Peri Cintaku

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Islami, Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Kisah Nyata
Lolos moderasi pada: 7 May 2013

Akhirnya sampai juga, batinku. Dalam perjalanan tadi sungguh menyebalkan. Seperti biasa, di tengah senja jalanan ibu kota pasti ramai dipadati pengunjung. Pengunjungnya bukan sembarang pengunjung, tapi pengunjung yang antri karena kemacetan yang sudah menjadi santapan sehari-hari di ibu kota negara kita.

Di saat macet seperti itulah kesabaran kita di uji. Tapi tadi adalah saat-saat di mana kesabaran benar-benar di uji. Masalah kemacetan sudah tiap hari kudapatkan, tapi sialnya tadi selain harus berdesak-desakan dijalanan dengan kendaraan lain aku juga harus kedinginan karena di guyur lebatnya hujan yang sudah beberapa bulan terakhir bermukim di Jakarta. Tadi aku berniat hendak berteduh dulu, tapi tidak ada pilihan. Aku sudah terlanjur berada di tengah antrian padat pengunjung. Mau bagaimana lagi, mungkin hari ini hari sial bagiku. Di tambah lagi rembesan air hujan yang tergenang di jalanan menambah kejengkelanku. cipratan air dari kendaraan lain sudah mengenai pakaianku. Uhh menyebalkan!! Ini akibat drainase yang dipenuhi oleh sampah-sampah akibat ulah manusia yang tak bertanggung jawab, yang seenaknya membuang sampah tidak tepat pada tempatnya.

Di titik inilah kelemahan pemerintah di ibu kota, terlalu lamban menangani masalah sampah dan kemacetan yang semakin parah. Sadarlah wahai pemerintah, ini hanya secercil dari sebagian kecil wilayah di indonesia, bagaimana bila seisi negara keadaanya semua sama dengan kondisi ibukotanya?. Bila itu terjadi, aku yakin indonesia bukan lagi negara yang merdeka, tetapi negara yang menderita akibat ulah warga dan pemerintahnya sendiri.

Setelah mandi, segera aku ke meja riasku. Tiba-tiba pandanganku tertumbuk di sebuah bingkai foto kecil berukuran 3R yang terpajang di dinding kamarku. Foto itu sudah hampir 5 tahun terpajang di situ. Foto kenangan terakhirku bersama Artha di bawah pohon. Dewa Agung Artha Radheva Krisvana, adalah sosok cowok yang pernah mengisi hatiku selama 2 tahun lamanya. Masih terekam kuat di memoryku masa-masa indah ketika kisah itu masih terjalin. Berawal dari kecelakaan yang tak ia sengaja hingga membuat aku mengenal dirinya.

Waktu itu aku tengah berdiam diri di bawah pohon dekat taman sekolah. Aku hanya duduk memandangi kupu-kupu yang sedang hinggap di salah satu kuncup bunga mawar yang sedang mekar. Tapi tiba-tiba.. Bruukk!! Sesuatu menimpa kepalaku. Aku tak tahu jelas bagaimana kejadiannya. Yang pasti ketika aku sadar, ku lihat aku telah berbaring di tempat tidur dalam ruang UKS dan seorang cowok yang berdiri disebelahku.
“Maaf ya, tadi aku gak sengaja” ucap cowok itu padaku.
“Emang tadi kenapa?” aku masih heran mengapa aku bisa berada di atas tempat tidur di UKS ini. Yang aku ingat tadi aku sedang bersantai di bawah pohon tapi tiba-tiba kepalaku terasa sakit dan semuanya menjadi gelap.
“Tadi aku gak sengaja nimpuk kamu dengan bola basket, tapi beneran itu gak sengaja soalnya tadi aku lagi latihan trus bolanya terpantul ke arah kamu.” Jelas cowok itu panjang lebar.
“Gak apa-apa kok”
“Aku Artha, kamu siapa?” cowok yang ternyata bernama Artha itu menyodorkan tangannya.
“Aku Aifa” aku menjabat tangannya.
Dan percakapanpun terjadi. Dari situ aku tahu bahwa Artha itu anggota tim basket sekolah dan dia duduk di kelas XI 2, kelas yang bertetanggaan dengan kelasku yaitu XI 1.

Lama kami berbincang tak terasa bunyi bel tanda berakhirnya jam istirahat terdengar. Akhirnya aku dan Artha berjalan ke kelas masing-masing yang hanya dipisahkan tembok. Setelah kejadian itu aku dan artha menjadi sering bertemu, misalnya ketika jam istirahat atau jam pulang. Kadang kami berjalan bersama menuju gerbang sekolah saat jam pulang. Atau saat jam istirahat tiba, kami berjalan bersama menuju kantin. Artha itu sifatnya humoris, dia juga baik. Tak jarang lesung pipiku dia buat semakin dalam akibat tertawa karena guyonannya yang unik dan lucu.

Secara fisikly, sosok Artha banyak yang mengagumi terutama siswi-siswi di sekolahan. Tak jarang aku minder bila ketika aku berjalan bersamanya, tiba-tiba seluruh fansnya datang mengerumuni dia. Aku sudah terlalu sering jengkel akibat peristiwa itu.

Anehnya, sejak sebulan mengenal Artha aku merasa ada yang ganjil. Tiap dekat dengan dia, aku merasa nyaman. Tiap dia tersenyum padaku, aku merasa senang. Tiap malam aku juga selalu memikirkan dia. Inikah yang namanya cinta? Atau ini hanya sekedar suka? Aku tak tahu pasti, yang aku tahu bahwa ini adalah suatu perasaan yang tak jelas. Perasaan yang lebih dari sekedar kedekatan sahabat. Perasaan antara cinta dan suka. Kubiarkan waktu yang menjawabnya saja. Dan saat itupun tiba. Waktu itu jam istirahat sedang berlangsung, Artha datang ke kelasku dan mengaajakku berjalan-jalan mengitari sekolah. Kemudian, di tengah perjalanan itu, dia berhenti dan duduk di bawah pohon.
“Fa, istirahat dulu yuk. Capek nih.” Ucap Artha mengajakku bersantai di bawah pohon itu.
“Fa, masih ingat gak waktu aku gak sengaja nimpuk kamu pake bola basket dulu?”
Aku mengangguk dan tersenyum mengingat kejadian yang lalu itu.
“Fa, di bawah pohon yang mempertemukan kita ini, aku pengen bilang sesuatu. Ehm.. Fa, mau gak kamu jadi pacar aku?”
Dan akupun membisu. Tuhan, badanku gemetaran, badan ini rasanya panas dingin mendengar Artha mengatakan hal itu. Dan dunia rasanya beku. Aku tak tahu harus bagaimana. Entah apa yang aku rasa. Perasaan antara kaget, senang, grogi, ah semuanya bercampur.
“Agh, enghh… aa.. aku..”
Bibirku rasanya terkunci. Apa yang harus kujawabkan? Jujur saja aku masih merasa ragu untuk menerimanya. Aku takut akan menjadi bahan pembicaraan semua siswi satu sekolahan.
“Fa.. Diammu aku artikan sebagai kata Iya. Aku sayang kamu Fa” kecupan mendarat di pipiku. Artha kemudian berlari meninggalkanku dengan senyuman manisnya.
Aku tetap saja terdiam dibuatnya. Di tambah lagi dia baru saja memberiku kecupan di pipi yang begitu membuat duniaku dingin. Oh tuhan, aku sudah yakin, perasaan yang sebelumnya aku tak tahu apa, kini aku mengetahuinya. Ini adalah cinta. Yaa ini benar cinta. Akhirnya rasaku terbalas juga.

Kini hari-hari yang ku lalui menjadi lebih berwarna sejak kehadiran Artha dalam hidupku. Bahagia. Tentu itu yang aku rasa. Tuhan sungguh aku berterima kasih padamu. Sampai suatu hari, tepatnya hari minggu. Aku mengajak Artha untuk melihat pemandangan di puncak. Sayang, aku harus mendengar penolakan dari Artha.
“Sayang maaf ya bukannya aku nolak atau gak mau pergi sama kamu, tapi aku harus ke Pura” ucapnya melalui telephone.
Aku jadi kaget. Pura? Mau apa dia di pura hari minggu?
“Lho mau apa di pura?”
“Aduh maaf sayang, aku lupa bilangin kamu dari awal kalau aku umat hindu. Ya udah ya sayang, aku lagi buru-buru”
Telephone telah dia tutup. Sedang aku masih terdiam. Pikiranku belum dapat mencerna perkataan Artha barusan. Hindu? Ternyata Artha itu umat hindu? Entah mengapa perkataannya itu bagai petir yang menyambar hatiku di pagi hari. Entah mengapa kata-kata itu membuatku terus terdiam, padahal pikiranku saja kosong melompong. Aku tak tahu apa yang sedang kupikirkan. Pikiranku rasanya tak jelas.

Dua tahun sudah hubunganku berjalan dengan Artha. Suatu sore, hari itu adalah sehari sebelum pengumuman kelulusan, aku dan Artha datang ke sekolah sekedar untuk jalan-jalan. Artha mengajakku duduk di bawah pohon tempat di mana aku dan ia bertemu sekaligus tempat aku dan dia menjalin cinta. Sambil berfoto-foto kami juga ngobrol-ngobrol.
“Fa, kamu bisa gak melihatku dekat dengan cewek lain?” pertanyaan itu tiba-tiba ia lontarkan, dan membuat aku terkaget. Aku diam, tak tahu harus menjawab apa.
“Fa, kamu marah ya aku nanya gitu? Sayang maaf”
Aku kemudian tersenyum dan berkata “Sayang, kalau cewek itu bisa buat kamu bahagia, kenapa tidak? Aku malah senang melihatmu bahagia walau bukan denganku”
“Fa, misalnya kita gak jodoh gimana?” lagi-lagi pertanyaan yang sebenarnya mengiris hatiku kembali dia katakan.
“Gak masalah, jodoh udah di atur sama yang di atas kok” senyumanku kali ini rasanya lebih berat dari yang sebelumnya.
“Aifa, aku mau kamu tahu kalau aku sayang sama kamu, bagaimanapun itu aku tetap sayang sama kamu. Sebelumnya aku minta maaf Fa kalau ini membuatmu tersakiti. Ini bukan mauku, aku juga gak bisa mengatakan tidak terhadap hal ini. Sayang, orangtuaku ingin aku mengakhiri hubungan denganmu karena keyakinan kita berbeda. Dan aku akan pulang ke Bali untuk meneruskan hidupku. Aifa, aku sayang kamu”
Hal yang sudah lama aku duga akhirnya menjadi kenyataan juga. Dan kata pisahpun terucap.

ADVERTISEMENT

Kembali aku terbisu. Hanya linangan airmata yang mampu ku keluarkan. Tak sepatah katapun ku ucapkan setelah mendengar perkataan Artha. Aku lihat Artha berlari meninggalkan ku sendiri dengan mulut terkunci dan derasan hujan dimataku. Seketika itu juga aku ingin waktu berhenti. Keterpurukan mendalam menimpaku.

Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi
Lirik lagu Marcell Siahaan yang berjudul Peri cintaku merupakan perumpamaan kisah cintaku. Liriknya begitu menembus dalam hatiku. Kini Peri Cintaku yang dulu mewarnai hidupku telah pergi. Membuat hari-hariku tak berwarna lagi. Hari-hariku sepeninggalnya Peri Cintaku akan hampa seperti sebelum kehadirannya dulu. Kini terjawab sudah semua tanda tanya yang tak jelas dalam firasatku. Karena benteng yang begitu tinggi menjadi pemisah antara aku dan dia, hingga kisah cinta yang telah terbangun harus rubuh dan berakhir sampai di sini. Keyakinan yang memisahkanku dengan Artha selalu membuatku bertanya-tanya, Adilkah ini?

Keesokan harinya saat pengumuman kelulusan, aku tak melihaht Artha. Kudengar kabar bahwa memang dia telah pindah di Bali. Sejak saat itu aku mengurung diri. Kamar menjadi istanaku. Makanpun aku tak nafsu. Sampai aku harus di opname di rumah sakit untuk beberapa minggu. Setelah keluar dari rumah sakit, teman-teman dan keluargaku terus saja menghiburku. Membantuku untuk mengembalikan senyumku, tapi itu percuma. Sampai suatu waktu, hatiku rasanya terbuka akan kenyataan. Kini artha hidup dengan kehidupannya, dia telah tiada dalam kehidupanku. Aku harus kuat akan hal itu. Aku harus membuktikan perkataanku bahwa aku akan bahagia bila melihatnya bahagia. Walau kini sosoknya tak lagi mewarnai hidupku, tapi kenangan akan dirinya akan selalu tersimpan di memoryku. Ya aku harus tegar! Perjalananku masih panjang. Sampai saat ini aku sudah terbisa tanpa Artha. Meskipun hatiku sampai saat ini belum terisi, tapi aku yakin suatu saat nanti akan ada sosok yang hadir dalam hidupku sebagai pengganti Artha, sosok yang akan mewarnai kehidupanku kelak.

Mentari telah hadir kembali untuk melaksanakan tugasnya menyinari bumi. Diiringi siulan burung yang bernyanyi beserta rerumputan segar yang menari-nari. Hari ini adalah hari wisudaku. Tak terasa aku akan menjadi sarjana dengan gelar sarjana kedokteran. Rasanya senang sekali telah berhasil mewujudkan cita-citaku yang telah kuimpi-impikan sejak kecil untuk menjadi seorang dokter. Dan hari ini gelar dokter tersebut akan menjadi titel yang melengkapi papan namaku nantinya. Di gedung tempat acara tersebut berlangsung aku bersama ibu dan ayahku menunggu detik-detik pelepasanku dari gelar mahasiswa menjadi seorang sarjana.

Acara tersebut berlangsung dengan lancar. Ibuku sempat meneteskan air mata menyaksikan saat penyematan topi sarjanaku oleh rektor kampusku. Setelah acara selesai, aku dan keluargaku berniat untuk pulang. Tapi saat kami hendak masuk ke dalam mobil, sosok pria bertopi yang wajahnya tak tampak menghalangi jalan kami. Ayahku marah dan hampir saja memukul pria itu, tapi tiba-tiba pria itu melepas topinya, dan..
“Aifa..” pria itu adalah Artha.
Sungguh aku tak menyangka. Kembali aku merasa bisu. Artha? Ya Allah, benarkah dia Artha? Benarkah ini bukan mimpi semata? Aku tak tahu harus bagaimana. Kedua orangtuaku juga terdiam.
“Aifa aku ingin melamarmu. Aku ingin menikahimu, dalam islam. Aku sudah sah menjadi muslim sayang. Kini kita bisa bersama”
Dan petirpun menyambarku. Petir yang begitu menggetarkan hatiku. Pikiranku tentu tak dapat mencerna apa yang sedang terjadi dan apa yang barusan diucapkan Artha. Beribu tanda tanya tentu masih menghiasi kepalaku. Tidak!! Ini pasti mimpi! Ya aku yakin ini mimpi. Rasaya kepalaku berat sekali, dan semua kaburr, gelap…

Ketika terbangun, aku melihat aku sudah berada di atas tempat tidurku di rumah. Apa yang terjadi barusan? Pasti tadi hanya mimpi, yaah hanya mimpi. Tapi bila itu mimpi, mengapa saat ini aku masih mengenakan seragam wisudaku? Bagaimana dengan Artha? Tak mungkin bila ia hadir kembali stelah hampir 5 tahun lamanya dia meninggalkanku. Aku terus saja bertanya kebingungan dalam hatiku.
“Nak, apa kau sudah merasa baikan?” tanya ibu yang baru masuk ke dalam kamarku.
“Apa yang terjadi bu? Aku tidak mengerti. Ada apa sebenarnya?”
Ibu masuk, dan ternyata ada Artha di belakangnya. Oh tuhan ini benar-benar bukan mimpi. Perasaanku tiba-tiba campur aduk, senang, sedih, marah, bahagia, dan tidak menentu.
“Fa.. boleh aku jelaskan semuanya?” ucap Artha sambil duduk di pinggiran ranjangku. Aku hanya terdiam, aku masih tak sanggup berkata-kata.
“Fa, 5 tahun aku meninggalkanmu dan kemudian kembali padamu, itu bukan tanpa alasan. Tapi selama 5 tahun ini aku harus kuliah di Australia, aku gak mungkin membiarkanmu menungguku begitu lama. Jadi ku putuskan untuk berbohong, tapi sebelumnya aku memang berniat untuk menjadi muslim sejak mengenalmu. Sejak kau ajarkan aku tentang islam, di situ sepertinya pintu hatiku begitu terpikat pada islam. Hingga aku putuskan, selepas dari kuliah, aku akan menjadi muslim dan akan melamarmu. Would you marry me honey?”
Rasanya aku tak sanggup lagi menahan air mata yang sejujurnya dari tadi telah terbendung ini. Hujanpun mengalir deras di pipiku. Hujan kebahagiaan. Sungguh aku merasa bahagia mendengar penjelasannya. Sekarang aku telah yakin ini bukan mimpi. Tapi, masih terbersit rasa keraguan di hatiku.
“Ta.. tapi, bagaimana dengan orang tuamu?” pertanyaan itu yang sedari tadi juga membendung di pikiranku.
“Orangtuaku sudah mengikhlaskan aku berpindah keyakinan. Kini, aku hanya minta jawabanmu tentang pertanyaanku tadi”
Jujur, aku masih bingung dengan semua ini. Kupalingkan wajahku pada ibu yang duduk di meja riasku, ibu hanya tersenyum dan mengangguk.
“Iya, aku mau”
Akhirnya pernikahan kamipun berlangsung. Orang tua artha juga datang dan menjadi saksi dipernikahan kami walau kini telah berbeda keyakinan dengan anaknya. Tapi tergambar jelas di raut wajah kedua orang tua artha bahwa mereka tampak bahagia melihat anaknya mempersuntingku. Terimakasih Tuhan, aku yakin inilah jawaban atas segala penantianku dan balasan dari segala cobaan yang dulu telah Kau berikan.

Kini seminggu sudah rumah tanggaku dan Artha berjalan. Tapi ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku. Aku tak tahu apa itu. Suatu firasat yang hendak menyampaikan sesuatu. Hari ini adalah hari minggu, Artha meminta ijin untuk keluar membeli sesuatu di Mall, tanpa rasa curiga aku ijinkan. Sampai larut malam, ia tak kembali juga. Aku sangat cemas dan gelisah. Sudah ku coba menghubungi nomer telephonenya, tapi tak aktif. Kutanyakan pada orangtuaku, teman-teman, sampai client-client yang akrab dengannya. Dan hasilnya nihil.

Tepat jam 12 malam, kedua orang tuaku tiba-tiba datang kerumahku dan mengajakku terbang ke Bali. Ada apa ini? Aku makin cemas saja. Berulang kali aku bertanya pada kedua orang tuaku ada apa? Mengapa? Tapi bibir mereka terkunci rapat. Segala firasat yang tidak-tidak terus menghantuiku. Rasa cemasku begitu menggunung, penasaran,tentu itu juga yang kurasakan. Dalam perjalanan di pesawat, firasat buruk terus mendominasi dalam pikiranku. Hingga 20 menit kemudian, saat sampai di bandara, aku merasa firasat ini makin menjadi-jadi. Beri aku petunjuk Tuhan, apa yang telah terjadi sebenarnya.

Ayah dan ibu membawaku ke rumah yang aku tak tahu rumah siapa. Berkibar kain kuning depan rumah yang tampak mewah itu. Aku makin penasaran dibuatnya, siapa gerangan pemilik rumah itu? Siapa gerangan yang meninggal dunia di rumah itu? Mengapa ayah dan ibu mengajakku ke rumah yang tengah berduka ini?. Ketika memasuki pagar rumah tersebut, kecemasan hatiku makin meluap-luap. Ayah membunyikan bel rumah itu, dan seseorang yang tampaknya adalah pembantu yang membukanya. Ayah di sambut seseorang, wajah orang itu tak asing dimataku. Tapi aku lupa siapa Orang itu merangkul ayah. Sedang seorang wanita datang lalu memeluk ibu. Aku makin heran.. Saat wajahku ku palingkan pada dinding rumah tersebut, mataku tertumbuk pada sebuah foto berukuran besar yang dikalungi bunga.

Dan duniaku pun beku. Kulihat foto itu adalah foto Artha, disamping foto itu ada karangan buka berduka cita yang tertulis “Turut berduka cita atas kematian Dewa Agung Artha Radheva Krishvana” Tuhan, aku harap ini adalah mimpi. Aku tak ingin bila ini kenyataan. Tuhan, ini benar mimpikan? Otot-otot akiku tiba-tiba melemas semua. Rasanya untuk berdiripun aku tak sanggup, apalagi harus menerima kenyataan terpahit ini. Cucuran air mata telah mengalir deras di pipiku. Semuanya nampak gelap, rasanya sesak dan pengap. Kakiku tak dapat lagi menopang berat tubuhku, akhirnya aku terjatuh dan tak sadarkan diri.

Setelah tersadar, kedua orang tua Artha duduk disampingku dengan mata sembab. Mereka memberikanku sebuah amplop yang berisi sesuatu. Tampak orangtuaku juga tengah berlinangkan airmata. Dengan tangan yang gemetaran, aku perlahan membuka amplop itu dan membaca isinya.

“Dear Aifa, istriku tersayang..
Aku minta maaf atas semua kebohonganku padamu selama ini. Sebenarnya aku ingin mengatakan yang sebenarnya dari awal kita berpacaran. Tapi aku takut kehilanganmu terlalu dini. Maaf bila segala dustaku telah menyakitimu. Tapi ini ku lakukan karena aku tak ingin melihatmu tersiksa lebih awal. Lima tahun yang lalu saat aku meninggalkanmu, sebenarnya aku tak pergi ke Australi untuk kuliah, tapi aku ke Australi untuk berobat. Karena penyakit kanker otak stadium 3 yang telah menggerogoti hidupku sejak SMP. Jujur Fa, kamu adalah pacar pertamaku, sekaligus pacar terakhirku. Mungkin aku belum pernah mengatakan itu padamu, tapi kini aku telah mengatakannya. Aku tak pernah berpacaran dengan cewek manapun sampai aku mengenalmu, di saat itulah aku baru mengetahui tentang cinta. Mengetahui apa itu cinta, tahu apa itu sayang, tahu apa itu kasih. Dan kamu yang mengajariku semua itu. Fa, seminggu sebelum pernikahan kita, dokter yang merawatku telah memvonis aku hanya bisa bertahan hidup beberapa minggu lagi. Maka karena itu aku memohon pada orangtuaku agar aku diijinkan memeluk islam dan segera melamarmu sebelum hembusan nefas terakhirku. Sayang, maaf karena aku pergi tanpa pamit darimu. Pagi tadi aku sudah merasa bahwa ajalku sudah sangat dekat, jadi kuputuskan untuk segera kembali ke Bali agar aku bisa dimakamkan di kampung halamanku. Surat ini aku tulis saat aku tengah di pesawat menuju Bali, sebagai pengakuan atas semua kebohonganku selama ini. Terakhir ku ucapkan, Aifa you’re the love of my life and my death.
(Tertanda) Artha, yang tengah melihatmu sambil tersenyum dari surga”

Tuhan, inikah rencanamu padaku? Inikah kata keadilan yang Kau tujukan untuk hidupku? Mengapa Engkau mengembalikannya bila akhirnya Kau kembali mengambilnya untuk selama-lamanya? Jika ini memang suratan takdir yang telah Kau gariskan untukku, aku akan coba ikhlas. Ku coba menghadapi takdirku dengan senyum, walau diiringi kepedihan dan air mata.
Artha telah meninggalkanku selama-lamanya. Kini senyumannya, canda tawanya, dan guyonannya telah ikut pergi bersama dirinya di alam sana. Tapi, nama dan kenangan tentang dia tak akan pernah lekang oleh waktu.
Biarlah kusimpan sampai nanti aku kan ada di sana
Tenanglah dirimu dalam kedamaian
Ingatlah cintaku, kau tak terlihat lagi
Namun cintamu abadi
Kau adalah peri cintaku, pemberi warna dalam hidupku. Walau kini kau tak di dunia ini lagi, tapi aku yakin suatu saat nanti kita akan bersama di dunia lain. Mautlah yang memisahkan kita, dan maut pula yang akan mempertemukan kita.

Cerpen Karangan: Ima Husnul Khatimah
Facebook: iieemha my’first may
You can see my Profile in my Facebook Account 🙂

Cerpen Peri Cintaku merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Kesayangan Ayah

Oleh:
Malam ini, petir mengamuk dalam luasnya langit malam yang gelap. Bulan menghilang karena munculnya petir. Udara dingin membuat para manusia bergelung dalam selimut mereka yang hangat. “Ayah! takut gelap,

Pilu

Oleh:
Senja itu aku terdiam melamun di tepi danau, entah apa yang sedang melanda hati dan pikiranku semuanya menjadi kacau tatkala aku mengingat kembali kejadian yang begitu menyayat hatiku. Bermula

Akhir Penantian Panjang

Oleh:
Setelah perpisahan itu aku memutuskan untuk memendam perasaanku, karena mungkin cinta ini hanya dariku tanpa diterima maupun diberi. Tanpa ku sadari pula sudah sekian lama ini aku mencoba melupakan

Dalam Pinta Harap, Kau Nyata

Oleh:
Kali ini aku tak lagi samar dengan perasaanku. Hembusan angin, derai air mata, kesunyian, seperti sudah menjadi sahabatku. Semua sudah meresap dan menyatu dalam hidupku. Nyanyian angin di dalam

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *