Rain

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Romantis, Cerpen Galau, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 5 July 2013

Langit semakin temaram, raja siang sudah tak terlihat lagi biasnya. Tertutup tebalnya gumpalan awan abu-abu tua yang entah berapa detik lagi akan menitihkan rintik-rintik air. Beberapa pedagang asongan mulai berberes, takut dagangannya basah terguyur hujan. Aku mulai resah menanti disini, beberapa kali kutengok jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul tiga lebih lima belas, kemana anak itu bilangnya bisa jemput jam tiga. On time, no late. Ini udah lima belas menit aku nunggu sampai kakiku rasanya kesemutan gara-gara kelamaan berdiri di pinggir jalan. Mana tasku berat, coba Bagas gak ada rapat OSIS pasti aku bisa bareng dia, gerutuku dalam hati. Tak lama, terdengar bunyi knalpot sepeda motor yang amat aku kenal. Itu dia!
“Udah nunggu lama ya?” ujarnya sambil membuka kaca helmnya. Aku hanya mengangguk, enggan berkomentar. Kurasa dia bisa membaca dari raut ekspresiku.
“Gih naik keburu hujan,” pintanya sambil menengok bangku di belakangnya.

Tak lama setelah itu motor melaju kencang ke tempat yang akan kita tuju diiringi butiran air yang mulai jatuh dari langit membasahi tanah. Aroma ini, aroma yang selalu mengingatkanku pada pertemuan pertamaku dengan orang yang memboncengku saat ini. Aroma khas tanah basah.

Cerpen Rain

Waktu itu, kami masih berusia sekitar dua belas tahun ya masih SMP gitu. Kami duduk di halte seberang sekolah untuk menunggu angkot yang biasa kami tumpangi, maklum rumah kami searah. Saat itu kami hanya berdua, dengan baju yang hampir basah kuyup karena guyuran hujan saat menyeberang jalan. Lucu sekali, kami sama-sama kikuk dan tak ada yang berani membuka percakapan. Padahal aku dan dia sekelas. Sampai sebuah kilatan menyambar dengan suara yang menggelegar. Aku hampir menangis karena takut bercampur kaget. Kemudian dia mendekatiku dan berkata, “Jangan takut ya, bentar lagi angkotnya datang kok terus kita pulang sama-sama.” Aku selalu tersenyum seperti saat ini jika mengingatnya.

CoffeeLate Café. Tidak ramai seperti biasanya, mungkin karena ini bukan malam minggu. Hanya beberapa pelanggan yang memenuhi sudut kafe. Kami duduk di salah satu pojok kafe yang bersebelahan dengan kaca, sengaja karena aku ingin melihat hujan. Bagiku, hujan selalu membuat pikiran jadi tenang. Rencananya tadi kami mau kesini bertiga, tapi Bagas masih ada rapat OSIS jadi aku sama dia disuruh kesini dulu, takutnya gak kebagian tempat. Maklum kafe ini selalu ramai anak sekolah, apalagi jam-jam pulang sekolah gini. Biasa lah, anak-anak jaman sekarang kan doyan banget nongkrong.

Secangkir coklat panas yang baru aku pesan mulai kusesap merambat ke kerongkongan dan menghangatkan tubuhku. Dia meneguk capucinno hangat yang tadi dipesannya dengan cepat, mungkin dia haus setelah mengemudi sepeda motor dengan kecepatan kilat. Ku pandangi lekuk wajah itu, mata yang condong ke dalam, garis-garis wajah yang tegas, hidung mancung yang semakin membuatnya terlihat gagah. Walaupun kulitnya tidak bisa di bilang putih tapi begitu bersih, membuat tiap pasang mata yang memandangnya rela menyempatkan mampir untuk menyapa wajahnya. Maskulin. Cowok ini memang punya kharisma tersendiri gak salah aku dulu pernah kepincut, batinku.
“Bagas jadi nyusul kita kesini kan?” ujarnya mengagetkanku.
“Eh. Iya, katanya habis rapat dia langsung kesini,” jawabku sedikit kaget.

Kami bertiga menjadi dekat setelah berpisah sekolah, dulu dia sahabat baiknya Bagas. Sedangkan aku, dari kecil sudah berteman dekat sama Bagas. Mungkin Bagas sudah seperti saudaraku sendiri. Dulu aku sempat tak mau mengenalnya lagi setelah dia menyatakan perasaannya padaku. Aku begitu shock pada saat itu. Kami masih dua belas tahun, bau kencur. Tapi seiring berjalannya waktu, kami bertiga malah akrab menjadi teman. Tentu saja setelah aku mengenalnya lebih dekat dan rasa itu tumbuh. Aku rasa kala itu, aku dan dirinya sama-sama suka tapi keadaan tak mungkin membuat aku dan dia menjadi kita. Ya, saat itu dia telah bersama perempuan lain yang jauh lebih cantik dari aku. Tapi, entahlah rasanya dia selalu ada untukku, begitu pula aku. Dia mengerti aku dan aku mengerti dia. Bukan kita, tapi aku dan dia.
“Kamu masih sama Marsha, Resh?” ujarnya.
“Ha?! Marsha? Kapan aku jadian sama Marsha, kamu pasti ngarang!” hampir aku tersedak mendengarnya. Kenapa harus Marsha lagi, Marsha lagi. Jelas-jelas Marsha itu saudara sepupuku, gila kali ya anak ini.
“Tapi kamu serasi kok sama Marsha. Mirip, kayak kakak adik” katanya sambil tersenyum nakal.
“Bil, kamu tau gak sih Marsha itu sepupu aku. Jadi wajar dong kalo aku mirip sama dia”, jawabku gemes. Udah berkali-kali aku ngomong ke Sabil kalo Marsha ini sepupuku, keras kepala banget sih.
“Ciyus (Serius)? Myapah (Demi apa)?” godanya sambil memasang mukannya seunyu badai.
“My Awwoh, Bil”, jawabku sambil tersenyum gemes yang artinya Demi Allah. Tiba-tiba tubuhku menggigil gara-gara AC kafe ini.
“Dingin ya, Resh? Pakai ini. Maaf ya, tadi aku jemputnya kelamaan sampai kita kehujanan”, ujarnya seraya memakaikan jaketnya padaku. Jaketnya berbahan parasut tebal, jadi dalamnya masih kering, lumayan buat menghangatkan badan. Tak enak hati, aku sudah merepotkan Sabil. Walaupun terlihat ada rasa menyesal dari ekspresi mukanya. Aku berusaha menolak, tapi dia malah makin kekeuh buat memakaikan jaketnya.

Tuhan, aku gak mau rasa itu tumbuh lagi. Aku udah berhasil move on dari Sabil, walaupun aku sekarang gak sama siapa-siapa. Rasanya sudah cukup penderitaanku, penantianku, dan semuanya. Aku gak mau jadi orang bodoh yang menanti sesuatu tak pasti. Aku juga gak mau, bikin diriku kecewa lagi. Cukup jangan lagi, Naresh gak bodoh, batinku.

Hampir satu jam setengah aku menghabiskan waktu bersama Sabil, aku takut rasa itu tumbuh kembali. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda kehadiran Bagas, mungkin dia sengaja. Atau mungkin hujan yang tak reda-reda membuatnya mengurungkan niat. Padahal dia yang ingin sekali kita betiga kumpul, eh malah dia yang gak datang. CTAL (Cukup Tau Aja Lah), Gas! Atau bisa jadi Bagas kecapaian terus lupa, beberapa pesan singkat sudah aku kirim tapi tak ada satupun yang terkirim. Begitu pula telepon dari Sabil juga gak ada yang nyambung, mungkin ponselnya mati.
“Pulang yuk, Bil. Kayaknya Bagas gak bakal datang”, pintaku pasrah yang langsung disetujui sama Sabil. Mumpung hujannya juga sudah reda.

Kami bergegas ke arah parkiran kafe, setelah Sabil menyalakan motornya. Motorpun melaju kencang, namun kemudian melambat gara-gara hujan kembali mengguyur. Kali ini lebih deras dari yang tadi, hingga Sabil meminggirkan motornya dan berhenti di depan pelataran toko yang sudah tutup.
“Neduh di sini dulu ya, aku lupa gak bawa mantel”, aku hanya mengagguk. Yah, habis mau gimana lagi kan kasihan Sabil kalo aku maksa pulang hujan-hujanan. Apalagi dia sudah tidak memakai jaket, hanya hem putih polos seragam sekolah yang membalut tubuhnya. Hujan tak juga reda, mungkin malah semakin deras. Kami duduk di bangku kayu. Hanya ada kami berdua di tempat itu. Walaupun sudah pakai jaket, tapi rasanya tetap dingin. Kepalaku mulai berat di tambah hidung yang mulai mampet. “Hasyuhh!” Sabil bersin, hidungnya mulai memerah. Aku merasa tak enak padanya.
“Kamu gak papa, Bil? Kamu aja ya yang pakai jaketmu”, kataku sambil melepaskan jaketnya.
“Gak usah lah, Resh. Ntar kamu sakit gara-gara kedinginan. Lihat tuh baju kamu udah basah kuyup kayak kucing kejebur selokan” ujarnya kemudian terkekeh sendiri.
“Tapi sekarang yang sakit kamu, tuh barusan bersin” kataku khawatir dan tak peduli dengan guyonannya.
“Gak kok aku gak papa, aku kan cowok pasti lebih kuat daripada kamu. Pakai lagi gih jaketnya”, bantahnya sambil memakaikan jaketnya kembali padaku. Tetap saja aku tak enak hati padanya. Gimana kalo Sabil sakit gara-gara aku? Bil, kamu baik banget ya jadi cowok. Aku harus balas kebaikanmu pakai apa? Pantas, aku dulu susah banget move on dari kamu. Walaupun kamu gak pernah jadi milikku, tapi keberadaanmu dulu sudah cukup buat aku senang. Makasih Tuhan, kau pernah pertemukan aku dengan manusia yang satu ini.

ADVERTISEMENT

Baru kali ini hujan membuatku resah, langit semakin gelap kala waktu menunjukkan pukul enam, suara adzan maghrib sayup-sayup terdengar saling bersautan. Pertanda waktu akan semakin larut. Kilatan petir bak cahaya blits kamera beberapa kali menyapa, tapi aku tak takut lagi hanya sedikit kaget. Sabil mengkhawatirkanku, ia takut orang tuaku cemas karena anak putrinya belum pulang dari pagi. “Tenang aja, Bil mereka lagi ke luar kota kok. Aku cuma berdua sama masku, paling dia juga belum pulang kuliah.”

Detik berubah menjadi menit yang kemudian tumbuh menjadi jam, lampu-lampu jalanan mulai menyala menerangi tiap jengkal rintikan hujan yang tak kunjung reda. Entah sampai kapan aku harus menghabiskan waktu dengan Sabil yang nyatanya membuatku nyaman. Aku tak begitu mempedulikannya dan lupa dengan semuanya, semua kenangan itu. Aku seperti baru mengenal Sabil. Banyak hal yang kami obrolkan, mulai pelajaran, ekskul, sampai pengalaman lucu.
“Inget gak, Resh dulu pas SMP aku pernah bilang suka ke kamu,” tanyanya dengan menatapku lekat-lekat. Seakan ingin menggali jawaban terjujur dari mataku. “Inget,” aku keceplosan. “Eh kok jadi ngomongin itu sih, males ah,” sergahku cepat sambil memalingkan muka, supaya tak memperpanjang obrolan tentang ini. Ngapain sih ngomongin ini, masa lalu jangan diungkit-ungkit lagi dong! Entah mengapa rasanya ada sesuatu yang berdesir di dalam hati ini. Tuhan, ini kenapa?
“Aku tau, Resh kamu juga pernah suka sama aku,” kata Sabil tanpa memandangku lagi. Kini pandangannya mengarah ke jalan raya seperti memikirkan sesuatu. Suatu beban yang telah lama ia pendam, mungkin aku juga merasakannya. “Aku nyaman Resh sama kamu, tapi aku sama kamu gak pernah jadi kita,” tambahnya. Aku terdiam, menelan ludah. Aku tau Sabil sudah punya cewek dan itulah motivasiku buat move on dari dia. Kebetulan sekali waktu itu, ada cowok yang lagi deketin aku di sekolah jadi aku bisa lupa dari Sabil. “Mungkin…, waktu gak ngijinin kita. Cukup aku dan kamu…” kata-kataku menggantung. Rasa enggan meneruskan, seperti ada sayatan kecil tapi cukup membuat luka lama terkuak kembali dalam dada ini. Memori lama, please jangan dibuka lagi. Apalagi rasa itu, jangan sampai muncul lagi. Aku tau, Sabil memang berarti buatku, aku banyak berubah gara-gara dia. Bahkan aku sudah gak takut lagi sama petir. Sabil juga yang bikin aku jadi lebih dewasa seperti saat ini, ia membuatku sadar tentang pentingnya memikirkan orang lain.
“Kamu udah gak takut petir lagi ya?” ujarnya sambil tersenyum manis. Itu semua berkat kamu, Bil. Kamu yang pernah bilang kalau aku gak perlu takut sama petir. Aku tak menjawab, hanya sebersit senyum kulontarkan padanya. “Pinter”, pujinya tulus sambil menatapku dan mengacak-acak rambutku membuatku luluh sekaligus super nyaman. “Kamu gak pernah berubah ya, Bil”, kataku polos. “Maksud kamu?” Sabil heran, tapi aku hanya terdiam kemudian memalingkan pandanganku darinya. Kamu gak pernah berubah, kamu tetep kayak dulu. Sabil yang selalu buat aku nyaman ada di sampingmu. Naresh, sadar Naresh dia sudah punya cewek dan ini bukan waktumu untuk jatuh ke lubang yang sama. Wake up, Naresh! He isn’t your mine. Beruntung banget, cewek yang telah mendapatkan kamu. Envy. Semoga dia gak bikin kamu kecewa ya, Bil. Just a stupid girl who makes you disappointed.
“Apa Tuhan lebih seneng kalo kita cuma jadi temen ya, Resh?” tanya Sabil lugu. “Entahlah, Bil. Tuhan selalu bisa menciptakan segala sesuatu itu indah pada waktunya”, kataku sambil tersenyum ke arah Sabil. Aku lelah berharap padamu, Bil. Sungguh aku telah lelah, mungkin move on adalah cara terakhirku sekaligus cara satu-satunya. Walaupun sebenarnya harapan itu masih ada, namun aku tak mau membangunkan dari tidur panjangnya. Dan sesuatu yang hilang itu mungkin akan kembali, namun belum tentu bisa aku terima lagi. Kalau memang aku dan kamu sama-sama suka kenapa tak jadi kita saja? Maybe friendship love is better than romantic love for us.

“Sialan lo, Gas!” makiku pada Bagas yang masih terkekeh. Sebenernya Bagas gak ikut rapat OSIS, itu cuma alasan aja biar aku sama Sabil bisa pergi berdua. “Sorry, sorry aku gak ada maksud kok”, bantahnya masih terkekeh. “Gak maksud apaan? Jelas-jelas lo sengaja gitu”, bentakku. Resek si Bagas. Sebel. Apa coba maksudnya? Apa dia pengen aku nyesek lagi, galau lagi gitu. Dia pasti tau kalau aku pernah ada rasa sama Sabil, dia kan gak buta. Sabil juga bisa aja cerita ke dia. Apa mereka mau mainin aku? Jadiin aku bahan tertawaan? Jahat banget sih. Katanya temen, kok tega banget.
“Sorry, Resh. Lo jangan marah sama Sabil ya, ini semua murni ide gue, dia juga gak tau apa-apa sama kayak lo. Gue ngerti lo pernah punya rasa ke Sabil begitu juga Sabil juga punya rasa ke lo, tapi itu dulu. Dan kalian gak pernah ada waktu berdua buat ngobrol. Gue gak bermaksut jahat kok. Gue pikir kalian butuh equality time”. Thanks a lot, Gas.

Cerpen Karangan: Asri Nur Aisyah
Facebook: http://www.facebook.com/asri.n.aisyah
Twitter: @asrinura

Cerpen Rain merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Siapa Dia Dalam Diam?

Oleh:
Aku masih tertegun di atas ranjang saat suara adzan berkumandang, “Assholatu khorunminannaum..” Sampai diulang kedua kali lafadz itu belum juga bergeming. suara adzan dari speaker Mushola yang hanya berjarak

Boyfriend and Best Friend

Oleh:
Namaku Marsya, aku terlahir dari keluarga yang kaya. Aku anak bungsu dari dua bersaudara. Kakakku bernama Carisya, ia sudah kuliah dan jarang pulang ke rumah. Orangtuaku sangat sibuk dengan

Surat Terakhir Penutup Cerita

Oleh:
Banyak yang bilang jika persahabatan itu mudah untuk dijaga, namun nyatanya tak semudah itu. Ini lah kisahku, menjalin persahabatan hanya dalam waktu 7 bulan. Kalian tau? Kisah persahabatan ini

Ingatan Dalam Renungan

Oleh:
Rintik hujan masih telihat menyelimuti gedung gedung sekolah di salah satu SMA NEGERI di Kabupaten Purworejo. Ku rasakan hawa sejuk, sembari mebolak-balik buku Antropologi di depanku yang sedang duduk

Pamit

Oleh:
Aku melirik arloji hitam yang melekat erat di pergelangan tangan kananku, sudah lebih dari satu jam namun langit belum berhenti menangis. Bahkan tangisannya bertambah deras seiring waktu berjalan. Kilatan

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

One response to “Rain”

  1. nataliana says:

    cerpennya bagus, ceritanya ngena banget…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *