Survival (Part 2)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Perjuangan
Lolos moderasi pada: 1 August 2016

Aku menyelesaikan shalatku dalam gemeretak gigi dan gemetar tubuh. Entah khusyu atau tidak, aku mencoba senormal mungkin menjalankan ritual ibadah ini. Aku mulai bisa berpikir jernih. Teringat kata-kata komandan lapangan. Tiup peluit panjang 2 kali jika ada keadaan darurat. Ini keadaan darurat! Kurogoh saku baju bagian kanan untuk mengambil peluit. Kuselipkan di antara bibir yang bergetar. Aku menarik nafas ancang-ancang meniup peluit panjang. Sesaat sebelum kutiup, tetiba ada sesuatu mengganjal di hati kecilku. Sesuatu yang sangat mengusikku untuk tidak meneruskan tiupan itu.
Benarkah ini keadaan darurat? Apakah ini benar-benar keadaan darurat? Apakah aku selemah ini? Aku bergelut dalam hatiku. Hei, ini tentang hidup dan mati! Aku sekarat, tidak bisa berbuat apa-apa dalam hujan dan gelap ini. Tidak ada api. Badanku menggigil tidak bertenaga. Tidak ada makanan yang layak dikonsumsi. Jangan bodoh! Apa mau mati konyol?
Sekarat? Tidak, bukan sekarat. Aku hanya terlalu mudah menyerah pada keadaan. Apakah hanya sebatas ini kemampuanku menghadapi alam? Selemah inikah mentalku? Sepayah inikah kemampuanku? Serapuh inikah tekadku bertahan hidup? Hei, ini survival! Jangan manja! Komandan lapangan tadi jelas mengatakan ini fase bertahan hidup. Jelas ia ingin melihat sejauh mana aku dapat bertahan. Ini momen pembuktian bahwa aku layak menjadi seorang pencinta alam. Dan aku menyerah di sini? Jangan bercanda!

Aku berselisih luar biasa dengan diriku sendiri. Sisi pesimis dan optimis diriku tengah berperang. Perasaan dan logika tengah bertarung. Apakah logis untuk terus bertahan hidup sendirian di tengah hutan ini? Apakah tubuhku ini sudah sampai batasnya untuk kemudian menyerah? Setinggi apa ambisiku untuk menjadi seorang pencinta alam? Ini sudah memasuki hari kelima. Sejauh mana aku bisa bertahan? Apakah aku menyerah saja? Bimbang.

“Hei, ngapain kamu di dalam bivouac? Kamu mau apatis? Kamu mau mati kedinginan terkena hipotermia?” tiba-tiba ada suara terdengar bersamaan dengan sesosok tinggi besar di hadapanku.
Setengah detik kemudian, sebuah telapak tangan berkecepatan tinggi mendarat di pipi kiriku. Panas. Aku kaget namun tak bergeming. Mataku tajam menatap orang yang menamparku. Dia komandan lapangan. Tubuhnya memang tinggi besar dibanding aku yang hanya 165 cm. Ia memakai ponco hitam dengan headlamp menempel di kepalanya. Sorotan headlamp yang mengarah ke mataku langsung membuatku memicingkan mata dan tidak dapat melihat dengan jelas wajah komandan lapangan.
“Ini lebih baik daripada kamu ditampar alam.” Ia berkata tegas. Aku masih terdiam. Di masa kelas, aku diajarkan untuk tidak apatis atau berdiam diri ketika hujan karena akan membuat tubuh semakin kedinginan. Aku menyadari memang aku salah. “Kamu menyerah? Kamu tidak sanggup lagi?” ia bertanya dengan intonasi tinggi.
“Tidak! Saya sanggup!” Reflek aku menjawab. Entah darimana dorongan aku berkata itu. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
“Tidak ada kata menyerah bagi seorang pencinta alam.” Ia berkata tegas. “Bergeraklah! Jangan diam! Diam dalam hujan membuatmu terkena hipotermia. Lawan kemalasanmu untuk bergerak. Lawan dirimu sendiri.” Aku mengangguk. Kemudian ia berlalu.

Tidak sampai 2 menit. Percakapan singkat itu, dengan tambahan sebuah tamparan, menghilangkan segala keraguanku dan kebimbanganku di kala aku bergelut dengan diriku sendiri. Seketika tidak ada lagi rasa pesimis hinggap dalam pikiranku. Padahal kondisi fisik sudah tidak bersahabat, namun mental yang berhasil naik memberikan energi baru bagi tubuh ini untuk bergerak. Peluit di tangan kananku kekembalikan ke dalam saku baju. Sepatah kata motivasi ternyata bisa merubah segalanya. Aku merasakannya tadi, walau hanya sesaat, tapi berdampak luar biasa. Tamparan tadi bukan membuatku kesakitan, justru melecutku untuk bangkit. Aku berhasil mengalahkan sisi lemahku.

Aku mulai bergerak. Kuraih bonggol pisang, beberapa pisang kumakan.
“Kalo mau makan enak, bukan di sini tempatnya. Kalo mau makan enak di hotel aja. Jangan manja!” Aku keras pada diriku sendiri. Rasa kesat dan hambar tidak kupedulikan. Yang aku pikirkan adalah bagaimana bisa bertahan hidup, sepahit apapun rasanya. Kemudian untuk menghindari hipotermia, keadaan di mana tubuh kehilangan panas akibat suhu dingin ekstrem ditambah dengan tidak adanya gerakan tubuh akibat kelelahan, aku menyibukkan diri dengan memotong kayu-kayu yang bergeletakan di sekitarku dengan sisa-sisa tenagaku. Yang terpenting tidak membiarkan tubuh ini diam. Terasa memang ketika tubuh ini bergerak, rasa dingin berkurang karena panas tubuh meningkat akibat gerakan yang dilakukan. Perlahan hujan reda dan berhenti.

“Krak! Kretek!” Ada bunyi ranting patah. Kemudian bunyi langkah kaki pelan mendekat. Bunyi ranting patah karena terinjak. Sepertinya ada orang lain mendekat. Aku tercekat. Berharap itu orang, tapi tidak menutup kemungkinan makhluk lain. Bisa saja babi hutan atau bahkan harimau. Pikiranku kacau. Jantungku berdegup kencang, harap-harap cemas. Walaupun aku meyakini itu manusia, tapi tetap saja perasaan was-was menghantui. Kucoba mengarahkan headlamp ke arah sumber suara. Aku menahan nafas.
“Bagaimana kabarmu, siswa Hafizh?” suara perempuan lembut. Aku menghela nafas lega. Tim Bantuan Medik atau yang biasa disebut Banmed menghampiri. Ada 2 orang. Tiap malam memang selalu ada tim Banmed yang mengecek kesehatan kami. Ini memasuki malam kelima. “Ada keluhan kah?” salah satu di antara mereka bertanya..
Aku menjawab masih dengan tubuhku yang gemetar walau gemetarnya tidak sehebat saat didatangi komandan lapangan. “Saya hanya kedinginan, kak.” Kata itu yang akhirnya terucap dari mulutku.
“Adalagi yang lain?” Ia bertanya lagi. Aku menggeleng. “Baik, coba lepas sepatu dan kaus kakimu.” Aku menuruti kata tim Banmed itu. Kulepas sepatu dan kaus kakiku perlahan. Ada rasa perih. Kulit telapak kakiku ada yang mengelupas, menyatu dengan kaus kaki. Air hujan membuat sepatuku terendam air sehingga kulit kaki lembap dan mengelupas. Kulit bagian telapak kaki paling banyak mengelupas karena menjadi bagian yang terbebani tubuh ketika melangkah. “Luruskan kakimu”, aku menuruti instruksinya sambil meringis kesakitan.
Kakiku diobati. Sesekali perih tak tertahankan menghampiri membuatku meringis. Selama di hutan ini, ada aturan tidak boleh melepas sepatu dan baju lapangan sebelum diizinkan panitia, terkecuali untuk shalat, diperbolehkan melepas sepatu. Sejak pagi hingga malam ini, aku hanya melepas sepatu dan kaus kaki saat shalat. Tak heran kakiku lembab di tengah cuaca hujan yang hampir tidak pernah berhenti.

“Oke, sudah selesai. Biarkan selama 5 menit untuk setidaknya obat itu akan mengering dan bereaksi dengan kulit telapak kakimu. Setelah 5 menit silahkan berganti baju tidur dan istirahat, panitia sudah memperbolehkan. Jangan lupa jemur baju lapangan, kaus kaki dan sepatumu, walaupun tidak ada matahari, setidaknya kandungan air pada barang-barangmu itu akan berkurang karena menetes ke tanah. Pastikan badanmu hangat ketika tidur agar tidak terkena hipotermia. Selamat istirahat.” Tim Banmed dengan rinci memberikan instruksi diakhiri dengan senyum.
“Terima kasih, kak” Aku mengangguk tanda paham sambil kubalas senyum mereka. Mereka kemudian berlalu. Aku kembali dalam kesendirian. Tubuhku sudah lelah sekali, ingin rasanya segera merebahkan diri dalam bivouac. Setelah 5 menit, aku menjalankan instruksi sesuai yang diberikan tim Banmed. Dalam 15 menit, aku sudah siap istirahat dalam sleeping bag di bawah naungan bivouac. Aku berdoa sejenak, mendoakan 9 temanku yang entah tersebar dimana dan mendoakan orang-orang di rumah, ayah, ibu, kakak dan adikku. Aku rindu rumah. Sangat merindukan rumah.

Aku merebahkan diri dalam bivouac dengan tubuh terbungkus sleeping bag. Hangat sekali. Tidak terasa lagi gemetar tubuhku. Fisik yang begitu lelah membuat alam mimpi tak lama menghampiriku. Sesaat sebelum terlelap, aku mendengar peluit panjang 2 kali. Suaranya terdengar cukup jauh. Namun tubuhku terlalu lelah untuk bergerak mencari tahu apa yang terjadi. Aku terlelap.

ADVERTISEMENT

Pagi hari tidak seperti biasanya. Kali ini cerah mau menemani pagi. Langit begitu bersih tanpa awan. Hangat. Mungkin karena awan sudah puas mengeluarkan isinya tadi malam. Langit masih berwarna biru. Setelah shalat shubuh, aku kembali mengenakan baju lapangan. Walau sudah kujemur, tetap saja lembab dan masih basah, dingin sekali. Rasanya enggan berganti baju dan kembali menggunakan sepatu. Kakiku masih perih tapi jauh lebih baik dibandingkan kemarin. Perlahan matahari naik mewarnai langit menjadi putih kekuningan.

Aku meneguk air lalu membereskan sleeping bag. Perutku bunyi keroncongan. Masalah perut ini memang masih belum ada solusinya. Karbohidrat yang memberikan rasa kenyang tidak aku dapati sejak kemarin. Tapi setidaknya tidur semalam mengembalikan tenaga untuk melanjutkan survival hari ini.
“Priiiiit! Priiiiit!” Aku mendengar suara peluit 2 kali. “Priiiiit! Priiiiit!” Tidak, bukan 2 kali. Ternyata 4 kali yang menandakan isyarat berkumpul di lapangan saat instruksi survival pertama kali disampaikan 2 hari lalu. Aku bergegas berlari ke sumber suara. Dalam hati aku bersyukur akhirnya survival ini akan selesai segera. Aku sudah tidak sabar mengambil kembali bahan makananku untuk dimasak dan dilahap. Perut ini sudah tidak bisa berkompromi. Ketika di persimpangan jalan sebelum lapangan, bermunculan teman-temanku dari berbagai sisi. Betapa senangnya melihat mereka, entah, rasanya rindu saja bertemu dengan mereka, padahal baru sehari semalam kita tidak bertemu. Kita semua berpapasan dan tersenyum dalam diam. Semua bergegas menuju lapangan.

Seperti biasa, komandan lapangan sudah berdiri di hadapan kami yang inisiatif membuat sebuah shaf.
“Selamat pagi!” Komandan lapangan membuka pidatonya.
“Pagi!” Kami membalas serentak.
“Apa kabar kalian?” Ia bertanya basa-basi.
“Siap, baik!” Kami menjawab lagi-lagi serentak.
“Saya ingin menginformasikan kepada kalian beberapa hal kepada kalian. Pertama, tadi malam ada teman kalian yang gagal melanjutkan survival. Teman kalian terpaksa menghentikan perjuangannya. Namanya Winna. Wajahnya disengat serangga dan saat ini seluruh wajahnya bengkak. Ia kesulitan makan, bahkan melihat pun sulit. Sekarang ia sedang dievakuasi ke rumah sakit terdekat.” Komandan lapangan itu menjelaskan panjang.
“Rupanya semalam itu peluit dari Winna,” Aku bergumam sedih. Itu sudah malam sekali saat aku mendengar peluit itu. Kasihan Winna.
“Alam tidak mentolerir kelengahan dan kelalaian! Jangan sekali-kali meremehkan alam ini! Itu salah satu bukti kelengahan dan kelalaian. Dan alam menghukumnya langsung. Sedikit saja kalian meremehkan alam, akan berakibat fatal bahkan kematian. Apa kalian mau mati konyol akibat kesalahan sepele kalian di hutan? 1 diantara 10 sudah gugur, berapa orang lagi yang akan bertahan?” Ia menantang.
“Kedua, saya kecewa. Diantara 10 orang yang survival tadi malam, tidak ada seorang pun yang mampu membuat api. Padahal kalian tahu betapa pentingnya api untuk bertahan hidup di hutan. Hujan tidak bisa dijadikan alasan. Kalian harusnya tahu apa yang harus dilakukan untuk membuat api dalam keadaan hujan. Sebagai konsekuensinya, akan ada malam tambahan survival. Buktikan bahwa kalian mampu bertahan hidup di hutan dalam keadaan apapun. Jangan lemah! Jangan manja!” tegas ia sampaikan poin kedua dari pidatonya.
Harapanku bahwa survival telah usai kandas. Survival hari kedua. Aku melirik kawanku di sebelah kanan dan kiri. Raut wajah lelah dan tegang menghiasi wajah mereka. Begitupun pada wajahku. Namun sekali lagi, aku berusaha melawan diriku sendiri. Fine, ini kesempatan keduaku untuk menunjukkan kelayakanku. Aku tidak akan mengulangi kesalahan-kesalahan konyolku di hari pertama survival.
“Ketiga, saya ada sesuatu untuk kalian. Panitia tolong bawakan itu kepada mereka” Komandan lapangan mengisyaratkan panitia untuk membawa barang yang dimaksud. Satu orang panitia membawakan selembar daun pisang lebar yang berisi tanah ke hadapan kami.
“Di dalam tanah itu ada banyak cacing sondari. Orang lokal menamakannya cacing sondari. Mengandung protein tinggi yang baik untuk tubuh kalian. Silahkan ambil dan makan secukupnya. Perut kalian pasti kosong. Kalian harus coba. Setelah itu, kembali ke pos masing-masing.” Komandan lapangan mengakhiri instruksinya.
Tak terbayang, aku makan cacing? Menjijikkan! Cacing itu kecil gemuk berisi berwarna abu-abu. 8 orang kawanku yang lain pun bergidik tak terbayang akan memakan cacing. Tapi didorong rasa penasaran dan lapar, aku menjadi orang pertama yang mencoba cacing itu.
Kenyal saat kupegang. Kubersihkan cacing itu dari tanah. Agak lama aku perhatikan cacing itu yang masih menggeliat-geliat. Aku menarik nafas. Mencoba mengumpulkan keberanian. Perlahan kumasukkan ke dalam mulutku. Aku tidak mau membiarkan cacing itu terlalu lama bergerak di atas lidahku. Segera kukunyah selumat mungkin agar ia tidak hidup di dalam lambungku. Pecah. Rasa manis namun amis lumer memenuhi sekujur lidah dan rongga mulutku. Kukunyah terus hingga benar-benar lumat. Tidak kupedulikan rasanya seperti apa. Langsung kutelan setelah cukup lumat. Hah, aku menghela nafas. Berhasil.
“Enak?” panitia bertanya menggoda.
“Lumayan, kak. Hahaha” Aku tertawa kecil. Memang tidak seburuk yang kukira sebelumnya. Ada rasa manisnya. Aku mengambil satu lagi dan membiarkan sisanya untuk teman-temanku yang lain. Aku tersenyum kepada mereka untuk meyakinkan kepada yang lain bahwa tidak ada masalah ketika makan cacing itu. Satu persatu mencobanya. Banyak ekspresi berbeda-beda. Ada yang memuntahkannya, ada yang menikmatinya, ada yang mual tapi terpaksa menelannya, ada yang wajahnya tidak karuan. Sepertinya ini menjadi pengalaman luar biasa bagi kami. Lalu kami kembali ke pos.

Survival satu hari satu malam lagi. Akan sangat melelahkan. Di sini benar-benar akan diuji batas kemampuan tubuhku. Aku bertekad untuk dapat melewatinya dengan baik. Tidak lagi mengeluh, tidak lagi melakukan perbuatan konyol seperti korek api yang basah, tidak lagi apatis. Kami dibekali perlengkapan yang sama seperti hari pertama survival. Banyak pelajaran yang aku peroleh di hari pertama survival. Dan aku berharap di hari kedua survival ini semua berjalan lebih baik. Bukankah kita tidak boleh jatuh ke lubang yang sama? Yak, aku siap bertahan hidup setidaknya untuk semalam lagi.

Hafizh Muhammad Noor Esa, lahir di Jakarta, 11 April 1994. Saat ini berstatus mahasiswa di Universitas Padjadjaran dengan mengambil program studi Fisika.

Cerpen Karangan: Hafizh Muhammad Noor Esa
Facebook: Hafizh Noor Esa

Cerpen Survival (Part 2) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Surat Dari Gunung

Oleh:
Untukmu Sahabatku… Bagaimana kabarmu kawan? Semoga baik-baik saja. Tak seperti kami yang di sini. Berjalan dalam kepanikan, dan bersembunyi dalam ketakutan. Desas-desus kemerdekaan yang dicetuskan oleh sekelompok orang membuat

Merantau

Oleh:
Malam berlalu, ku lihat awan berkelabu, menemani sepi dalam lamunanku di teras depan rumahku. Namaku Ricky, ini sepenggal kisah yang entah berapa tahun yang lalu, waktu itu aku kelas

Membeli Mimpi (Part 2)

Oleh:
Dia terus memikirkan tentang idenya ini di kepalanya. Sampai-sampai ia malah menceritakan kepada teman-temannya tentang idenya yang boleh dibilang mustahil ini. Dengan harapan ia mendapat pujian dari temannya karena

Malam di Ujung Lombok

Oleh:
Dari dek kapal kulihat birunya laut tak terbatas, sedang burung-burung terlihat berterbangan hilir mudik berpasang-pasangan. Mentari setia dengan selalu terangi keindahan siang. Angin berlomba untuk mengitari setiap lekuk yang

Kampung Kerang

Oleh:
Pemukiman yang kumuh dan rumah yang berdempetan sudah biasa dijalani oleh warganya. Kampung itu terletak di pinggir laut. “Kampung Kerang” nama kampung itu. Banyak lelaki yang menjadi nelayan di

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *