Bercumbu dengan Sunyi

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 16 May 2018

Hawa panas ditambah suasana pengap kamar tidak menghalangi niat Fandi untuk menulis. Tumpukan buku berserakan di kamarnya. Tumpukan buku itu terdiri dari berbagai jenis: sastra, politik, filsafat dan lain-lain. Sudah hampir sepuluh menit lembar ketikan itu masih putih. Kosong tanpa huruf. Fandi selalu bingung ketika akan mengawali tulisan menulis.

“Cerpen atau artikel?” gumannya lirih.

Garukan kepala menandakan kebingungan tentang apa yang harus dia ketikan di lembaran kosong itu. Setelah garukan, kemudian jembakan-jambakan kecil mulai dilakukanya. “Apa yang harus aku tulis. Tuhan berikan hambamu ini inspirasi,” keluhnya.

Lembaran itu tetap saja kosong, dan di luar rumah hujan mulai turun. Hujan di pagi hari tidak banyak membantu untuk memberi inspirasi pada tokoh kita ini. Hujan hanya memberikan hawa sejuk pada kamar Fandi. Pengap yang menyelimuti kamar Fandi, perlahan menghilang.

Fandi merayap keluar dari kamarnya. Rintikan hujan menerpa lembut wajahnya. Hawa dingin turut menurunkan suhu otaknya yang mulai panas karena memikirkan tentang hal apa yang ingin ditulisnya. “Mungkin, aku memang tidak berbakat jadi penulis. Sudah puluhan, bahkan mungkin ratusan, tulisan yang sudah aku kirimkan ke berbagai media. Dan semuanya tidak dimuat,” keluhnya dalam hati.

Suara Ibu Fandi menyadarkan Fandi dari lamunanya. “Fan, sini!” panggil ibunya dari dapur.

Fandi bergegas menuju dapur untuk menemui Ibunya. Terlihat Ibu Fandi sedang sibuk mengupas bawang merah. Kulit tangan Ibunya yang sudah mulai keriput masih lincah ketika mengupas bawang merah, seolah pisau yang dipegang menyatu dengan tanganya.

“Iya, Bu, ada apa?” tanya Fandi
“Ibu mau ngobrol sebentar. Kamu tunggu dulu di depan, Ibu mau selesaikan ini dulu,” kata Ibunya tanpa menoleh ke wajah Fandi, karena sibuk dengan bawanganya.
“Iya, Bu,” jawab Fandi sembari bergegas menuju beranda rumah.
Ada kekhawatiran yang melintas dalam benak Fandi. “Semoga Ibu tidak membahas itu lagi,” gumam Fandi lirih.

Beberapa menit berselang, Ibu Fandi sudah duduk di sampingnya. Suasana pagi menjelang siang yang mendung membuat keduanya, Ibu dan Fandi, tampak tenang sekaligus tegang. Ada maksud yang ingin disampaikan ibunya kepada Fandi. Teh hangat yang dibawa Ibunya dari dalam dapur menemani perbincangan keduanya di teras rumah. Mereka duduk di bangku teras. Keduanya hanya dipisahkan meja kecil, tempat Ibu menaruh cangkir berisi teh panas.

“Fan, Ibu mau ngomong sesuatu,” kata Ibunya dengan nada tenang, tapi degan raut wajah yang serius.
“Iya, Bu.”
“Kamu memang tidak mau mencari kerja seperti teman-teman kamu. Ibu lihat, akhir-akhir ini, kamu, tidak pernah keluar rumah untuk mengirim surat lamaran. Kamu tidak pingin kerja kantoran?”

ADVERTISEMENT

Hati Fandi langsung terguncang mendengar pertanyaan itu. Fandi bingung. Pertanyaan itu seolah menjadi tembakan yang tepat mengenai ulu hatinya. Tidak ada jawaban yang terlontar dari mulut Fandi. Hening. Fandi hanya menundukan kepala.

Melihat Fandi tidak menjawab pertanyaan itu, Ibunya kembali berbicara, “Ibu pingin melihat anak semata wayang Ibu berangkat di pagi hari, dan mengenakan seragam. Ibu pingin, kalau setiap pagi, bisa menyiapkan sarapan untuk kamu sebelum berangkat kerja. Ibu pingin, kalau setiap pagi, bisa menyiapkan segelas kopi untuk kamu sebelum kamu beranjak dari rumah. Dan, ibu pingin melihat kamu sukses seperti teman-temanmu. Maaf, Fan, kalau Ibu terlalu banyak menuntut dari kamu. Tapi, kamu tahu, kan, semenjak meninggalnya Bapak, kehidupan kita serba sulit. Ibu harus pintar-pintar mengatur pengeluaran, sementara pemasukan kita hanya bergantung dari uang pensiunan bulanan mendiang Bapakmu. Memang apa yang kamu lakukan seharian di dalam kamar?”

Hening. Fandi semakin tertunduk. Berondongan pertanyaan dari Ibunya membuat Fandi semakin terpekur melihat kondisi dirinya: lulusan sarjana yang kini usianya sudah hampir dua puluh lima tahun, dan belum bekerja.

Sejak kuliah, Fandi sudah gemar membaca dan menulis. Menjadi seorang penulis adalah keinginan dia yang sudah tumbuh semenjak dia berkutat dengan dua kegiatan itu. Dan mencatatkan namanya di salah satu media cetak menjadi salah satu keigninan Fandi yang masih belum tercapai.

“Apa yang harus aku katakan,” ujar Fandi dalam hati.

Diam menjadi salah satu pilihan Fandi pada saat itu. Ibu menunggu jawabanya, tapi fandi masih terdiam. Tanpa disadari titik-titik air mulai menetes dari mata Fandi; terasa panas dan meleleh di wajahnya. Sontak, Ibunya memandangi pipi Fandi yang basah terkena air matanya. “Loh, kenapa? Kok nangis?’ tanya ibunya heran.

“Maaf, Bu, Fandi masih belum bisa jadi anak kebanggaan Ibu. Fandi masih jadi anak yang terus merepotkan Ibu. Tapi Bu…” kalimat Fandi terputus. Dia ingin mengutarakan bahwa dia ingin jadi penulis, tapi batinya menolak. Batin Fandi berteriak bahwa menyampaikan keinginanya sebagai penulis merupakan tindakan konyol. Menulis dianggap bukanlah pekerjaan yang menjanjikan, tidak ada seragam dan gaji tetap, seperti yang diharapkan Ibunya. Selain itu, Fandi masih amatir dalam dunia tulis-menulis.

“Hmm. Ibu paham. Seharusnya ibu yang minta maaf, Fan. Ibu terlalu menuntut banyak dari kamu,” kata ibunya dengan sabar.

“Maafin Fandi, Bu. Fandi janji akan mendapat pekerjaan secepatnya. Dan, Fandi janji akan membahagiakan, Ibu,” ujar Fandi sembari mengusap air matanya.

Mereka saling berpelukan. Fandi urung mengutarakan niatnya dan ingin lebih giat mencari kerja –sembari terus melanjutkan kegemaran menulisnya. Fandi sadar akan resiko yang harus ditanggungnya yaitu siap bercumbu dengan sunyi.

Cerpen Karangan: Achmad Soefandi
Facebook: Achmad Soefandi
Blog: siand1k.wordpress.com
Alumnus Universitas Negeri Surabaya, Sosiologi. Penikmat kopi dan sastra.

Cerpen Bercumbu dengan Sunyi merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Aku

Oleh:
Akankah Tuhan mendengar doa para pendosa? Akankah Tuhan merangkul para pembangkang? Aku hanya jiwa yang sesat Aku hanya jiwa yang kosong Aku hanya debu yang terbawa angin Aku duduk

Ayah

Oleh:
“Kamu jadi anak lelaki tidak boleh cengeng,” perkataan itu yang sampai sekarang masih terngiang-ngiang di telingaku dan selalu ke luar dari mulut ayah di saat aku kecil meminta sesuatu

Tak Seperti Dulu

Oleh:
Namaku Erik. Dulu waktu masih kecil aku dan teman-temanku selalu bermain bersama. Kami bermain dengan alam tak sama dengan anak-anak sekarang yang sibuk dengan ‘gadget’ dan mudah terjerumus ke

Meja Istriku

Oleh:
“Kami nikahkan anak kami Rida Hidayati binti Hidayat dengan Muhammad Erwin Burhannudin bin Muhammad Subekti dengan maskawin sebuah meja bundar ukiran Jepara tunai.” “Saya terima nikah dan kawinnya Rida

30.000 Meter

Oleh:
Cahaya matahari sore meredup oleh arak arak mendung dari barat. Di atas jalan aspal di tengah tengah persawahan yang luas membentang, Rein terus melangkahkan kakinya. Lemas, sudah sejak tadi

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *