Pagi yang Tak Cerah
Cerpen Karangan: Puspita Sandra DewiKategori: Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 5 June 2012
Pagi ini tak begitu cerah. Aku berdiri tak jauh dari ranjangku sambil melihat tubuhku yang terbaring koma di atas ranjang rumah sakit itu. Kulihat juga mama yang duduk di samping tubuhku sambil menggenggam tangan kananku dan papa yang berdiri sambil memegang bahu mama. Saat itu juga pikiranku mencoba berlari ke belakang untuk mengingat kembali putaran perjalanan hidupku yang tak panjang ini.
Bermula dari 4 tahun silam. Saat itu aku duduk di bangku kelas 3 SMP, umurku sekitar 14 tahun. Tak terasa ternyata hanya tinggal menunggu beberapa minggu lagi bagiku untuk duduk di bangku SMA. Malam itu aku berdiskusi dengan mama dan papa, kira-kira SMA mana yang akan kumasuki. Usulan demi usulan pun mulai masuk.
“Bagaimana kalau coba di negri?” Usul papa.
“Bagaimana kalau kamu SMAnya ambil di Methodist juga? Lagian dari TK sampai SMP kamu di Methodist, apa salahnya kalau kamu tetap di Methodist juga?” Usul mama.
“Kalau boleh aku ingin di tempat yang lain, ma.. Dari TK aku sudah di situ, aku ingin suasana yang baru?”
“Miscell ada benarnya juga, ma? Dari kacil kan, Miscell sudah di situ. Pastinya dia juga udah bosan, kan?”
“Ya sudah, terserah kamu saja lah?!” Mama mulai kesal padaku.
“Jangan gitu dong, ma?” Kata papa mencoba membelaku. “Kalau di negri Miscell mau, soalnya di negri biayanya lebih murah.” Kata papa mengulangi usulannya.
“Bukannya Miscell tidak mau, pa. Tapi Miscell tidak tertarik dengan perguruan negri..” Kataku dengan kepala tertunduk.
“Apa sich mau kamu?! Cari tempat buat sekolah aja kok susah sih!!” Bentak mama padaku.
“. . . . . . . . . .” Aku hanya diam dengan kepala yang masih tertunduk. Aku tak terlalu suka ribut dengan mama.
“Kalau begitu SMA Santos, kamu mau nggak?! Letaknya agak jauh dari sini! Kalau kamu tak mau juga, kamu cari saja sendiri!”
“Iya. Aku mau, ma..”
“Ya sudah. Semua biayanya nanti akan mama selesaikan.” Mata mama menuju papa, “Papa yang temani Miscell mendaftar, ya? Mama harus mengawasi pegawai yang bekerja di toko pakaian kita.”
“Iya.” Jawab papa singkat.
Malam itu pembicaraan selesai. Untungnya aku tidak perlu harus ribut dengan mama karena pembicaraan itu. Meski sebenarnya pembicaraan malam itu sedikit menyakiti perasaanku. (“Tak apa lah, anggap saja sebagai tanda bakti aku sama mama.”) Pikirku dalam hati malam itu di atas tempat tidur sesaat sebelum aku terlelap.
Tak terasa minggu demi minggu pun berlalu. Seperti rencana, papa menemaiku mendaftar, dan urusan keuangan diselesaikan hari itu juga. Dua minggu kemudian aku sudah masuk ke SMA itu. Hari itu hari pertama aku masuk SMA. Tapi aku tak tahu, kalau hari itu juga akan menjadi awal mula pertengkaranku dengan mama.
& & &
Sore itu kira-kira jam 06.00, aku baru tiba dirumah, setelah seharian suntuk di sekolah. Beberapa saat kemudian terdengar suara motor King papa yang memasuki teras, sambil membonceng mama yang baru pulang dari toko. Sesegera mungkin aku masuk ke kamarku, dan mengganti seragamku. Dan dengan segera aku keluar dari kamarku dan membantu membawakan barang-barang yang dibawa mamaku.
Mama segera mandi, sedang aku membantu bibik menyiapkan makan malam. Tak lama kemudian makanan sudah terhidang, aku, kedua orang adikku, beserta mama dan papa sudah duduk di atas kursi makan. Setelah berdoa bersama, makan malam pun dimulai.
Suasana begitu sunyi meski ada lima orang yang mengelilingi meja makan. Hal itu membuat hatiku menjadi takut untuk mengutarakan sesuatu hal yang tadinya sudah kupikirkan didalam bis menuju perjalanan pulang. (“Ngapain aku takut. Lagian cuma masalah jurusan saja kok. Mama pun, mungkin tidak terlalu mempermasalahkannya, tapi mungkin papa…. Ya, sudahlah, tak apa!”) Pikirku dalam hati, mencoba mengusir rasa takutku.
“Ma, minggu depan ujian semester genap udah dimulai.” Kataku sambil melihat pada wajah mamaku yang tengah menyuapi sendok nasi ke dalam mulutnya.
“Terus?”
“Miscell mau milih jurusan.”
“Jurusan IPA saja!” Respon papa cepat.
“Miscell nggak terlalu tertarik dengan IPA, pa. Miscell lebih suka jurusan IPS.”
“Ya sudah, terserah kamu, IPS juga bagus, kok?!” Respon mama terhadap pilihanku.
“Alahh Miscell! Papa tahu kenapa kamu nggak milih IPA! Karena kamu nggak mampu di IPA, kan?!” Kata papa dengan nada menyindir.
“Masih bagus milih IPS. Dari pada maksain ke IPA, padahal nggak mampu di IPA.” Kataku sambil melihat papa dengan tatapan menyindir.
“Ya sudah terserah kamu, lah?!” Kata papa dengan suara agak keras, karena merasa tersindir.
Suasana kembali sunyi, yang terdengar hanya suara sendok dan garpu yang salling beradu di atas piring. Aku melanjutkan makanku, tapi sejurus kemudian mama menanyakan sesuatu padaku.
“Setelah tamat SMA, kamu mau ngambil kuliah dibidang apa?” Tanya mama sambil memotong steak yang ada dipiringngnya.
“Pinginya sich, dibidang seni, ma.”
“Bidang seni itu ada banyak, bidang seni yang gimana?!”
“Miscell suka, mendesain pakaian, merancang rumah, melukis, dan Miscell juga suka menulis.” Kataku menuturkan semua hal yang aku sukai.
“Cek, cek, cek!” Mama berdecak. “ Mendesain pakaian ya?. . Mama nggak yakin kamu bisa sukses. Bagaimana kamu bisa mendesain pakaian dengan bagus, sedangkan menata pakaian di toko mama saja kamu nggak bisa.”
“Bukannya Miscell nggak bisa, ma? Miscell kan, nggak ada waktu.” Kataku dengan hati yang sakit mendengar ucapan mama yang pedas.
“Merancang rumah. Mama juga nggak yakin kamu bisa sukses. Bagaimana kamu bisa jadi perancang yang handal, menata barang-barang yang ada di rumah saja kamu gak bisa.” Ucap mama kembali, tanpa mau mendengar alasanku.
“Mama? Miscel nggak sempat. Mama kok, bicaranya begitu, sich? Bukannya kalau lagi liburan, Miscell menata rumah dengan baik?” Ucapku, merasa kesal dengan ucapan mama yang mengerikan itu.
“Iya, tapi cuma kalau liburan saja, kan?!”
“Mama?! Miscell nggak ada waktu?!” Aku mulai memberontak.
“Sehabis pulang sekolah kan, bisa!” Kata mama seakan tak mau kalah dengan perlawananku.
“. . . . . . . . .” Kucoba untuk menenangkan hati dan pikiranku, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah.
“Kalau menggambar atau melukis, juga kayaknya nggak cocok buat kamu. Mau kerja dimana kamu? Memangnya ada perusahaan yang mau menerima seorang pelukis?” Kata mama mencoba meyakinkanku.
“Jadi, mama ingin aku gimana?” Kataku mengalah dengan hati yang dongkol.
“Kalau mama liat sich… kayaknya bahasa Inggris kamu lumayan. Gimana kalau kamu masuk pariwisata saja?”
“Terserah mama lah…” Ucapku dengan suara berat.
Setelah selesai makan, aku membantu bibik membersihkan meja dan piring kotor. Setelah itu aku pergi menuju kamarku dan segera mandi. Selesai dari itu, segera kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Kulihat baling-baling kipas angin yang tergantung di langit-langit kamarku sambil ku putar kembali perjalananku hari ini. (“Hampir nggak ada yang menyenangkan, apalagi berkesan”) Pikirku. Segera kupenjamkan mataku dan merilekskan semua organ-organ tubuhku, serta membuang sejenak masalah yang menjenuhkan pikiranku. Tak lama kemudian rasa lelah disekujur tubuhku menghantarku pada tidur yang lelap.
& & &
Pagi itu aku sedang berada didalam kelasku yang baru, kelas 2 IPS. Aku duduk termenung di bangku yang sudah kupilih. Tak lama seorang mengejutkanku.
“Miscell!” Kata orang itu mengejutkanku, sambil menutup kedua mataku.
“Biar kutebak! Renata, kan?!” Tebakku tak ragu.
“Kamu tanda juga ya, sama suara aku?” Renata melepaskan tangannya sambil meletakkan tas dan duduk disampingku.
“Kamu milih IPS, juga?”
“Iya donk?!” Jawabnya dengan mantap. “Kamu sendiri gimana? Kamu nggak harus ribut dulu kan, sama mama kamu soal jurusan aja?” Lanjutnya.
“Untungnya sich, nggak?! Tapi parahnya, masa depan aku udah diambil alih sama mama?”
“Maksudnya diambil alih?”
“Mama udah nentuin masa depan aku, dia milihin sendiri fakultas buat aku…”
“Terus mama kamu minta kamu di fakultas apa?”
“Pariwisata. Mamaku bilang, kemampuan bahasa Inggris aku lumayan. Jadi aku lebih cocok di bagian pariwisata…”
“Terus kamu nurut?”
“Iya. Soalnya aku malas ribut sama mama. Lagian selama ini, mama udah besarin aku. Apa salahnya kalau aku sedikit nurut sama kata-katanya. Sekalian aja sebagai tanda bakti aku..”
“Tapi kan, itu nggak sesuai dengan cita-cita kamu selama ini?! Lagian kalau mau berbakti, nggak harus begini juga caranya kan?!”
“Tak apalah Ren. Gimanapun juga dia mama aku. Kurang lebih dia pasti lebih tau soal aku, dari pada diri aku sendiri, kan?”
“Aku salut sama kamu! Kamu berpikir dewasa banget. Tapi pasti perasaan kamu saat ini…”
“Udahlah Ren, gak usah dibahas lagi.” Ucapku memotong.
Aku kembali merenung, kupikir ulang rencana mama terhadap masa depanku. (“Rasanya bera juga kalau aku harus menjalaninya berdasarkan keinginan orang lain, bukan keinginanku. Tapi tak apa lah! Orangtua kan wakil Tuhan di dunia, jadi apa yang dikehendaki oleh orangtua buat kita, pasti itu juga yang dikehendaki Tuhan untuk kita… Mungkin. Tapi harapan terbesar aku, mama bisa tahu kalau aku ngelakuin ini semua hanya untuknya.”) Ucapku dalam hati, dengan mata yang berkaca-kaca.
Hari itu pun hampir berarkhir, dimenit-menit terakhir pak Alex guru ekonomi sedikit sharing dengan kami untuk membuat pikiran kami rileks setelah seharian belajar. Entah kenapa pak Alex ingin bertanya soal cita-cita kami setelah tamat SMA. Hatiku menjadi berat, rasanya aku ingin berlari keluar dari ruangan itu, menghindari pertanyaan pak Alex. Tapi tak tahunya, aku malah orang pertama yang ia tanyai.
“Miscell, ada rencana buat jadi orang sukses nggak?”
“Ada lah, pak?” Jawabku mencoba santai.
“Miscell, ingin jadi apa?”
Detik itu juga aku bagai disambar petir ribuan volt. Dan spontan aku menjawab..
“…Ingin jadi seperti yang diinginkan mama….”
“Kok keinginan mama? Kenapa nggak keinginan kamu?”
Aku diam kembali, air mata mulai berlinang tapi aku takut meneteskannya. Kukedip-kedipkan kedua mataku dengan kepala tertunduk, mencoba mengeringkan air mata yang bersebar di bola mataku. Ranata yang mengerti parasaanku, langsung mengalihkan perhatian pak Alex terhadapku.
“Pak, udah donk?! Masa Miscell terus yang ditanyain?! Gantian donk, pak?” Ambek Renata berpura-pura merasa tidak adil. Dan yang lainnya turut mengatakan hal yang sama.
“Oke. Oke sabar ya?!” Pak Alex menanggapi cepat permintaan yang lainnya. Segera pak Alex berpindah ke sisi kelas yang lainnya.
“Miscell, kamu gak apa kan?”
“Gak kok. Thank’s ya?”
Sesaat kemudian lonceng pulang berbunyi. Aku pulang bareng Renata, selama di bis tak satupun kata kuucapkan pada Renata, sampai saat aku turun dari bis itu. Setibanya aku dirumah, aku tak melihat motor papa. (“Apa mungkin papa nggak dirumah, ya?”. Aku masuk ke dalam rumah, kulihat adikku sedang makan sambil menonton tv. Segera kutanyakan kebaradaan papa.
“Rey, papa mana?”
“Papa sama mama lagi keluar kak. Katanya mereka pulang agak malam.” Jawab adikku paling kecil, Vero, sebelum Rey menjawab.
“Ohh….”
Entah kenapa, perasaanku menjadi sangat senang ketika kudengar papa dan mama akan pulang malam. (“Kenapa aku ini? Kenapa aku senang mereka tak ada dirumah. Ha! Ha! Ha!”) Aku tertawa geli dalam hatiku. (“Mungkin karena terkadang aku merasa tak tahan bersama mereka.”) Ucapku kembali dalam hati.
& & &
(“Gak terasa ya, aku sudah kelas 3. Bentar lagi harus ngadapi UN dan selanjutnya harus melaksanakan keinginan mama.”) Ucapku dalam hati, yang saat itu aku berada di kamar. Malam ini aku tidur, tanpa mengisi perutku dengan makan malam.
Esoknya tepat pada hari Minggu, seperti biasa aku akan pergi ke gereja bersama keluargaku. Semua orang yang ada dirumahku sudah bangun tepat pukul 06.00, kecuali aku. Entah kenapa badanku terasa tak enak, kepalaku sangat barat. Kucoba keluar dari kamarku dan duduk di kursi. Kulihat mereka semua mondar-mandir ke sana-sini, sibuk dengan diri mereka masing-masing. Mama yang merasa heran melihatku, langsung bertanya padaku.
“Kenapa kamu belum siap-siap? Kami semua sudah mau berangkat, apa kamu pergi sendiri?”
“Minggu ini, Miscell nggak bisa pergi ma. Miscell lagi gak enak badan.”
“Apa kamu bilang? Jangan coba-coba kamu gak pergi. Jangan kamu buat mama malu dihadapan orang lain. Kamu ingat kan sekarang apa jabatan mama di gereja?” Kata mama mencoba mengingatkan kembali soal jabantannya sebagai bendahara.
“Tapi ma, Miscell lagi benar-benar gak enak badan.” Ucapku pelan.
“Kamu ingin melawan mama?! Pokoknya jangan sampai mama gak liat kamu ada di gereja. Awas kalau kamu coba-coba ya?! Udah! Kami pergi duluan, kamu pergi saja sendiri!” Bentak mama, sambil beranjak dari rumah bersama yang lainnya.
Hatiku benar-benar sakit mendengar ucapan mama yang mengerikan itu. Aku tak bisa lagi menahan air mataku. Kutumpahkan sebanyak mungkin air mataku, sambil berucap dengan pelan.
“Mama, hanya untuk menjaga harga dirimu, kau mengorbankan aku. Apa sebegitu tak berharganyakah aku dihadapanmu? Mana sosok ibu yang lembut yang selama ini kudengar dari orang-orang? Aku sama sekali tak melihat kelembutan darimu. Apa mama tidak tahu, selama ini aku mencoba untuk mengerti mama? Tapi kenapa tak sekalipun mama bisa melihat hatiku yang tulus menyayangi mama? Mengapa tak sekalipun mama bisa mengerti aku?….
Tuhan.. aku sudah lelah dengan semua ini.. Jika boleh, bawalah aku bersamaMu saat ini juga….”
Seketika itu juga tubuhku roboh dan terpisah dari roh ku. Aku tersentak kaget, karena aku bisa melihat tubuhku yang tergeletak di kursi. Segera aku berdiri dan mengambil jarak dari tubuhku. Rasa penasaranku membuatku mencoba untuk mendekati tubuhku dan menyentuhnya. Aku benar-benar ketakutan karena aku tak bisa menyentuh tubuhku.
Tapi tiba-tiba, ruangan dipenuhi cahaya yang menyilaukan mataku. Setelah cahaya itu menghilang, aku membuka mataku perlahan dan aku sangat terkejut ketika kulihat dihadapanku telah berdiri seorang anak kecil tanpa rambut yang mengenakan baju putih yang bersih.
“Kamu siapa?” Tanyaku sedikit takut.
“Aku malaikat utusan. Aku datang untuk menjemput kamu, Miscell.” Katanya dengan lembut dan penuh senyum padaku, dipadu dengan wajahnya yang teduh membuatku tidak merasa takut padanya.
“Banarkah?” Kataku lega. Aku tak tahu kenapa, tapi aku merasa percaya kalau dia benar-benar malaikat.
“Tuhan mengerti perasaanmu. Kamu adalah anak yang baik, dan Ia sangat mengasihimu. Ini sudah waktunya kamu meninggalkan dunia ini. Apa kamu siap untuk pergi sekarang bersamaku? Sebab Dia sudah menunggu kamu di atas sana.”
“Apa bisa menunggu sebentar lagi? Aku hanya ingin melihat keluargaku sebentar saja.”
“Baiklah. Kalau itu keinginan kamu.”
Aku dan malaikat itu berbincang-bincang. Aku merasa senang bersamanya. Tak terasa papa dan mama sudah pulang. Mama mulai memanggilku dengan suara yang keras dan penuh geram.
“Tak baik dekat-dekat dengan mereka. Mari kita menjauh dan melihat dari atas saja.” Kata malaikat itu menggenggam tanganku dan membawaku melayang.
“Miscell! Dimana kamu! Kamu benar-benar melawan mama, ya?!” Mama mulai berjalan memasuki rumah, dan dengan segera ia melihat tubuhku yang tergeletak di atas kursi. Mama mengira aku masih tertidur.
“Miscell bangun kamu!!” Lanjut mama sambil menggoncang-goncang tubuhku. Tapi tubuhku yang hampir tak bernyawa itu tak kunjung bergerak.
Mama yang mulai merasa cemas dan segera memanggil papa. Papa, mama, dan adik-adikku segera membawaku kerumah sakit. Aku dan malaikat itu mengikuti mereka dari atas. Setibanya di rumah sakit, tubuhku langsung dibawa ke ruang gawat darurat. Segera tanganku dipasang jarum infus, dan hidungku dipasang selang oksigen. Dokter memberi tahu mama, kalau aku dalam keadaan koma.
Mama segera duduk di sampingku sambil menggengggam tangan kananku, dan papa berdiri dengan memegang bahu mama. Sedang aku bersama malaikat itu masih berdiri di samping tubuhku yang terbaring koma. Pikiranku berhenti berlari, putaran perjalanan hidupku hanya sampai hari ini, di pagi yang masih tak terlihat cerah.
Lalu malaikat itu menjulurkan tangan kanannya padaku.
“Mari kita sudahi semua ini?” katanya dengan senyum.
“Ya.” Jawabku dengan menyambut tangan malaikat itu di pagi yang masih tak terlihat begitu cerah.
Cerpen Pagi yang Tak Cerah merupakan cerita pendek karangan Puspita Sandra Dewi, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Jalan Pulang
Oleh: Johan ArkiangSamar-samar kudengar dehasan nafas Ayahku. Kami sedang mendaki sebuah gunung menuju rumah tempat kami bercerita, tempat kami melepas piluh, tempat kami tertawa. “Ayah, biarkan Aku Jalan sendiri Yah.” mintaku
Lagu Untuk Lintang
Oleh: Indar WidiaSuatu malam yang dingin, diguyur oleh hujan deras bersamaan dengan kilat yang diikuti sahutan gemuruh dari kejauhan, Mentari tengah berkutat pada sebuah buku hariannya dibalik selimut hangat. Sesekali matanya
Elegi Marwah
Oleh: Muh FaddlanSudah dua tahun lalu sejak kematian perempuan suci yang menempati rumah di ujung gang buntu itu. Itu bukan rumah mewah dengan fasilitas lengkap, hanya sepetak tanah yang di atasnya
Hingga Aku Lelah Menanti
Oleh: Galuh SitaSetiap malam aku selalu melihat jauh keatas, ketempat yang tidak kutahu batasannya. Aku memandangi bintang-bintang kecil yang bertaburan diangkasa. Sembari berharap bahwa mala mini dia akan muncul di hadapanku.
Senja Yang Menyimpan Kenangan
Oleh: Ruhbi Citra Okke MuthiaBerarak awan menghiasi langit yang mulai kemerahan. Senja itu, ku lewati bersama sahabat setiaku Reinita di rumah pohon. “indah sekali langit di atas sana, ya?” Tanya ku. “ya, sangat
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply