Takkan Sama

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 22 November 2014

Namaku Andi, aku adalah siswa kelas 8. Aku memiliki seorang kakak laki-laki bernama Adit. Dia 4 tahun lebih tua dariku. Tapi hubunganku dengannya tak seharmonis yang dibayangkan. Mungkin banyak yang berfikir kita bisa kompak karena memiliki kesukaan yang sama. Tapi menurutku itu adalah hal yang selama ini membuat hubungan kami tidak harmonis. Justru karena itu aku sering ribut dengan Kak Adit.
Ini semua kadang membuatku tidak betah di rumah. Terlebih lagi ketika Mama lebih membela Kak Adit. Alasannya berbagai macam. Telingaku rasanya mau pecah dengar ocehan Mama. Menurutku Mama selalu tidak adil. Kalau sudah begini Kak Adit merasa sangat bangga atas kemenangannya. Seringkali Mama berusaha menasehati kami agar kami akur. Namun usahanya selalu sia-sia.

Malam itu aku sedang berkonsentrasi mengerjakan tugas menggambar dan dilanjutkan tugas Bahasa Indonesia. Terdengar ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku tak menghiraukannya.
“Woy, buka pintu dong,” kata seseorang di balik pintu yang tak lain adalah Kak Adit.
“Apaan sih Kak? Gak usah ganggu deh,” kataku dengan sedikit teriak.
“Yeh malah nyolot, disuruh makan tuh. Kita semua udah nunggu di ruang makan. Udah deh berantemnya nanti lagi,” kata Kak Adit.
“Nanti ajalah tanggung,” kataku.
Tanpa membalas kata-kataku Kak Adit meninggalkan kamarku dan menuju ruang makan. Aku tak peduli, aku tetap melanjutkan tugasku. Menggoreskan berbagai macam warna di atas buku gambar berukuran A4.

“Mana adikmu?” tanya Mama.
“Di kamarnya,” jawab Kak Adit santai.
“Kamu itu bagaimana sih? Mama kan nyuruh kamu manggil dia,” ucap Mama.
“Iya Adit tau, tapi dia gak mau keluar. Tanggung katanya,” jelas Kak Adit.
“Males giiilaaa… udah ah Ma aku makan duluan,” kata Kak Adit.
“Kalian itu gak bisa ya akur sehari aja?” Mama menghela nafas.
“Pokoknya kamu gak boleh makan duluan. Ya udah Mama yang ke kamar Andi,” tambah Mama.

Gambarku sudah selesai. Kini aku sedang mengerjakan tugas Bahasa Indonesia. Sedikit lagi aku menyelesaikannya. Mama mengetuk pintu kamarku dengan pelan. Disambung dengan suara Mama yang lembut dan penuh kasih sayang.
“Sayang, ayo makan dulu,” ucap Mama lembut.
“Iya Ma, sebentar,” kataku.
“Ayo sayang, makanan sudah siap. Papa dan Kak Adit sudah menunggu,” kata Mama.
Aku membereskan semua buku pelajaranku, kebetulan memang tugas-tugasku telah selesai. Aku membuka pintu kamarku. Mama tak bicara lagi, yang ku lihat hanya lengkungan manis yang mengembang dari mulutnya.

Sesampainya di meja makan Papa dan Kak Adit sudah duduk manis menatap semua hidangan di atas meja makan.
“Huuu… kalau dipanggil sama Mama aja langsung nurut,” gerutu Kak Adit.
Aku tak membalasnya. Rasanya aku sudah bosan bertengkar dengannya. Bertengkar dengan Kak Adit sudah menjadi rutinitasku di rumah ini. Dan sudah menjadi hal lumrah di mata keluarga serta tetangga.

Makan malam telah selesai. Aku dan Kak Adit menonton TV. Kami berdua duduk di sofa menunggu acara yang sama yaitu “Moto GP” sebuah acara balap motor yang sangat aku tunggu-tunggu sejak seminggu yang lalu. Acaranya sudah mulai. Kami fokus pada apa yang kami tonton. Tak sepatah kata pun terucap dari mulut kami.
“Tumben akur,” ledek Mama.
“Biasa aja Ma,” kata Kak Adit ketus.
“Diem Ma, lagi seru nih,” kataku tanpa mengalihkan perhatianku dari layar kaca.
“Nah kalau gini kan enak, rumah terasa damai,” kata Mama.
Tak ada satu pun dari kami yang membalas perkataan Mama tadi. Karena pada dasarnya kami sedang fokus dan tak ingin diganggu.
“Oiya Di, ini udah jam 10 loh. Ayo tidur, besok kan sekolah,” tambah Mama.
“Yah Mama, ini kan baru jam 10. Lagian aku kan bukan anak kecil yang harus selalu diatur,” kataku kesal.
“Kalau aku disuruh tidur seharusnya Kak Adit juga dong Ma. Kak Adit juga kan besok sekolah,” tambahku.
“Tapi Kak Adit sudah besar. Kamu kan masih kecil, gak baik tidur malam-malam,” jelas Mama.
Ini dia yang paling aku gak suka. Aku selalu dibilang anak kecil. Selalu dibedakan sama Kak Adit. Aku juga kan sudah besar. Lagian perbedaan usiaku dengannya hanya 4 tahun. Apa salahnya jika aku tidur lewat dari jam 10? Toh Kak Adit juga besok sekolah. Ini benar-benar gak adil.
“Ma, tolong jangan bilang kalau aku ini masih kecil, Mama itu gak adil. Kenapa Kak Adit boleh sedangkan aku tidak?” aku semakin kesal.
“Bukan itu maksud Mama,” kata Mama.
“Mama itu selalu gak adil sama aku. Uang jajanku tak sama dengan Kak Adit, aku gak boleh mengendarai motor sedangkan Kak Adit boleh.”
“Bukannya gak boleh tapi belum boleh.”
“Seandainya aku sudah boleh mengendarai motor pun Kak Adit pasti sudah boleh mengendarai mobil, yang jelas aku dan Kak Adit takkan pernah sama Ma,” kataku kesal sambil berlari masuk ke kamar. Tak lupa aku mengunci pintu. Aku ingin sendiri. Aku ingin menenangkan diri.
“Eh lo gak boleh gitu ya. Gak sopan banget sih sama Mama,” teriak Kak Adit.
Aku tak mempedulikan ucapan Kak Adit. Aku benar-benar jengkel. Yang ada di otakku hanyalah sebuah pertanyaan “kenapa aku tak pernah sama dengan Kak Adit?”. Pertanyaan itu selalu terngiang dalam benakku. Rasanya begitu sakit jika aku selalu memikirkan pertanyaan itu.
Pokoknya malam ini aku benar-benar jengkel. Mama terus saja membela Kak Adit dan tidak mendengarkan omonganku. Aku sebel, Mama selalu menganggap omonganku salah. Tak selamanya kan omongan anak kecil sepertiku itu salah? Ada kalanya orang dewasa itu mendengarkan omongan orang yang lebih kecil. Padahal apa yang aku katakan demi keadilan. Lebih tepatnya keadilan dari Mama.

Mama mengetuk pintu kamarku. Membujukku agar aku mau membukakan pintu untuknya. Dengan perasaan jengkel aku membuka pintu kamarku dan kembali duduk di kasur. Mama menghampiriku.
“Di, kamu gak boleh punya fikiran seperti itu,” Mama membuka percakapan.
“Mama itu tidak pernah membedakan kalian,” tambahnya.
“Mama selalu berusaha untuk adil kepada kedua anak Mama,” tambahnya lagi karena aku masih saja diam.
“Selalu berusaha adil gimana? Nyatanya aku dan Kak Adit selalu beda. Coba Mama jawab kenapa uang saku yang diterima ku lebih sedikit dari pada yang diterima Kak Adit?”
“Ya karena kakakmu sudah SMA dan kamu masih SMP, tentu kebutuhanmu berbeda dengannya”.
“Nah apakah itu yang dinamakan adil?”
Sungguh aku sangat kesal. Dalam keadaan aku ngambek saja Mama masih membela Kak Adit. Nanti saat aku SMA memang aku akan mendapatkan seperti Kak Adit, tapi Kak Adit akan mendapatkan lebih dari yang aku dapatkan. Dan Mama pasti akan bilang Kak Adit mempunyai kebutuhan yang lebih banyak dibandingkan aku karena dia sudah menjadi mahasiswa. Tetap saja aku dan Kak Adit itu tak akan sama.
Saat ku kecil dahulu, aku masih menggunakan sepeda roda 3 sedangkan Kak Adit sudah boleh menggunakan sepeda roda 2 yang aku selalu dilarang untuk menaikinya. Saat aku sudah boleh menggunakan sepeda roda 2 Kak Adit boleh mengendarai motor. Aku selalu dilarang keras oleh Mama dan Papa. Sampai kapanpun aku takkan pernah sama dengan Kak Adit.

Mama diam dan menghela nafas panjang. Aku menatapnya sedih. Sesungguhnya hati kecilku tak ingin melihat Mama seperti ini. Sampai kapan aku dan Kak Adit begini terus? Yang aku inginkan hanyalah aku dan Kak Adit itu sama.
“Tak sama itu bukan berarti tak adil,” Mama tersenyum.
“Oh jadi selama ini kamu selalu ngajak berantem Kakak karena kamu cemburu?” kata Kak Adit yang sedari tadi mendengarkan percakapanku dari balik pintu.
“Apaan sih Kak? Siapa juga yang cemburu,” kataku ngeles.
“Eh loe pikir gue gak denger percakapanmu sama Mama?” kata Kak Adit.
“Sudah, sudah. Kalian itu gak ada bosennya bertengkar terus,” Mama menengahi.
“Maaf Ma,” kataku dan Kak Adit secara tidak langsung bersamaan.
“Tuh secara spontan kalian bisa kompak,” ledek Mama.
“Upss… nyesel deh.” Kak Adit monyong dan langsung menutupi mulutnya dengan sebelah tangan.
“Mama ingin menjelaskan sesuatu tentang masalah adil, supaya tidak akan ada yang salah paham lagi, oke. Terutama kamu Andi,” ucap mama sambil menunjuk hidung Andi.
Tak ada satu pun dari kami yang menjawab. Sepi, hening, tak ada suara. Hanya terdapat dua pasang tatapan penasaran yang merespon perkataan Mama tadi. Ya seharusnya Kak Adit tidak perlu penasaran. Dia kan sudah dewasa. Pasti dia sudah mengerti makna adil secara utuh. Berbeda dengan aku yang baru menginjak masa remaja.

Mama mulai menjelaskan kepada kami. Kami memperhatikan dengan seksama. Mungkin kurang dari sepuluh menit Mama menjelaskan tentang adil. Dan kini aku mengerti makna adil yang sesungguhnya. Yang namanya adil itu bukan hanya dilihat dari jumlahnya. Contohnya pada uang sakuku pasti berbeda dengan Kak Adit, itu karena kebutuhan kami berbeda. Jadi, kesimpulannya adil adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.

Akhirnya sejak malam itu aku dan Kak Adit lebih akrab. Memang sih rumah terasa lebih sepi. Tak ada lagi pertengkaran yang terjadi. Tak ada lagi kicauan-kicauan tidak penting yang terdengar di rumah ini. Kini aku sadar ternyata kecemburuan dapat merusak persaudaraan. Dan dengan kekompakan semua akan terasa lebih indah.

ADVERTISEMENT

Cerpen Karangan: Eriska Fazri
Facebook: Eriska Fazri
Nama saya Eriska Fazri, lahir di kota Cirebon tanggal 9 September 1996. Saya bersekolah di SMA Negeri 1 Lemahabang.

Cerpen Takkan Sama merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Yang Ada Menjadi Tiada

Oleh:
Gadis berambut ikal itu mendekapkan kedua tangannya tepat di depan dada sembari memejamkan kedua matanya. Terdengar kata aamiin dengan lirih dari bibir mungilnya. Tak lama ia membuka kedua matanya

Keluarga Ku Motivasiku

Oleh:
Aku adalah anak yang manja dan selalu mengandalkan orang-orang di sekelilingku. Aku sangat menyayangi ibu dan bapakku. Mereka selalu memberikan yang terbaik dan paling baik untuk ku. Sekilas aku

Teruslah Tersenyum Aa (Part 1)

Oleh:
Malam itu suasana begitu lembap. Hujan yang turun seharian membawa serta awan pekat yang terseret di antara hamparan mega. Kawanan katak di sela-sela selokan terus menggemakan nyanyiannya, ditimpali suara

Ratapan hati

Oleh:
Dari sudut kamar, tampak sunyi. Tak terdengar bisikan udara. Hanya tampak wajah yang menyimpan sejuta kesedihan. Mulutnya diam. Namun hatinya selalu bergerak bertanya. “Mengapa aku sekarang bersedih?” ia tak

Bukan Ibu Cinderella

Oleh:
Malam ini begitu tenang, setenang tetesan mata air di puncak gunung. Namun tenangnya malam ini tak setenang hatiku. Di malam 7 hari kepergian almarhumah bundaku. Bunda yang amat aku

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *