Pelangi Terakhir

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Nasihat
Lolos moderasi pada: 10 September 2012

Sayup-sayup angin senja mengiringi tarian rumput liar di sela paving block yang menanti nasibnya di ujung gunting itu. Di ujung barat daun jendela setengah terbuka dengan tirai putih melambai halus, di dalamnya lelaki tua di atas kursi roda terbatuk-batuk memanggilku.

“Haikal.. Haikal.. kemari nang!” teriaknya pelan, suaranya berat sehingga beberapa saat aku tak mendengarnya barangkali juga akibat suara ribut dari gesekan sapu lidi.
“Haikal..”
PRAANGG
ku lempar sapuku begitu mendengar suara gaduh seperti sesuatu yang pecah, saraf-sarafku seakan bekerja lebih cepat menyampaikan kecemasan yang bergumul di hati naik ke pusat otak.

“Ayah.. ayah kenapa?” aku berlari masuk, kudapati ayah tengah mengatur napasnya, kuah sup tumpah ke lantai, mangkuknya pecah berantakan bersama serpihan kaca gelas yang ikut terjun. Kulihat tangan ayah berdarah, aku mendesah.
“maaf ayah, tadi Haikal ga denger!”
Ku raih peti obat, kubersihkan luka ayah dengan air hangat lalu diberi anti septic dan dibalut kasa. “baju ayah kotor, ayah mandi pake air hangat yaa?” tawarku.
“Haikal, apa kau tak kerepotan mengurusi ayah?” tanyanya ragu.
Aku tersenyum “tentu tidak dong yah, bukankah ayah juga merawatku sejak masih kecil?” kenangku sambil mendorong kursi roda menuju kamarnya, kamar tidur bernuansa klasik dan natural, dindingnya berlukiskan serat kayu jati, di sisi ranjang terdapat rak buku dari bambu di dalamnya berjejer puluhan bahkan mungkin mencapai ratusan buku science, agama, sosial-budaya hingga sastra membuat aku betah berlama-lama di sana, ditambah lagi lukisan besar air terjun di kaki gunung yang nampak hidup.
“ayah tunggu sebentar ya, Haikal bereskan dulu pecahan mangkuk, sekalian memanaskan air buat ayah mandi!” pesanku
“nanti kalau bi Tinah mau pulang, suruh berikan saja beling itu ke mang Udin tukang rongsok yang suka lewat itu”
“siap ayah” jawabku.
Aku beranjak keluar kamar, beling yang masih berceceran kukumpulkan dengan sapu dan dimasukan ke dalam kantong plastik.
‘cermin tak pernah berdusta yang indah topeng semata’
Baru saja ku bangkit berdiri, nada dering ponsel mengalihkan perhatian.
“Assalamu’alaikum!” suara di balik telepon
“wa’alaikumsalam, Andy ada apa?”
“besok kamu jadi ikut muhibah, kan?”
“jadi dong ndy, aku pengen banget ini pertama kalinya buat kita, bukan?”
“semangat banget, yaudah siap aja ya, besok kutunggu di tempat biasa, salamu’alaikum!”
“wa’alaikumsalam”

craash
“ouuw..” jeritku, beling yang tadi kubungkus kembali jatuh melukai punggung kakiku, tidak terlalu parah.

Selesai kumandikan ayah, aku menyuapinya makan. Ayah terkena strooke 5 tahun lalu, mungkin karena kelelahan mengajar, dulu ayah seorang dosen mikrobiologi di Undip, menjelang UN kelulusan SMA ayah memang bekerja lebih giat demi melunasi SPP agar aku bisa ikut UN. Entahlah kenapa ayah mengorbankan kesehatannya demi aku, katanya beliau bangga padaku, padahal aku merasa belum bisa melakukan sesuatu yang luar biasa buat ayah, hanya saja aku berusaha mewujudkan mimpi ayah, beliau ingin aku menjadi dokter.

Aku bersyukur pengorbananku tak sia-sia tentu saja doa ayah turut berperan, aku diterima di fakultas kedokteran UIN wali songo. Bagiku ayah adalah super dad, beliaulah yang membesarkanku dengan tangan yang cekatan menuangkan susu ke dalam botol, karena bunda telah menukar nyawanya dengan nyawaku saat aku dilahirkan.

“wah, ayah makannya lahap sekali” ujarku bahagia
“bagaimana tidak, ayah bangga melihatmu telah dewasa, kamu itu separuh nyawa ayah, kalau tak ada kamu ayah tak punya gairah hidup lagi, makanya ayah ridho tidak pernah menikah lagi sejak kau dilahirkan!” terangnya
“ahh, ayah pasti kesepian, ayah butuh teman bicara, justru Haikal mendukung ayah menikah lagi!”
“ayah sudah tua nang, sebentar lagi juga mati”
“huss, ayah ini bicara apa?!”
“uhuk..uhuk” ayah tersedak barangkali bentakanku tadi mengejutkannya.
Aku turun dari ranjang meraih cawan teh pahit yang mematung di atas meja.
“kakimu kenapa, nang?” tanya ayah terkejut melihat kakiku agak pincang.
“ini tadi kejatuhan beling”
“sudah diobati?” tanya ayah
“sudah, tapi masih pedih?” kataku
“kalau begitu, besok kamu gak boleh ikut muhibah IIMA di Malaysia ya nang, nanti sakitnya semakin parah!” larang ayah.
“hmm, Haikal tidak sakit ayah, cuma luka kecil besok juga sembuh” bantahku sembari mencium ayah dan berlalu, dari balik pintu ku dengar ayah mengeluh kecewa.

Surya semakin tenggelam, terbayar sudah kepenatan hari ini setelah kubasuh tubuhku dengan air hangat, kini saatnya pertempuran otak dimulai, beberapa mata kuliah membuatku merasa gila, entah karena memang otakku yang telat atau karena waktuku lebih banyak untuk ayah. Kuraih notebook dan mulai browsing, innerbody.com tampilan situs anatomi itu membuat otakku semakin blank, kedokteran memang tak bisa lepas dari anatomi dan fisiologi. Untunglah pekerjaan rumah sedikit terbantu oleh bi Tinah yang biasa menolongku, ia akan senang jika pulang diberi makanan atau sesekali beberapa sukat beras. Simbiosis mutualisme, begitulah aku menyebutnya.

Aku memang kerepotan mengurusi ayah, apalagi setelah mas Ardhi menikah dan bertugas di BKSDA Jogyakarta pekerjaanku bertambah 2 kali lipat. Aku merawat ayah tidak setelaten ayah merawatku, 2 tahun lalu di malam idul fitri ayah kolaps karena kelalaianku, mas Ardhi yang kukabari memakiku habis-habisan dan tak mengizinkan bertemu ayah selama di rumah sakit. Aku tak mau kejadian itu terulang kembali, tapi aku sangat ingin ikut muhibah mahasiswa kedokteran islam itu di Kuala lumpur untuk pertama kalinya bersama teman-teman seangkatan. Biar kupercayakan ayah pada perawat yang biasa membantuku.

***

ADVERTISEMENT

“assalamu’alaikum..” aku mengetuk pintu kamar ayah seba’da sholat subuh, beberapa kali belum ada jawaban, kubuka pintu sedikit, rupanya ayah masih khusu dengan do’anya, beberapa kali beliau menyebut namaku. “ayah..!” panggilku. Ayah menoleh, air mata tergenang di kelopak yang mulai keriput itu, aku menghampiri.
“Kamu ga usah ikut muhibah itu yaa!” pinta ayah.
“lha kenapa, bukannya seminggu lalu ayah sudah mengizinkan?”
“ayah gak mau jauh darimu, ayah takut saat kita jauh, ayah sudah tak punya waktu lagi!”
“ayah kok bicaranya gitu?” selidikku.
Ayah diam merenung, sorot matanya kosong menerawang jauh entah kemana. Ayah meletakan kepalaku ke dadanya, persis seperti ketika aku panas demam tinggi 20an tahun lalu, titik-titik air asin menyapa wajahku. “ayah kenapa menangis?” tanyaku.
“Haikal, kau yang membuat ayah masih bertahan hingga sekarang, ayah takut kau kenapa-kenapa, ayah mohon jangan ikut muhibah itu, satu kali ini saja, ayah janji setelah ini tak akan melarang kamu lagi” desaknya.
“tapi, ayah…”
“ayah mohon, sayang”
“ahh, kenapa sih ayah gak ngerti” bentak ku, aku beranjak pergi dan membanting pintu.
“Yaa Allah” lirih ayah

Aku persiapkan perjalananku ke Malaysia, biar untuk satu kali ini saja aku jadi anak durhaka pikirku, pagi itu aku pergi tanpa pamit.
Garuda sudah take off meninggalkan bandara Ahmad Yani. Aku duduk dekat jendela, di sampingku Andy sedang asik dengan musik Inteam favoritnya. Perjalanan terasa lama, aku teringat ayah, sudah makankah? sudah mandi? siapakah yang sudi membersihkan najis ayah?, pikiranku menerawang jauh, segumpal penyesalan datang menyiksaku, sementara kampung halamanku semakin jauh. Bagaimana bisa dengan mudahnya aku melakukan hal bodoh ini, apa yang harus kukatakan pada ayah saat pulang nanti.

Awan kelabu tipis sedikit meredam mentari yang hampir bertengger di puncak kepala saat Garuda landing di bandara Sepang, 3 buah bus jemputan dari KBRI telah menanti, satu persatu kami menaiki bus karena awan semakin tebal dan air langit mulai berjatuhan. Bus melaju kencang membelah kabut yang semakin pekat tak terkendali karena aspal yang licin membawanya pada posisi doyong dan…

SHIIRT… DHUAARR… ALLAHU AKBAR…
Bus terbanting menimbulkan dentuman keras, aku terdorong ke depan, melayang dan semakin ringan, perlahan semua menghilang yang kuingat hanya AYAH…

(HSC Medical Center)
“Alladziina idzaaa ashoobat.humm mushiibatun qooluuu innalillahi wainnaa ilaihi rooji’uun”

Sayup-sayup kudengar seseorang membaca al-Qur’an tilawahnya membuat hatiku tenang.
“ayah…ayah…” suaraku seperti tertahan, hawa dingin membuat seluruh tubuhku terasa kram, di manakah aku, apa aku masih hidup, apakah rantai-rantai Zabaniyah itu yang membuatku tak mampu bergerak sama sekali.
“Allah… Allah…” kucoba bersuara tapi lidahku tetap kelu.
“Haikal…” suara lembut menyapaku begitu kutemukan setitik cahaya, kucari asal suara itu. Seorang lelaki berbaju hitam tersenyum, aku menajamkan penglihatanku.
“mas Ardhi” sapaku lirih “di mana ayah..?”
“tenang dulu ya, ayah baik-baik saja di rumah, ini masih di Kuala lumpur” bisiknya mengembalikan memoriku.
“hmm, Andy gimana?” tanyaku.
Mas Ardhi tertawa kecil, “Andy tidak ikut bus yang kau tumpangi, bukan. Malah kemarin dia yang sibuk mengurusimu, mas baru sampai tadi pagi temenin ayah dulu, tadinya ayah maksa mau ikut kesini”
“sekarang Andy kemana”
“Andy sudah pulang acaranya batal”
“aku juga mau pulang” rengek ku.
Mas Ardhi diam beberapa saat, ia membantuku bangun, merengkuh dan membisikanku sesuatu…
“Yaa Allah…” aku tak bisa membendung air mataku, kecelakaan itu telah merenggut kaki kiriku, kini hanya tinggal setengah betis, kaki yang kemarin dicemaskan ayah karena luka kecil itu, aku ingin berteriak sekuat-kuatnya
“Ayah… maafkan akuu!!!”
“tabahkan hatimu, dik” mas Ardhi ikut menangis dan memperkuat dekapannya. Aku menangis seperti anak kecil, kecewa… kecewa pada diriku sendiri yang tak mau mendengar apa kata ayah yang memiliki ketajaman batin.

Sore itu juga mas Ardhi membawaku pulang meski belum pulih betul, karena aku yang terus meracau, mas Ardhi tak henti-henti menenangkanku yang terus memanggil-manggil ayah.
Hari mulai gelap ketika kursi rodaku memasuki beranda rumah, sepi… di mana ayah? Hanya Andy yang terlihat gelisah menunggu kami.

“mana ayah, mas?” tanyaku
Mas Ardhi bersimpuh di hadapanku.
“Haikal, maaf mas telah bohong, sebenarnya ayah kolaps begitu mendapat kabar kau kecelakaan, ayah memaksa ikut ke Kuala lumpur, tapi itu tidak mungkin, karena terus memaksa akhirnya mas kalah, dengan berat hati mas membawanya, belum sempat sampai di bandara, keadaan ayah semakin mengkhawatirkan, mas putar balik ke rumah sakit, tapi sayang… adik ku, Allah lebih berkuasa”
“ayah gimana sekarang, mas?” desak ku
“ayah tidak akan merasakan sakit lagi”
“maksudnya.. Ayah?” batinku tersentak tak percaya, mas Ardhi tertunduk dengan mata sembap.
“ayah sudah tidak ada” katanya lirih.

….”innalillahi wainnailaihi roji’uun”….

Aku tak percaya atas semua yang terjadi, aku menangis sejadi-jadinya, kalau saja aku mampu memenjarakan egoku mungkin semua ini tak kan terjadi, aku gagal memberikan pelangi untuk ayah, karena egoku pula muhibah berakhir musibah, musibah yang bertubi-tubi.

Aku memutar kursi rodaku, membelah pagi yang masih mengembun, meninggalkan gundukan tanah basah itu. Batinku tak henti-hentinya menjerit “Ayah… ku mohon maafkan akuu”

Cerpen Karangan: Siti Nurjannah
Facebook: facebook.com/nsitinurjannah

Cerpen Pelangi Terakhir merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Pesugihan

Oleh:
Asap yang meliuk-liuk di atas cangkir berisi kopi sudah mulai tak tampak, dan Pak Susilo belum menyentuh apalagi menyeruput kopinya. Sudah hampir lima belas menit cangkir berisi kopi itu

Dialog Dengan Lampu Merah

Oleh:
Pukul sebelas malam, kota yang biasa ramai kini sudah bisa dibilang sangat sepi. Hanya ada beberapa warung atau kios yang masih buka. Itu pun sudah tidak ada pelanggannya. Katanya,

Penghisap Cangklong

Oleh:
Duduk di bale-bale bambu, sambil menghisap pipa cangklong. Asapnya ia hembuskan ke udara. Ia pandangi lingkaran asapnya, seperti menari-nari dalam kehidupannya yang tidak jelas entah ke mana tujuan akhirnya.

Ketika Sebuah Mimpi Dipahami

Oleh:
Tidak kusangka, siang yang tadinya ingin kujadikan waktu bersantai untuk melepas lelah. Setelah seharian berolahraga seperti minggu biasanya, malah berubah menjadi momen paling mengasyikan daripada hanya sekedar melepas rasa

Janji Ku Adalah Harapan Ku

Oleh:
Pagi itu di bulan mei aku merasa harus pergi. Pergi ke mana, entahlah semuanya tidak melalui rencana yang matang dan aku memutuskan harus pergi. Mungkin aku kecewa lantaran apa

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *