Drama Yang Tak Dimengerti

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Thriller (Aksi)
Lolos moderasi pada: 21 May 2023

Ruangan penuh sesak dengan para bangsawan. Laki-laki memakai baju hitam mewah mereka, yang perempuan memakai gaun yang indah. Inilah inggris zaman daulu. Meja-meja bundar dengan taplak merah yang rapi, setiap kursinya sudah diisi oleh para pejabat, para orang kaya, para pangeran dan juga keluarga kerajaan.

Di setiap meja sudah tersedia roti-roti bundar khas negara kesatuan British. Ada eskan yang penuh dengan minuman jus manis, gelas-gelas sudah penuh dengan minuman itu. Para hadirin duduk tegak, tidak banyak bicara, menjaga nama baik kepemerintahan.

Ruangan ini tidak terlalu terang, mungkin memang sengaja dibuat temaram, agar pertemuan menjadi lebih epik mungkin.
Beberapa orang terlihat berbincang tentang sesuatu, ada yang berbisik-bisik pada teman duduknya. Para pelayan berlalu lalang membawa taplak dan beberapa makanan yang diperlukan.

Satu orang bertanya pada teman-nya, “Hei, Kawan. Bukankah menurut informasi, akan ada pentas drama paling spektakuler malam ini? Tapi, kita menunggu disini dari tadi, tidak ada apapun. Bahkan musik juga tidak ada.”
Temannya menjawab, “Tenang saja, kawan. Drama paling hebat itu adalah drama yang langsung, tidak dipertunjukkan diatas pentas. Kita juga menjadi pemeran dalam drama itu.”
“Tapi, bukankah ini terlalu lama? Sudah hampir satu jam kita menunggu.”
“Tenang saja. Makan saja makananmu, jangan banyak bicara.”
Orang itu pun tutup mulut, mulai mengunyah kue yang ada di depannya.

Tidak selag lama dari mereka yang berbincang-bincang, sesuatu tiba-tiba terjadi.
Bunyi Viola menggema tiba-tiba di tengah-tengah ruangan. Lampu sorot manual segera menyorot orang itu. semua mata tertuju padanya. Yang tadinya bising dengan suara orang-orang yang bicara, sekarang digantikan permainan biola yang fantastis.

Itu adalah salah satu lagu terindah dalam biola, sekaligus yang tersulit. Namanya adalah Nicolle Paganini Caprice No.24. Orang yang bisa bermain ini adalah orang yang sudah benar-benar mahir dalam biola. Dan ternyata, orang yang memainkan biolanya bisa melakukannya.

Seorang laki-laki, rambutnya pirang panjang, sepertinya tidak dipangkas, memakai jas hitam, dasi putih, dialah yang memainkan Nicolle Paganini Caprice No.24.

Plok, plok, plok. Suara tepuk tangan penonton bergemuruh panjang. Para putri-putri yang tidak bisa menahan diri sudah berseru-seru, bersiul-siul. Permainan ini sangat bagus.

Tidak lama kemudian, di tempat yang lain, satu suara lagi ikut bergabung. Suara Flute. Seruling yang jernih. Semua mata menuju padanya sekarang. Orang yang memegang seruling itu adalah seorang perempuan, masih muda, memakai baju hitam. Ia memejamkan mata, tenggelam dalam alunan Nicole Paganini Caprice No.24 miliknya.

Plok, plok, plok. Orang-orang kembali bertepuk tangan, bersiul-siul.

ADVERTISEMENT

Bats! Terdengar suara kain yang dihentakkan, orang-orang menoleh, supanya seseorang sedang membuka penutup meja. Orang itu menariknya dengan cepat. Tapi semua orang segera terkejut begitu menyadari kalau yang mereka sangka meja, rupanya bukanlah meja, melainkan sebuah Grand piano.

Piano putih yang mewah, bertuliskan dengan tinta emas ‘Fragrame De Altar’. Benar-benar sebuah Grand Piano yang Elegant.
Orang yang membuka piano itu segera duduk di kursinya, segera menarikan jemarinya di atas papan-papan piano. Suara piano yang sedang memainkan Etude No.6, alias Nicolle Paganini Caprice No.24 dalam bentuk piano segera menyusul pemain Viola dan Seruling.

Para penonton bertepuk tangan lagi, semakin meriah. Inilah yang dimaksud dnegan Drama paling hebat. sebauh orkesta musik yang muncul tiba-tiba. Itulah yang menjadikan drama ini menjadi sangat hebat.

Lampu sorot menyorot pojokan ruangan. Tatapan mata para penonton segera tertuju ke sana. Mereka menjadi semakin terkejut. Entah kapan dan bagaimana, tiba-tiba ada tiga orang pemain Chello, alias Viola besar yang sedang bermain bersisian.

Belum rasa penasaran mereka hilang, di pojok yang satunya lagi, lampu sorot menyorot seorang yang sedang bermain Dulcimer, alias gitar papan. Suaranya melenting tinggi dan cepat, mengikuti aliran nada Nicolle Paganini Caprice No.24. Hebat sekali.

Belum sempat para penonton menelan ludah, lampu sorot sudah menyorot satu tempat lagi. Di sana ada seorang pemain Sakuhachi, sejenis alat musik tiup jepang. Suaranya lembut khas bambu yang disiul. Penonton tidak tau lagi harus bertepuk tangan bagaimana.

Lampu sorot menyorot satu tempat lagi, di sana ada seorang pemain Drum. Para penonton terkejut. Bagaimana mereka tidak menyadari kalau ada Drum di tengah-tengah mereka. Bagaimana Drum sebesar itu disembunyikan.

Bum! Drum itu dipukul, mengikuti nada dari Nocille Paganini Caprice No.24 yang sedang berlangsung. Orkesta menjadi semakin meriah. Benar-benar meriah.

Lampu sorot menyenter seluruh orang-orang yang sedang bermain orkesta itu. ada di banyak tempat, terpisah-pisah. Para penonton menolah kesana kemari, demi melihat si pemain Viola, Si pemain Chello, si pemain Piano, si pemain Seruling, si pemain Dulcimer, si pemain Sakuhachi, si pemain Drum yang sedang melakukan aksi cepat dan hebatnya. Mereka semua bergerak cepat, mengikuti lantunan nada Nicolle Paganini Caprice No.24 yang merupakan lagu tersusah sekaligus yang tercepat itu. hebat sekali.

Nada Nocille Paganini Caprice No.24 semakin meninggi, itu berarti sudah hampir mencapai akhirnya. Suaranya kian nyaring, kian tinggi. Hingga pada saat-saat terakhir, nadanya melambat dan mencapai puncak tertingginya. Seluruh ruangan bergemuruh dengan nada pengakhiran Nicolle Paganini Caprice No.24, penonton berkidik karena tingginya nada.
Lagu Nicolle Paganini Caprice No.24 akhirnya selesai, diawali dengan baik, diakhiri dengan pengakhiran yang sempurna. Seluruh para penonton bertepuk tangan panjang, lama sekali. Mungkin sampai satu menit, baru mereka mau menghentikan tepuk tangannya.

Saat mereka mengira kalau lagu telah selesai, tiba-tiba seluruh lampu padam, bahkan lampu sorot. Tidak ada yang bisa melihat satu sama lain. Para penonton berseru-seru meminta tolong. Tapi untung saja karena mereka semua adalah para pejabat, maka tidak ada yang sampai kacau balau.

Hati para penonton menjadi resah, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa lampu tiba-tiba mati.
Nah, dalam kebingunag mereka, secercah cahaya dari lampu sorot mengarah ke tengah-tengah ruangan. Begitu lampu itu menyorot tengah-tengah ruangan, suara seruling terdengar. Suara seruling yang lebih lembut dari yang sebelumnya, lebih menyentuh dari yang sebelumnya.

Para penonton yang tadinya ribut sekarang tidak lagi, justru perhatian mereka sekarang tertuju pada seorang perempuan yang memainkan seruling itu. Dia seorang perempuan muda, parasnya cantik seperti keturunan bangsawan-bangsawan. Lantunan Lembut Seruling keluar dengan sangat indah.

Perempuan yang satu ini berbeda. Rambutnya pirang dan bergelombang. Ia memakai gaun yang berwarna abu-abu keputihan, dengan beberapa perhiasan manik-manik. Mungkin dia memang anak seorang bangsawan.

Hati para penonton langsung meleleh begitu mendengar lantunan Seruling yang menyedihkan itu. mereka segera sadar lagu apa yang sedang dimainkan, semua orang mengetahui lagu yang satu ini.
Ialah lagu Canon In d Pachelbell.
Salah satu lagu yang paling menyedihkan di dunia, yang paling mengharukan di bumi. Dan dengan bakat perempuan itu, dan juga lembutnya Seruling itu, lagu itu menjadi sangat melumerkan hati.

Nadanya yang turun membuat hati semua orang seolah ikut terhanyut. Jika nadanya meninggi, hati orang-orang serasa terbang dibawanya menuju awan. Dan di saat-saat tertentu, nadanya menjadi sangat mengharukan. Para penonton banyak yang menangis, melelehkan air mata.

Perempuan itu terlihat memejamkan mata kuat-kuat, seperti menahan tangis. Lagu yang ia mainkan memiliki kesedihan yang mendalam.
Perlahan-lahan lagu itu menghampiri penghujungnya. Para penonton menutup wajah mereka sendiri yang sudah dibanjiri air mata. Ada yang sudah tidak kuat, sehingga memilih untuk bersedu-sedan sendirian.
Dan di detik kesekian, dengan akhir yang sangat indah, lagu itu pun berhenti dengan sempurna.

Para penonton bersorak-sorai sangat meriah. Lebih meriah dari sebelumnya. Ada yang melemparkan bunga mawar ke arah perempuan itu, perempuan itu mengambilnya.
Perempuan itu tersenyum, cantik sekali, “Terima kasih, semua. Terima kasih.”

Tiba-tiba lampu menyala kembali. Splash! Seluruh ruangan menjadi terang benderang. Para penonton bisa melihat lebih jelas.
“Terima kasih, wahai para bangsawan sekalian.” Seseorang tiba-tiba bicara di tengah-tengah ruangan, di tepi pemain Seruling. “Terima kasih karena kalian telah sudi bersabar demi mendengarkan lagu yang penuh harmoni ini. Semoga kalian menikmati seluruh apa yang kami persiapkan untuk kalian semua.
“Nicolle Paganini Caprice No.24, lalu diiringi dengan Seruling tunggal, Canon In d Pachelbell, dua buah karya musik paling berpengaruh di dunia. Semoga kalian menikmati dua orkestra ini.” Orang itu mengakhiri pembcaraan-nya.
Para penonton bertepuk tangan, ada yang mengangguk-ngagguk, ada yang mengacungkan jempol, ada yang bersiul-siul, ada yang menangis, bermacam-macam.

Perempuan itu sepertinya memiliki sesuatu yang disembunyikan dari semuanya. Saat ia memainkan Canon In d Pachelbell, dia tidak hanya memainkan-nya, dia menghayatinya, sedalam-dalamnya. Sungguh, walaupun dia tidak mengatakan-nya, tapi caranya memainkan Seruling telah menunjukkan kalau dia punya sesuatu yang terpendam. Ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Tiba-tiba…
Sesuatu yang tidak pernah disangka-sangka terjadi.
Dor! Suara pistol menggema.
Semua terkejut mendengarnya, langsung berlarian terbengkalai. Semuanya kacau balau. Ternyata di pojok sana, seseorang menembakkan pistolnya ke langit-langit, pasti dia bukan orang biasa. Bajunya hitam, celananya juga hitam, memakai topi bundar lebar yang sama-sama hitam.

Semua orang langsung jatuh bangun karena letusan itu. hanya dua orang yang tetap tidak berkutik dari tempatnya. Pemegang pistol itu, dan pemain Seruling itu. mereka berdua tidak pindah dari tempatnya.

Para penonton sudah berlari ke bagian pojok tembok, mereka saling berdempet, berhimpitan, saling berlindung. Mereka terheran-heran melihat pemain Serling yang tidak singgah dari tempatnya, justru malah memegangi Serulingnya lebih erat.

“Hei, kau, kemari!” Seorang penonton berseru, menyuruh pemain Ocarina untuk mundur.
“Mundur, Bodoh! Jangan dekat-dekat!” seru yang lain.
“Dia berbahaya! Hei! Apa kau tidak dengar?”
Tapi perempuan itu seolah tidak mendengar apa-apa. Dia menatap Pemegang pistol yang duduk di sebuah kursi yang sama-sama menatapnya. Saat orang lain memilih untuk bersembunyi, Pemain Seruling malah melangkah ke depan.
“Hei, Tuli! Mundur!” Seru seorang yang lain.
“Hei perempuan! Kemari!”
Perempuan itu terus melangkah pelan, ia menatap pemegang pistol itu seperti menghadapi sesuatu yang ditunggu-tunggunya. ia sudah separuh jalan.

“Kau pemain Seruling itu, kan?” Orang bertopi hitam itu bertanya.
Pemain Ocarina tidak menjawab, ia terus berjalan ke depan.
Orang bertopi hitam itu menggeram pelan, memperbaiki posisi duduknya. “Aku hanya memerlukan satu nyawa.” Katannya dingin.
“Maka akulah itu.” Perempuan itu menjawab segera.

Entah apa yang terjadi dengan Pemai Seruling itu. Saat tadi ditanya tentang dirinya ia tidak menjawab, tapi saat orang itu bertanya masalah nyawa, dia langsung menjawabnya.

“Siapa namamu, anak kecil?” Pria bertopi hitam itu memanggil pemain Perempuan itu dengan sebutan anak kecil.
“Namaku Ocarina.” Jawabnya. Dia sudah berdiri tepat di depan pria bertopi hitam itu.
“Aku hanya mencari satu nyawa, Nak.” Pria bertopi hitam itu berkata dingin.
“Maka akulah nyawa itu.”

Pria bertopi hitam itu mendongak, menatap Ocarina. “Kenapa kau lakukan ini?”
Ocarina menggeleng, “Bawa saja aku pergi. Bawa aku pergi dari sini.”
Pria bertopi hitam itu menghembuskan nafas pelan. “Kau adalah satu-satunya orang yang mau kubunuh, Nak. Kau adalah yang paling aneh dari yang lain.”
“Kumohon, Tuan. Bawa aku pergi dari sini.” Ocarina memelas.

Pria bertopi hitam itu menarik nafas pelan, bangkit dari duduknya. “Baiklah kalau begitu.”
Ocarina tersenyum. Entah apa yang dipikirkannya sehingga ia malah tersenyum. “Terima kasih.”
Pria bertopi hitam itu meletakkan pistolnya. “Kau mau aku bunuh bagaimana?”
Ocarina menyeka air matanya, ia menangis. “Kalau itu terserah tuan.”
“Baiklah…” Pria bertopi hitam itu mengambil ancang-ancang, bersiap.

Ocarina memegangi Serulingnya lebih erat, ia tersenyum lebar. “Selamat tinggal.”
JLEB!

Cerpen Karangan: Clair De Lune

Cerpen Drama Yang Tak Dimengerti merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Berita Palsu

Oleh:
Siang itu, cuaca sangat cerah. Waktu sudah menunjukan pukul 13:00, itu menandakan bahwa Andaka harus pergi ke kampus untuk kuliah siang. Andaka segera bergegas untuk berkemas sebelum pergi ke

Bukan Salahku

Oleh:
Aku menatap iba seorang ibu dan anak yang ada di hadapanku. Wajah mereka sangat menyedihkan, lebih lagi si anak itu. Dia mencoba untuk membangunkan ibunya yang telah pingsan. Ah,

2996 bukan 1996

Oleh:
Aku menyeka keringat yang terus bercucuran. Langit hitam di atas sana tidak menunjukkan adanya cahaya matahari yang menyengat kulitku. Terus berlarian ditengah napas yang memburu, membuat tubuh ini cepat

Digital Killer

Oleh:
Hallo Sebelum aku memulai cerita ini aku ingin bertanya satu hal, apa yang kau bayangkan jika mendengar ‘Pembunuh bayaran’? Pasti kau berpikir tentang sebuah profesi di mana kau menyewa

Di Balik Keheningan (Part 1)

Oleh:
Detik jarum jam bagaikan alunan simponi bagiku. Sepi dan menyedihkan. Diam, aku hanya bisa diam ketika semua orang mencelaku. Dari sekian banyak orang di sekolah, mungkin tidak ada yang

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *