Kau
Cerpen Karangan: Larasati SukmaKategori: Cerpen Misteri, Cerpen Persahabatan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 8 February 2015
Entah sampai kapan aku memikirkan dia. Sebenarnya aku tidak mau memikirkan dia, tapi dia selalu ada di pikiranku. Dia pun selalu ada di mana aku ada. Memang dia aneh.
Luna Cahya Sukma adalah namaku, aku kelas IX D di SMP N 13 Bandung. Hobiku hanya mendengarkan musik, itu pun jika sempat. Aku memiliki ibu yang penyayang, ayah yang bijaksana, dan adik yang menggemaskan. Keluargaku memang sempurna, namun di sekolah aku hanya orang terpojok. Di sekolah, aku hanya memiliki 3 orang teman. Mereka adalah Mira, Sari dan Putra. Namun hanya Mira dan Sari yang selalu bersamaku, karena Putra seorang laki-laki.
Seperti hari biasa, aku datang pukul setengah tujuh pagi. Aku berpapasan dengan Mira, dan jalan bersama. Karena kelasku dengan Mira berbeda, maka aku mengantarkan Mira ke kelasnya. Namun tidak biasanya, Mira terdiam. Aku berusaha bertanya,
“Mir, kamu kenapa? Kamu sakit?” kataku.
Namun Mira hanya menggelengkan kepala dan berkata,
“Aku nggak sakit kok Lu, aku cuma capek aja.”
Aku meyakinkan dia, “Kamu yakin Mir?”
Dia menjawab sambil tersenyum dan mencubit pipiku, “Iya Lu temenku yang paling cerewet. Udah ya, sampai ketemu nanti.”
“Lalalalala… sakit tau. Oke deh, sampai ketemu nanti.” jawabku sambil cemberut dan melambaikan tangan.
Setelah bel masuk berbunyi, kami mengikuti pelajaran dengan tenang.
Bel istirahat pertama berbunyi. Semua siswa dan guru pergi ke tempat masing-masing untuk beristirahat, tidak terkecuali aku dan Sari. Kami pergi ke kantin untuk membeli makanan. Saat aku dan Sari sampai di kantin, aku tidak melihat ada Mira di sana. Biasanya jika dia ada di kantin dia langsung memelukku atau mencubit pipiku. Tetapi saat itu tidak ada suaranya. Kemudian aku bertanya kepada Sari,
“Ri, kok Mira nggak ada ya? Biasanya dia heboh sendiri.”
“Nggak tau juga Lu.” setelah Sari menjawab, aku kembali ke kelas sendiri karena merasa pusing.
Saat aku di kelas, aku tahu bahwa Mira sakit karena setiap Mira sakit, aku selalu merasakan sakitnya juga. Entah itu datang darimana, dan mulainya dari kapan. Akhirnya aku berpikir bahwa Mira baik-baik saja.
Setelah jam pelajaran selesai, aku dan Sari pergi ke mushola untuk menjalankan sholat Dzuhur. Sebenarnya aku ingin pulang karena aku tidak enak badan tadi, tetapi berhubung ada les di sekolahan dan wajib diikuti, maka aku hanya bisa menahan sakit.
Setelah sholat Dzuhur, aku mendengar ada seseorang yang memanggilku. Ternyata Putra yang memanggil dari kejauhan. Entah kenapa dia berlari terengah-engah, seperti ada sesuatu yang penting. Tanpa basa-basi, aku langsung bertanya kepadanya,
“Put, kamu kenapa? Ayo cerita.”
“Lu, kok Mira aneh sih? Dia kayak marah sama aku.” jawab Putra sambil wajahnya berubah menjadi sedih.
Aku menjawab, “Udah kamu tenang dulu, mungkin dia cuma lagi pusing, terus emosinya jadi naik. Nanti aku tanya dia ya?” jawabku. Putra hanya mengangguk sambil meninggalkanku dan Sari.
Sikap Mira masih aku pikir sampai les bahasa Inggris tidak masuk ke otak. Kemudian Ibu Rahayu memanggilku,
“Luna, kerjakan soal di buku nomor 13.” dan aku hanya melihat keluar jendela yang penuh awan gelap.
Mungkin sampai dua kali Bu Rahayu memanggilku, dan terasa ada yang memegang pundakku dan aku tersadar dari lamunanku.
“Ada apa bu? Baik, saya jawab.” jawabku dengan kebingungan.
Ibu Rahayu bertanya kepadaku, “Ada apa Luna? Apa yang sedang kau pikirkan? Tolong fokus kepada pelajaran dan jawab soal nomor 13.”
Dengan terbata-bata aku menjawab, “Ti-tidak a-ada apa-apa bu. Baik bu, maaf.”
Setelah itu aku memperhatikan pelajaran sampai selesai.
Hujan turun deras, angin pun bertiup kencang, seperti alam sedang murka. Aku berjalan sendiri untuk pulang ke rumah. Karena tidak membawa payung, maka aku terpaksa berlari sampai ke rumah. Ketika aku sampai depan rumah, aku melihat Mira dengan payung hitamnya berjalan di depanku tanpa menoleh atau menyapaku. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting. Aku tidak berani menegurnya, takut dia marah seperti pulang sekolah tadi.
Sesampainya di rumah, aku langsung mandi, sholat Ashar, kemudian makan. Setelah itu, aku mengambil handphone milikku. Aku berencana mengirim SMS atau menelepon Mira. Aku hanya ingin mengetahui kondisi dan mengapa dia terlihat murung. Aku mulai dengan SMS pertama dengan mengirim pesan,
“Hai Mir, kamu sudah sampai rumah? Aku khawatir, bingung, pusing karena mikirin kamu. Tolong jelasin ke aku Mir. Kita kan sahabat, masak kamu nggak cerita ke aku? Please jawab SMS-ku ini.”
Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit, tidak ada jawaban dari Mira. Kemudian muncul pemikiranku, “Apa Mira bener marah sama aku ya? Tapi apa salahku? Atau dia ada masalah dengan orangtuanya. Kenapa dia nggak jawab SMS-ku ya? Ah mungkin dia nggak punya pulsa.” pikirku. Aku berusaha berpikir positif atas apa yang telah Mira lakukan.
Aku berusaha tidur, tapi Mira membuatku khawatir. Namun tepat pukul sembilan malam, ada pesan masuk dari handphone ku, ternyata dari Mira. Aku sangat tenang dan langsung membaca balasan dari Mira.
“Maaf Lu, bukannya aku bermaksud nyakitin hati Putra dan membuat kamu bingung karena aku. Aku sekarang cuma lagi nggak enak badan. Kamu nggak usah mikirin aku. Bener, aku nggak papa kok. Terimakasih sudah mau peduli, tapi aku nggak ingin merepotkan siapapun.”
Sebenarnya dengan jawaban Mira itu aku masih bingung dan khawatir, namun sudah membuatku sedikit lega. Dengan segera aku menjawab pesannya,
“Oke Mir, maaf aku terlalu khawatir. Aku nggak pengen ada apa-apa sama kamu. Kamu kan tahu aku sayang sama kamu. Hati-hati ya sama kesehatanmu. Kalo mau cerita, datang aja ke aku.” jawabku.
Karena menunggu balasan Mira, tidak sengaja aku tertidur karena merasa sangat mengantuk. Aku berusaha menahan kantuk, tapi tidak bisa.
Di dalam mimpi, aku bertemu Mira dengan penampilan yang aneh. Dia memakai baju putih sedengkul yang sobek, rambut acak-acakan, wajah pucat, dan tanpa alas kaki. Awalnya aku kira dia hanya pengemis. Saat aku menghampirinya, Mira berdiri dan menghampiriku. Dia mengulurkan tangannya dan memegang pundakku. Kemudian dia berkata,
“Jangan pernah berpikir tentangku lagi. Itu akan membantu jiwamu menuju kegilaan. Aku tahu kamu sayang aku, tapi aku memiliki kehidupan sendiri.”
Dengan mata menatapku tajam. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Bahkan, berpaling saja tidak bisa. Aku sudah terpaku dengan tatapannya. Dan yang aku lakukan hanya mengangguk. Seketika aku terbangun.
Suara adzan berkumandang mengisi seluruh ruangan di rumahku. Aku segera bangun dan menjalankan sholat Subuh. Setelah sholat, aku memikirkan maksud dari mimpi semalam, “Maksud dari mimpi itu apa ya? Biasanya dia selalu ceria di setiap mimpiku. Tetapi kenapa dia murung, kotor, kedinginan seperti itu?”
Beberapa pertanyaan tidak bisa aku jawab. Aku segera bangun dari lamunanku dan pergi mandi.
Sekolah masih sepi, hanya suara sapu yang terdengar. Aku berjalan menuju seperti biasanya. Ternyata, Sari sudah datang dan datang ke kelasku.
“Lu, bagaimana sama Mira? Dia baik-baik saja kan?” tanyanya.
Aku menjawab sambil tersenyum,
“Mira nggak papa kok, dia cuma masuk angin sedikit.”
“Oke deh, kamu juga jangan sedih dong.” menjawab sambil meninggalkanku.
Dan aku hanya mengacungkan kedua ibu jariku tinggi-tinggi.
Pelajaran aku lalui dengan serius, karena pelajaran hari itu menyenangkan. Mulai dari Olahraga, Matematika, Biologi, hingga jam terakhir yaitu Musik. Musik adalah pelajaran kesukaanku. Hari ini aku bersama kelompokku membuat vokal group yang terdiri dari enam orang. Kami mengerjakan tugas ini di luar kelas karena tempat tidak cukup. Dan kami memilih di depan kelas.
Pada waktu yang bersamaan, kelas IX E juga ada di luar kelas untuk mengerjakan tugas bahasa Indonesia. Dari kejauhan, aku melihat Mira bersama teman-temannya berjalan menuju lapangan basket. Mungkin untuk mengerjakan tugasnya. Aku pun kembali mengerjakan tugas.
Ketika aku sedang asyik bercanda, aku melihat Mira berjalan keluar dari lapangan basket bersama teman-temannya. Entah kebetulan atau bagaimana, aku melihat anak kecil mengikuti Mira. Sampai sekarang aku tidak tahu siapa dia. Ketika sampai di tengah lapangan. Rombongan kelompok Mira berhenti sambil mengelilingi sesuatu. Kemudian diikuti oleh teriakan Rista,
“Eh tolong, Mira pingsan!” seketika aku berlari untuk melihatnya.
Namun datang Ibu Rahayu bersama beberapa adik kelas. Dari kejauhan, Ibu Rahayu berteriak,
“Luna, cepat pergi ke ruang BK dan jemput Ibu Tri. Saya dan teman-temanmu akan ke UKS.” tanpa menjawab, aku berlari menuju ruang BK.
Kebetulan ruang BK tidak jauh dari lapangan. Jadi aku cepat sampai ke sana. Dengan cepat aku memberitahu ibu Tri.
“Bu, Mira pingsan di lapangan.” Ibu Tri merespon,
“Memang dia kenapa? Sakit?”
“Nggak tahu bu, dia nggak pernah cerita..” jawabku.
Namun belum selesai bicara, Ibu Ningsih menyela pembicaraanku,
“Ya sudah, biar bu Tri yang ke sana. Kamu pergi sholat saja. Nanti les kan? Ingat ya Lu, jangan dekat-dekat Mira!” dengan tertunduk aku menjawab,
“Baik bu, saya sholat dulu.”
Sholat sudah aku jalani, makan sudah, yang belum aku lakukan hanya mencubit pipi Mira. Aku tidak berani mendekati Mira, takut dia tambah sakit. Oh iya, dulu aku pernah pingsan berdua dengan Mira, hingga membuat satu sekolahan heboh. Karena masih limabelas menit, aku memutuskan untuk duduk di kelas sendiri. Dan malam ini pun tidak ada hal yang spesial dari Mira.
Keesokan paginya, aku tahu dia pasti sudah berangkat. Maka kuputuskan untuk lewat depan kelas Mira. Dan benar adanya. Mira sedang menyapu depan kelasnya. Aku menghampiri gadis manis itu.
“Mir, kemarin kamu kenapa hayo?” tanyaku dengan bercanda.
Mira menjawab dengan aneh,
“Nggak papa kok. Aku hanya sedang memikirkan ibuku yang sakit. Tapi sekarang sudah mendingan.”
“Syukur deh.” jawabku.
Kemudian aku meninggalkan Mira tanpa pamit. Aku masih dapat melihat kesedihan di mata indahnya. Aku ingin membantu, tapi bagaimana caranya?
Setelah sampai di depan kelas, aku bertemu dengan Sari. Dia menanyaiku,
“Gimana Lu? Mira kenapa?”
Aku menjawab, “Nggak papa kok, dia cuma bingung aja.”
Hari Sabtu adalah hari yang aku tunggu. Hari itu, aku bisa pulang lebih awal. Namun, ada beberapa event yang membuat bosan dan kesal. Mereka bilang, ini bimbingan belajar, nammun hanya berisi promosi saja. Sangat membosankan.
Setelah selesai, aku dihadang oleh Mira dan Sari. Mira diberitahu oleh ibunya bahwa Mira akan terlambat untuk menjemputnya. Jadi, Mira main di rumahku. Sedangkan Sari, dia pulang sejalan denganku.
Di rumah, kami menonton film milik Mira memakai laptop milikku. Dengan bercanda, kami asyik menonton film. Karena merasa lapar, kami menggoreng telur dan membuat sambal untuk makan siang kami.
Dua jam berlalu, namun Mira belum dijemput. Mira mulai khawatir dan gelisah. Tetapi aku tahu jika Mira menyembunyikan perasaannya dariku.
“Mbak, Mira udah dijemput tuh.” teriak ibuku.
Aku menjawab sambil menggandeng Mira, “Iya bu.”
Aku mengantar Mira hingga ke depan rumahku. Dengan menggandeng, aku berbisik kepada Mira.
“Jangan khawatir Mir, ibumu nggak papa kan?”
Mira menjawab dengan senyum manisnya, “Iya Lu, makasih buat dukunganmu.”
Aku hanya menjawab dengan senyum. ibu Mira tampak sangat kelelahan. Beliau juga terlihat pucat, seperti Mira saat pingsan. Aku merasa ibu Mira stres karena beban yang dipikulnya. Seperti Mira yang memikirkan ibu dan adiknya.
Setelah aku yakin bahwa Mira sudah sampai rumah, aku mengirim pesan singkat untuknya. Hanya memastikan dia baik-baik saja. Entah kenapa aku selalu khawatir. Namun tidak ada jawaban dari Mira. Aku berusaha berpikir positif, tetapi pikiran negatif selalu datang menghantuiku.
Kekhawatiranku kian meninggi. Perasaan ini tidak dapat aku bendung lagi. Hanya karena SMS yang tidak dijawab, aku menjadi gila seperti ini. Aku tahu ini berlebihan, namun memang rasa tidak bisa berbohong. Apalagi perasaanku dengan Mira. Aku merasa ada ikatan batin dengannya.
Sehari tidak ada kabar dari Mira. Kemudian aku membuka akun Facebook pribadiku. Hanya untuk memastikan dia sedang online atau tidak. Setelah aku buka, ternyata hasilnya nihil. Aku mencoba bertanya kepada Dana. Dana adalah teman dekat Mira.
“Dan, tau Mira nggak? Kok dia nggak mbales SMS aku? Dia juga nggak online. Kenapa ya? Bingung nih.” tanyaku.
Dana menjawab dengan ketus, “Sabar dulu, aku jawab satu-satu. Aku nggak tau Mira, dia nggak SMS aku juga. Dari tadi aku nungguin dia online juga.”
“Apa mungkin kehabisan pulsa lagi ya?” batinku. Kemudian aku menjawab, “Oke deh, thanks Dan.”
“Sip. Kalo dia ngasih kabar, aku dikasih tau ya Lu!” pintanya.
“OK!” jawabku.
Setelah itu aku offline untuk melakukan sholat Ashar. Setelah itu aku mandi dan ketiduran. Setelah bangun jam setengan enam, aku melihat handphone lagi. Dan tidak ada SMS masuk dari siapapun. Aku hanya bisa menunggu Mira.
Pagi harinya, teman-temanku kelas IX D datang ke rumahku untuk mengerjakan tugas dari guru kami. Mulai dari Isal dan Wira yang datang pukul sepuluh. Kemudian disusul Satria dan Ahmad. Sebenarnya Sabtu kemarin, Mira berencana untuk main ke rumahku. Namun, karena alasan yang tidak jelas, Mira tidak datang ke rumahku. Padahal aku sudah menunggu dia. Namun aku hilangkan kekecewaanku dengan bercanda bersama “teman-teman”ku.
Minggu telah berlalu, Senin datang menjemput. Hari ini aku upacara. Hari ini juga aku menagih semua pertanyaanku kepada Mira. Mulai hari Sabtu sampai hari Minggu kemarin. Aku akan mulai bertanya dan cerewet seperti biasanya. Dan berusaha menerima jawaban pasti dari Mira.
Entah mengapa, aku tidak melewati kelas Mira seperti biasanya. Aku melewati jalan lain yang melenceng jauh dari kelas IX E. Namun aku tidak merasakan apapun. Hanya sedikit gugup, entah mengapa.
Hari ini upacara, upacara bendera biasa. Petugas hari ini kelas VIII D, kelasku dulu. Di saat pengumuman bahwa upacara akan segera dimulai, para siswa berhamburan menuju lapangan untuk berbaris. Tidak terkecuali kelasku. Aku juga ikut, walau badanku tidak begitu enak untuk berpanas-panasan. Tetapi, demi bertemu dengan Mira, apapun akan aku lakukan.
Perasaan aneh datang lagi. Seperti ada angin yang meniup telingaku. Seperti ada seseorang yang akan memberi sesuatu kabar yang penting kepadaku. Tapi mengapa alam yang berbicara? Apa yang akan mereka sampaikan kepadaku? Apakah tentang Mira? Apa yang terjadi kepada Mira? Dimana dia? Aku bingung, bimbang, gelisah, tak tentu arah.
Kelas IX E datang terakhir dari kelas yang lain. Tapi, aku tidak melihat Mira bersama teman-temannya. Kemana Mira? Apa dia tidak masuk hari ini? Apa dia sakit? Atau dia terlambat seperti biasanya? Ah.. Aku bingung sekali.
Akhirnya aku bertanya kepada Dani, “Mira mana? Kok nggak ada? Dia nggak masuk apa telat lagi?”
“Emmm… begini Lu, Mira itu..” jawab Dani ragu.
“Mira kenapa?” tanyaku penasaran.
Dengan muka sedih, “Kamu yang sabar ya, aku tau kamu sahabat dekatnya Mira. Yang sabar ya.”
Aku semakin bingung, “Maksud kamu sabar apa Dan? Sabar kenapa? Ayo jawab!”
“Bagaimana aku menjelaskannya ya? Aku bingung Lu. Maafin aku.” Setelah itu, semua terdiam.
Upacara dilakukan seperti biasa. Aku tidak bisa konsentrasi karena aku memikirkan perkataan Dani. Apa maksud dari kata “sabar” itu? Apa yang terjadi dengan Mira? Semoga dia baik-baik saja. Aku harap begitu.
Upacara selesai, namun para siswa belum boleh masuk ke kelas masing-masing. Dari kejauhan, Ibu Tri beserta Ibu Ningsih menghampiriku.
“Luna, bisa ikut ibu sebentar? Ibu ingin bicara kepadamu.” tanya bu Tri.
Aku menjawab dengan bingung, “Baik bu.”
Aku dibawa ke ruang BK. Di sana ada ayah dari Mira. Tapi mengapa dia disini? Apa yang sedang terjadi?
“Luna, ibu akan memberitahumu sesuatu. Tapi yang sabar ya.”
“Apa bu? Apa yang sedang terjadi? Mira mana bu?” tanyaku sambil kebingungan.
“Mira kecelakaan kemarin Sabtu. Setelah pergi dari rumahmu. Motornya ditabrak oleh mobil sehingga Mira tewas di tempat. Ibu Mira kritis di rumah sakit. Maafkan ibu Lun.” jelas Bu Ningsih kepadaku.
Aku hanya bisa melihat langit-langit dan terdiam. Kemudian aku berjalan keluar menuju lapangan. Setelah sampai di tengah lapangan, aku hanya bisa duduk dan tertawa sepuasku. Entah setan darimana yang mengendalikan tubuhku ini. Aku tertawa sambil mencakari tanganku sendiri. Berlari seperti orang gila menuju kantin, dan mengambil sebilah pisau. Yang aku pikirkan hanya Mira, Mira, dan Mira. Padahal aku pernah berjanji agar tidak memikirkannya. Namun apa boleh buat, sekarang terjadi. Maafkan aku, Mira.
Banyak anak yang shock melihat aku seperti itu. Tetapi aku tidak peduli, yang aku pedulikan hanya Mira. Darah membasahi baju OSIS milikku. Darah segar yang merah. Tanganku sudah tidak merasakan sakit lagi.
Para guru berusaha menjauhku dengan barang cantik itu. Namun aku berusaha memberontak. Aku ingin sekali menyusul Mira disana. Aku ingin segera melihat dia bahagia disana. Aku ingin bersamanya, hanya itu.
Aku mencakari semua yang berusama memegangiku, tidak terkecuali Sari dan Putra. Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku ini. Dan aku tak ingin berhenti. Aku berusaha lari dari kerumunan orang-orang itu. Dan aku berhasil! Aku melewati banyak adik kelasku, dan aku melihat mereka menangis. “Ada apa? Apakah ini mengerikan? Apakah aku berarti untuk mereka? Bodoh! Mereka bodoh!”
Aku berlari menuju jalan raya di depan gerbang sekolah. Aku berusaha untuk pulang dan pergi ke rumah Mira. Namun dari arah jauh ada truk yang melaju kencang. Aku tidak sempat menghindar, melihat pun tidak sempat. Aku terpental entah sejauh apa? Aku tidak merasakan sakit yang amat, hanya pegal dan nyeri. Kemudian rasa itu hilang.
Beberapa saat aku terbangun. Aku melihat Mira sedang memangku kepalaku. Dan Mira tersenyum kepadaku. Aku membalas senyum manisnya.
“Di mana kita Mir?” tanyaku.
Mira menjawab dengan gembira, “Hey, kamu ingat tempat impian kita dulu? Yang selalu ada di mimpi kita? Inilah tempatnya Luna. Kita berhasil kesini.”
Aku melihat sekeliling untuk memastikan. Dan benar saja, pohon itu, ayunan tua itu, sungai kecil kami, burung-burung yang gembira ada disini. Aku berhasil, Mira berhasil, kami berhasil. Aku sangat gembira bisa bertemu Mira kembali. Aku juga bisa menemukan impian terdalamku bersama Mira.
“Mir?” aku memanggilnya.
Mira menjawab dengan lembut, “Iya Lu?”
“Jangan tinggalkan aku lagi ya?”
“Pasti.” jawab Mira dengan mantab.
Aku hanya bisa merasakan cinta di kehidupan baruku ini. Aku bisa merasakan hidupku lagi. Aku bisa mencintai dia lagi. Aku tidak takut kehilangan dia lagi. Terimakasih Mira, kau segalanya bagiku.
Cerpen Karangan: Larasati Sukma
Facebook: Larasati Sukma
Cerpen Kau merupakan cerita pendek karangan Larasati Sukma, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Gadis di Jendela
Oleh: Bela F. AzmiTangan putihnya yang tanpa noda itu kembali menyapu kaca jendela kamarnya. Mencoba untuk menghapus sisa embun setelah hujan semalaman yang kini menghalangi pandangannya keluar kamar. Setelah dapat dilihatnya pemandangan
Persahabatan Yang Tak Disadari
Oleh: Sirrotul AnjalinaSuatu hari di sebuah hutan ada seekor monyet bernama Monmon, Monmon mempunyai sifat yang sangat serakah dia tidak menyukai pertemanan dan juga hal baik lainnya, para hewan di hutan
Angan Tak Sampai
Oleh: Sugesty NurchadjatiKoridor sekolah nampak ramai. Bagaimana tidak, hari ini adalah pengumuman penerimaan siswa baru. Yup! Papan pengumuman sudah penuh dengan orang-orang yang tidak ia kenal. Hampir saja ia ditabrak-tabrak puluhan
Pertemuanku Dengannya
Oleh: NurinayahAku baru saja ke luar dari gedung sekolahku pada sore itu. Sungguh lelah hari ini, mengikuti pembelajaran sore yang membosankan. “Akhirnya, selesai juga latihan menari sore ini.” Gumamku sambil
Cintaku Beralih Ke Temanku
Oleh: Lincy Ayu TeresaNama ku Clara. Sekarang aku duduk di kelas 1 smp. Sebelum aktifitas pembelajaran berlangsung, kami disuruh memperkenalkan diri masing-masing. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang diibaratkan Pangeran karena matanya bagaikan
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply