Sisi Lain Dari Sebuah Cerita

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 7 June 2017

“Mbak dian.. cepetan bangun. Kamu gak sekolah? Udah jam berapa ini?!” Teriakan itu sukses menghancurkan mimpi indahku. Padahal aku baru saja bertemu Shawn mendes di mimpiku, tapi seolah tiba-tiba terjadi badai yang mengubah idolaku itu dan orang-orang di sekitarnya menjadi debu, lalu hilang diterbangkan angin. “iya, iya” jawabku malas, melirik jam dinding berwarna biru yang tergantung di dinding kamarku yang berwarna sama, “baru jam setengah enam” batinku, tapi mama berteriak seolah sudah terjadi kiamat saja. Aku menerjapkan mataku, rasa kantuk masih melanda, wajar saja, semalaman aku mengerjakan tugas, mengejar deadline yang jatuh tepat hari ini. Dan hal itu berhasil membuatku tertidur lagi sesudah melaksanakan solat subuh, padahal biasanya aku tidak pernah begitu. Aku pun bergegas mandi, sebelum teriakan mama yang maha dahsyat terulang lagi.

Pukul enam lewat tiga puluh. Aku sudah siap, seragam putih biru lengkap dengan dasi, tas yang penuh berisi buku yang sudah kusiapkan sejak semalam, aku keluar dari kamar. Terlihat adik-adikku sedang menyantap nasi uduk yang mama belikan sebelum kami bangun. Mamaku sudah bangun sejak pagi buta, pukul setengah empat. Ia lalu membantu mempersiapkan ayah yang akan berangkat kerja, lalu membuatkan sarapan untuk kami semua, jika tidak sempat, ia akan membeli nasi uduk di ujung jalan rumahku, sebisa mungkin ia selalu membuat kami sarapan dahulu sebelum menjalani hari.

“mbak, sarapan dulu nih.” Ucapnya sambil menyerahkan piring yang di atasnya terdapat sebungkus nasi uduk. “iya.” Jawabku seraya mengambil piring itu. Biasanya aku menolak untuk sarapan terlebih dahulu jika sedang buru-buru, tapi kali ini aku tak kuasa menolak salah satu dari bentuk cinta mama terhadap anak-anaknya itu. Sesudahnya aku berpamitan lalu berangkat ke sekolah.

Kegiatan di sekolah berjalan seperti biasanya. Mulai belajar pukul tujuh, pelajaran IPA tentang listrik masih menyisakan beberapa tanda tanya di otakku, entah dengan yang lainnya, aku mengedarkan pandangan sekilas ke sekeliling kelas saat guru sedang menjelaskan, wajah teman-temanku seolah mengisyaratkan bahwa mereka menyerah, mungkin jika ada kamera saat itu mereka akan melambaikan tangan ke arahnya. Guru IPA sedikit berbagi cerita tentang orangtuanya di sela-sela materi, membuatku menjadi teringat kepada mama dan ayah, cerita pilu itu membuatku membayangkan jika suatu saat nanti aku harus hidup tanpa kedua orangtuaku, entah akan bagaimana rasanya, membayangkannya saja aku tak sanggup.

Pelajaran kedua, penderitaan kami ternyata belum berakhir. Pelajaran IPS yang sangat membosankan sedang berlangsung, guru pun menjelaskan tentang sejarah, materi yang sama sekali tidak menarik bagiku. Aku pun mendengarkan guru yang sedang menjelaskan karena sikap formalitas. Bel istirahat pun berbunyi, seperti sebuah oase yang menyejukkan di tengah tandusnya padang pasir.

Pelajaran ketiga dan keempat ternyata tidak jauh berbeda, olahraga lalu bahasa inggris. Sukses menyempurnakan hari yang melelahkan ini. Setelah pemanasan kami lari 7 keliling lapangan untuk bulan ini, sempurna! Aku sebenarnya tidak begitu menyukai kegiatan olahraga, mungkin bisa dibilang sama sekali tidak berbakat dalam hal itu. Waktu olahraga selesai, istirahat, lalu dilanjutkan mata pelajaran bahasa inggris, awalnya kukira guru mata pelajaran itu tidak akan masuk karena kebiasaanya memang begitu, tapi kali ini, entah karena hidayah yang datang darimana, ia pun masuk kelas. Lengkap sudah hari ini.

Aku pun pulang dan sampai di rumah dengan muka lesu. mama menyambutku dengan serbuan pertanyaan ”eh mbak dian udah pulang, belajar apa aja hari ini? mukanya kok dilipet-lipet gitu? makin jelek tau. Mau makan sekarang apa nanti? Mama masak capcay tuh.. kamu kemaren yang minta, awas kalo gak dihabisin” aku memilih untuk hanya menjawab “makan nanti aja”. Aku lalu salim kepada wanita empat puluh satu tahun itu lalu masuk ke dalam kamar.

Aku menyalakan kipas lalu merebahkan tubuhku ke kasur. Hari yang panjang dan melelahkan. Aktivitas rupanya belum mempersilahkanku untuk bersantai, setelah berganti pakaian aku lalu segera mengambil wudhu dan melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim, setelah itu aku makan. Masakan mama memang yang paling enak, tiada bandingnya, sekalipun itu adalah masakan chef tampan jamie oliver yang terkenal itu. Setelahnya aku malah tidak bisa tidur, jadi aku memutuskan untuk belajar, mengulang materi yang tadi dipelajari di sekolah.

Sudah malam. Ini saatnya tidur. Melepas semua lelah yang hinggap di tubuh ini setelah seharian beraktivitas. Aku malah tidak bisa tidur, entah kenapa, aku merasa pusing dan seluruh tubuhku terasa sakit, mungkin karena pemanasan yang tidak benar saat olahraga tadi. “ah elah” gerutuku, ingin sekali rasanya aku menangis, aku memang perempuan yang cengeng.

Akhirnya air mata itu turun tanpa aba-aba. Ada perasaan yang tidak bisa dimengerti bahkan olehku sendiri. Lelah bercampur fikiran akan tugas untuk esok hari yang belum tuntas membuat otakku menyerah. Menangis adalah satu-satunya cara meluapkannya.

ADVERTISEMENT

Aku dikejutkan oleh suara pintu yang dibuka. Dengan segera aku berusaha menghapus air mataku, tapi tetap saja tidak bisa menyembunyikan mata merahku. “kamu nangis?” ayahku bertanya sambil menghampiriku. Aku tau pertanyaan itu tak butuh jawaban, ayah pasti bisa menafsirkannya dari isakan ku saat ini. “kenapa?” tanyanya, “gak apa-apa, aku pusing doang sama capek”. Ayah lalu duduk di tepi kasurku, tangannya memijat kakiku, ia tentu sudah hafal, jika aku berkata capek maka ia akan memijat kakiku, tanpa kuminta sekalipun. “lho” mama yang berada di depan pintu bereaksi sok kaget, seakan ia tidak pernah melihat ayah yang sedang memijit putrinya yang kekanak-kanakan. Mama berjalan masuk ke kamarku lalu berbaring di sampingku. “ada acara apa ini? Kok mama gak diajak” gurau mama, “tau nih anaknya mama udah gede masih kolokan” ucap ayah dengan nada bercanda. Aku hanya diam, dalam hati membenarkan apa yang ayah katakan. Aku terkadang memang masih suka manja, aku masih sering makan disuapi, bercanda dengan ayah dan mama, bercerita tentang teman-temanku atau tentang hal-hal yang aku suka, aku juga masih sering melakukan hal melakukan hal kekanak kanakan seperti memeluk ayah atau mama secara tiba-tiba contohnya.

Ayah masih memijit kakiku, sedangkan mama mulai membuka topik pembicaraan, tentang masa kecilku yang aneh. Mereka lalu bercerita dengan serunya sambil tertawa, aku hanya mendengar percakapan mereka sambil terkadang terenyum geli mendengar masa kecilku yang terdengar sangat aneh. “dulu pas kamu umur setahun mbak, rambutmu itu nggak numbuh, cuma kayak rambut jagung doang.. makanya bersyukur kamu bisa punya rambut sekarang” ayah pun tertawa mendengar perkataan mama. “terus dulu kamu pas kecil itu suka banget makan kacang.. pas dulu gigimu baru dua doang di depan, kamu kalo makan kacang itu ayah kunyahin dulu terus baru disuapin ke kamu” lelucon itu dilontarkan ayah, sudah sangat sering kudengar, tetapi masih saja terdengar lucu. Lalu mereka bercerita tentang aku yang hilang di mall, hilang di kebun binatang, hilang di Malioboro, lalu mereka mengambil kesimpulan bahwa aku sedari kecil aku sudah terlahir untuk tidak bisa diam.

Entahlah, aku tidak tau apakah anak-anak lain yang seumuran denganku mendapatkan perhatian yang sama dengan yang kudapat atau tidak. Aku merasa nyaman, perasaan nyaman yang belum pernah kudapatkan dari orang lain selain mama dan ayah. Ayah juga bercerita, bahwa dulu nenek dan kakekku juga memperlakukannya sama seperti ia memperlakukanku. Sedangkan mama bercerita tentang masa kecilnya sebagai seorang yatim, nenekku bekerja keras sebagai perawat untuk menghidupi keempat anaknya hingga semuanya lulus pendidikan Strata 1. Wow hebat sekali, fikirku.

Sekarang aku percaya bahwa dibalik orang-orang hebat pasti ada orangtua hebat yang membesarkannya. Karena pasti ada sisi lain dari sebuah cerita. Selalu akan ada perjuangan orangtua dibalik kesuksesan seseorang. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan berjuang agar bisa membanggakan kedua orangtuaku, agar semua peluh yang telah terjatuh tidak menjadi sia-sia.

Cerpen Karangan: Nabilla Dian Alvanda
instargam : @nabilla.billz

Cerpen Sisi Lain Dari Sebuah Cerita merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Otaku

Oleh:
Panggil saja Cleo, itu nama panggilanku. Lengkapnya, Violet Putri Cleo. Aku punya sahabat yang sangaaat baik. Namanya Ayano Akane. Aku memanggilnya Ayano. Dia lahir di Negeri Sakura, Jepang. Namun,

Maaf Ayah, Aku Bohong

Oleh:
Deras hujan waktu itu membuat Sandi khawatir akan keadaan ayahnya yang belum pulang dari kantor. Maklum, sejak kematian ibunya, Sandi hanya ditemani sang ayah. Sudah dua tahun ini. Entah

Never Ending

Oleh:
Sahabat, kata sahabat tak pernah ada sebelumnya di kamus seorang perempuan bernama Jeje Emeli Wijaya. Perempuan yang selalu menganggap tak ada seorangpun yang tulus berteman dengannya. Tapi tidak sebelum

Kado Untuk Sahabatku

Oleh:
Sebut saja namaku Ani. Aku sekarang duduk di bangku SMA kelas 12, bersama dengan sahabat, teman sebangku, dan sekaligus sudah seperti saudara sendiri, dia adalah Kiya. Hari-hari kami selalu

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *