mengurung diri di kamar. Merenungkan Dinda, aku takut dia tidak akan baik-baik saja. Aku sangat menyayanginya.
Semenjak Dinda dirawat di rumah sakit, hari-hariku menjadi sepi. Tidak ada sahabat yang selalu ada untukku. Berbagi segala hal.
Ini sudah hari kelima Dinda dirawat di rumah sakit, dan sudah 2 hari ini aku tidak menjenguknya. Bunda sedang sibuk, tidak bisa mengantarkanku. Mang Ujang, supirku juga sedang pulang kampung. Jadilah aku termenung di kamar sepanjang hari.
Sampai tiba-tiba, handphoneku berdering. Telpon dari Tante Irma, buru-buru aku mengangkatnya. “Ada apa tante?”, tanyaku. Aku tidak mendengar jawaban, hanya ada isak tangis. “Dinda, Nay. Dinda.”.
“Dinda kenapa tante?” tanyaku. “Dia memanggil-manggil namamu, bisakah kamu ke sini sekarang? Tante mohon, Dinda membutuhkanmu, Nayla.”, jawab Tante Irma. “Iya tante, Nayla pergi ke sana sekarang.” Tanpa mengunggu jawaban dari Tante Irma aku mematikan telpon dan menghubungi Bunda untuk segera pulang.

Sampai di rumah sakit, aku langsung berlari menuju ruangan Dinda. Dinda tersenyum melihatku, “Apa kabar sahabat?”, tanyanya. “Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?”, jawabku menahan tangis.
“Aku baik-baik saja. Kau tau Nay, tadi aku bertemu nenek, dia mengajakku jalan-jalan. Aku sangat bahagia. Aku ingin ikut bersama nenek. Makanya, aku ingin kau ke sini. Aku ingin bilang padamu, aku sangat menyayangimu. Terimaksih selama ini telah menjadi sahabat yang baik untukku.”
Aku tertegun mendengar kalimat Dinda, “Apa maksudmu? Jangan pergi Dinda, aku membutuhkanmu. Aku gak tau akan menjadi apa tanpa kamu.” Air mataku tidak bisa terbendung lagi. Aku menangis. Dinda tersenyum, kemudian berkata,
“Nayla, kau ingat kata-kata Tere Liye? Penulis favorit kita. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Aku menyayangimu Nayla, kau sahabat terbaikkku”
Lalu sekejap mata kemudian, mata Dinda tertutup. Dia menghembuskan nafas terakhirnya. Dengan senyuman tulus di bibirnya.
Aku semakin menangis, aku menangis sejadi-jadinya. Sahabat terbaikku telah pergi meninggalkanku, untuk selamanya.

Setelah pemakaman selesai, aku mengurung diri di kamar. Menatap lama fotoku bersama Dinda. Aku teringat perkataannya, hidup harus menerima. Walau kenyataan itu pahit, dan kini aku mencoba untuk berdamai dengan hatiku. Aku harus bangkit, hidupku harus terus berjalan. Karena aku tau, Dinda akan selalu mengiringi langkahku.
Aku akan selalu mengenang senyuman indahnya, tatapan mata teduhnya. Dia tetap sahabatku, sahabat terbaikku.

ADVERTISEMENT

Cerpen Karangan: Rewinta Sukma
Facebook: Rewinta Sukma
Try, try, and try. Do the best, get the best ..

Cerpen Bukan Titik merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Ilusi

Oleh:
Hujan kembali turun Terdengar rintikan-rintikan hujan membasahi bumi sore ini. Bau anyir tanah tercium seiring angin berhembus sepoi-sepoi menerpa tempat tersebut. Aku terduduk diam tak bergeming di kursi dengan

Belum Ada Judul

Oleh:
“Ck!” Sheira berdecak kesal sambil merebahkan dirinya ke ranjang. “Menyebalkan!” sambungnya, lalu menyimpan hp miliknya di atas bantal. “Kenapa lo kak?” ucap adik kembarnya, Tessa, yang sedang mengobrak-abrik lemari.

Cinta Ku Milik Sahabat Ku (Part 1)

Oleh:
Hari ini cuaca mendung, sudah sejak tadi aku menatap ke luar jendela memandangi hujan pagi yang gerimis. Halaman pun penuh dengan genangan air, ku lihat air masih mengucur dari

Dunia Yang Tak Terlihat

Oleh:
Jalan di luar sana masih sama, basah. Bahkan beberapa bangunan di tepi pekiknya kota besar mengalami hal yang serupa. Ribuan langkah kecil berhamburan di sisi badan jalan dan kemudian

Four For Forever (Fo3)

Oleh:
Suatu Hari di kelas, kedatangan murid baru (perempuan). Anak itu datang dari Surabaya, ia pindah karena Ayahnya yang bekerja di Bank memiliki tugas disini. Pada hari pertama kedatangannya itu

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *