Anonim Kemustahilan Cinta

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi), Cerpen Patah Hati
Lolos moderasi pada: 29 March 2016

Aku berjingkrak ketika dia datang. Gadis itu, sudah lama aku tidak melihatnya sejak ia putus dengan -yang orang bilang- kekasihnya. Ia tampak sehat, meski gurat sedih masih nampak jelas di wajahnya.

“Ssstt! Diamlah!” Dia menatapku tajam. Ah, tanpa sadar aku bersuara dan mengganggunya. Sejenak, aku lupa bahwa ini adalah perpustakaan. Aku diam. Memandangi tiap jengkal wajah manisnya yang selalu terbayang di benakku. Rambut hitamnya tergerai sebahu, kacamata duduk tenang di hidungnya, bibir berwarna merah muda yang tipis, ah, dia terlihat menawan. Ia menunduk. Menatap barisan kalimat dalam buku bersampul birunya, sesekali mengangguk.

Aku tersentak ketika ku dengar langkah kaki seseorang mendekat. Sial, laki-laki itu! Lelaki lembek yang membuat gadisku menangis. Dulu. Entah kapan, aku tidak ingat. Lelaki itu berjalan perlahan ke sebuah rak, dan mengambil buku bersampul hijau. Ia membawa buku itu ke tempat duduk terjauh dari si Gadis. Si Gadis melirik sekilas, aku tak bisa menerjemahkan ekspresinya saat ini. Apakah ia senang? Ataukah sedih? Mereka diam. Mematut buku masing-masing dengan pandangan hampa. Aku memahami raut wajah orang yang benar-benar membaca, tidak seperti raut mereka saat ini.

Si Gadis datang lagi. Masih di tempat yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Sudut belakang selalu menjadi tempat favorit untuk menenggelamkan diri pada buku-bukunya. Namun, kali ini terasa berbeda. Ia tidak fokus. Berulang kali ia menoleh, seperti mencari seseorang. Ah, kurasa aku tahu siapa yang sedang dicarinya. Lalu, beginilah yang terjadi. Si Lelaki datang. Kali ini duduk sedikit lebih dekat dari gadis itu, dengan buku bersampul hijaunya. Bisa ku rasakan kecanggungan merayap manja mengelilingi mereka. Aku benci suasana seperti ini. Aku tak dihiraukan, dianggap pun tidak.

Bukankah mereka hanya mantan sekarang? Hanya mantan, biar ku perjelas lagi. Aku kerap melihat si Lelaki membawa gadis ke perpustakaan ini. Gadis lain, tentu saja. Tidak ke sini untuk membaca buku, malah bermesraan. Membuatku muak. Membuat gadisku pun sesak dan akhirnya lama tak kembali. Meninggalkanku dan sejuta imaji serta rindu yang tumbuh subur akan sosoknya. Si Gadis menyelipkan rambut, membetulkan letak kaca matanya. Si Lelaki duduk gelisah, membenarkan letak duduknya. Aku? Aku hanya mencoba mendekat pada gadisku, melangkah perlahan.

“Hei, pergilah! Jangan mendekat!” Seperti yang ku duga, aku malah diusir olehnya. Aku tidak tahu apa yang salah sampai ia selalu berlaku kasar padaku. Aku kesal. Aku cemburu pada lelaki itu yang tak pernah diusirnya seperti ini. Aku menjauh dengan langkah gontai. Di saat aku menjauh, lelaki itu malah semakin mendekat pada si Gadis. Aku mengumpat dalam hati. Ku tatap si Lelaki setajam yang kubisa, tapi tak dihiraukannya.

“Eh, Rik,” lelaki itu memanggil canggung. Si Gadis mendongak.
“Rik, aku… minta maaf.” Ucapnya pelan, sarat ketakutan. Aku berharap saat itu si Gadis membentak dan mengusir lelaki itu sama seperti ia membentak dan mengusirku barusan. Namun, sepertinya harapku hanya untaian kesia-siaan. Aku tahu ia pura-pura kaget dengan kedatangan si Lelaki, tergambar jelas di wajahnya bahwa ini memang hal yang telah dinantikannya. Aku kesal.

Gadis itu melirikku sebentar, tersenyum tipis. “Lupakan itu, Rik!” Mereka berpandangan, sesaat kemudian tergelak. Untuk sebentar saja, suasana kecanggungan di antara mereka menguap. Tergantikan tawa yang meluluhkan ketegangan yang sempat menyelubungi keberadaan mereka. Si Lelaki berhenti tertawa, “Sudah lama kita tidak memanggil nama masing-masing dengan ejaan yang sama.” Si Gadis tersenyum, seakan lupa akan air mata yang dulu sempat ditumpahkannya karena lelaki itu. Ah, mengapa hati wanita cepat sekali berubah?

Seharusnya gadis itu tak begitu saja mengatakan “lupakan”, apa dia tidak merasa sakit hati pada lelaki seperti itu? Firasatku tidak enak. Aku tidak ingin berpikir bahwa gadis itu masih mencintainya. Aku terkejut ketika beberapa detik setelah tawa itu, si Gadis meneteskan air mata. Aku tidak menyangka ia akan menangis di sini, di depanku lagi, dan di depan lelaki kurang ajar itu. Membuatku bingung. Membuat lelaki itu pun canggung. Si Gadis menelungkupkan kedua telapak tangannya di wajah, mencoba menyembunyikan tangisnya yang terlanjur pecah. Si Lelaki salah tingkah, berdiri dengan kalut. Ia menggaruk kepalanya dan tampak tengah memikirkan sesuatu dengan gugup.

ADVERTISEMENT

“Aku-Aku-eh… perkenalkan, aku Erik dan kau?” Akhirnya sebuah suara berhasil keluar dari mulut lelaki itu. Si Gadis tampak sedikit tenang, tak lagi sesenggukan. Ragu, ia membuka telapak tangan dari wajah, menatap si Lelaki dengan mata sembab. Ia tersenyum canggung. Ih, aku jengkel tak pernah bisa membuatnya tersenyum seperti itu.
Lelaki bernama Erik itu mengulurkan tangan layaknya orang yang baru berkenalan. Si Gadis menatap tangan yang terulur itu, kemudian membalas jabat itu dengan senyum terkembang di wajahnya.

“Na-namaku Rika. Senang bertemu denganmu,” Rika tertawa kecil, menimbulkan kelegaan di wajah Erik. Hatiku hancur. Patah hati. Aku tahu yang sedang mereka lakukan. Itu adalah hal yang mereka lakukan dulu ketika pertama kali berkenalan di perpustakaan ini. Di depanku. Rika mencoba menyeka air matanya yang tersisa, tapi Erik menghalanginya. Ia menggantikan tangan Rika, menyeka air mata dengan tangannya. Aku marah. Aku cemburu, tapi tak ada yang bisa ku lakukan selain berlari pergi. Menghindari cinta yang tak ku restui, berbunga kembali.

“Kau tahu? Khalil Gibran mengatakan api cinta adalah api abadi. Sesekali mungkin ia padam, tapi selalu kembali menyala, cukup dengan satu percikan kecil untuk menyulutnya kembali.” Erik berkata sambil menarik buku bersampul merah muda dari rak paling belakang. Aku melirik Rika yang terlihat antusias dengan ucapan Erik. Semburat merah nampak samar menghiasi kedua pipinya. “Aku tahu aku salah,” Erik duduk di samping Rika. Menatap Rika dalam, sambil meletakkan buku yang baru saja diambilnya.

“Aku-aku tahu aku telah berlaku jahat dengan meninggalkanmu untuk gadis lain,” ia menggigit bibir, “aku minta maaf.” Sesalnya. Rika menunduk, mungkin mencoba menerka perasaannya sendiri. Lama mereka bergelut dalam hening. Aku berdebar, berharap semoga mimpi burukku tidak menjadi kenyataan. Rika menghela napas. Pelan, tapi tenang. Seakan melepaskan segala beban berat yang selama ini dibawanya.

“Dan kau tahu?” Rika menatap Erik. Napasku memburu. Aku ingin agar hari ini tak pernah ada dalam hidupku. “Waktu selalu berjalan tanpa kompromi, merenggut apa pun, siapa pun, tanpa pernah sekali pun meminta persetujuan. Namun, waktu juga adalah obat, obat bagi lukaku dan penyesalanmu,” Aku meneguk ludah mendengar ucapan Rika yang mengalun lembut, tapi hampir merenggut kesadaranku. “seberapa pun aku mencoba melangkah jauh, aku selalu kembali pada sosokmu.” Rika tersipu, Erik tak kalah bersemu. Aku lesu. Mereka terdiam lagi untuk beberapa saat. Tersenyum-senyum sendiri. Membuat hidupku seolah berhenti.

Erik membuka buku bersampul merah muda itu, ia membuka lembar demi lembar dengan cepat. “Engkau telah mengikatku ke dalam dirimu, mengajarkan mataku untuk melihat, telingaku untuk mendengar, bibirku untuk berbicara, dan hatiku untuk mencintaimu,” Erik membaca kalimat dalam buku itu, lalu terlihat akan memeluk Rika. Aku tidak rela! Aku menjatuhkan diri. Muak! Menghalangi mereka yang akan berpelukan. Ku hempaskan tubuh ke pangkuan Rika. Rika menjerit histeris. Ia mengibaskan tangannya padaku, membuatku terlempar ke lantai, menggelepar. Aku segera tersadar ketika Erik menginjak ekorku, cepat-cepat aku melarikan diri dan membiarkan ekorku terputus. Aku berlari tunggang-langgang, sayup-sayup ku dengar Rika mengumpatku.

“Dasar cicak kurang ajar!”

Cerpen Karangan: Ratna Juwita
Blog: akihabaranime.blogspot.com
Bisa dihubungi di akun facebook: https://www.facebook.com/tantei.noq
dan email: den.raana[-at-]gmail.com

Cerpen Anonim Kemustahilan Cinta merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Tristis Finis

Oleh:
Namanya Feliz Flor, umurnya 15. Dia memiliki keistimewaan yang membuatnya sangat spesial. Kebanyakan orang menganggap itu kekurangannya. Dia tak pernah menyukai sekolah dan pelajarannya, dua hal yang membuatnya nelangsa.

Kesempurnaan Milis

Oleh:
Bukankah kita tahu bahwa kesempurnaan hanya milik sang pencipta. Setidaknya itu yang ada di pikiran orang lain, selain sumbu. Sumbu yang ceroboh telah jatuh cinta pada milis yang sempurna.

Cintakah Dia? Mustahil

Oleh:
Secangkir kopi mulai hadir di meja kami, menemani begadang hari ini, hari ini sesi curhat tentang mantan. Jengah rasanya, karena tidak ada hal manis yang bisa aku ceritakan. “Sekarang

Kamu, Dia dan Hujan

Oleh:
Rintikan hujan mengiringi langkahku, hanya ada aku dan bayangan aku pulang ke kosan yang tidak jauh dari tempat kerjaku. “De, hati-hati ya” Ucap lelaki itu sembari menepuk pundakku. Aku

The Clock’s Game

Oleh:
“Salah satu alasan kita tidak tahu apa yang akan terjadi adalah karena kita tidak akan pernah siap saat menghadapi kejadian buruk yang akan datang. Kita akan menjadi sangat merasa

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *