I’m Feeling Blue (Part 1)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Pertama, Cerpen Galau
Lolos moderasi pada: 16 March 2016

Deru campur debu, kelabu menutup biru. Panas matahari, walau masih pagi, memanggang sepanjang jalanku. Air menggenangi jalan-jalan berlubang akibat hujan semalam. Jalanan becek dan semerawut karena orang-orang sibuk berangkat ke sekolah maupun bekerja. Peluh membanjiri dahi. Ku percepat kayuhan sepedaku, lima menit lagi pelajaran akan dimulai. Aku mulai panik karena sekolah masih seratus meter nun jauh di depan mataku.

Terbayang guru piket akan menilangku karena terlambat. Dan bukan tidak mungkin akan dapat jatah sarapan berupa omelan-omelan dari mulut bergincu guru piketku. Apalagi, pelajaran pertamaku digawangi oleh monster kadal betina beraroma psikopat yang mengajar fisika. Monster itu akan menelan hidup-hidup siapa saja yang datang terlambat ke kelasnya. Kejam! Dalam kecepatanku mengayuh sepeda, tiba-tiba sebuah sepeda motor besar melintas di sampingku, menyalip dengan kecepatan tinggi dan membuat air genangan di jalanan terpercik ke arahku. Seragamku basah dan kotor. Sial!

“Woi! Kau gila ya?! Seragamku kotor, bodoh!!!” refleks makiku padanya. Ah, dia pasti tidak mendengar dan tak peduli. Ini akan menambah masalahku. Aku meneruskan perjalananku dengan lebih tergesa-gesa dan kesal. Sial sekali pagi ini, berangkat kesiangan dan terkena cipratan air kotor. Ku rasakan otakku mendidih karena terlalu marah. Seorang siswa laki-laki bersepeda di samping kananku. Mulanya aku tak peduli. Aku masih kesal. Di ujung mataku, ku tahu dia sedang memperhatikanku.

“Hei, kau terlihat kacau pagi ini,” komentarnya padaku kemudian. Aku menoleh.
Ya ampun! Tuhan! Ada malaikat kesiangan! “Pras?! Kau? Kau?” aku terkejut campur gugup.

Aku tak percaya pada penglihatanku. Pras, laki-laki dari keluarga kaya raya yang ku tahu dia biasa mengendarai BieMdabelyuu atau paling rendahnya naik motor Harley, hari ini ku dapati dia mengayuh sepeda di sampingku, itu unbelieveable! Dia terlalu tampan untuk mengayuh sepeda itu. Kulitnya terlalu mahal untuk terkena debu jalanan. Dan harga dirinya terlalu jatuh untuk berada di sampingku yang amat kotor.

“Mengapa seragammu basah dan kotor begitu?” tanyanya kemudian, memecah kekakuanku karena gugup.
“Aku terkena cipratan genangan air jalan sewaktu sebuah sepeda motor menyalipku dengan kencang. Ya, tapi tak apalah. Bukan masalah,” Dia memotong jalanku dan berhenti. “Ada apa, Pras?” tanyaku. Dia tak menjawab, malah membuka jaket sport yang sedang dipakainya.
“Pakai jaketku.” Sambil memberikannya padaku. Aku diam. “Hei, ayolah pakai saja. Guru akan memarahimu jika mendapati seragammu kacau begitu. Pakai jaketku, setidaknya untuk menutupi seragammu.” Bujuknya.
Aku tersenyum. “Terima kasih ya.”

Kami berdua mengayuh lagi dengan santai. Sepanjang jalan dia bercerita padaku bahwa ia ingin melanjutkan kuliah di universitas terbaik se-Indonesia di Jogja. Dia ingin mengambil jurusan Teknik Mesin. Banyak sekali motivasi yang mendorongnya masuk ke sana. Lalu, kami berpisah di persimpangan karena kami berbeda sekolah. “Terima kasih banyak ya! Aku doakan kau sukses!” pekikku saat bersepeda menjauh darinya. Dia tersenyum sambil mengacungkan jempol kanannya, dan terus mengayuh sepeda lurus menyusuri jalan panjang Jendral Soedirman. Memasuki gerbang depan, aku baru teringat kalau aku benar-benar TERLAMBAT! Jadilah aku menjalani eksekusi ganda. Di ruang piket dan di kelas. Sial!

Senja hari, di musim hujan bulan oktober. Hujan di luar begitu lebat, aku terperangkap dalam kamar. Ku buka lagi catatan masa kecilku. Buku diary bergambar beruang putih pemberian ibuku, di sana tertuang perasaanku tentang anak laki-laki polos dan lugu, saat aku kelas 4 sekolah dasar. Dulu tulisan tanganku buruk sekali. Corat sana, coret sini. Bergandeng-gandeng tak keruan seperti rumput yang bergoyang. Aku tertarik pada sebuah catatan yang sama jeleknya, tetapi ada gambar hati di sudutnya.

“4 April, 2007. Aku lelah setiap hari harus berlatih pramuka. Seminggu lagi pramuka penggalang kami mengikuti lomba di kecamatan. Tapi aku beruntung karena dia bisa ikut. Kami akan berkemah tiga hari. Dan setiap membayangkan tiga hari itu bersamanya, semangatku muncul lagi. Sepertinya, aku mulai menyukainya.” Kala itu, aku selalu nyaman dengannya. Di dekatnya, aku merasa dia lebih dari teman. Dan catatan yang paling buruk, bercoret-coret seperti jejak bebek.

ADVERTISEMENT

“12 Juli, 2007 Hari-hari aku memperhatikanmu. Berharap kau tahu makna mataku. Tapi, kabarnya kau akan pindah sekolah ke luar jawa. Hatiku hancur.” Oh, aku ingat catatan itu. Itu ku tulis tiga hari sebelum dia pindah ke Papua, ikut bapaknya yang bekerja di pertambangan Freeport. Ya, hatiku remuk sekali saat itu. Aku berharap dia segera kembali secepatnya. Setahun berlalu, dia tak pernah muncul lagi. Hatiku yang hancur, ku buang ke kali. Kelas lima sekolah dasar.

“15 Febuari 2008, Ku lihat seorang anak laki-laki seusiaku digandeng ibunda guru masuk ke kelas. Dan saat pelajaran dimulai, aku tak dapat mempercayai mataku sendiri karena tiba-tiba dia ada di sini. Aku terkejut dan senang sekali. Tapi aku hanya bisa diam. Aku takut orang lain tahu kalau aku…” Hari berkejaran begitu cepat. Perasaanku masih sama. Dan masih sama tak berdaya. Ku tulis catatanku dengan dada penuh. Penuh dengan rasa yang invalid. Aku tersenyum-senyum saat membacanya.

“25 Maret 2008, Tadi siang aku kalah lomba siswa teladan putri. Aku cukup sedih. Tapi aku sangat senang karena dia menjadi juara II lomba siswa teladan putra. Dia pantas mendapatnkannya kerena dia pintar dan berbakat. Selesai makan siang, di luar dugaanku, dia mengajakku ke sebuah ruangan kosong. Di sana ia membisikkan ‘Maukah kau jadi pacaraku?’ Aku terkejut, dan beberapa saat lamanya tak menjawab. Namun, singkatnya, aku menganggukkan kepalaku malu-malu tanda aku setuju. Aku merasa sejuta kuntum mawar tumpah dari langit menghujaniku.”

Dan catatan terakhir bertanggal 17 Juli 2009, waktu itu aku kelas 6, dan telah lulus dari sekolah dasar. “Aku ingin masuk ke SMP negeri. Dia berjanji akan masuk sekolah yang sama denganku. Tapi kenyataannya dia terlalu pintar untuk disejajarkan denganku, masuk SMP negeri pinggiran. Ibunya mendaftarkannya ke SMP Negeri di kota yang sudah kategori favorit. Ibarat aku pintar, aku pun ingin. Dengan semua kenyataan itu, akhirnya aku mengikhlaskannya jauh dariku. Aku sedih sekali…”

Ku tutup buku diary lusuh itu. Ku lemparkan pandanganku ke luar jendela yang mengembun. Perasaan itu telah mengendap dalam hatiku sangat lama. Wajah kanak-kanak Pras, senyum polosnya, terbayang di antara dedaunan basah. Masih ku ingat suaranya ketika masih kanak-kanak, sebelum ia baligh. Suaranya terngiang di telinga. Bentuk jemari tangannya ketika sekolah dasar, aku masih ingat. Aroma tubuh kecilnya, masih lekat. Tak ku sangka anak itu kini telah tumbuh menjadi remaja yang tinggi dan tampan. Terlalu tampan, bahkan. Hanya dua tahun kisah cinta monyet kami bertahan. Tanpa alasan, kami bubar. Tapi, sehari setelah itu, aku menangis menyesali keputusan bodoh itu. Aku menyesal, sangat menyesal dari hati hingga paru-paru. Tapi, bertahun terlewat. Perasaanku padanya masih genap.

Setiap pagi aku mengayuh sepedaku pelan-pelan, menunggu bertemu dengannya. Aku ingin mengembalikkan jaketnya yang tempo hari aku pinjam. Tapi dia dan sepedanya tak pernah muncul lagi. Sebenarnya bisa saja ku antar jaket ini ke rumahnya, kebetulan kami masih satu kampung dan jarak kami tak begitu jauh. Namun, aku takut pada ibunya. Sejak sekolah dasar, ku rasakan ibunya membenciku. Pras, sesekali ku lihat dia berangkat lewat jalan ini dengan motor Harley-nya. Sejenak aku tertegun akan kegagahannya. Sorot mata tajamnya, wajah bekunya. Dia tampan, melebihi aktor Hollywood mana pun.

Sebelah jiwaku yang lain berteriak padaku, “Hei! Sadarlah kau sudah punya pacar. Dia pun begitu. Untuk apa kekaguman semacam itu, tak perlu! Lagi pula kau ini siapa. Hanya perempuan pendek, hitam, jelek, miskin, dan tak ada bagus-bagusnya! Kau tak sebanding dengannya yang tampan dan kaya!” Aku tertunduk. Jika ada seribu orang datang padaku mengatakan hal yang sama, pasti tak akan ku dengar juga. Jika seorang lagi datang, mengatakannya, dan itu adalah Pras, aku akan menyerah dan berhenti mengharapkannya. Tiba-tiba aku merasa sangat putus asa, jurang rasanya dekat sekali.

Suatu senja yang cerah aku dan pacarku duduk di taman. Ku sandarkan kepalaku di bahunya. Nyaman sekali. Kami terus bercerita, tentang apa saja. Dia merangkulkan lengannya di bahuku. Dan terus mengobrol. Dia adalah laki-laki yang baik, periang dan penuh perhatian. Telah banyak sekali yang ia lakukan untukku. Dia rela berkorban apa saja demi aku. Ku tahu dia sangat menyayangiku lebih dari nyawanya sendiri. Aku pun begitu menyayanginya. Namun, laki-laki sebaik itu, tak pernah menyadari bahwa dia selalu ku sakiti dan ku khianati. Memanglah aku sudah bubar dengan Pras, tapi tak dapat ku lupakan cinta pertama itu.

Cinta itu masih mengendap di hatiku. Menjadi kerak yang sulit dihilangkan. Aku masih mengharapkan bahwa suatu saat nanti aku dan Pras dapat bersama lagi. Tapi, mana mungkin tega aku membuang begitu saja orang yang saat ini menyayangiku. Dilematis, dilematis. Aku selalu merindukan Pras di sisiku. Pras terlalu berharga untuk hilang dari hidupku. Segala aku pada Pras adalah terlalu. Sebuah perasaan yang terlalu rumit untuk diterjemahkan. Cinta yang terlalu mengharu biru. Rindu yang terlalu menyesakkan. Hati yang terlalu batu. Harapan. Angan. Impian. Adalah tentang Pras. Aku tak berdaya. Setiap kali ku sandarkan kepalaku ke bahunya, ku rasa dia telah menjelma menjadi Pras, yang selalu ku rindukan.

Bersambung

Cerpen Karangan: Amalia Aris Saraswati
Facebook: Amalia Aris Saraswati
Amalia Aris Saraswati lahir di Banyumas, 24 November 1997. Sekarang saya adalah mahasiswa semester 2 di Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat. Saya senang menulis sejak Sekolah Dasar. Cerita pendek ini ku persembahkan untuk cinta pertamaku, Prasandi. Untuk pembaca setiaku, sahabat- sahabatku, teman-teman yang selalu mendukungku, dan Novelis favoritku, Andrea Hirata. Selamat membaca!

Cerpen I’m Feeling Blue (Part 1) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Gadis Dunia Maya

Oleh:
Latar belakang langit yang begitu indah dengan lukisan orange bercampur warna kelabu serta sang mentari yang akan segera sembunyi keperaduannya menjadi lukisan indah yang menemani semiliri angin sore yang

Kecewa

Oleh:
Ada satu titik dimana aku merasa sangat kecewa karena sebuah perbuatan. Sampai membalas pesan atau menjawab panggilan pun aku enggan. Aku hanya bisa menangisi nasibku dalam diam. Kemudian menyesali

Pemberi Harapan Palsu

Oleh:
Nampaknya kamu sudah ada yang punya. Dan haruskah aku sakit mendengar itu? Aku berkata begitu karena aku melihat tingkahmu sudah berbeda, sms yang aku terima darimu pun sudah agak

Kenangan itu, Aku dan Kamu

Oleh:
Barangkali kini kau tak tahu siapa aku, semenjak perpisahan 3 tahun yang lalu mungkin waktu telah perlahan menghapus sedikit demi sedikit memoar kenangan yang kita rajut bersama dan mungkin

Jadi ini Akhirnya

Oleh:
Senja pun telah bergulir, berganti pekatnya malam berhiaskan gemintang perak menggantung di hamparan langit hitam. Sirius mulai menampakkan diri ditemani bola kuning bercahaya, rembulan. Drama manusia dikejar jadwal kian

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *