Pelangi Setelah Hujan

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Persahabatan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 5 January 2016

“Non, Mas Randy sudah menunggu di bawah.” teriak mbok Siti dari luar kamarku. Hmm, cukup cantik. Batinku sambil melirik kaca di sebelahku. Ku segerakan turun ke lantai bawah. Randy menungguku di ruang tamu dengan balutan seragam putih abu-abunya. Kulit sawo matangnya dan rambut yang agak keriting disertai dua lesung pipi membuatnya semakin tampan. Randy adalah salah satu sahabatku dari kecil. Dan mungkin saja Randy adalah sahabat terbaik dalam hidupku.

“Selamat pagi sayang, pagi ini kamu kelihatan cantik sekali. Buku-buku sudah menunggu untuk dibaca. Sudah siap buat sekolah?” tanyanya ketika melihatku sambil mengerlingkan matanya dan tak lupa senyum hangatnya. “Ihh, apaan coba pakai sayang-sayang segala? Alay banget deh!” jawabku sinis.

Dia kemudian tertawa lalu menarik tanganku menuju motornya. Banyak sekali gosip-gosip yang menyebar kalau aku sama Randy ada hubungan apa-apa. Hal itu tak menjadikan persahabatan kita semakin goyah. Justru sebaliknya. Bel pulang sekolah berbunyi. Suatu kebahagiaan tersendiri bagi para siswa termasuk aku. Setidaknya hari yang menyebalkan ini telah berakhir.

“Wajahmu kusut sekali, ada yang mengganggumu Risa?” tanyanya di ambang pintu kelasku.
“Hari ini menyebalkan! Seharian ini ada dua guru yang memarahiku. Belum lagi nilai fisikaku di bawah rata-rata yang berarti aku harus mengulangi. Hasssss!!” jawabku menghela napas panjang.
“ke kafe yuk! Hot chocolate melambai-lambai tuh.” ucap Randy dengan senyum hangatnya. Dengan segera aku menganggukkan kepala tanda setuju.

Sesampai di kafe, lagi-lagi hujan menyapaku. Aku mengajak Randy duduk di dekat jendela kaca kafe tersebut. Ku tatap hujan dan ku hitung setiap rintik-rintik hujan yang menempel pada jendela kaca kemudian tersenyum. Aku menyukai hujan. Sambil sesekali ku sesap hot chocolate yang ku pesan tadi. Entah mengapa setelah aku memandang hujan, semua kesedihan, kekecewaan berubah hilang begitu saja. Ya, air hujan bisa menyapu semua luka dalam hatiku.

“Risa, di panggung itu ada piano. Kenapa kamu tidak memainkannya untukku?” Tanyanya yang berhasil membuyarkan lamunanku. Ku lirik piano itu sekilas tanpa pikir panjang aku menganggukkan kepala. Kemudian Randy menggandengku menuju ke panggung. Dari banyaknya lagu klasik, aku memainkan lagu kesukaanku. Jari-jariku dengan lincah menari-nari di atas tuts piano. Kiss the rain. Entah mengapa aku memilih lagu ini. Mungkin lagu ini cocok sekali dengan suasana seperti ini. Hujan, hot chocolate, dan Randy sahabatku.

Dari kecil aku menyukai hal yang berbau dengan musik. Semua berawal dari kesukaanku menyanyi dan mendengarkan musik klasik. Salah satunya adalah Nocturne, Op 9 yang disusun oleh Frédéric Chopin. Sejak saat itu aku terinspirasi untuk bermain piano. Entah mengapa aku jatuh cinta pada satu hal yang namanya musik. Aku tak bisa menggambarkan begitu cintanya sama musik. Dengan musik aku bisa berbicara apa yang ingin ku bicarakan. Aku dan musik ibarat seperti sepatu. Satu paket. Ada kanan ada kiri yang tak bisa dipisahkan satu sama lain.

Jari-jariku berhenti, tandanya lagu yang kumainkan telah usai. Semua orang yang berada di kafe tersebut memberiku standing applause. Tak sedikit pula yang meneteskan air mata sambil tersenyum ke arahku. Ku lirik laki-laki yang berbalut seragam putih abu-abu yang tak lain tak bukan adalah Randy. Dia tersenyum hangat kepadaku sambil mengacungkan dua jempol ke arahku.

“Kamu hebat pianis kecilku.” bisiknya ketika aku duduk kembali di mejaku. Aku merasa beruntung merangkai persahabatan dengannya. Mungkin Randy diciptakan Allah untukku. Ku pandangi dia, senyum hangatnya membuatku nyaman jika ada di dekatnya. Entah mengapa aku tak ingin dia pergi. Aku ingin menghabiskan waktu bersama sahabat yang sangat aku sayangi.

Hujan masih mengguyur kotaku sedangkan langit sudah nampak gelap. Randy mengajakku pulang dan hujan yang mengiringi langkah kami. “kamu tahu nggak? Kamu lebih cocok jadi pianis daripada jadi dokter. Aku juga ingin sekali melihatmu bermain di tengah panggung besar yang diiringi orchrestra.” ucap Randy di tengah derasnya hujan.
“Lantas aku bisa apa? Aku memang menyukai piano. Bahkan aku mencintai bakatku. Jiwa musik sudah mengalir dalam darahku. Aku juga ingin bisa bermain di panggung yang megah dan orchrestra yang mengiringiku. Apalah daya semua hanya keinginan semu.” jawabku tersenyum getir.
“Tunjukkan bahwa kamu adalah pianis terhebat!” ucap Randy sambil menggenggam erat tanganku dan senyuman itu. Senyuman hangatnya seakan memberiku kekuatan untuk mewujudkan apa yang ingin aku wujudkan.

ADVERTISEMENT

Sesampai di rumah aku menghangatkan tubuhku yang kedinginan akibat hujan-hujanan tadi. Setelahnya aku merebahkan tubuhku di atas ranjang kesayanganku sambil mendengarkan musik klasik karya Mozart dari earphone yang menempel pada telingaku. Samar-samar ku dengar dari atas suara seorang wanita dan lelaki saling membentak. Siapa lagi kalau bukan papa dan mama.

Sudah hampir setahun aku bertahan di posisi seperti ini. Sudah hampir setahun pula aku haus kasih sayang papa dan mama. Aku jarang bisa bertemu papa dan mama karena mereka selalu pulang malam untuk kerja. Tapi kalau ketemu, selalu saja bentak membentak seperti ini. Aku rindu kasih sayang mereka berdua. Keluargaku hancur. Lagi-lagi aku hanya bisa menangis. Kesepian dan kesunyianlah yang menemaniku.

Tiba-tiba mama masuk ke kamarku dan duduk di tepi ranjang. Cepat-cepat ku sapu kristal putih yang sempat ke luar tadi. “Risa, kamu harus belajar yang rajin ya sayang. Kamu harus masuk ke universitas negeri dan ngambil jurusan kedokteran. Kalau kamu sampai gagal Mama malu sama teman-teman Mama. Mulai sekarang Mama tidak mau melihat kamu fokus sama pianomu. Pokoknya kamu harus jadi dokter Risa!” ucap mama tegas.

“Mama, Risa ingin jadi pianis Ma. Risa udah besar. Risa bisa nentuin apa yang terbaik buat Risa!” jawabku tak kalah tegas.
“Kamu berani membantah Mama? Sejak kapan kamu kayak gini hah? Mama tahu apa yang terbaik buat kamu! Jadi kamu harus nurut sama Mama!” bentak mama kemudian beranjak pergi.
Tangisanku mulai pecah. Air mataku ke luar dengan sendirinya tanpa ku suruh. Aku merindukan mama yang dulu. Mama yang sayang banget sama aku. Aku merindukan keluargaku yang dulu. Tak sadar aku tertidur dalam tangisanku.

Seminggu berlalu. Setelah aku menampilkan bakatku di kafe saat itu, seorang bapak menghampiriku dan memberiku tawaran untuk bergabung di klub orchrestra miliknya. Suatu keberuntungan buatku. Dan aku giat berlatih bersama klub. Hingga pada akhirnya aku bisa menampilkan permainan solo di tengah panggung megah diiringi klub orchestra. Impianku sudah di depan mata. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

Tak lupa aku mengabari Randy. Ia sangat bahagia ketika mendapat undangan pertunjukanku esok. Ia sangat antusias sekali. “Akhirnya aku bisa melihatmu memainkan solo di tengah panggung yang megah dan diiringi klub orchrestra wahai pianis kecilku.” ucapnya girang sambil mengacak-acak rambutku. “Kamu hebat! Dan tahukah kamu? Aku bangga padamu dan aku menyayangimu sahabatku!” lanjutnya sambil memelukku.

Tak ku sangka itu adalah kata terakhir darinya. Kecelakaan itu merenggut nyawa sahabat yang paling ku kasihi tepat pertunjukanku berlangsung. Setelah pementasan, air mata sudah membanjiri wajahku. Dengan segera mama dan papa memelukku dengan erat. Sebelum Randy pergi, ia menemui mama dan papa untuk minta tolong agar bisa menjagaku. Randy juga bilang bahwa ia menyayangiku. Mama dan papa meminta maaf kepadaku dan berjanji menjadi orangtua yang baik untukku. Mereka akan mendukungku apa yang menjadi keinginanku. Menjadi seorang pianis salah satunya.

Hujan kembali menyapaku. Seperti biasa aku duduk di dekat jendela kaca kafe yang mulai dibasahi rintik-rintik hujan dan menghitungnya. Bayangan wajah Randy masih terekam jelas dalam benakku. Ku pandangi fotonya yang sengaja ku ambil saat kita berada di tengah hujan. Saling tertawa satu dengan yang lain. Saat itu ia mengatakan akan membuatku bahagia dan akan menjagaku. Tak ku sangka air mataku mengalir membasahi pipi tanpa ku suruh. Ku dekap fotonya erat-arat, “Aku merindukanmu. Terima kasih atas waktu yang kau berikan untukku. Semoga kamu tenang di sana wahai sahabatku.” ucapku kemudian tersenyum di sela tangis.

Dari jauh ku lihat mama dan papa turun dari taksi dan menjemputku untuk pulang ke rumah. Sejak kejadian saat itu, aku menemukan kehangatan yang luar biasa dalam keluargaku. Mereka selalu menyempatkan waktu untukku. Aku sangat menyayangi mama dan papaku. Mungkin kalau tidak ada Randy, semua tidak akan seperti ini. Terima kasih Randy batinku kemudian menjauh dari kafe ditemani derasnya hujan bersama mama dan papa.

Cerpen Karangan: Eriza Safrilla Haryono
Facebook: ErizaSafrilla

Cerpen Pelangi Setelah Hujan merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Tak Secepat Petir Menyambar

Oleh:
Aku berjalan ke tempat yang dominan berwarna hijau di depan sana. Warna hijau pepohonan seakan meneduhkankanku yang kepanasan dengan terik matahari. Tak butuh waktu lama untuk sampai di kursi

Pelangiku Yang Telah Hilang

Oleh:
Aku menunggu pelangi datang dalam derasnya hujan. Derasnya hujan memberiku harapan datangnya dia. Hujan semakin deras, namun dia tak kunjung datang. Semakin derasnya hujan, aku ragu akan kedatangannya. Bahkan

Terlambat

Oleh:
Aku bisa menangis saat aku bersedih dan aku bisa tertawa saat aku bahagia. Namun saat ini, perasaanku sudah sangat hancur. Tak tahu sampai berapa lama aku akan menangis dan

Cika’s Dream

Oleh:
Sinar mentari pagi menembus gorden. Ruangan ini terlihat penuh warna jingga sang mentari. Semillir angin yang menyejukkan menyibak kain penutup jendela ini. Tampak seorang gadis kecil yang masih terlelap.

Dari Musuh Jadi Sahabat

Oleh:
“Anak anak. Hari ini kita kedatangan murid baru. Bapak harap kalian senang atas kedatangannya. Katty, mari masuk!” Seru Pak Burhan, wali kelas kami. Kulihat seorang anak perempuan berambut pirang

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *