Yang Tak Kan Terlupakan

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Islami (Religi), Cerpen Motivasi
Lolos moderasi pada: 10 July 2013

Sore ini, aku dan suamiku berdua menikmati langit sore yang cantik warnanya. Semilir angin di daerah Ujung Berung, tempat suamiku dan aku tinggal begitu sejukkan hati. Setiap sore, kami selalu mempunyai jadwal tersendiri, yaitu duduk di depan rumah sambil berbincang-bincang dan menatap langit sore. Sore ini, percakapan kami berupa rencana, rencana akan pemberian nama yang akan diberikan bayiku saat lahir nanti. Kata dokter yang memeriksa kandunganku, anak yang sedang di dalam perutku ini kembar, lelaki dan perempuan. Aku dan Suamiku merancang berbagai banyak nama, dari mulai nama sederhana yang sudah sering dipakai, sampai nama buatan kami sendiri, tawa, dan sesekali cubitan gemas aku berikan kepada suamiku. Sampai pada akhirnya, aku da suamiku terhenti di dua nama “Annisa dan Aldi”, pikiranku mengajakku berpetualang kepada peristiwa dua tahun yang lalu…

Hari itu Bandung begitu menyengat, padahal AC sudah memelukku dengan rela hati, namun tetap saja aku merasa kegerahan, apa mungkin aku bosan berdiam diri di apartemen selama berhari-hari, ingin rasanya aku pergi hari ini, namun entah mengapa aku tak mau, aku putuskan menghirup udara di luar, walaupun depan pintu kamar apartemenku, entahlah apa ini namanya, konyol atau apa, yang penting aku rasakan dunia luar. Mas-mas Cleaning Service setiap lima menit sekali berjalan didepanku, apartemen disini banyak penghuni, tapi aku belum mempunyai tetangga disini. Kemudian, acara tengak-tengok pun terhenti saat pikiranku mulai mengajakku usil berpikir, aku tiba-tiba mulai memikirkan tentang hidup, memikirkan tentang masa depan, padahal aktifitas seperti begini adalah hal yang paling kubenci. Kuhisap sebatang rok*k yang memang selalu pengertian kepadaku, hanya ini yang mampu menghangatkanku kala sendirian, hanya ini yang mampu buatku nyaman, bebas dan lepas.

Tiba-tiba ada seorang anak laki-laki melewat didepanku dengan seorang wanita cantik berjilbab, permisi kepadaku dan aku hanya mengangguk. Aku kaget, ternyata wanita seperti itu mau mengucapkan permisi kepadaku, sudah lama ku tak diperlakukan sesopan itu. Aku hanya pemuas dunia para lelaki hidung belang, arti hidup yang kutahu adalah sewa kamar, melayani untuk rupiah, salon, belanja, makan, dan hidup bebas tak terikat aturan. Sudah lima tahun aku jalani profesi seperti ini, semenjak aku yatim-piatu, semenjak aku hilang arah, semenjak aku mengenal dunia malam. Pantaskah apa yang kukerjakan disebut profesi? Ah, pikiran apa lagi yang menghadangku. Wanita berjilbab itu kembali melewat didepanku bersama anak lelakinya dia kembali permisi, sepertinya dia tetanggaku. Aku memang terhitung baru tinggal disini, aku rela keluarkan uang banyak untuk memilih tinggal di apartemen, disini lebih bebas, tak berdekatan dengan rumah penduduk seperti kosanku dulu, tempat tinggalku yang lama buatku tak tahan, disana aku selalu dihujani hujatan Ibu-Ibu pengajian yang selalu menyindirku setiap aku pergi keluar kosan, kebetulan kosanku memang dekat dengan masjid, kemudian Tukang warung yang tak pernah melayaniku, dia selalu tak mau menerima uangku, katanya uangku haram, dan masih banyak lagi orang-orang yang menyerangku lewat kata dan cacian. Aku penasaran akan wanita yang lewat barusan, aku menanti dia lewat kembali, aku masih beridiri di dekat pintu, sudah tiga puntung rok*k kuhabiskan untuk menunggu mereka, akhirnya mereka datang juga, saat mereka melewat kehadapanku, aku tak mau kehilangan kesempatan untuk menyapanya…

“Dari mana mba? Bulak balik terus kaya setrikaan?” aku mencoba bercanda sambil mencubit anak lelakinya yang kira-kira umurnya masih lima tahun.
“Eh, mba.. Maaf saya mengganggu ya? ini toh mba, Aldi anak saya dari tadi nyari tukang bonteng suri, biasanya kalau sore suka ada di sebrang jalan apartemen” wanita itu menatap mataku dengan pandangan yang begitu hangat, sudah lama aku tak merasakan pandangan sehangat itu selain pandangan Ibuku.
“Oh, adek suka bonteng suri?” aku mengarahkan mataku kepada Anak lelaki itu.

“Iya, tante.. Buat buka puasa nanti” Anak itu berbicara dengan matanya yang berbinar-binar. Dan saat aku mendengar kata “puasa”, duniaku seakan terhenti, aku langsung sembunyikan rok*k yang kujepit di sela jari-jariku ke belakang tubuhku. Aku hanya tersenyum, dan kemudian untuk tutupi gelagapanku aku menyudahi percakapanku.

Tubuhku serasa tak bernyawa, tulangku mendadak lemas, aku meleleh di sofa, keringatku menghujam, badanku mendadak gemetaran. Seakan mereka ingatkan aku kembali kepada Tuhan, Tuhan yang sudah lama aku lupakan, Tuhan yang sempat kukutuk karena mengambil kedua orang tuaku, Tuhan yang sudah lama aku abaikan. Hanya dengan kata-kata sederhana, tanpa mencaci mereka buat tubuhku bergetar. Aku segera mencuci muka, menatap kaca dengan begitu lama, kuelap mukaku dengan handuk, aku mencoba menutupi rambutku dengan handuk layaknya wanita berjilbab tadi, aku tertawa di depan kaca, ternyata aku cantik juga dengan rambut tertutup seperti ini, adeganku depan kaca terhenti saat ponselku berbunyi. Aku membuka pesan di ponselku, ternyata pesannya dari Clara.

“From : Clara”
Heh, Sinta.. kemana aja sih lu? Malem ini banyak eksmud yang bakal datang lho..

Aku melempar ponselku ke sofa, sudah lima hari memang aku tak kemana-mana. Aku seakan bingung akan hidupku, aku jenuh akan duniaku. Nafasku terengah-engah, mengingat semua cacian yang kini panaskan telingaku. Aku menjambak rambutku sendiri, tubuhku merunduk di bawah sofa, aku menangis tanpa alasan, kemudian termenung sampai suara bel hentikan lamunanku. Aku bertanya dalam hati, siapa yang bertamu? Tak ada temanku yang tahu aku sekarang tinggal disini. Aku menghapus air mataku, berkaca dan membereskan eyelinerku yang berantakan, sambil bingung siapa tamuku, aku sudah di depan pintu, dan membuka pintu, sampai pintuku terbuka, aku kaget. Ternyata wanita itu dan anak lelakinya tepat di depan wajahku.

“Mbak, !” Suara wanita itu buyarkan ketidakpercayaanku
“Ooo.. iya mbak. Ada apa? Silahkan masuk!”
Wanita itu masuk apartemenku bersama anak lelakinya, tak ada komentar tentang keadaan apartemenku yang berantakan, tak ada keluhan puntung rok*k yang berserakan dimana-mana. Mereka duduk di sofa dan aku sibuk membereskan meja.

ADVERTISEMENT

“Sudahlah, mbak.. Tak usa diberesi. Kita disini mau ngerepotin loh mbak” wanita itu tersenyum. Aku masih sibuk membereskan meja… wanita itu berbicara lagi “Ini lho Mbak, katanya Aldi pengen buka puasa disini, katanya pengen liat gambar yang nempel di lengan mbak”.. Aku terperanjat kemudian menutupi lenganku dengan handuk, aku memang kebetulan sedang memakai tanktop dan hotpants, tak pernah aku merasa semalu ini sebelumnya.
“A..a duh ini tattoo temporer ko Mba, beberapa hari lagi juga hilang” aku gelagapan menjelaskan, tapi sepertinya tak menjadi persoalan.
“Aku suka gambar kelinci tante” Aldi tersenyum-senyum sambil menunjuk lenganku yang sudah kututupi dengan handuk.
“Ayo, kita sekarang buka puasa, ayo mbak kita makan”
“Tapi… aku tidak puasa” Aku menjawab dengan penuh hati-hati.

Mereka tak hiraukan perkataanku, aku duduk di samping mereka yang begitu terlihat bahagia. Hatiku tak karuan saat Aldi dan wanita itu membaca doa berbuka puasa, ah sudah lama sekali aku tak mendengar do’a seperti ini. Terlihat mereka lahap sekali, dan aku pun ikut makan. Sehabis makan, perempuan itu memberesi piring-piring sekaligus membersihkan asbak rok*k yang belum sempat kucuci, dia pun menata botol-botol minumanku bekas semalam, wanita itu terlihat begitu cekatan.
“Hmmm, ngomong-ngmong nama mbak siapa?”
“Annisa mbak” dia menjawab sambil selalu tersenyum
“Kamu cuma tinggal berdua sama Aldi?” aku bertanya hati-hati
“Iya, mbak. Tapi nanti lebaran, kami sekeluarga ngumpul lagi”
“Oh, suaminya lagi di luar kota?”
Annisa hanya mengangguk.
“Mba, botol ini di buang saja ya? Isinya sudah kosong? Annisa mengacungkan botol minumanku yang memang sudah kosong.
“O.. ooo iya” aku tertegun, serasa ditampar. Padahal kan Annisa tidak memakiku, dia tidak menghinaku. Kemudian, Aldi menarik ujung handuk yang masih menutupi lenganku.
“Tante, cantik ya pake baju panjang heheh.. Tapi gambar kelincinya ga keliatan” dengan polosnya Aldi membuatku malu sekaligus ingin menangis sekaligus ingin tertawa.
“Makasih ganteng, besok Tante pake baju panjang yang ada gambar kelincinya gimana?”
“Iya, tante hehehe”
Kemudian Annisa datang memegang bahuku “Aduh, maaf ya Mbak! Aldi memang suka aneh-aneh” Annisa kemudian menghampiri Aldi sambil mengusap rambutnya…
“Mba, kita pamit ya. Maaf kita uda ngerecokin” Annisa bersalaman dan mencium kedua pipiku.
“Oh, iya ko buru-buru sih? Besok main lagi ya”
“Iya, mba.. Sekarang kita tarawihan dulu ya Mbak, kayaknya sudah hampir telat” Annisa kembali lagi tersenyum.
Aku hanya mengangguk, aku pun mengantar mereka sampai pintu, terlihat Aldi melambaikan tangan.. Aku tersenyum sambil menutup pintu dengan perlahan. Aku tak menyangka, punya tetangga seperti itu. Kurebahkan tubuhku di sofa, aku langsung teringat kepada janjiku kepada Aldi, aku segera berlari menuju lemari mencari baju panjang bergambar kelinci, kudapatkan juga. Segera kurapikan lemariku dengan memindahkan baju-baju panjang ke bagian atas, setelah beres aku mengeluarkan rok*k dari saku celanaku, namun niat merok*k ku pun batal, aku buang semuanya ke tong sampah. Malam ini tak ada rok*k, dan tak ada mabuk-mabukan.

Malam itu, aku membuka internet mencari kembali bagaimana tata cara shalat, jujur ada beberapa do’a yang tidak bisa aku ingat kembali malah sepertinya hampir semuanya, seperti do’a iftitah, do’a rukuk, do’a sujud, dll, aku hanya lancar mengingat saat niat saja. Aku pelajari kembali do’a-do’a yang sempat aku lupakan, dua jam lebih aku di depan komputer, mencoba menghapal kembali, walaupun tersendat-sendat setidaknya sekarang aku sepertinya sudah bisa shalat, aku harus sering-sering sepertinya membaca do’a-do’a ini supaya tidak lupa saat shalat, tapi sepertinya semakin aku rajin shalat do’a-do’aya pasti akan lancar sendirinya, aku cekikikan sendiri kemudian menangis tiba-tiba. Aku teringat kembali saat dulu berebut mukena dengan Mbak Lastri, Aku ingin memakai mukena Mbak Lastri, karena waktu itu Mbak Lastri yang duluan hafal bacaan shalat, jadi Ibu membelikan mukena baru untuk Mbak Lastri, kita sama-sama menangis saat itu, kemudian Ibu dengan baiknya membelikanku juga mukena baru, warnanya persis seperti Mbak Lastri, warna biru. Pikiranku menjadi kesana-kemari, aku ingat kembali kepada Mbak Lastri, kakakku yang mengusirku pergi dari rumah tiga tahun yang lalu karena tak menerima keadaanku. Aku ambruk seketika di meja komputer, kemudian telingaku tiba-tiba peka mendengar suara tertawa Aldi, aku berlari keluar pintu, dan menyapa mereka.
“Hai Aldi, Mbak Annisa”
“Hai juga Kakak kelinci” Aldi menjawab sambil tertawa dan berlari ke arahku. Annisa hanya tersenyum sambil mengikuti Aldi dari belakang.
“Aldi, baru pulang tarawih ya?” Aku mencubit pipinya yang berkulit putih dan chubby
Dia hanya tersenyum, matanya bermain dengan binarnya. Aku pun terus mencubiti pipinya, namun kegemesanku berubah jadi kekagetan, saat Aldi menarik tanganku sehingga posisi tubuhku menjadi seperti sedang jongkok, kemudian Aldi menutupi tanganku yang telanjang dengan sarung mungilnya.
“Al… Aldi kenapa sayang? Ko Mbak Sintanya dijongkokin gitu?” Annisa pun sepertinya ikut kaget melihat Aldi seperti itu.
“Tadi ada abang cleaning service lewat, aku ga mau gambar kelinci di tangan ka Sinta kelihatan, nanti direbut, itu kan punya aku, jadi aku tutupin pake sarung ehhehee”
Kami semua tertawa, namun bersama tawaku, aku merasa malu, aku tahu selama ini aku selalu berpenampilan seperti ini, layaknya tak ada mata di dunia ini aku bebas bertingkah semauku. Aku hanya diam, dan tersenyum. Mereka pun berlalu aku kembali lagi masuk pintu, kulihat ponsel, isinya semua pesan dari Clara dan beberapa tamu langgananku, mereka semua memintaku datang malam ini, namun aku memang sudah tak mau menemui mereka lagi, aku ingin sesuatu yang baru dalam diriku namun entah apa.

Rasanya ingin sekali aku berubah, tapi perubahanku selalu terhalang kata-kata dari mereka yang dulu mencaciku, mereka selalu berkata “Perempuan itu selalu dilihat dari masa lalunya”, jika aku berubah namun mereka masih memandang sosok di masa laluku, untuk apa aku berubah, kemudian wajah Annisa dan Aldi hadir, seakan mendukung perubahanku. Aku memutuskan diri untuk ke kamar, mengambil toner untuk menghapus perlahan tattoo temporer yang melekat di tanganku. Aku harus mulai belajar shalat, dan tattoo ini harus hilang karena seingatku dulu, kalau shalat ga boleh ada yang beginian. Warnanya jadi lumayan samar, buatku sedikit tenang, aku pun memutuskan tidur.

Pukul dua pagi, aku terbangun karena ada suara yang mengetuk pintuku, terdengar suaranya lembut sekali, sepertinya suara Annisa. Aku segera berlari membuka pintu, dan ternyata benar itu adalah Annisa.
“Annisa, ada apa?”
“Aduh, maaf mbak menggangguu, saya mau minta tolong lagi, Aldi ga mau bangun sahur, katanya sahurnya pengen ditemenin Kakak Kelinci”
Aku tertawa, dan pergi bersama Annisa menuju kamar apartemen mereka, namun setelah beberapa langkah pergi, aku tersadar akan sesuatu, aku belum mengganti baju, dengan baju pesanan Aldi. Aku pun meminta Annisa untuk pergi duluan, nanti aku menyusul, aku pun mengganti baju dengan baju permintaan Aldi, Aldi tahu saja kalau baju bergambar kelinci ini adalah baju yang memang berlengan panjang, tidak terbuka, seperti yang biasanya aku pakai, aku pun kemudian menyeusaikan dnegn memakai celana panjang, inikah awal perubahanku? Entahlah. Aku pun pergi menuju tempat Annisa.. Disana aku sudah melihat Annisa menyiapkan makanan untuk Aldi, Annisa mengerdipkan mata, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku segera menghampiri Aldi yang masih meringkuk di sofa.
“Aldi, Kakak kelinci datang” sahutku kepadanya
Aldi kemudian terbangun, dan tertawa dia dengan semangat berlari ke ruang makan walaupun kantuknya tak bisa disembunyikan, terhirup udara segar di ruangan ini, wangi pandan, bunga rose, dan wangi-wangi yang begitu segar, ruangannya terasa begitu damai.
“Mbak, ko ruangannya wangi banget? Pake pengharum apa?”
“Adek saya suka ngasih penghrum seperti ini, setiap dia kemari, gak tahu apa namanya, tapi saya juga suka” Annisa tersenyum
Memang sedikit aneh, tapi ya sudahlah. Aku hanya melihat Aldi dan Annisa bercengkrama. Setelah makan sahur mereka selesai, Aldi kembali lagi meringkuk di sofa, sepertinya memang dia ingin bermain denganku, tapi sepertinya Aldi memang sangat mengantuk. Aku melihat Annisa sedang merapikan ruang makan, kemudian aku menghampiri Annisa”
“Mbak, hmm boleh nanya-nanya ga?”
“Ada, apa mbak?”
“Ko, mbak ga ilfeel kenal sama saya? Saya kan…”
“Aduh, mbak.. kenapa ngomong begitu piye toh? terlihat jidat Annisa berkerut dan matanya berkaca-kaca.
“Maaf, mbak. Ga ada maksud apa-apa, cuma dulu di tempat, orang-orang berjilbab kaya Mbak, ga ada satupun yang deketin saya, tiap hari saya jadi bahan omongan, tapi Mbak ko beda? Atau jangan-jangan mba belum tahu siapa saya”
Annisa tersenyum, kemudian memegang tanganku, layaknya Mbak lastri kakakku yang selalu memegang tanganku, kalau dulu aku dimarahi Ibu.
“Saya disini masih butuh teman, saya butuh Mbak buat jadi teman saya, soal orang-orang terdahulu, mungkin orang-orang terdahulu di sekitar mbak, mereka begitu karena peduli, walaupun ya mungkin cara mereka bikin mbak sakit hati, saya ga pernah mandang dengan siapa saya berteman, saya yakin setiap orang punya nilai lebih tersendiri, dengan jalannya tersendiri, dan perubahan menuju lebih baik di waktu yang tersendiri”

Aku tertegun mendengar penjelasan Annisa yang begitu harukan hatiku….

“Mbak, saya ini malu sebenernya, sama Aldi semalam, saya sadar, saya memang kotor, saya memang tidak pernah menjaga aurat”
“Untuk masalah kotor ataupun suci, setiap orang pasti punya kekotorannya masing-masing, noda walaupun setitik, manusia pasti ada, wong manusia kan ga sempurna, jangankan mbak yang mungkin merasa begitu, kyai ataupun ulama tertinggi saja, masih merasa banyak dosa, jangan berkecil hati mbak, saya pun sama selalu merasa berdosa”
“Terus sekarang saya harus gimna mbak?”
“Hehhehe, ko malah nanya ke saya, saya gak bisa jawab apa-apa, tapi saya yakin hati kecil mbak udah punya rancangan untuk apa yang harus mba lakukan”
“Saya memang ingin berubah, tapi setelah saya berubah nanti, semua orang akan memandang saya sama, apalagi orang-orang yang di sekitar saya dulu selalu bilang “perempuan terlihat di masa lalunya, apapun yang terjadi di masa lalunya, itu menjadi nilai utama apakah perempuan itu baik atau tidak untuk dijadikan seorang istri”, saya takut, perubahan saya sia-sia”..
Annisa menatap mataku semakin dalam dan menyakinkanku…

“Tak ada perubahan yang sia-sia, itu hanya pendapat banyak orang yang mungkin niatnya supaya semua perempuan menjaga kesucian dan kehormatannya, tapi tenang saja, Allah kan maha pengasih maha penyanyang dia selalu membagi rezeki kepada setiap umatnya tak peduli hitam atau putih, tak memandang masa lalu pula, aplagi untuk umat-Nya yang mau berubah”
“terus saya di mata orang-orang bgaimana?”
“Jangan terpaku pada omongan orang, sekalipun kamu masih di hujat, mereka hanya peduli, mereka hanya bingung mau berkomunikasi dengan mbak harus seperti apa, jangan takut berubah, mbak! Allah maha penyanyang, dia Maha cinta, jangan takut sendirian, ketika mbak nanti sudah berubah, insya allah akan ada dunia baru mbak, yang indah sekali”

Terdengar suara adzan shubuh, Annisa segera pamit untuk shalat shubuh, aku masih terdiam di runag tamu Annisa, melihat Annisa membangunkan Aldi untuk shalat shubuh, aku jadi ingat ketika Ibu membangunkanku untuk shalat shubuh sama seperti Aldi, susah sekali, tapi Annisa begitu sabar menuntun Aldi, mengantar Aldi sampai kamar mandi, sampai mereka shalat berjamaah pun aku melihat, ingin rasanya aku shalat juga, tapi apakah aku masih pantas shalat?
Bahuku ditepuk, oleh sentuhan dingin menyejukkan..
“Mbak, ini mukenanya, kalau kebesaran, ini penitinya?”
Aku hanya mengangguk, kemudian aku wudhu, dengan gerakan-gerakan yang kuingat, sampai akhirnya aku meilihat tata cara berwudhu menempel di kamar mandi, sepertinya ini untuk Aldi, kubuka keran kembali, sambil melihat gambar yang menempel, kemudian di luar kamar mandi, ada bacaan doa setelah wudhu, ..aku masuk ruangan shalat, wangi parfum ruangan Annisa terhirup kembali, segar, walaupun parfumnya sedikit buatku merinding, serasa wangi melati, wangi melatinya begitu menusuk. Aku pun shalat shubuh dengan bacaan yang kuhapalkan semalam dengan terbata-bata, setelah selesai, aku berdoa memohon kepada Allah, untuk diberi ampunan.

Mungkin memang tak semudah itu, aku bertobat, tapi aku yakin Allah maha pengertian. Tak ada maksudku untuk begitu menggampangkan proses tobatku, tapi biarlah ini berjalan perlahan. Ku lihat Aldi tertidur kembali, Annisa sedang menonton tv.
“Mbak, bbm sudah naik ya? Untung saya ga pernah pake kendaraan apapun jadi ya ga ngerasa rugi”
“Wah, mbak nih hehehe, emang mbak ga benci sama pemerintah?”
“Ngpain saya benci, toh kalau saya jadi mereka belum tentu saya bisa lebih baik dari mereka, mereka kepilih ya pasti pintar, masalah mereka menyalahgunakan kekuasaan itu effect, saya yakin setiap orang pernah menyalahgunakan kekuasaannya, dalam hal kecil mengeluh saat berangkat kerja, membiarkan kerjaan menumpuk, dll”
“Eh, mbak ko pinter banget?”
“Ah, Mbak bisa saja”
Kemudian aku putuskan untuk berbicara tentang jati diriku yang sebenarnya. Aku takut Annisa belum mengetahui, makanya dia mau menerimaku menjadi temannya.

“Mbak sekarang saya mau memberi tahu siapa saya, saya adalah seorang pelac*r, mba yakin masih mau temenan sama saya?” Aku kemudian menangis memeluk sofa…
“Siapapun kamu, apapun kamu, kamu tetap hambaNya, perlu ditemani, perlu bimbingan, perlu perhatian, rugi sekali saya tidak mau bertemenan sama mbak, Allah sangat membenci orang yang punya sifat sombong”

Aku menangis dipelukan Annisa, aku begitu sesenggukan menangis, tak terasa pagi sudah hadir, matahari sudah tampakkan diri, aku tertidur di sofa setelah menangis subuh tadi.

“Mbak, sudah bangun? Hari ini saya mau belanja buat kepentingan lebaran, dua hari lagi Lebaran, saya belum siapin apa-apa, hehehee. Mbak mau ikut?”

Aku tertegun, sudah hampir lebaran ternyata, aku berarti belum puasa satupun, aku terdiam kemudian berharap tahun depan, semoga Allah memberikan kesempatan puasa kepadaku, aku sepertinya harus sering-sering puasa senin-kamis nanti, sekalian mengganti puasaku yang bolong sudah beberapa tahun ini.
“Mbak, aku mau ikut ya.. sudah lama ga keluar nih, sekarang saya siap-siap dulu”

Aku segera keluar, dan bersiap-siap. Sampai akhirnya, Annisa dan Aldi sudah menunggu di depan pintu, kami bertiga pergi bertiga, menikmati Kota Bandung bersama-sama. Akhirnya kita sampai di salah satu mall di Bandung, dan sialnya aku bertemu dengan Clara, teman seprofesiku dulu sekaligus teman SMA yang mengenalkanku kepada dunia hitam. Aku mencoba untuk tidak salah tingkah, beruntung Annisa dan Aldi sudah jalan duluan.

“Sinta, lu kemana aja sih?”
“Aku sekarang udah ga mau main lagi ah, doain ya aku mau berubah”
“Hahhhaha, Sinta! Lu sakit?”
“Seriusan Clara!”
“Ah, ya udah ah… Gue mau ketemuan nih, lu kalau uda sehat, sms gue” Clara pergi mencium kedua pipiku.

Memang sedikit sebal, Clara tidak percaya akan diriku saat ini, tapi tak apa-apalah, aku segera menyusul Annisa dan Aldi. Terlihat Annisa sedang memilih baju, berupa gamis berwarna ungu, kuhampiri mereka.

“Mbak, udah ketemu bajunya?”
“Saya gak akan beli baju, tapi saya punya baju bagus buat mbak, ayo coba dipakai”

Aku mencoba memakai gamis pilihan Annisa, sekaligus kerudungnya yang sudah dipilihkan Annisa. Aku merasa begitu terharu melihat penampilanku sendiri. Aku pun setuju akan gamis pilihan Annisa. Kamipun pergi berbelanja lagi, untuk kebutuhan lebaran nanti. Mall begitu ramai dan padat, sampai-sampai aku merasa begitu kepanasan. Hampir saja aku membeli minum, tapi aku harus menghormati mereka, aku tahan rasa hausku.

Sampai pada akhirnya, kami semua sampai di apartemen kembali. Aku bertekad, di puasa terakhir besok, aku akan mencoba untuk puasa. Keesokan harinya, aku mendatangi Annisa dan Aldi, terlihat Aldi sedang memilih-milih bajunya, baju koko warna putih menjadi pilihannya, Annisa sedang merapikan rumah, aku pun membantu Annisa yang sedang merapikan rumah.

“Mbak, aku bantuin ya”
“Boleh, mbak hehhee, oya besok lebaran, adik saya datang kesini. Dia datang dari Jakarta, namanya Gustaf”

Mendengar nama “Gustaf”, aku jadi ingat akan tamuku tiga bulan yang lalu, Gustaf adalah tamu teraneh yang pernah memesanku, dia tak mau menyentuhku, walaupun katanya dia sudah perhatikanku sejak lama, dan tempat tinggalku dengannya tidak begitu jauh, malam itu Gustaf mengajakku untuk berubah, dan dia rela hati menjadi suamiku, dia berjanji akan menemaniku dan menuntunku, tapi aku menolaknya, kemudian mengusirnya pergi. Tapi Gustaf yang kukenal, kan tinggal di Bandung, bukan Jakarta. Aku pun segera alihkan pikiranku dan melanjutkan kembali membantu Annisa.

“Mbak, besok disini rame dong?”
“Kayaknya cuma adik saya saja disini, saya harus menjemput suami saya, setelah shalat ied, saya harus menjemputnya, Mbak”
Aku hanya mengangguk, mungkin Annisa akan menjemput suaminya di Bandara, atau terminal, atau mungkin stasiun.
“Mau saya antar ga Mbak?”
“Oh, tidak usah Mbak, saya dan Aldi saja” Annisa menyakinkanku.

Bertemu dengan adzan maghrib, aku bersyukur bisa berpuasa, walaupun berpuasa di hari terakhir saja, aku dan mereka menikmati buka puasa bersama. Senang sekali, aku dan mereka bisa shalat bersama, menikmati malam takbiran bersama, rasanya indah sekali. Terlihat pemandangan warna-warni kembang api, kami nikmati bersama, walaupun lihat dari jendela. Sampai akhirnya aku mengantuk dan memutuskan untuk pulang.

Keesokannya, aku siap-siap untuk shalat Ied, dan saat aku mengetuk pintu kamar apartemen Annisa, tak ada yang membuka, mungkin mereka sudah pergi duluan, tapi tak biasanya mereka lewat tak terdengar suaranya ke depan kamarku. Ah, ya sudah aku berangkat ke masjid, hari itu aku merasa sesuatu yang beda dari dalam diriku, entah karena penampilanku yang berjilbab, atau mungkin entahlah,.

Sehabis shalat Ied, mataku mencari sosok Annisa dan Aldi, namun di Masjid pun, aku tak bisa temukan Annisa ataupun Aldi. Sesampainya aku di apartemen, aku melihat sosok lelaki yang sedang membuka kunci kamar apartemen Annisa, siapakah dia? tak mungkin maling serapih itu, pakai baju koko pula, sepertinya dia juga baru selesai shalat Ied, sajadahnya diselendangkan dibahunya, aku belum melihat mukanya. Aku hampiri dan bertanya.

“Assallamuallaikum, kamu siapa ya? ko ada di depan kamar Annisa?”

Kemudian aku tertegun, dan kaget saat melihat wajahnya, lelaki itu pun sama. Dia adalah Gustaf, yang malam itu ingin mengajakku menikah, aku kaget dan malu, dia pun sepertinya kaget akan perubahanku..

“Mbak Sinta?”
“Gustaf? hmmm mohon maaf lahir bathin ya, kamu adiknya mba Annisa ya?”
“Oh, iya Mbak.. Ko mbak tahu?”
“Iyalah, kemarin Annisa nyeritain kamu”
“Kemarin?” terlihat muka Gustaf menjadi memucat
“Iya, kemarin! Dunia sempit ya, lewat Mbak Annisa, kita bertemu kembali. Sekarang Mba Annisa dan Aldi pasti sedang diperjalanan menjemput suaminya”

Gustaf tak berbicara sepatah katapun, dia seperti tak menanggapi apa yang aku bicarakan, pintu kamar apartemennya sudah Gustaf buka, dan aku diajaknya masuk ke dalam, pintu apartemen dibiarkan terbuka, aku tahu tak baik berdua-duaan di ruangan tertutup. Kulihat ruangan ini begitu berantakan, berdebu, padahal baru saja kemarin ruangan ini dibereskan oleh Annisa, malahan aku pun ikut membantu. Akhirnya, Gustaf bercerita tentang yang sebenarnya terjadi, bahwa Annisa dan Aldi sudah meninggal tiga bulan yang lalu, karena tabrakan saat akan menuju rumah sakit, karena saat itu juga suaminya sedang kritis, aku tak percaya akan apa yang Gustaf katakan, aku berharap ini mimpi, mereka yang sudah mengubahku, mereka yang mau menerimaku, mereka cahaya hidupku, ternyata mereka sudah tiada.. Gustaf menyakinkanku, dan memberiku semangat, aku masih tak percaya, sosok mereka itu tidak ada.

Tak terasa adzan Maghrib sudah terdengar, aku mengelus kandunganku, aku memandang mata Gustaf, tak percaya kini Gustaf, yang sempat ku usir, ada setia mendampingiku, menjadi imanku, dengan rela, tanpa memandang masa laluku, Gustaf menggandeng tanganku, mengajakku untuk segera mengambil air wudhu. Matahari terbenam kemudian digantikan oleh terbitnya bulan yang menyinari malam kami. Annisa dan Aldi adalah sosok yang tak kan terlupakan. Betul kata Annisa dulu, hidup baruku pasti indah, dan terbukti sekarang, hidupku begitu indah dan damai. Hubunganku dengan Mbak Lastri pun kembali membaik, Terimakasih Ya Allah, Engkau berikanku jalan untuk berubah, walaupun lewat caraMu, yang tak bisa kupahami, lewat mereka yang sudah tiada, Annisa dan Aldi mereka benar-benar tak kan pernah terlupakan 🙂

“Allahummagh-firlii khothii-atii, wa jahlii, wa isrofii fii amrii, wa maa anta a’lamu bihi minni. Allahummagh-firlii jiddi wa hazlii, wa khotho-i wa ‘amdii, wa kullu dzalika ‘indii”
(Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kejahilanku, sikapku yang melampaui batas dalam urusanku dan segala hal yang Engkau lebih mengetahui hal itu dari diriku. Ya Allah, ampunilah aku, kesalahan yang kuperbuat tatkala serius maupun saat bercanda dan ampunilah pula kesalahanku saat aku tidak sengaja maupn sengaja, ampunilah segala kesalahan yang kulakukan)
(HR. Bukhari no. 6398 dan Muslim no. 2719)

Cerpen Karangan: Ambiwwa Novita
Blog: Ambiwwgerimis.blogspot.com

Twitter : @Anovita07
Facebook : Ambiwwa Novita
Blog : Ambiwwgerimis.blogspot.com

Happy Reading 🙂

Cerpen Yang Tak Kan Terlupakan merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Haji Mahmur, Bukan Haji Mabrur

Oleh:
“Allahu Akbar, Allahu Akbar” kumandang azan dzuhur siang hari ini. Ini adalah hari minggu, seakan-akan orang-orang menganggap bahwa hari minggu adalah hari untuk meliburkan diri. Begitu pula dengan Pak

Si Bunga Merah

Oleh:
“Nyonya Hana, Anda sudah siap?” tanya seorang kru pada wanita berambut panjang bergelombang, Kim Hana, yang duduk menyandar di kursi rias. Wanita itu duduk tegak seraya mengangguk, memberitahu ia

Panggil Aku Pahlawan Penghianat

Oleh:
Ribuan, bahkan jutaan manusia memenuhi Taman Pemakaman Umum (TPU) di Desa Sukamenang. Sebuah Desa yang berada di ujung Negeri Indonesia. Puluhan orang yang menggotong keranda kematian, saling silang untuk

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *