Membunuh Rasa

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Bahasa Jawa, Cerpen Cinta Segitiga
Lolos moderasi pada: 8 August 2015

Sudah satu tahun lebih aku berada di pondok ini. Dan tentunya sudah satu tahun lebih aku tidak pulang ke rumah. Karena sejak aku tinggal di sini aku belum pernah pulang. Aku pergi meninggalkan rumah sejak Kang Khoirun menikah dengan Nawang. Waktu itu aku pergi dari rumah setelah menyaksikan akad nikah Kang Khoirun. Aku pergi kesini tidak pamit dengan keluarga. Aku hanya berpesan kepada Bambang kalau Bapak atau Mak tanya aku suruh bilang kalau aku dapat panggilan pekerjaan.

Di sini Aku berusaha mengusir kekangenanku kepada Emak, Bapak, Kang Khoirun dan lebih-lebih kepada Nawang dengan mengikuti kegiatan di pondok pesantren Madu Kawan ini. Untung, di sini banyak aktifitas yang aku jalani sehingga aku mampu melewati hari-hariku walau bayang-bayang mereka selalu hadir di setiap hariku. Lebih-lebih bayang-bayang Nawang yang telah menyatu dalam hidupku. Nawang selalu hadir dalam mimpiku.

“Kang, kita harus bisa melupakan masa lalu. Kita harus menghadapi masa sekarang, lebih-lebih masa yang akan datang. Nasib, jodoh, rejeki dan mati itu sudah diatur oleh Allah sebelum manusia diciptakan. Jadi, Kang Salman jangan berlarut-larut dalam kesedihan,” kata Kang Syaiful ketika aku menceritakan semua masalahku kepadanya satu bulan setelah aku tinggal di pondok ini. Ketika aku masih larut dalam masalah-masalahku.”Berarti, Nawang itu tidak jodoh Kang Salman” dia menambahkan.

Kata-kata yang keluar dari mulut ketua pondok itulah yang selalu aku pegang untuk menapaki hidupku di pondok pesantren ini. Walau kenyataannya sangat berat dan sulit, tidak semudah yang diucapkan Kang Saiful. Kang Saiful bisa berkata seperti itu mungkin karena tidak pernah mengalami yang aku rasakan selama ini.

Kalau dia merasakan apa yang aku alami pasti dia juga akan bersikap seperti apa yang aku lakukan meski dia sudah hapal 30 juz Al-quran. Karena dia juga manusia biasa yang punya suka dan duka, yang punya bahagia dan derita. Tetapi, dengan aku tumpahkan semua permasalahanku kepada dia setidak-tidaknya beban hidupku dapat aku bagi kepada orang lain, dan dapat terkurangi.

Satu bulan yang lalu Bapak masuk rumah sakit. Beliau dirawat selama sepuluh hari. Meski begitu, aku tidak pulang melihat keadaan Bapak. Padahal antara Pati dan Madura hanya butuh waktu satu hari. Biarlah aku dianggap oleh orang-orang desaku kalau aku ini anak yang tidak berbakti. Yang penting aku tidak punya niatan seperti itu. Sebagai gantinya, aku di sini selalu berdoa dan membacakan surat Fatihah untuk kesembuhan Bapak. Aku juga berdoa untuk Mak dan saudara-saudaraku. Agar mereka selalu dilindungi oleh Allah, diberi kesehatan, keselamatan dan dikabulkan segala keinginan.

Saat Bapak dirawat di rumah sakit, aku ditelpon Kakak-Kakakku tapi aku tidak pernah menghiraukan. Ketika aku mendengar suara Mak di dalam telpon aku tidak sengaja meneteskan air mata. Aku betul-betul kangen pada orangtua yang telah membesarkan aku. Orangtua yang telah menumpahkan semua air susunya kepada anak-anaknya yang bisa meraih mimpi-mimpinya.

“Le, ayahmu masuk rumah sakit!” suara Mak ditelpon.
“Sakit apa, Mak?” jawabku sedikit terkejut karena Bapak tidak pernah sakit.

Bapak orangnya luar biasa. Bapak tidak pernah minum pil atau jamu. Kalau badannya pegal-pegal cukup minta pijit saja. Dia paling enggan kalau pergi ke dokter. Kalau diajak ke dokter lebih baik dia minta dibelikan sate itu sudah cukup.

“Kamu pulang yo, Le! Ibu juga kangen karo kamu”
“Ya, Mak! Salman juga kangen dengan, Mak!” jawabku untuk menyenangkan hatinya.

ADVERTISEMENT

Mak tidak menau masalahku. Mengapa wanita tua itu harus menanggung hukumanku? Ah biarlah, aku tetap pada keputusanku. Aku belum pulang kalau belum mampu melupakan Nawang dan sebelum aku dapat menemukan pengganti Nawang.

“Mak, maafkan aku. Maafkan anakmu yang belum bisa menuruti keinginanmu. Aku belum bisa pulang karena di rumah ada menantumu yang menjadi bagian dari hidupku. Aku tidak mau menghancurkan semuanya. Biarlah aku yang hancur asalkan Nawang dan Kang Khoirun bahagia.”

Sampai saat ini aku belum pulang. Ketika Bapak pulang dari rumah sakit aku juga diberi tahu. Aku hanya dapat mengucapkan syukur alhamdullillah kepada Allah kalau Bapak masih diberi kesembuhan. Aku juga disuruh pulang oleh keluargaku karena bapak kangen kepada aku. Aku belum siap pulang. Aku belum siap bertemu dengan Nawang. Aku belum bisa membuang perasaanku terhadap Nawang yang sudah tertanam dalam hati dan jiwaku.

Hati dan jiwa Nawang sudah bercampur dalam urat nadiku. Napas Nawang sudah masuk dalam rongga jantungku. Sehingga aku sulit melupakannya. Sehingga aku sulit menikam perasaanku kepada wanita yang kini menjadi Kakak iparku. Aku akui dia sangat berarti bagiku. “Nawang…”

Mungkin, Bapaklah orang yang paling bersalah dalam hal ini. Kenapa dia melamar Nawang untuk Kakakku bukan untuk aku. Padahal aku dan Nawang saling menyayangi. Aku dan Nawang saling mengasihi. Aku masih teringat betul kata-kata Nawang waktu aku dan dia berada di Pulau Panjang, sebuah pulau kecil yang terletak dekat dengan Pantai Kartini, Jepara. Dia begitu tulus mengucap janji setia kepadaku.

“Kang, Adek tidak pernah menikah kalau bukan dengan Kakang. Adek sangat cinta, kepada Kakang. Adek sangat sayang, kepada Kakang. Percayalah Kang. Hati Adek hanya untuk Kang Salman seorang. Hati Adek tidak akan Adek berikannya kepada yang lain.”

Begitu lugu dan polos ucapan-ucapan Nawang kepadaku. Dia juga menatapku dengan dalam dan mencoba meyakinkan aku kalau dia betul-betul mencintaiku. Ucapan-ucapan Nawang menyentuh perasaanku. Aku tahu dia berkata tulus. Aku tahu dia berkata dengan jujur, kata-kata yang diucapkan keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.

“Terima kasih Nawang. Aku juga sayang kepadamu. Aku juga cinta kepadamu,” balasku dengan menatap gadis cantik itu. Aku juga tulus mengucapkan kalimat itu. Karena gadis yang aku cinta hanya dia, Nawang Sri Hastuti putra Bapak Jamil, seorang petani kaya di desaku.

Begitu indah hari-hariku saat masih bersama Nawang. Aku sering mengajak jalan-jalan. Terkadang ia juga yang minta mengajakku jalan-jalan. Bahkan ibunya juga menyuruh jalan-jalan kalau ada hari libur. Baik libur semesteran maupun libur akhir tahun. Ibu Nawang memang kompak. Dia selalu mengharap aku untuk dolan-dolan ke rumahnya. Tetapi aku belum berani. Karena waktu itu aku baru lulus Aliyah. Aku belum siap nikah. Aku masih kepengen kuliah. Nawang pun waktu itu baru lulus Mts. Aku sepakat dengan Nawang kalau dia ngelanjutin sekolahnya sedang aku kuliah. Nanti kalau sudah selesai kuliah aku akan melamarnya.

Tetapi saat Nawang lulus aliyah Bapak ke rumah Nawang. Dia bermaksud meminang Nawang. Terang saja orangtua Nawang mengiyakan. Karena mereka menganggap Bapak meminang Nawang untuk aku. Saat itu Nawang juga ditanyai, ia senyum-senyum dan setuju. Ibu Nawang juga berbesar hati karena dia kira aku menepati janjiku. Dia kira Bapak ke rumah petani kaya itu yang menyuruh aku. Mereka sepakat pernikahan di percepat.

Nawang waktu itu mengabari aku kalau bapak ke rumahnya. Begitu gembira hati Nawang begitu juga aku. Kemudian aku putuskan untuk pulang ke rumah. Waktu itu aku masih di Jogja, meskipun aku sudah lulus kuliah, aku masih mondok di sana. Setelah aku sampai rumah aku bertanya kepada Bapak apa betul ia pergi ke rumah Pak Jamil meminang Nawang. Ternyata betul. Tapi, Bapak meminang Nawang untuk Kang Khoirun bukan untuk aku. Nawang belum tahu kalau pinangan itu untuk Kakakku bukan untuk aku.

Begitu hancur hatiku ketika aku tahu bahwa Kakakku akan menikah dengan Nawang. Urat nadiku terasa beku. Tenggorokan tersekat. Dadaku bagaikan tertimpa batu sebesar gunung. Nawang hatinya juga hancur. Dia betul-betul tidak mau menikah dengan Kakakku. Selain tidak kenal, dia juga tidak cinta Kakakku.

Namun, Nawang tidak mampu melawan semua itu. Orangtua Nawang juga tidak mampu membatalkan pernikahan itu. Nawang mengajakku lari dari rumah. Dia ingin pergi jauh dari rumah. Dia ingin hidup bersamaku. Dia ingin membangun rumah tangga bersamaku. Tetapi, perbuatan itu tidak mungkin aku lakukan. Aku tidak mau merusak tatanan. Aku tidak mau menghancurkan hidup Kakakku. Karena Kang Khoirun sangat cinta Nawang.

“Man!” Suara Kang Khoirun di dalam telepon.
“Iya, kak! Ada apa?”
“Akhirnya, Kakak akan jadi bapak, Man. Aku akan jadi bapak man! Hehehe”
“Alhamdulillah” Kataku dengan menahan napas dan perasaan.

“Bak Yu mu Nawang hamil tiga bulan. Besok kamu pulang, yo! Karena, besok Sabtu Kakak akan mengadakan selamatan. Awas kalau tidak pulang!”
“Iya, kak! Insyaallah Salman akan pulang.”

Masih banyak lagi yang dibicarakan kang Khoirun di dalam telepon tentang dirinya, tentang keluarga dan tentang Nawang. Tetapi, Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya sebagai pendengar yang setia. Kabar dari Kang Khoirun membuat aku bahagia dan juga membuat aku sakit hati. Bahagia karena Kakak akan punya anak dan aku akan punya keponakan. Yang membuat aku sakit hati Nawang sudah melupakan janjinya. Tetapi, aku belum bisa memutuskan akan pulang atau tidak.

Cerpen Karangan: Sutopo Saryani
Facebook: Pak Guru Top

nama : S topo saryani
alamat: sinoman, RT 02/RW 02 Pati jawa Tengah
pekerjaan: Guru YPRU Guyangan Trangkil Pati Jawa Tengah

Cerpen Membunuh Rasa merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Hadiah Indah Untuk Rere

Oleh:
Malam ini, angin berhembus cukup kencang membuat pohon pohon bergoyang, menerbangkan jauh dedaunan yang jatuh menerpa tanah, membuat siapapun takkan mau keluar di malam yang begitu dingin ini. Dinginnya

Pasar Minggu

Oleh:
Minggu pagi aku akan menemui Riani di pasar Minggu. Aku hendak menyatakan perasaanku pada Riani. Sebelum berangkat, aku berulang kali berkaca untuk melihat apakah aku sudah tampan? Apakah penampilanku

Dari Dulu Sampai Sekarang

Oleh:
Aku sangat bingung. Pikiranku entah pergi kemana. Kesedihan yang selalu aku rasakan. “tapi.., kamu jangan marah ya padaku ataupun pada kembaranmu si Tiara ya” “Sebenarnya ada apa sih? Alfi!

Rasa ini

Oleh:
Kupandangi dua buah gantungan kunci darimu. Fotoku terpampang di situ dan ada fotomu dibaliknya. “Terimakasih ya sayang gantungan kuncinya”. Satu kecupan mesra mendarat di keningku. Damai yang aku rasakan.

Tiada cinta

Oleh:
Lona dia adalah gadis tinggi, berkulit kuning langsat, dan juga pakaian yang dikenakan adalah hijab dengan balutan kain-kain modern yang indah, dia adalah idaman bagi para kaum adam, lelaki

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *