Sepanjang Perjalanan

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Penyesalan
Lolos moderasi pada: 6 June 2017

Gee
Bobby sudah datang. Padahal dia mengatakan akan menjemput pukul 4 sore. Dia bukan lagi terlambat selama hitungan menit. Dia membuatku menunggu selama 2 jam! Sudah 2 tahun kami tidak bertemu, ternyata kebiasaannya datang terlambat sama sekali tidak berubah. Aku ingin membiarkannya menekan bel terlebih dulu sebelum keluar. Aku tak ingin ia menyangka jika aku menunggunya datang, walaupun aku memang menunggunya.

Laki-laki itu turun dari sedan putihnya. Terakhir kutahu, mobil itu berwarna merah. Apakah dia mengecatnya? Atau dia membeli mobil baru? Apakah dia mengganti warna mobil karena aku pernah mengatakan ingin memiliki mobil dengan warna putih? Apakah dia masih mengingatku? Kurasa tidak semanis itu. Freya jauh lebih memukau dibanding aku. Wajah cantik Freya yang menawan lebih mudah diingat dibanding wajahku yang biasa saja. Dia tak mungkin mengingatku, apalagi mengecat mobil hanya demi aku. Aku tidak pernah sespesial itu.

Bel sudah berbunyi. Aku berbalik dengan tergesa. Hampir saja aku melupakan tas kecilku. Tapi tunggu dulu. Kenapa aku begitu tergesa ingin bertemu dengannya? Apa aku menginginkan senyuman sinisnya karena tahu aku masih tertarik dengannya? Kurasa menangis selama 1 jam saat dia memutuskanku di depan Freya sudah cukup bagiku untuk membuang kenangan manis tentangnya. Aku hanya perlu menyapu ulang isi otakku hingga perasaan cintaku pun habis sama sekali.

Bel berbunyi untuk kedua kalinya. Aku menatap bayanganku sendiri di depan cermin. Kenapa aku justru melihat Freya di cermin itu? Ah, aku terlalu antusias saat ia mengajakku berbelanja hingga aku berpikir untuk membuatnya tertarik padaku lagi. Sekalipun aku berpenampilan seperti Freya, aku tetaplah Gee, gadis yang pernah dicampakkan oleh seorang Bobby. Kulepas bando dari rambutku dan kuganti dengan ikatan tinggi-tinggi. Bel sudah berbunyi kembali. Aku tak akan sempat mengganti dress selututku dengan kaos dan celana jins favoritku.

Bobby
Aku sudah memacu mobil secepat yang aku bisa. Dasar bengkel payah! Padahal aku sudah membayar di muka agar mobilku bisa kubawa keluar sebelum pukul 3. Aku sengaja bersiap lebih awal agar aku tidak terlambat. Benar kata Kak Adry, seharusnya aku mengecek mobil jauh-jauh hari. Demi hari ini, aku rela merenovasi sekaligus mengganti warna mobilku menjadi putih. Aku tampil rapi dengan Polo Shirt dan rompi yang pernah diberikan Gee sebagai kado ulang tahun. Aku berusaha terlihat baik di pertemuan pertama setelah 2 tahun tak saling bertemu.

Kuhela napas panjang saat aku keluar dari mobil. Aku sudah terlambat selama 2 jam. Semoga gadis tomboy itu tidak melemparku dengan sepatu boots. Dia memang sensitif soal waktu. Aku tak akan marah jika dia menghujatku dengan berbagai macam sumpah serapah dan makian. Entah kenapa, aku justru merindukan makian itu. Dia tak pernah berusaha terlihat manis di hadapanku. Baru kusadari jika Gee adalah gadis yang tak biasa.

Kupencet bel rumahnya dengan tangan bergetar. Dulu, dia selalu menungguku di ruang tamu. Dia siap dengan pukulan bertubi-tubi karena aku terlambat. Aku tak akan heran jika dia tertidur saat ini karena aku memang sudah sangat terlambat. Kupencet bel rumahnya kembali. Gee, masihkah kau menungguku? Setelah semua kebodohan yang aku lakukan kepadamu, masihkah kau mau menemui laki-laki bodoh ini?

Aku tercekat saat melihat penampilan Gee. Dia terlihat lain sekali. Dia terlihat seperti bukan Gee yang kukenal. Meskipun kuakui, dia sangat cantik. Gaun selututnya itu terlihat serasi dengan wajahnya yang bulat. Dan lagi, baru kali ini aku melihatnya berdandan. Selama aku berpacaran dengannya, dia tak pernah memakai bedak sekalipun. Gee yang sekarang, manis sekali. Rasanya ingin kurengkuh tubuh kurus itu dan kupeluknya erat. Aku juga menyukai Gee yang dulu. Gee dengan penampilan tomboy dan sikapnya yang blak-blakan. Aku tak akan menemukan gadis seperti Gee di luar sana. Aku baru menyadarinya.

“Berangkat sekarang?” Tanya Gee menyadarkan lamunanku.
Suaranya…. Aku benar-benar merindukannya. Apa tidak ada pukulan di wajahku sebagai hukuman keterlambatanku?
“Yuk.” Ajakku sambil berbalik.
Tuhan, tenangkanlah deguban jantungku ini. Kenapa Gee bisa secantik ini hanya dalam 2 tahun? Apakah 2 tahun adalah waktu yang lama untuk mengubah seseorang?

Gee
Dia tetap tampan. Dia tetap menawan. Sorotan matanya tetap menghipnotisku. Tapi aku harus ingat jika aku tak boleh terbuai. Sukakah ia melihat penampilanku? Atau ia ingin tertawa karena aku berpenampilan seperti kekasihnya? Atau karena dress yang kupakai tidak cocok dengan sepatu kets? Aku tidak punya sepatu berhak tinggi dan aku tahu jika aku tak akan bisa berjalan di atasnya. Aku memang tak akan pernah bisa menjadi cantik seperti Freya.

ADVERTISEMENT

“Berangkat sekarang?” Tanyaku berusaha mengalihkan pandangannya yang merendahkanku. Aku tak ingin ia membandingkanku dengan Freya. Seandainya saja ia tahu jika aku hampir mengganti pakaianku dengan yang lebih normal.
“Yuk.”
Huft! Cepat sekali dia memutar punggung. Begitukah caranya bersikap padaku? Aku ingat dia tak pernah sekalipun membiarkan Freya berjalan berjauhan darinya. Tangannya selalu tersampir di pundak Freya dan terkadang membelai kepalanya dengan lembut.

Apa yang kupikirkan? Kenapa aku membandingkan diriku sendiri dengan Freya?

Suasana di dalam mobil terasa canggung. Aku tahu ia mengajakku pergi hanya untuk membeli kado bagi sepupunya yang hendak menikah. Aku tidak mengerti kenapa ia memintaku menemaninya. Aku mendengar kabar hubungan Bobby dan Freya yang berakhir berbulan-bulan lalu. Aku tidak berusaha memastikannya. Aku tak peduli seperti apa hubungan mereka saat ini. Ahh! Kenapa aku terus-terusan memikirkan Freya? Hal itu hanya membuatku sakit hati.

Bobby
Aku ingin menahannya saat dia membuka knop pintu di sampingnya. Aku ingin membukakan pintu untuknya. Sayang, dia terlanjur menginjakkan kaki turun dari mobil. Sepertinya dia enggan sekali menatapku. Dia selalu menghindar saat aku berusaha menatapnya. Aku ingin melihat matanya tapi mata itu terus menunduk memperhatikan tangannya yang memainkan ploi-ploi pada gaunnya.

“Kau sudah makan?” Tanyaku menjejeri langkahnya.
Gee menggelengkan kepala. Ekor kuda di kepalanya terayun dengan lucu. Aku rindu menjambak ikatan rambutnya dan menjatuhkan rambutnya di punggung. Aku suka mengacak rambut panjangnya yang lurus hingga dia bersungut-sungut kesal. Aku mengulum senyum membayangkannya. Ternyata sikapku kekanakan sekali saat dulu bersamanya.
“Kita makan dulu?”
Gee menganggukkan kepalanya. Pelit bicara sekali Gee hari ini. Apakah sejak aku mencampakkannya, dia memang berubah sependiam ini? Jika benar, sepertinya seseorang harus memberiku hukuman lebih daripada ditinggalkan selingkuh oleh si anggun Freya.
“Kau mau spaghetti?” Tawarku meneliti menu makanan di depanku.
“Aku ingin asparagus saja.”
“Kau sedang diet?” Tanyaku spontan.
Gee melirikku sekilas lalu menggeleng. Aku tak berani bertanya lagi. Mood-nya terlihat semakin buruk setelahnya. Gee, maaf jika aku menyinggungmu.

Gee
Aku hanya berani menatapnya saat dia menoleh ke arah lain. Rasanya aku merasa sedih karena aku tak bisa memilikinya seperti dulu. Aku tidak percaya jika Bobby benar-benar putus dengan Freya. Jika Bobby rela meninggalkanku yang sudah akrab selama belasan tahun demi gadis itu, artinya dia memang sangat mencintai Freya. Jadi apa alasan Bobby berjalan di sebelahku sekarang? Apakah Freya sedang malas keluar rumah sedangkan kebutuhan Bobby sudah mendesak?

“Kau mau spaghetti?” Tanya Bobby membuyarkan lamunanku.
Mengagumkan sekali dia masih ingat makanan favoritku. Tapi aku sedang ingin makanan berkuah. Selain spaghetti, aku juga suka sup asparagus. Kabarnya restoran ini membuka menu sup asparagus dengan rasa lezat. Aku ingin mencobanya.
“Aku ingin asparagus saja.”
“Kau sedang diet?”
Pertanyaan apa itu? Aku tak pernah peduli dengan berat badanku sejak dulu. Baru saja aku dibuat tersanjung karena ia mengingat menu kesukaanku. Sepertinya ia terlalu lama bersanding dengan Freya. Pasti gadis lipstick itu ribut sepanjang hari membicarakan diet dan menolak makanan ini dan itu.

Ah, rasanya aku ingin segera pergi. Tapi aku ingin pergi bersamanya.

Bobby
Kesalahan besar aku membuat alasan mencari kado untuk pernikahan. Gee selalu memberi ide buruk soal kado. Dia orang yang tak terduga. Aku ingat saat dia memberi kado origami burung angsa dari kertas ulangan matematikanya yang mendapat nilai sempurna. Meskipun dia juga memberi jam tangan untuk teman “burung”nya, tapi aku setuju dengan Claudya bahwa Gee memang tak pandai memilih kado. Lebih gila lagi aku masih menyimpan origami itu sejak 10 tahun yang lalu. Kala itu, dia masih menjadi sahabatku. Menyimpan kado dari sahabat tentu saja bukan hal yang aneh.

Aku mengulum senyum saat Gee menunjuk-nunjuk hiasan dinding dengan gambar pasangan laki-laki dan perempuan. Benarkah aku harus memberikan benda itu untuk Claudia? Apakah dia akan menyukainya? Ah, aku yakin Claudia akan suka. Apapun yang aku suka, demikian pulalah dengan sepupuku yang cantik itu. Sudah pasti aku menyukai pilihan Gee, tidak ada alasan lain.

Gee
Ada patung panda lucu yang bergoyang saat disentuh. Sepertinya akan bagus jika benda itu tinggal di meja belajarku. Aku tahu ini kekanakan mengingat umurku sudah 20 tahun. Tapi apa masalahnya? Tidak ada larangan untuk gadis 20 tahun membeli patung panda yang bisa bergoyang saat disentuh. Segera kuminta seorang pelayan untuk membungkus benda itu. Aku tak berhenti tersenyum saat benda itu dibawa oleh pelayan sebagai pesananku. Aku akan mengingat pertemuanku hari ini dari benda seperti patung itu yang tak akan habis dimakan waktu. Seperti perasaan cintaku padanya

Ah, aku berkhayal terlalu tinggi lagi.

Bobby
Gee menguap. Aku masih enggan mengantarnya pulang. Aku ingin tetap bersamanya. Tapi dia sudah lelah. Aku beralasan mencari sepatu untuk bermain basket. Saat aku sudah mendapatkannya, aku berkilah ingin mencari model yang lain. Aku tahu Gee kesal dengan ulahku tapi dia tidak marah. Hanya bibir manyunnya saja yang dipamerkan padaku.

Terpaksa aku mengajaknya pergi setelah dia menguap untuk kesekian kalinya. Sedikit banyak, kami mulai bisa mengobrol kembali meskipun masih terkesan hati-hati dan sedikit canggung. Kami membicarakan masa kecil kami di Tanah Abang, tentang teman-teman lama, kabar orang tua masing-masing, tentang film terbaru, tentang basket yang kugeluti di kampus, tentang himpunan yang diikuti olehnya, bahkan aku sempat tertawa bersamanya.

Aku berpura meraih patung panda yang ada di pangkuannya. Kuamati sesaat dengan tangan kiri sementara tangan kanan tetap pada kemudi. Ketika kukembalikan padanya, kusentuh tangannya. Kehangatan terasa mengalir dari telapak tangan hingga hatiku.

Entah sengaja atau tidak, Gee melepaskan tangannya membuatku kecewa. Aku mengerti. Rasa sakit karena kucampakkan dahulu pasti membekas di hatinya. Rasanya aku ingin menghentikan mobil dan menenggelamkannya dalam ciuman panjang.

Kuhela napas panjang diam-diam. Aku mencoba mengulur waktu kebersamaan kami dengan berhenti di tepi jalan karena aku sibuk membalas pesan dari Claudia yang menanyakan keberadaanku.

“Kau mau datang ke pesta pernikahan Claudia bersamaku?” Ajakku hati-hati. Semoga dia tidak menduga macam-macam atau tersinggung.
“Aku berencana datang dengan Stevan juga pacar barunya.”
“Apa kau tidak ingin pergi bersamaku?”

Gee
Aku ingin pergi bersama Bobby. Selamanya. Kemanapun. Kapanpun. Aku menikmati saat-saat bersamanya. Bercanda. Berbagi cerita. Mengulang masa kecil. Aku juga menikmati saat-saat kebersamaan dengannya yang terulur karena dia harus menjawab pesan. Diam-diam kuperhatikan wajah yang sudah lama kurindukan. Sekalipun ia pernah meninggalkanku seperti barang tak berguna, tapi perasaan cintaku padanya tetap ada.

“Kau mau datang ke pesta pernikahan Claudia bersamaku?” Ajaknya hati-hati.
“Aku berencana datang dengan Stevan juga pacar barunya.” Jawabku jujur.
Sebelumnya, aku memang berencana datang dengan Stevan. Dia temanku dan Bobby saat di Tanah Abang. Stevan tidak ingat jalan menuju rumah Claudia karena itu dia mengajakku serta.
“Apa kau tidak ingin pergi bersamaku?” Tanyanya lagi.
“Kenapa?” Tanyaku dengan bodoh.

“Aku ingin bersamamu.” Ucap Bobby. Perlahan namun pasti, tangannya terulur meraih tangan Gee. Jantung Gee terasa berloncatan dengan kencang menembus dada.
“Aku juga masih menginginkan kebersamaan denganmu. Sudah 2 tahun aku menunggumu di ruang tamu. Aku ingin kau datang kepadaku seperti dulu. Tak apa sekalipun kita tidak mungkin bersatu seperti sepasang kekasih.”
“Aku menginginkanmu sebagai kekasih. Jika kau berkenan.” Sahut Bobby. Dikecupnya kening Gee dengan lembut. Ciuman itu turun ke bibir dan saling bertautan untuk waktu yang panjang.

Bobby
“Aku tidak tahu. Hanya ingin saja. Claudia akan heran jika kau tidak datang bersamaku padahal kita ada di kota yang sama.” Ucap Bobby.
Dalam hati, Bobby mengutuk dirinya sendiri. Dia sudah membayangkan terlalu jauh untuk mendapatkan Gee kembali. Tapi tentu saja itu tidak mungkin. Mereka baru saja berbaikan. Gee akan merasa dipermainkan jika Bobby tiba-tiba mengajaknya berpacaran kembali.

Gee
Aku tertawa dalam hati. Apa-apaan imaginasiku barusan? Mana mungkin Bobby mengajakku pergi atas keinginannya sendiri? Bahkan tanganku masih memeluk patung panda yang lucu, bukan meremas tangan Bobby. Tak akan ada ciuman di bibir seperti keinginanku. Itu sudah lama sekali, Bobby tak lagi tertarik padaku.

“Baiklah.” Ucapku akhirnya, sedikit kecewa.

Bobby tersenyum lalu meletakkan tangannya di tuas persneling. Detik-detik ketika dia menurunkan persneling hingga D terasa mendebarkan bagiku. Setidaknya aku bersyukur karena aku bisa menambah waktu kebersamaanku dengan laki-laki berambut coklat ini. Belum tentu akan ada kesempatan seperti ini lagi.

“Gee, terima kasih.” Ucap Bobby menahan tangan Gee yang hampir turun dari mobil.
Gee menoleh ke arah tangan Bobby yang menahan tangannya. Bobby segera sadar dengan sikapnya. Tangannya terlepas lalu terangkat sebagai isyarat tak akan menyentuh gadis itu lagi.

“Sama-sama. Kita berteman, bukan?”

Teman. Senyum Bobby menurun perlahan. Dibiarkannya Gee keluar dari mobil dan berlari kecil masuk ke dalam rumah. Bobby segera memacu mobilnya agak jauh dari rumah Gee lalu berhenti mendadak. Untunglah jalanan sedang sepi sehingga Bobby bisa berteriak sekencang-kencangnya dengan geram.

“Bodoh! Seharusnya aku mengatakan yang sebenarnya bahwa aku mencintainya, bukan sebagai teman!” Geram Bobby sambil memukulkan kepalanya di kemudi beberapa kali. “Dia memutuskanku sebelum aku mengatakan cinta.” Desis Bobby.

Gee yang baru masuk ke dalam rumah diam sejenak di balik pintu ruang tamu. Dia memastikan bahwa Bobby benar-benar sudah pergi dengan mobilnya. Sedetik kemudian ia terduduk di tempatnya sambil memeluk lutut.

“Seharusnya aku mengatakan lebih jelas, aku ingin memulai dari teman, bukan mengakhiri semuanya. Aku ingin kerumitan hubungan ini berakhir. Aku bodoh sekali. Sekarang aku benar-benar kehilangan dia.” Isak Gee.

Cerpen Karangan: Amarta Shandy
@amarta.shaddy

Cerpen Sepanjang Perjalanan merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Menurut Ramalan Itu

Oleh:
Seperti malam-malam sebelumnya, hujan dan gerah silih berganti berdatangan dan berlalu. Aku, masih dengan harapan tanpa batas. Terlebih lagi jika sedang menerawangkan sketsa mimpi dalam kamar, tentang masa depan

Cinta Lama Sang Rivalku

Oleh:
Awalnya aku tidak tahu siapa dia. Hingga suatu kejadian yang menyebalkan terjadi, dan membuatku mengenalnya. Namanya Athazuya, teman-temannya sering memanggilnya Zuya. Saat itu aku sedang mengunjungi perpustakaan untuk membaca

Ini Ceritaku

Oleh:
Di sini, aku akan menjemput pangeranku. Orang paling spesial di hidupku. Aku tidak akan menyia-nyiakannya lagi. Aku tidak ingin kehilangan dan terlambat lagi. Aku sudah berada di bandara sekarang.

Maafkan Aku

Oleh:
Bulir-bulir bening itu kembali menjelajahi lekuk pipi halusnya. Bermuara di kelopak mata, setetes jatuh yang lain pasti mengikuti juga. Seakan sepakat dengan duka, waktu berlagak penat lantas berputar perlahan.

Demam LGBT

Oleh:
Sederet tulisan di layar laptopku itu membuatku makin gelisah. Berita hari ini penuh dengan singkatan menakutkan yang menghantui kehidupanku akhir-akhir ini. Aku berusaha mengacuhkannya namun tidak semudah kelihatannya. Cemas

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *