Berlayar Merengkuh Petang

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Islami (Religi), Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 25 July 2016

Aku hanya seorang pengamen, tak lebih dari itu. Tidur beralas bumi beratap langit lah kemewahan duniawi yang selama ini aku nikmati. Kerjaku tak perlu ijazah, bermodal suara anugerah Illahi serta gitar sewaan, aku raup lembar per lembar rupiah. Meski kantong celanaku lebih sering diperberat logam BI. Sejak kecil, aku tinggal di sebuah perkampungan kumuh. Aku tak pernah tahu siapa orangtuaku. Mak Narti, nenek tua yang mengasuhku dari kecil. Sepeninggal beliau, aku hijrah dari satu tempat ke tempat lain.

“Bang, gabung yuk…!”, ajak kerumunan teman sebaya yang tengah diambang sadar. Malam kian larut, keramaian makin tersudut. Aku menyeruput kopi tak jauh dari gerombolan penikmat benda haram. Tak begitu aku tahu jenis-jenis benda itu, yang aku kenali hanya put*w, g*nja, sh*bu-sh*bu, itu saja. Aku pun tahu itu semua dari Joni dan kawan seperjuangannya yang bukan dari kalangan bawah saja. Tapi, juga dari kalangan konglomerat dan anak-anak pejabat, dari merekalah orang kecil seperti Joni bertahan saat sakaw.

“Alaaaah bang, jangan sok alim deh, coba dulu. Sorga dunia bang, kapan lagi?”, Joni menghampiriku dengan menggotong sebotol mir*s tak bermerk pun selinting g*nja yang masih tergelinting apik.
“gak usah, males aku!”, tukasku menolak ajakannya.
“coba dulu deh, gak bakal nyesel, Fly bang…”, pria itu makin sempoyongan, matanya merah bak bukan lagi manusia.
“entar aja, ngembaliin nih gitar dulu”, kutepuk bahunya lantas berlalu begitu saja.
Petang tak berbintang, kulewati gang sempit antara gedung-gedung bertingkat.

“A’uudzu billahi minas syaithonir rajiim”, mengalun pelan bacaan kitabullah yang membuatku terdiam menikmati halus firmanNya.
“Den, ngapain? sini dong!”, pria berkopyah memanggilku dari depan sanggar, Ahmad namanya. Aku hampiri ia sambil senyam-senyum.
“Ayo masuk!”, dia kembali menawariku.
“Aduh, maaf mas, gimana ya? ”, aku perhatikan pakaianku yang sudah tak karuan sambil kugaruk-garuk kepala yang tidak gatal sebenarnya. “alaaah, ayolah!”, Ahmad kembali memaksaku.
“emb, oke lah. Tapi aku mau ke rumah pak Maman dulu”, aku melangkah menjauhi Ahmad menuju rumah pak Maman di persimpangan jalan, sementara Ahmad masih menungguku kembali. Tak begitu lama, aku pun menemui rekanku. Kami berdua lantas menghampiri anak-anak yang tengah dikerumuni malaikat.

“Den, ente ntar malem tidur sini aje”, ajak rekanku itu disela perbincangan islami dengan ustad Jaka, pengasuh sanggar.
“Tak usah lah, udah biasa aku tidur di jalanan, adem!”, tolakku halus.

Pukul satu dini hari, aku tinggalkan area sanggar untuk mencari kamar baru. Ya, kamar baru. Sampai di depan warung nasi yang sudah tutup, aku baringkan tubuh yang terlampau payah di atas permukaan semen yang mengeras. Aku pun tak sadarkan diri, terbawa mimpi seusai mengucapkan
“Bismika Allahuma achya wa amuut”, Ya, itu pesan dari mak Narti sejak aku masih terpulas di gendongnya. Ribut wara wiri kendaraan bermotor seolah menjadi musik pengantar tidur.

“Allaahu akbar, Allaahu akbar”, kumandang adzan membangunkan kepulasan tidur. Aku segera menuju musholla untuk mandi dan sholat subuh. Selepas sholat dan dzikir, aku kembali menyewa gitar tua pak Maman demi menjalani hiruk pikuk kota metropolitan. Penuh sesak kopaja, aku dendangkan irama melayu sembari memetik gitar klasik, mencari pengganjal perut.
“Sudah, pergi sana! mau jadi apa kamu nanti? Ha, masih muda tak mau kerja. Dasar sampah masyarakat. Pergi sana!”, pria gemuk membentakku seolah tak ada celah untuk membantah, semua perhatian pun sontak tertuju pada kami.
“Maaf pak!”, aku tertunduk pasrah lantas pergi meninggalkan puluhan pasang mata yang tetap saja menatap tajam. Aku turun dari bus, langkahkan kaki bertatap kosong di trotoar tak tahu arah tujuan. Tak ada ayah, tak ada bunda, tak ada saudara, mak Narti pun pergi. Aku sendiri.

Matahari tepat di atas kepala. Masjid dan surau diramaikan kumandang adzan. Aku datangi surau terdekat lantas berwudhu.
“He, ngapain kamu disini? Pergi kau!”, lagi, aku diusir.
“Maaf pak!”, ungkapku dengan tundukkan muka.
“aaalaaaah, jangan banyak alasan kau. Pergi sana! Paling kau maling!”, ditendangnya kakiku dan aku berlalu begitu saja tanpa ada pembelaan berarti. Belum sempat aku tunaikan ibadah sholat dhuhur, aku tinggalkan surau itu dengan perasaan miris kecewa. Tak ada lagi gunanya aku hidup, tak pernah ada yang mengharap kehadiranku, tak ada, sama sekali tak ada. Ingin rasa akhiri hidup penuh derita. Sungguh tak mampu aku berontak dengan kaki yang nyaris tak sempurna ini.

Di rumah kosong, aku menghadapNya. Terdiam, meraih dompet lusuh dari celana yang tak kalah lusuhnya. Aku hitung lembar perlembar rupiah di dalamnya. Cukup untuk menyewa rumah beberapa bulan kedepan, beli baju baru dan makan enak. Aku datangi tempat kost berniat tinggal di dalamnya.
“nama? mau apa?”, tatap ibu kost sinis. Aku tahu maksud tersembunyinya. Aku sodorkan padanya beberapa lembar rupiah. Kira-kira, cukup selama dua bulan. Matanya terbelalak menyabet uang dariku.
“Kamar nomor dua dari utara, pintu biru. Ini kuncinya”, Ia berikan padaku kunci sambil menunjuk sebuah kamar yang letaknya beberapa langkah dari tempatku berdiri. Sepetak kamar tak seberapa besar yang masih dalam keadaan amburadul terpampang di hadapanku. Aku bersihkan tempat tinggal baruku itu. Aku baringkan tubuh penuh debu di atas kasur sederhana. Jujur, baru pertama kurasakan tidur beralas kasur. Jangankan kasur, tikar pun tak pernah.
“Hufh, capek! kalau rasanya begini, kenapa ya kini makin banyak berdiri perusahaan kasur?”, aku berbaring di atas permukaan spons. Empuk memang. Tapi, bukannya terlelap, aku malah tak bisa tidur akibat terpantul ke kiri dan kanan sisinya. Aku kebingungan. Apa karena aku tak terbiasa? Ah, cukup lama aku renungi. Aku lantas pergi menuju pasar loak, membeli baju. Sudah lebih dari tiga bulan, tak pernah kuganti salah satu kebutuhan primerku ini.

Sepasang “baju dinas” beserta baju koko, sarung dan kopyah, kubeli. Usai membayar, kutingalkan pak Jono dengan barang dagangannya. Perut keroncongan mengantarku menuju warung nasi dekat pasar. Nasi ulam khas betawi, lebih dari cukup mengganjal perut. Biasanya aku hanya melahap nasi kucing yang tak begitu mahal.
“Pak, minta pak. Saya lapar pak, tolong pak!”, seorang anak kecil mendekatiku sambil memegangi perutnya. Kuberikannya, sebungkus nasi yang sama seperti aku makan.
“Alhamdulillah, makasih pak, terima kasih banyak!”, dengan sumringah dia ciumi tanganku. Dia pergi entah kamana, begitu cepat ia melaju. Aku pun kembali menusuri jalanan ibukota. Di tengah jalan, aku dapati seorang nenek renta tengah berjuang melawan terik sang surya.
“Seperti emak!”, pikirku tak sadar, hatiku mengingat pilu. Pakaiannya kusut, matanya sembab di antara banyak keriput yang menghias paras ayunya. Aku kibarkan sarung yang kubeli tadi untuk memayungi wanita tua itu.
“Mak, nama emak siapa? kenapa emak disini? kan panas!”, tanyaku memburu. Dia malah menangis, buatku bingung.
“Emak dibuang cu!”, tukasnya menahan sesak. Aku makin tak tega. Aku tahu rasanya terbuang.
“Siapa yang membuang emak?”, aku bak wartawan amatir. “Anak emak, cu, dia lebih memilih bersama istrinya yang tak mau merawat emak!”, tangisnya makin menggebu.
“Kalau gitu, apa emak mau ikut dengan saya? tinggal dengan saya mak! tapi tempatnya kecil!”. Aku bertanya penuh harap.
“Iya cu, emak mau. Tapi, apa cucu mau merawat emak yang sudah renta dan tak bisa apa-apa ini?”, dia pesimis menatapku.
“Mak, saya hidup hanya sebatang kara, dan saya ingin membanggakan emak saya yang telah berpulang mak! emak mau kan membantu saya?”, aku kembali meyakinkannya. Nenek tua itu hanya mengangguk pelan. Kugendong dia menuju tempat tujuan. Ya, nenek itu tak bisa berjalan sempurna, sendi-sendinya bekerja tak sesempurna dulu. Dia awalnya menolak untuk aku gendong, dengan alasan dia masih sanggup berjalan, meski pelan. Tapi, mana aku tega membiarkan seorang nenek renta berjalan jauh dan cukup melelahkan. Sesampainya di kamar kost, kubaringkan tubuh emak Siti di atas kasur. Punggungku sampai mati rasa, menggendong emak beberapa kilo meter jauhnya.
“Mak, saya tinggal sebentar ya?”, Mak Siti mengangguk, aku meninggalkannya. Lantas kembali membawa sebungkus nasi dan sebotol air mineral berukuran seribu lima ratus mililiter.
“Mak, ini minum dulu, terus makan nasi ini. Maaf mak, seadanya!”, Aku suguhkan padanya botol air mineral yang telah dibubuhi sedotan. Mak Siti menyeruput air pelan-pelan.
“Ini mak, makan dulu!”, Aku sodorkan sebungkus nasi pada mak Siti. Aku hanya terdiam. Siapa yang tidak mau aku menjadi anaknya? buktinya, aku dibuang. Entah apa sebabnya. Hubungan haram kah atau apa lah aku tak tahu dan tak mau tahu. Yang aku tahu, dulu mak Narti pernah bertutur padaku. Bahwa aku ia temukan di dekat lokalisasi, saat ia memungut sampah. Dulu aku sempat sedih dan sakit hati. Karena beranggapan kalau aku anak haram.
“Anak itu, tidak ada yang haram. Yang ada itu perbuatannya yang haram. Allah itu menciptakan makhluknya dalam keadaan suci, tanpa terkecuali. Jadi, siapa yang haram? tak ada kan?”, begitulah cara mak Narti memotivasiku dulu. Aku masih ingat betul. Mak Narti tidak pernah hilang dari memoriku. Selalu hadir di setiap perputaran waktu. Dialah orang pertama yang menerima kehadiranku. Menyayangiku, merawatku. Dia pahlawanku.

ADVERTISEMENT

Tak terasa waktu bergulir begitu cepat, sudah sebulan lebih aku tinggal dengan mak Siti. Setiap pagi aku pergi diiringi kokokan ayam dan do’a emak untuk mencari sesuap nasi. Kala dzuhur menjelang, aku pulang untuk sholat dan membawakan emak pengganjal perut. Usainya, pergi lagi. Pulang saat senja menjulang. Kadang, hingga bulan menyibak gelap. Kasihan mak Siti, dia harus menungguku sendiri di kamar kost.

Hingga suatu pagi ba’da sholat subuh, mak Siti tergeletak pasrah di atas kasur. Tatapnya kosong, bibirnya hanya komat kamit mengucap kalimat thoyyibah.
“emak kenapa? emak sakit? Deni bawa ke dokter ya mak?”, aku tawari emak angkatku itu untuk berobat. Parasnya makin pasi. Aku benar tak tega. Kugendong mak Siti yang terkulai lemah menuju rumah sakit yang jauhnya lebih dari sepuluh kilometer. Sengaja tak kunaikkan kopaja atau bemo. Aku takut mak Siti makin parah karena penuh sesak penumpang. Lagi pula, aku tak sempat mengantongi dompet. Biarlah punggungku sakit asal mak Siti tak pergi seperti mak Narti.

Di dalam gedung putih bertuliskan hospital mak Siti segera ditangani. Aku cemas. Tiba-tiba, seorang wanita berjilbab menghampiriku.
“Maaf, mas yang bawa nenek tadi?”, ucapnya kalem.
“Iya mbak,”, anggukku penasaran.
“apa nenek tadi namanya nek Siti?”, dia menginterogasiku.
“Iya”, kutatap matanya yang mirip mata kucing. “Alhamdulillah…”, dia tarik nafas berat.
“Kenapa mbak?”, aku tatap tajam matanya
“saya Shilla, cucu nek Siti!”, Ia jabat tangan kasarku. Aku gelagapan, antara takut kehilangan emak dan senang lantaran ketemu keluarganya. “Saya Deni”, aku balik perkenalkan diri dengan senyuman tak berarti. “Selama ini, saya mencari nenek kesana kemari tapi tak ketemu. Sempat saya putus asa. Tapi, akhirnya nenek kembali lagi”, ungkap wanita bergelar dokter itu tersedu.
“Shilla, Shilla, mana nenek?”, seorang lelaki berlari menuju kami.
“Tenang pa, nenek sedang ditangani dokter. Tapi, nenek kritis pa?”, tukas dokter muda itu sembunyikan cemas.
“Astaghfirullah….”, sesalnya tertunduk.
“Siapa lelaki ini”. Dia menunjukku. “Ini lelaki yang membawa nenek ke sini, pa?”, wanita itu memperkenalkanku. Aku hanya tersenyum. Lelaki itu hanya mengangguk. Tak seberapa lama kemudian, datang sepasang suami istri menghadap kami.
“Bagaimana keadaan nenek, Shill, mas Broto?”, Lelaki yang baru datang itu panik.
“Tenang om, tante, nenek sedang dirawat”, tukas Shilla kalem. “Oh iya, ini kenalkan Deni namanya. Pria ini yang tinggal bersama nenek selama ini!”, Lagi-lagi dokter shilla memperkenalkanku. Sama seperti tadi, aku hanya tersenyum. pasangan suami istri itu bertatap muka dengan mimik lebih panik lagi, nampak dari keringat dingin yang bercucur dan kulit yang memucat.

“He kamu, cepat habiskan makananmu, sebentar lagi semuanya kumpul di halaman.”, seorang lelaki bertubuh bidang menegurku. Di balik jeruji besi kini aku bersarang. Tanpa ada tindak pidana yang aku lakukan. Aku ikhlas menerima derita rakyat jelata. Semua terjadi lantaran imbas kejadian beberapa bulan yang lalu. Mak Sitilah penyebabnya. Om dan tante Shilla marah besar kapadaku. Bahkan menghajarku hingga aku tersungkur tak berdaya. Mereka berultimatum bahwa aku yang selama ini telah menculik mak Siti.
“Gila…!”, pikirku. Aku memang bertampang berandalan yang membuat semua keluarga percaya. Aku tak mampu membela diri. Jangankan lawyer, orang biasa pun tak ada yang peduli dengan seorang aku. Satu-satunya penyelamatku, mak Siti. Namun tak dinyana sebelumnya, mak Siti pergi ke alam lain. Kembali ke pelukan sang Illahi di atas ranjang pegobatan. Kini, aku tak menyesal. Disini, dengan leluasa aku jalankan kewajiban sebagai hamba Allah. Tanpa ada gelisah, pengucilan masyarakat. Karena disini aku belajar, menjadi narapidana yang selalu dicekoki kajian keagamaan, juga pelatihan ketrampilan yang memudahkanku bekerja sepulang dari lapas. Aku akan kembali menatap dunia dengan segala yang lebih baik, juga dengan kumis yang lama tak dicukur.

Cerpen Karangan: Alfi Nurul Afida
Blog / Facebook: Alshof.wordpress.com / alfi Nurul (Shofi)
Mahasiswi Jurusan Manajemen Pendidikan Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Cerpen Berlayar Merengkuh Petang merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Do It!

Oleh:
Kata mereka aku harus selalu tersenyum, terlebih lagi pekerjaanku hanya seorang badut. Penghibur anak-anak yang tengah merayakan ulang tahunnya atau sekadar meredakan tangisannya. Kita tak akan pernah tahu masa

Dree

Oleh:
“Biar hujan turun lagi, dia bawah payung hitam ku berlindung..” Lirik lagu ini yang selalu ku dengar saat sang fajar mulai menampakkan wajahnya ke permukaan. Jujur, sesungguhnya aku tidak

Sepucuk Surat Pak Bupati (Part 1)

Oleh:
Dokar berserakan. Sepeda berantakan. Sepeda motor jadul tahun 70 dan 80-an salip-menyalip. Roda-rodanya menyibak becek dan air sisa hujan yang berkubang di jalan yang berlubang. Jalanan basah. Bila pagi

Malaikat Tak Bersayap

Oleh:
Terdengar suara guntur mengejutkan penduduk bumi. Sore itu langit digantungi awan hitam yang bergumpalan. Tampak awan itu tak sanggup menahan beban yang ia rasakan. Gerimis pun terjun ke bumi

One By One

Oleh:
Yang bisa bertahan hidup dialah yang akan menjadi penguasa. Begitulah hukum rimba yang berlaku. Kita hanya bisa mensyukuri betapa nikmatnya hidup walau terkadang kita juga harus hati-hati dengan kematian.

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

3 responses to “Berlayar Merengkuh Petang”

  1. Ziah Nur Aisjah says:

    Unpredictable ending!!!
    Keren walau endingnya sedikit ngeselin, tapi membuat kita memahami bahwa setiap kejadian pasti ada hikmahnya.
    Semangat! terus menulis kawan. ditunggu karya-karya keren lainnya.

  2. bah, kirain ada sesuatu gituu, cem cem berganti nasib gitu, tapi keren lah ternyata enggak. anti maenstream, justru malah jadi lebih dalem ya ceritanya..
    🙂 tetep berkarya, semangat!

  3. s siska says:

    its so deep story, great!

Leave a Reply to s siska Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *