Stasiun Terakhir

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Sedih
Lolos moderasi pada: 20 September 2015

Akhir Oktober, 2017. 06:15 pagi.
“Hey, sudah pagi” Ucapku lirih dalam hati, menatap sekilas sang mentari dari balik tirai, menerawang melalui jendela kaca yang buram. Aku terbangun dari tidur, terduduk lemah di bangku kereta paling pojok. Detik demi detik ku hitung. “Tinggal 2 stasiun lagi,” pikirku. Namun entah kenapa ini mulai terasa seperti perjalanan paling lama di antara perjalanan lain yang pernah ku tempuh seumur hidupku. Waktu seakan diam tak bergerak.

Pesan singkat yang dikirim oleh Arfina tadi malam masih membuatku gamang hingga detik ini. Pesan yang kemarin malam sempat membuatku gusar dan hilang akal. Sebuah pesan singkat yang menggambarkan tentang bagaimana keadaan ia sekarang. Aku tak sanggup melihatnya. Kira-kira sudah lima kali ia dirawat di rumah sakit. Ia pun tidak pernah memberiku kabar, kecuali kabar jika ia jatuh sakit, yang bahkan ku dengar dari Fina, sama halnya seperti sekarang. Dan aku? Aku masih tetap mencintainya. Amat sangat menyayanginya. Tak ada berkurang sedikit pun. Malahan aku jadi ingin selalu di sampingnya, melindunginya.

Awal September, 2003
Aku ingat saat itu. Saat dimana aku datang terlalu awal ke kelas di suatu pagi di hari Sabtu. Aroma embun tercium begitu sejuk, bak udara basah yang masuk memenuhi paru-paruku. Ku memandang jauh ke depan. Terlihat dari kejauhan mentari yang masih malu malu menyingsing cakrawala, terhalang oleh fajar yang lebih dulu datang.
“Ah, dinginnya” bisikku dalam hati. Kedua tanganku ku sumpalkan ke dalam saku jaket hitamku, sambil menatap kendaraan yang sesekali lewat di sepanjang jalan. Jaketku yang terasa hangat memantapkan langkah demi langkah kakiku ke sekolah.

Dan kemudian ku lihat sebuah pintu ruang kelas yang terbuka di ujung koridor. Aku menunggu bel berbunyi. Sendiri. Ku tatap sekilas jam di tanganku. Pukul 06.15. Aku sadar bahwa aku benar-benar datang terlalu pagi. Hingga ku arahkan pandanganku ke depan. Terlihat seorang anak perempuan bersweater biru muda ke luar dari ruang kelas, tengah merangkul dirinya sendiri. Dari wajahnya terlihat ia sedikit kedinginan, tergambar jelas di parasnya yang cantik. Aku hampiri ia perlahan sambil meremas tanganku yang sedikit dingin ke luar dari kantong jaket. Aku tersenyum, dan ia pun membalas senyumku. Aku ingat benar senyumnya pagi itu. Senyum yang bisa membuat siapa saja tersipu karenanya.

“Maaf aku hari ini piket, jadi harus datang lebih awal. Kamu tadi jemput?” tanya Adinda padaku.
Aku hanya tersenyum. Ku pandang dua bola matanya yang bulat dan berwarna cokelat tua itu, sembari membuat gerakan kecil di tanganku. Menandakan bahwa hal itu bukanlah apa-apa.
“Oh begitu. Ya sudah, aku masuk duluan ya, Dam. Di luar dingin” ungkapnya.
Aku hanya mengangguk. Menatap sekali lagi raut wajahnya yang menjauh membelakangiku. Diam terpaku.

Hari yang sama, 07:31 pagi.
Ku seruput lagi hangatnya kopi masuk ke kerongkonganku. Ku seruput sedikit demi sedikit. Ku sempatkan diriku untuk bersantai sejenak di bangku tunggu stasiun sesaat setelah membeli kopi di Vending Machine. Tak lama kemudian kereta pun datang. Pintu kereta listrik itu terbuka lebar. Seketika orang orang pun berdesakan masuk ke dalamnya. Aku segera masuk ke dalam kereta dengan sedikit tergesa-gesa, menghampiri bangku biru di sudut di samping jendela.

“Ini stasiun terakhir, aku gak boleh terlambat,” gumamku. Ku rebahkan badanku yang sedikit letih di atas kursi penumpang yang lembut. Meregangkan otot-ototku yang kaku karena duduk hampir 3 setengah jam di kereta sebelumnya. Di sampingku duduk seorang pria setengah baya tengah memegang koran hari ini. Bunyi halaman koran yang dibolak-balik itu terdengar sedikit berisik. Namun anehnya hal itu hampir tidak menggangguku. Pikiranku masih berputar-putar akan keadaan Adinda sekarang.

Kereta sudah berjalan 40 menit yang lalu. Aku tidak mengantuk. Ku nyalakan Iphone-ku sembari memasang headset di telingaku, berniat memutar musik untuk sekedar mengusir rasa bosan. Aku berpaling sejenak. Melihat ke arah luar kereta. Banyak yang berubah sekarang. Pohon-pohon yang rindang terlihat jarang, dan gedung-gedung pencakar langit dan pertokoan saling berlomba mengisi ruang ruang kosong di tengah kota. Jauh berbeda saat terakhir kali aku meninggalkan kota ini. Saat aku meninggalkan Adinda di sana. Ku tatap layar handphone-ku kembali dan ku sentuh tombol play di layar handphone-ku, seketika itu terdengarlah irama musik mengalun lembut di telingaku. Ku pejamkan mataku.

ADVERTISEMENT

Tiba tiba aku merasa ada yang menyentuh bahuku. Oh, rupanya pria yang duduk di sampingku. Ku lepas headset-ku dan tersenyum padanya. Aku lihat ia sedang kesusahan membuka sebuah botol minuman karena tangannya yang basah.
“Bisakah kau membukanya untukku? Tanganku sedikit licin” ungkapnya meminta padaku.
Aku mengangguk, ku coba lepaskan tutup botolnya dengan tanganku. Lumayan keras. Ku coba lagi dan akhirnya berhasil. Lalu ku kembalikan minuman itu kepadanya.
“Terima kasih banyak ya. Oh ya, aku Harris.” ia berterima kasih dan menyalamiku sambil menyebutkan namanya.
Aku hanya tersenyum dan mencoba menyebutkan namaku. Namun seperti biasa, orang awam akan kebingungan.
“Maaf siapa?” ucapnya setengah berbisik. “Di sini agak terlalu ribut”
Aku lalu membuka handphone-ku, mengetik sebuah pesan dan namaku. Lalu ku perlihatkan padanya.
“Namaku Adam. Di sini gak terlalu ribut, kok. Aku yang berbicara tidak jelas, maafkan aku.”

Kemudian aku tersenyum padanya dan menggerakkan tanganku, mencoba memberi simbol bahwa aku memang tidak bisa berbicara.
“Oh, maafkan aku. Aku tidak bermaksud” ungkapnya simpatik sesaat setelah ku gerakkan tanganku dan berbicara layaknya orang yang punya lidah pendek. Aku hanya tertawa dan memegang pundaknya. Dari kecil aku memang seorang tunawicara. Kekuranganku membuat segala sesuatu menjadi tidak mudah. Namun tak apa, lagipula aku punya wajah yang tampan. Pujiku dalam hati, membanggakan diri.

Hari ini bertepatan dengan hari di saat aku pergi meninggalkan kota ini, aku dan kedua orangtuaku pindah ketika aku melanjutkan ke sekolah menengah pertama. Kami pergi karena tuntutan pekerjaan Ayah. Hari itu aku hanya titipkan salam perpisahan kepada Fina, yang kebetulan rumahnya di seberang rumahku. Aku tak banyak berkata-kata, lagipula aku bukan orang yang sanggup mengatakan salam perpisahan dengan begitu mudahnya.
“Ku tulis saja surat, untuk Dinda,” pikirku. Namun karena jadwal perpindahan kami saat itu satu hari lebih awal, aku jadi tidak sempat memberikannya, walaupun surat itu sudah selesai. Aku menyesal setengah mati. Baru, sampai sekarang saja aku bertemu kembali dengan Fina, pada waktu masa orientasi siswa di SMA.

Secara tak sengaja kami bersekolah di SMA yang sama. Aku mulai akrab mengenal Fina. Kami banyak bercerita tentang masa lalu. Menghabiskan masa SMA di sekolah yang sama. Di saat Adinda di sana. Tanpa kabar. Otakku berpikir keras, berputar-putar memikirkan apakah ia masih menganggapku sebagai seorang sahabat yang mengkhianatinya atau, cinta yang tak tersampaikan. Hah, aku benar-benar cemburu, kepada mereka yang langsung melihat parasnya. Sedangkan aku hanya bisa menerka-nerka seperti apa ia sekarang. Mulai pagi ini, detik ini, bagaimana pun keadaannya, aku tak ingin lagi ada penyesalan. Aku datang bukan untuk sebuah penyesalan. Mungkin, untuk sebuah pengorbanan, atau sekedar kata perpisahan.

Dalam diam aku sering memikirkanmu. Bahkan di setiap waktu. Lamunanku hanya berputar-putar pada suatu keadaan: dimana kita bisa menghabiskan sisa hari dengan menyaksikan bintang atau sekedar tersenyum kepada mentari yang enggan pulang. Ketahuilah, aku akan selalu menunggu waktu itu. Mungkin esok, mungkin lusa, atau bahkan mungkin suatu hari di kehidupan yang lain. Biarlah, aku memang pecundang. Aku hanya ingin menggunungkan asaku sampai saat dimana semua tak terbendung lagi.

11 Januari, 2003
Dan ku ingat semuanya, aku ingat saat pertama kali ketika ia merangkul erat tubuh kecilku. Kali pertama aku sadar perasaan ini tumbuh. Petang itu hujan turun sebentar, lalu berhenti. Matahari dengan canggung kembali menampakkan dirinya, diam di antara sisa-sisa awan mendung yang gelap. Rambut dan wajahnya yang basah tersinar indah oleh matahari yang menyilaukan. Silau, namun indah. Sinar yang menerangi sebagian wajahnya berkilau mengikuti lekuk bibirnya yang tersenyum. Sungguh padu.

Sore itu kami terjebak di antara hujan lebat di hari pertama musim semi. Hangat dan sejuknya bergumul, membaur menjadi satu. Kami berteduh di antara pepohonan yang perdu.
“Hujannya gak mau berhenti, Dan. Aku gak mau pulang terlambat. Sekarang sudah jam setengah lima lagi…” ungkapnya cemas.

Ia memandangku kebingungan. Aku berpikir bagaimana cara yang terbaik untuk pulang tanpa kebasahan. Aku berpikir sejenak. “Tak ada cara lain,” pikirku. Sedangkan yang ada kini hanya kami berdua di halaman depan sekolah. Fina sudah pulang duluan sebelum akhirnya hujan datang kembali. Ia tak ada kelas tambahan hari ini. Aku kemudian melihat ada secercah harapan. Hujan pun akhirnya reda, namun tetap tak mau berhenti. Deras hujan di pelataran ini terasa begitu dingin. Ku lihat kedua tangan kecilnya yang putih tengah merangkul dirinya sendiri, seolah mencari kehangatan.

Aku ingat saat itu ku lepaskan jaket hitamku, lalu ku pasangkan ke kedua bahunya. Ia hanya diam, menatapku dengan tatapan bingung. Aku sadar, ia tidak boleh merasa sedikit pun kedinginan. Ia penderita Hypotermia. Aku dekatkan tubuhku dengannya. Lalu aku memberikan aba-aba di wajahku untuk cepat berlari pulang. Kami berlari-lari kecil menghindari rintikan gerimis.

“Kamu nggak kedinginan?” tanyanya padaku. Aku melihat gerak-geriknya segan, seperti mencoba melepaskan jaket dan tanganku yang menutupi kepalanya. Aku buru-buru mencegahnya. Ku rangkul pelan bahunya dari belakang agar ia tetap berjalan.
“Jutaan air hujan ini tak akan bisa menyakitkanku, terkecuali jika kau jatuh sakit lagi seperti minggu lalu. Aku khawatir,” gumamku dalam hati. Terhirup olehku aroma rambutnya yang basah, menebarkan wangi harum seperti bunga mawar yang sedang mekar di suatu senja. Ku genggam erat jari jemarinya. Ia menoleh tersenyum.

Kami sampai di depan rumahnya yang luas. Aku berdiri di depan teras. Ia tinggal bersama Kakeknya di sini. Di kota kecil yang masih bisa dibilang sebuah pedesaan. Ku alihkan sejenak pandanganku ke Dinda. Ia kemudian melepaskan genggaman tanganku, melepaskan jaketku yang sudah lembab. Seraya menatapku dengan wajah gembiranya. Kami sama-sama tersenyum. Perlahan ia mendekat padaku. Ia merangkulku dengan lembut. Pelukan yang hingga kini masih terasa hangatnya.
“Makasih udah ngantarin aku hari ini. Aku gak tahu gimana kalau gak ada kamu,” bisiknya pelan. Tiba tiba ia menyentuh wajahku, sambil mengusap sisa hujan di keningku dengan tangannya. Bola matanya yang cokelat bersinar bersama pelangi yang jatuh, pukul setengah enam sore.

Esok paginya, ku lihat ia tidak ada di bangkunya. Ku tanyakan kepada Fina, sahabatnya selain aku, kenapa ia tidak datang.
“Bukannya kalian pulang bersama sore kemarin?” ucap Fina keheranan.
Aku khawatir.

Aku berteman dengan mendung di mataku, yang kian lama luntur menjadi hujan. Semua itu seperti sebuah sinema yang tak berakhir. Mengambang tinggi di awang-awang, dan akhirnya jatuh terhempas. Namun… Bagiku kau tetaplah pelangi yang tanpa jera membelah cakrawala di benakku.

Hari yang sama, 11:39 pagi.
Sial. Rasanya bahkan kembali seperti dulu. Memori dan kenangan masa lalu perlahan-lahan melaju memasuki otakku. Jalanan ini, suasana ini. Aku tertegun. Ku pandang sebentar jalanan-jalanan yang becek. Mataku tertuju kepada sebuah jalan kecil yang menanjak di pertigaan. Jalan yang dulu sering ku lewati setiap pagi ketika menjemput Adinda ke sekolah dulu. Tak ada sedikit pun yang berubah, atau bahkan di kota kecil ini. Hanya ada bangunan-bangunan baru yang berdiri kokoh di atas tanah yang dulu kosong. Lagi pula banyak tempat yang sejak dulu sudah ada. Sehingga semuanya persis sama, tak ada yang berubah.

Aku membuka Handphone-ku, melihat sekilas jam di ujung layar. Pukul 11.50. Hari terasa semakin panas. Buru-buru ku langkahkan kakiku ke Halte Bus. Aku ingin segera ke rumah sakit itu, tempat di mana Adinda terbaring lemas. Sebetulnya, bukan hanya kali ini ku dengar ia masuk rumah sakit. Aku sudah pernah mendengar kabar ini sebelumnya. Aku lupa, entah itu lewat Fina atau teman-teman SD kelas kami dulu. Namun baru kali ini aku bisa menjenguknya. Kuliahku di negeri orang yang menghabiskan waktu 4 setengah tahun itu hampir tidak mungkin ada kesempatan untuk pulang ke kampung halaman. Selain belum ada kesempatan, jarak yang jauh serta akomodasi juga menjadi alasannya.

Aku sampai ke rumah sakit kota itu. Berada 3 blok di seberang sekolah kami dulu. Sekilas aku lihat kembali pesan Fina tadi malam di Handphone-ku. Dinda berada di ruang rawat nomor 21. Dengan segera aku masuk dan langsung mencari kamar tersebut, menelusuri lorong-lorong rumah sakit yang memanjang.
“19, 20, 21. Ini kamarnya,” gumamku. Aku mulai membuka pintunya perlahan. Jantungku mulai berdetak cepat. Pintunya terbuka setengah. Aku memandang ke dalam. Aku tertegun.

Ia sedang terbaring lemah di atas tempat tidur. Ia dipasangkan Ventilator. Tubuhnya yang kecil itu tertutup oleh selimut hijau, sehingga yang terlihat hanya wajah dan tangannya. Aku melihatnya tak berkedip. Aku alihkan pandanganku ke Fina, yang tengah duduk berdiam diri di samping meja kecil di sudut ruangan. Ia memandangku pilu. Perhatianku kembali kepada Adinda. Aku penasaran seperti apa wajah sekarang. Ku tatap raut wajahnya yang tertutup sebagian oleh Ventilator, masih cantik dan menggemaskan, seperti dulu. Tak ada yang berubah. Ku pandang Fina sekali lagi. Ia hanya membalas tatapanku dengan tersenyum getir. Aku tahu benar perasaannya sekarang. Lagi pula ia sangat sayang kepada sahabat dari kecilnya itu sampai sekarang.

Perlahan ku dekatkan diriku ke tempat tidurnya. Aku duduk di pinggiran kasurnya. Ku pandang Dinda dengan wajah sedikit tak percaya. Sudah lama sekali aku tak melihatnya. Setidaknya, rindu itu sedikit terobati, namun ketika melihat keadaannya yang seperti ini, luka lama itu kembali menjadi jadi. Rasa pedih itu semakin nyata, menyesakkan dada. Sejujurnya aku sangat ingin melihatnya tersenyum, seperti senyumnya saat itu. Senyum yang selalu ku rindukan. Apalagi mendengar suaranya ketika berbicara padaku. Suaranya yang kecil dan lembut. Begitu menggemaskan. Aku rindu padanya. Teramat sangat rindu. Tanpa sadar, perlahan ku sentuh jari jemarinya. Ku rasakan dingin tangannya yang kian membeku. Aku berharap saat itu ia melakukan hal yang sama, setidaknya membalas sedikit genggamanku. Ku tunggu, dan tetap ku tunggu. Namun nihil.

Secara tiba-tiba kelelahan akhirnya datang menghampiriku, mataku terasa sangat berat. Aku berdiri. Fina hanya memandangku.
“Kenapa?” ucapnya pelan setengah berbisik. Aku menunjuk ke arah luar, dengan langkah gontai, aku menjauh meninggalkan Dinda dan Fina.

Malam itu ku habiskan dengan tidur di kursi tunggu. Ku dengar suara derit pintu. Ternyata Fina. Ia ke luar dari kamar itu, kemudian datang menghampiriku, duduk di sampingku, di bangku yang panjang.
“Kamu cape yah? Pasti gara-gara perjalanan jauh tadi bukan?”
Aku mengangguk pelan. Ku sandarkan punggungku ke dinding. Ku lihat wajah Fina yang lumayan terlihat letih. Keletihannya bercampur dengan rasa kekhawatirannya.
“Tidur di dalam aja, Dam. Gak apa-apa sekalian temenin Dinda”
Aku hanya diam saat itu. Aku ingin, namun aku tak sanggup. Rasa kekhawatiranku malah akan semakin besar nantinya.

Pagi ini aku dan Fina terbangunkan oleh tingkah laku para suster dan dokter yang tidak biasa. Kami lantas bertanya apa yang terjadi. Mereka berkata saat ini Adinda sedang masa kritis. Detak jantungnya kian melambat. Ia akan segera dipindahkan keruang ICU. Kami yang tahu hal ini akan terjadi, lantas bertindak cepat. Kami segera membantu memindahkan bed-nya ke ruang depan. Meski kami tak tahu apa yang harus kami lakukan, selain hanya berdoa. Yang penting, ini tak boleh terjadi. Ini tak boleh terjadi.

Elektrokardiograf di sudut ruang ICU saat itu menunjukkan detak jantungnya yang kian melambat. Dan kami, saat itu sangat ketakutan. Rasa cemas, sedih, dan khawatir semuanya berbaur, bersatu menjadi keringat dingin. Aku teruskan berdoa. Hingga sesaat kemudian kami diminta untuk menunggu di luar ruangan. Dan, dari sinilah mimpi buruk itu dimulai.

Tiga menit kemudian, dengan langkah gontai, Dokter keluar dari ruangan. Ia menanyakan apakah kami adalah keluarga atau sahabatnya. Lalu Fina berdiri dari bangku. Aku masih saja terduduk diam. Ku lihat Fina yang saat itu sedang berbicara dengan Dokter, tiba-tiba terkejut. Ia menangis tak tertahankan. Aku sadar kali ini aku benar-benar terlambat. Ketakutanku semakin menjadi.

Aku terkulai lemas, mencoba melangkah pelan ke arah tempat tidurnya. Ku pandang wajahnya sesaat, sebelum ia benar-benar pergi. Matanya, alisnya, hidungnya, bibirnya, dengan akrab ku kenal. Ini Dinda yang dulu. Mataku terasa berkaca-kaca, mengenang semua memoriku dulu. Ku genggam erat jari jemarinya untuk yang terakhir kali. Jari jemarinya yang dulu senantiasa menggenggam tanganku di suatu petang ketika aku lelah berjalan pulang. Jari jemarinya yang pernah menghapus peluhku di saat ku lelah berlari mengejar layangan. Jari jemarinya yang dulu sering mengusap gerimis di keningku ketika aku basah kehujanan. Dua puluh tahun lalu. Dan kini, Teman masa kecilku. Sahabatku, dan cintaku yang tak akan pernah jadi nyata, sudah pergi untuk selama-lamanya.

“Jangan pergi din. Jangan pergi” ucapku keras namun tak jelas. Air mataku jatuh mengalir. Menyatu di antara keringat-keringat dingin ketakutan. Aku takut semua kenangan yang telah terukir, pudar terkikis oleh sebuah perpisahan yang tak terelakkan.

Rengkuh genggamanku memudar, mencoba meneriakkan kata-kata tak rela. Namun aku sendiri tak mampu mengatakannya. Tanpa sadar, air mataku jatuh setitik demi setitik, menari membasahi pipi. Suara dengung dari alat pendeteksi denyut jantung menunjukkan kepada kami sebuah takdir yang tak terelakkan. Dokter menatapku lemah. Memberi tatapan kosong, seakan memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi. Aku diam mematung. Lututku bergetar dan napasku sesak. Aku merasa seperti nyawaku ikut terbang bersamanya. Fina yang berada di sampingku memelukku erat sambil menangis di bahuku. Pelukan yang sebenarnya tidak ku inginkan. Bahu yang sebenarnya sudah lama ku peruntukkan, untuk Adinda. Hanya untuknya.

2 september 2017
Aku membuka mataku perlahan. Pagi ini begitu dingin, namun hangat. Sedingin dan sehangat es yang mencair di awal musim semi. Aroma embun tercium begitu sejuk, bak udara basah yang masuk memenuhi paru-paruku. Ku memandang jauh ke depan. Terlihat dari kejauhan mentari yang masih malu malu menyingsing cakrawala, terhalang oleh fajar yang lebih dulu datang. Aku bingung. Tanpa sadar kedua tanganku ku sumpalkan ke dalam kantong jaket hitamku, dan tetap melangkahkan kakiku ke suatu tempat.

Aku berlari dalam kekosongan. Ku lihat sebuah pintu yang terbuka di ujung koridor. Ku lihat di sekeliling, aku ingat keadaan dimana sekolah ini kosong, dan lantai keramik depan kelas yang bercahaya, terpantulkan oleh sinar mentari yang baru saja terbit dari ufuk timur. Begitu sendu. Ku arahkan pandanganku ke depan. Aku tertegun. Terlihat seorang anak perempuan bersweater biru muda ke luar dari ruang kelas, tengah merangkul dirinya sendiri. Dari wajahnya terlihat ia sedikit kedinginan, tergambar jelas di parasnya yang cantik. Aku terkejut setengah mati melihatnya. Perempuan itu adalah Adinda, duniaku yang ku pikir akan berakhir, Mungkinkah ini? Aku pernah merasakan ini sebelumnya. Aku ingat!

Aku berlari terengah-engah menghampirinya, bersamaan dengan air mataku jatuh perlahan, mencoba meyakinkan semuanya. Aku memandangnya dari kejauhan. Ia tersenyum. Aku ingat senyum itu. Senyum yang bisa membuat siapa saja tersipu karenanya. Ku rangkul erat tubuhnya yang lembut. Hangat, sehangat musim semi. Tanpa sadar aku mulai menangis tersedu-sedu di bahunya. Tangis ketidakrelaan yang tak terbendung lagi. Tangis perasaan cintaku yang terkubur jauh di dalam benakku. Tangis perjumpaan pertama dan terakhir yang entah bagaimana bisa terjadi.

“Akhirnya kau datang,” ucapnya lembut setengah berbisik. Terdengar pelan, seperti bunyi dedaunan yang tertiup angin. Ku tatap kedua bola matanya yang bulat dan berwarna cokelat tua. Seperti sebelumnya. Senyuman merekah di bibirnya. Senyum yang kini berganti menjadi memilukan.
“Sudah lama aku menunggumu di sini. Aku tahu kau akan datang,” bisiknya di telingaku.
Ku tatap ia dengan wajah heran. Kami saling berpandangan. Hening. Waktu seakan membeku, berhenti di antara detik-detik dan jarum jam yang berputar.

Saat itu aku hanya ingin memandang wajahnya, selama-lamanya, tak ingin berakhir. Ku usap wajahnya yang bersinar, memantulkan kebeningan.
“Aku menyayangimu lebih dari yang kau tahu, Adam”
Jari jemarinya mengusap air mata dari pipiku, dan menatapku sendu. Rangkulanku perlahan-lahan memudar, tubuhnya kini seakan tak ada lagi. Aku menangis meneriakkan kepergiannya yang tak ku relakan. Pelukannya lepas. Ia menghilang.

Awal November, 2017
Aku terbangun oleh bunyi dedaunan tertiup oleh deru angin di suatu pagi. Ku buka mataku perlahan-lahan. Ku lihat dengan jelas langit biru yang berawan. Namun, ada keramaian di depan mataku. Dan seseorang tengah merangkul bahuku. Aku dengar beberapa orang yang memakai pakaian hitam terisak menangis, memecahkan kesenduan sabtu pagi di pemakaman. Dunia kini benar-benar berakhir bagiku. Mungkin hanya bagiku. Akhir duniaku. Dunia dimana aku hidup di dalamnya, yang tanpa segan melukiskan lekuk-lekuk indahnya memori masa lalu yang kita habiskan bersama, tanpa suara, tanpa jeda. Tak apa meskipun semua kini hanya angan belaka.

Awal Januari, 2018
Hujan turun lagi, petang ini. Aku duduk termenung di antara bangku bangku kosong di stasiun, diam tergeletak lemas. Pukul setengah enam. Perasaan aneh itu datang ketika ku coba mengusap wajahku yang basah. Aku merasa seperti ada rangkulan yang hangat yang pernah ku rasakan di masa lalu. Sesaat kemudian ku dengar bunyi rel yang perlahan bergetar, sampai akhirnya terlihat olehku kereta listrik yang akhirnya datang. Aku tersenyum sendiri.

Hidup itu kurang lebih seperti kereta ini. Terus melaju kencang, apapun yang terjadi. Tak akan pernah berhenti. Tak akan pernah. Hingga nanti pada akhirnya, perlahan ia akan melambat. Berhenti di akhir tujuannya. Di stasiun terakhir.

Cerpen Karangan: Dimas Nugroho Samudra
Facebook: Dimas Nugroho Samudra

Cerpen Stasiun Terakhir merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Tangis di Ufuk Barat

Oleh:
Matahari perlahan terbenam di ufuk barat. Suara azan bersamaan dengan itu bergema di seluruh penjuru dunia. Seorang wanita berkepala empat menaiki tangga menuju lantai tiga rumahnya. Dari tangga lantai

Ketika Cinta Tidak Direstui Ayah

Oleh:
Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira berpangkat tinggi, keturunan “Pasha” yang sangat terhormat di negeri yang tidak disebutkan namanya.

Menjadi Pelampiasan Sementara

Oleh:
Ini cerita waktu menjelang akhir semester 1 kelas xii, tak kusangka akhir-akhir ini pertemana kami semakin dekat meskipun kami beda sekolah aku dan mira 1 sekolah tapi kalau dengan

Sudah Saatnya Kau Bahagia

Oleh:
Taman bunga, di tengah kota, menjadi tempat yang teramat istimewa bagimu. Di sana kau mengikrarkan cinta. Membuat dunia dipenuhi lantunan orkestra yang romantis nan merdu. Bunga yang menari-nari pun

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

2 responses to “Stasiun Terakhir”

  1. millie says:

    Bagus banget, aku suka…..

  2. Maureen Alexandra Aisha says:

    Menyentuh banget .. :’)

Leave a Reply to Maureen Alexandra Aisha Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *