Mawar Hitam
Cerpen Karangan: Dira WKategori: Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 15 June 2013
Terakhir kali aku melihatmu dulu masih jelas terlihat pesona kecantikanmu yang masih memukau hampir setiap orang yang mengenalmu. Semua orang menyayangimu seperti mereka menyayangi orang-orang terdekat mereka. Kau sungguh istimewa. Hingga kepergianku ke salah satu Pondok Pesantren, kabar yang ku dengar tentangmu pun masih sama seperti ketika aku sering melihatmu. Teman-teman yang datang mengunjungiku tak pernah lupa mengabariku tentangmu. Tapi entah mengapa, setelah empat tahun lebih kini semua berubah. Ku dengar kabar bahwa kini kau sudah tak lagi dielu-elukan karena kecantikan rupa dan perilakumu itu. Bukan lantas sirna begitu saja, hanya saja kenyataan pilu yang mengunjungimu bertubi-tubi itulah semua orang lantas menjadi lebih menampakkan iba padamu. Kekaguman yang selama ini mewarnai hari-harimu itu telah ditumpuki rasa iba yang sangat mendalam.
Semua itu berawal sejak satu peristiwa naas yang menimpa Bapakmu sekitar seminggu yang lalu. Bapakmu tiba-tiba roboh ketika sedang mencangkul di sawah. Orang-orang yang mengetahui peristiwa itu lantas membawanya pulang. Tiga hari berlalu dengan keadaan yang masih belum banyak berubah dari sebelumnya, para tetangga kemudian sepakat untuk membantumu, merujuk Bapakmu ke rumah sakit. Sedih bukan main orang-orang mendengar penuturan dokter tentang Bapakmu waktu itu. Bapakmu Stroke.
Katanya Bapakmu memang mengidap penyakit Hipertensi sebelum kau ada, jadi fikiran mereka bisa menerima jika Bapakmu kemudian Stroke. Mereka juga paham bahwa sejak kepergian Ibumu dulu beban pikiran Bapakmu semakin bertambah besar, di samping karena kondisi ekonomi yang tak jua membaik meski sudah pontang-panting memperbaikinya. Semua orang sedih saat terfikir tentang kamu, bagaimana hari-harimu setelah itu. Meski wajahmu terlihat tidak terlalu sedih atau meratapi kenyataan itu, tetap saja orang-orang mulai berbicara dengan dirinya sendiri demikian jauhnya tentang masa depanmu. Betapa tidak, kepergian Ibumu ke hadirat Ilahi sebulan silam saja mereka rasakan begitu perih untukmu, kini kau yang memang tak punya saudara kandung harus menerima kenyataan tentang ayahmu yang lumpuh. Kau benar-benar sendiri. Bagaimana dengan para tetangga? Semua orang tahu dan mengerti bahwa keluargamu sejak dulu tak mau terlalu tergantung pada orang lain, termasuk pada para tetangga.
“Bapak sangat malu untuk meminta dan menerima pemberian orang…” begitulah kira-kira kata Bapakmu yang terdengar tak sengaja dari pojok gubuk reyotmu waktu itu, pada suatu senja yang hambar.
Sudah genap seminggu kondisi Bapakmu belum juga terlihat ada kemajuan, sama sekali tak bisa bergerak. Persis hanya kedua matanya yang masih normal berkedap-kedip. Jadilah kau yang mengerjakan seluruh pekerjaan yang Bapakmu tinggalkan. Mulai dari kandang sapi sampai ke sawah-sawahnya. Belum lagi perihal mengurus Bapakmu itu. Semuanya kau lakukan sendiri. Namun demikian, kau tak terlihat terlalu berubah dari sebelumnya. Di sekolah, Mushalla dan pertetanggaanmu, kau masih yang terbaik. Namun sekali lagi, di antara kekaguman dan kebanggaan yang berjejalan itu terhampar rasa iba dalam hati orang-orang, menutupi kekaguman itu. Ketegaran yang kau tampakkan ternyata tak cukup untuk menghilangkan rasa iba itu dari mereka.
Seminggu lagi usia kuburan Ibumu genap Seratus Hari, itu berarti harus ada Selamatan. Tapi bagaimana kau akan melaksanakan Selamatan kedua setelah hitungan Empat Puluh Hari dulu? Sekarang saja kau sudah tampak kurusan, menandakan makan sehari-harimu saja tidak normal. Dari mana kau akan dapat biaya Selamatan Ibumu itu? Namun syukurlah! Rasa iba itu kemudian bicara, para tetangga di sebelah gubukmu datang memberikan pinjaman.
“Mawar, kalau ada apa-apa jangan sungkan-sungkan.”
Beberapa hari kemudian mereka mendengar suara tangisan lirih dari dinding malam, sepertinya suaramu. Diam-diam mereka mencoba menghampiri gubuk itu dengan perasaan tak menentu penuh tanya. Tidak biasanya kau menangis tersedu malam-malam. Yang mereka tahu tentangmu kala malam hari, kau selalu khusyu’ dalam sujudmu
Satu persatu rasa penasaran mereka bertemu di halaman gubuk yang begitu sempit itu. Tiba-tiba terdengar suaramu membaca Al-Qur’an di antara seduan tangis yang dipaksakan untuk berhenti, tangis yang sepertinya tak kau inginkan. Rupanya, lagi-lagi kau mencoba untuk tetap tegar menghadapi kenyataan hidupmu sendiri.
Di luar, sembari berusaha menahan air mata agar tidak tumpah, orang-orang mulai berani menyimpulkan akan apa yang terjadi sebenarnya. Namun mengingat gadis setegar kamu telah menangis, mereka tak berani memastikan akan kebenaran kesimpulan yang mereka ciptkan itu. Mereka khawatir tak sanggup menyaksikan kenyataan yang sampai membuat kau menangis itu. Mereka pulang dengan air mata terburai. Tapi sebentar, ada seorang wanita lansia yang meneruskan langkahnya masuk ke gubuk itu.
Luka itu memang terlalu berat untukmu, terlalu keras untuk kau rasakan. Tak seperti keinginan dan harapan yang selalu kau impikan, kau inginkan, kau hayalkan dan kau bayangkan dulu…
Lengkap sudah penderitaan yang kau rasakan kini. Namun pada hari-hari selanjutnya kau tetap mencoba untuk menjadi gadis tegar yang selalu tersenyum mengarungi hidup.
Mawar, kau mencoba untuk tetap harum, dan memang tetap harum. Tapi sejak malam itu, karena malam itu, bagi mereka harummu sebenarnya adalah kepedihan. Orang-orang tetap memandangmu sebagai gadis istimewa, namun di balik semua itu terselip kepedihan yang mereka rasakan untukmu, karena malam itu.
Cerpen Karangan: Dira W
Facebook: waridlk[-at-]facebook.com
Cerpen Mawar Hitam merupakan cerita pendek karangan Dira W, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Pelangi Setelah Hujan
Oleh: Eriza Safrilla Haryono“Non, Mas Randy sudah menunggu di bawah.” teriak mbok Siti dari luar kamarku. Hmm, cukup cantik. Batinku sambil melirik kaca di sebelahku. Ku segerakan turun ke lantai bawah. Randy
Saat Cintanya Mengubah Dunia Ku
Oleh: Anil Safrianza31 desember 1997 saat itulah pertama kali aku menghirup udara dunia yang aku sambut dengan tangisan yang membuat orangtuaku bangga. Aku tumbuh dan berkembang bersama keluarga sederhanaku. Aku kecil
Pagi yang Tak Cerah
Oleh: Puspita Sandra DewiPagi ini tak begitu cerah. Aku berdiri tak jauh dari ranjangku sambil melihat tubuhku yang terbaring koma di atas ranjang rumah sakit itu. Kulihat juga mama yang duduk di
Aksara Tak Bisu
Oleh: Oan WutunBukit itu terlalu sunyi untuk di katakan wajar. Setelah dipersilahkan masuk ke rumah orang tua itu, aku duduk pada kursi di ruang tamu. Ia meraih sebungkus tembakau kasar. Disodorkannya
Lebih Baik Padam Daripada Pudar
Oleh: Ika SeptiAku tak pernah menyangka bahwa semuanya datang dan pergi begitu cepat bagaikan kilatan petir di langit yang menghitam. — Tempat kos yang aku tempati ini lebih nyaman dari yang
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply