Sampul Biru Bermakna

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Pengorbanan, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 1 August 2013

Sepi tak ada orang yang menemaniku dalam hari yang istimewa ku ini dan menemaniku duduk disini, Apakah mungkin dia sibuk?, atau ada ganguan yang menghambatnya datang kesini? Saat ini dia kemana? Kenapa dia tak kunjung datang?

Aku duduk di taman menunggu yang kuharapkan datang. Beberapa menit, beberapa jam sudah berlalu. Tiba-tiba dari kejauhan tampaklah seorang gadis cantik yang mendekatiku dan raut mukanya tampak lesu.

“Cahya” Sapa Indri sembari melambaikan tangannya dan berjalan menghampiri Cahya.

“Hai Ndri. Kamu kenapa? mukamu lesu sekali.” jawab Cahya heran.

“Aku kurang tidur.” jawab Indri singkat.

Orang yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Kita saling bercengkrama, bercanda tawa bersama, serta ia mengucapkan Happy Birthday kepadaku di sweet seventeen ku ini. Hatiku berbunga-bunga mendengarnya karena ia adalah orang pertama yang tak lupa dengan hari yang istimewa bagiku. Setelah berbincang-bincang cukup lama, Indri ingin berkata sesuatu padaku.

“Cahya, aku lagi suka sama seseorang, dia ganteng banget and cool.”

“Oh ya?! Siapa namanya? kenalin dong sama aku!”

“Kepo banget sih. Ini masih rahasia dong!”

“Ihh udah main rahasia-rahasiaan nih!”

ADVERTISEMENT

Penasaranku terhadap Lelaki yang di sukai Indri begitu besar. Sampai aku memaksa terus siapa nama lelaki pujaan hatinya. Berkali-kali aku tanyakan, berkali-kali dia menjawab “RAHASIA”

Terasa pening kepalaku ini saat ku coba tuk langkahkan kaki ini masuk ke halaman sekolahku. Rasa pening dan pusing semakin kuat kurasakan di kepalaku. Ku coba tuk kuatkan raga ini berjalan menyusuri koridor menuju kelas. Tapi, Raga ini terus memberontak dan akhirnya…

BRUKK…

Aku terjatuh di atas tangan seorang pria di belakangku dan ia menyanggaku. Aku masih bisa melihatnya walaupun redup, matanya memancarkan sinar kasih cinta kepadaku. Mataku ini tak terbuka lama dan aku terjatuh di pelukan pria itu dan tak sadarkan diri. Seketika itu juga, Indri melihat ku dipeluk oleh pria itu dan ekspresinya cemburu padaku.

Dia menggendongku dan membawaku ke ruang UKS dengan berlari kecil. Setelah sampai disana aku dibaringkan di tempat tidur dan tak beberapa lama kemudiam aku tersadar dan…

TETT..TETT…TETT…

Bel masuk berbunyi nyaring dan aku tak sempat melihat wajah pria itu dengan jelas karena ia keburu pergi meninggalkan UKS dan menuju kelasnya sedangkan aku masih tak berdaya di atas ranjang ini karena rasa pening ini masih sedikit mendera.

Tak beberapa lama pria itu pergi, Indri masuk ke ruang UKS dan langsung meluapkan seluruh emosi yang sudah meluap-luap sejak tadi.

“BEST FRIEND FOREVER KITA END!!!” Ucap Indri dengan nada tinggi sambil berkacak pinggang dan matanya melotot tajam.

“Apa?! Kamu jangan bilang seperti itu. Sudah 15 tahun kita menjalani persahabatan ini, shill. Apa sebabnya?”

“Mau 15 tahun kek… 100 tahun kek aku sudah gak peduli sama persahabatan kita dan pokoknya best friend forever kita end dan aku sudah gak mau kenal sama kamu lagi.” seraya meninggalkanku yang sedang membujuknya.

Bujukan-bujukan manis sudah kukatakan padanya agar ia mau untuk membangun persahabatan ini lagi. Tapi, apa yang kuusahakan hanya sia-sia. Keputusannya sudah bulat dan persahabatan ini sudah tak dapat dipertahankan lagi. Dalam hati aku bertekad untuk terus berusaha mempertahankan persahabatan ini apapun caranya.

Cicit burung dan sinar matahari membangunkanku dari tidur pulasku malam ini. Aneh kurasakan dalam tubuh ini, kucoba gerakkan kedua kaki ini tapi, rasanya sulit sekali. Kucoba dan terus ku coba. Tapi hasilnya nihil dan malah aku yang jatuh dari tempat tidur.

“Pa… Ma… tolongin Cahya” Teriakku keras.

Orang tuaku bergegas menuju kamarku yang berada di ruang atas mukanya tampak gelisah.

“Cahya!” ucap Mama syok

Papa langsung menggendongku ke atas tempat tidur sedangkan mama langsung menelepon dokter pribadi. Selang beberapa menit kemudian dokter tersebut datang dan langsung memeriksaku.

“Dik… kakinya ga bisa digerakin mulai kapan?”

“Tadi, dok pas bangun tidur.”

“Apa adik sering pusing?”

“Iya dok”

Setelah diperiksa oleh dokter, dokter keluar dari kamarku diikuti dengan orang tua ku. Mereka berhenti di depan kamarku dan berbincang-bincang menyangkut penyakit yang diderita oleh ku.

“Gimana dok, putri kami.”

“Putri Ibu harus di periksa darahnya dan tadi saya sudah mengambil sampel darah anak ibu untuk diperiksa lebih lanjut dan kakinya mohon jangan dipijit.”

“Baik dok.”

Dokter pergi meninggalkan rumah kami dan mama menemaniku di kamar.

“Ma.. Aku kenapa?”

“Mama juga belum tau. kamu harus diperiksa dulu darahmu di laboratorium.”

“Separah itu ma?”

“Mama tidak tau.”

Pria yang kemarin menolongku sibuk mencariku di sekolah. Ia bertanya kepada seluruh siswa di SMA itu dan ia juga bertanya pada Indri.

“Ndri… kamu tau gak Cahya dimana?”

“Oh.. Cahya. Dia gak masuk sekolah katanya sih sakit. Kamu kenapa sih perhatian banget sama dia. Aku gak suka tau kalau kamu deket-deket sama dia.”

Ucapan terakhir yang dikatakan Indri tak digubris oleh pria ini. Ia bertanya kepada guru kelas Cahya tentang alamat rumah Cahya. Guru kelas memberikan alamat Cahya kepadanya dan sepulang sekolah ia bergegas menuju ke rumah Cahya.

TING TONG TING TONG

Bel berbunnyi nyaring tuk memanggil seluruh isi rumah untuk membukakan pintu depan. Karna aku sekarang sudah tak bisa berjalan, sekarang mamaku yang menggantikanku membuka pintu depan.

“Hai tante… Cahya ada?”

Mamaku melihat postur tubuh pria ini perawakannya tinggi dan dari raut wajahnya kelihatan orang baik budi pekertinya

“Ada.. Kamu siapa?”

“Saya temanya tante..”

“Mari silakan masuk.”

Mamaku mengajak masuk pria itu ke dalam kamar ku. Di dalam kamar, aku terbaring tak berdaya di tempat tidur sedangkan ia hanya tercengang melihat keadaanku yang sekarang ini. Mamaku meninggalkan kami berdua di kamar.

“Kamu kenapa, Cahya?”

“Kamu siapa?”

“Kenalkan aku Rangga Aji Bagaskara panggil aja aku Rangga. Kemarin aku yang menolongmu. Aku tau namamu dari seragam yang kamu kenakan kemarin.

“Ohh makasih bantuannya kemarin.”

“Oh ya sama-sama. Kamu sakit apa?”

“Aku juga gak tau aku sakit apa. Tapi yang aku tau kakiku gak…”

Bicaraku terputus seketika. Tiba-tiba mulutku tak dapat mengeluarkan suara lagi. Rangga bingung. “Kenapa Tiba-tiba Cahya tak dapat berbicara?” Ia panik dan langsung menggendongku ke lantai dasar dan memberitahu orang tuaku.

Mereka semua membawaku ke rumah sakit di depan perumahan Jati Asri.

Suster hilir mudik kesana kemari membawa pasien yang berdatangan. Rangga menggendongku menuju ke UGD. Di UGD aku dibaringkan di tempat tidur dan mendapatkan pertolongan medis.

Aku kembali menjalani proses pengambilan darah. Dan rasanya sakit sekali tubuh ini di masuki jarum yang panjang dan runcing menyedot darahku. Setelah prosesi itu aku tertidur pulas.

Rangga tetap setia menungguku di samping tempat tidur sambil mengelus elus rambut dan wajahku. Ia kaget saat ia sedang mengelus-elus aku terbangun.

“Rangga”

“Maaf aku gak bemaksud …”

“Gak apa-apa kok”

Orang tua ku sedang menunggu hasil tes darah ku di depan ruang laboratorium. Setelah menunggu beberapa lama dokter pribadi dan dokter rumah sakit bersamaan memberikan hasil tes darah. Papaku membuka hasil dari dokter rumah sakit sedangkan mamaku membuka hasil dari dokter pribadi.

“Ini gak Mungkin! Ini pasti tertukar dengan pasien lain ya kan dok?”

“Maaf bu, itulah kenyataannya. Saya yang langsung mengetesnya.”

“Iya bu, rumah sakit pun demikian. Tes tersebut tidak mungkin tertukar Ibu.”

“Tapi ini gak mungkin. Iya kan Pak?”

“Ini kenyataannya ma, anak kita terserang penyakit kanker otak stadium akhir.”

“Iya bu, ibu harus ikhlas dan menerimanya dengan lapang dada. Dan saya sebagai dokter dari rumah sakit juga memberitahu pada bapak dan ibu bahwa putri kalian sudah tidak lama lagi.”

“Dokter bukan tuhan. dokter tidak berhak berkata seperti itu. Yang tau ajal seseorang hanya tuhan!”

Mamaku menangis tersedu sedu mendengar berita tentang penyakit putrinya. Ia masih tak percaya bahwa umurku sudah tidak lama lagi. Mama dan Papa masuk ke kamarku. Wajah mama tampak sedih memandangiku. Kucoba tuk berbicara sesuatu. Mereka melihat usahaku tuk berbicara dan mereka merasa iba kepadaku. Rangga memberi secarik kertas dan pena kepadaku. Kutuliskan sebuah pertanyaan yang berisi “Aku sakit apa ma.. pa..?”. Mereka bingung menjelaskannya padaku.

“Ma… kalau mama gak sanggup biar papa aja yang bilang”

“Ga usah pa..” ucap mama “Cahya.. kamu terserang penyakit kanker otak stadium akhir dan kata dokter umurmu sudah tidak panjang lagi.” Kata mama seraya meneteskan air mata.

“Aku berusaha menerima kenyataan ini, Aku gak boleh menangis di hadapan mereka, kalau aku menangis aku akan menambah kesedihan mereka. Aku gak mau mereka sedih, aku sayang banget sama kalian semua.

Hari kedua dirumah sakit, rasanya aku bosan karena aku harus bedrest di tempat tidur dan kaki tak dapat digerakkan lagi. Tangan menunjuk ke arah kursi roda. Mamaku yang berada di sampingku mengerti bahwa aku ingin jalan-jalan keluar kamar. Ia membantuku duduk di kursi roda dan mendorong kursi roda itu menuju balkon rumah sakit. Aku selalu membawa buku diary kecil untuk mencurahkan isi hati sekaligus membantuku berkomunikasi.

“Eh ada apa beibh Rangga?”

“Seenaknya aja manggil aku beibh. Emang aku siapa mu, ndri?”

“Pacar kamu lah!”

“What?! pacar?! Ogah ya pacara sama kamu. Aku cuma mau ngasih tau ke kamu kalau Cahya sekarang ada di rumah sakit dia sakit kanker otak stadium akhir.”

“Masak bodoh ya! Aku dah ga ada hubungan persahabatan lagi sama dia. Dah ya aku mau pulang dulu beibh.”

Rangga menaiki motor ninjanya dan menuju ke rumah sakit.

Di rumah sakit ia langsung ke kamar rawat ku. Disana ia tak mendapatiku di dalam kamar dan pada saat itu seorang suster melintas didepannya.

“Sus… pasien yang di rawat di kamar ini kemana ya?”

“Oh nona Cahya ia sedang di taman.”

“Makasih sus.”

Rangga bergegas menghampiriku di taman. ia mendekatiku yang sedang duduk memandang alam yang mungkin ini yang terakhir kali aku melihatnya. Secara perlahan mamaku meninggalkanku dan Rangga sendiri di taman. Rangga membawa sekuntum bunga mawar yang semerbak baunya. Rangga bertekuk lutut di depan ku sambil menyodorkan bunga mawar.

“Cahya saat kita petama bertemu aku sudah merasakan ada chamistry di antara kita dan aku sekarang akan mengatakannya

I LOVE YOU CAHYA”

Aku terdiam tak berkata apa apa. Suasana menjadi hening tanpa ada suara apapun hanya suara cicit burung yang terdengar.

Aku terdiam dan tak berkata apa-apa. Kini aku sadar yang membuat persahabatanku dengan yang membiarkan Rangga mendekatiku dan sekarang aku tau Indri merasa cemburu padaku. Kutuliskan sebuah kata-kata di sebuah buku yang biasa aku bawa dan Rangga membacanya.

“Maaf Rangga, Aku gak bisa menerima cintamu ada yang lebih pantas mendapatkanmu dari pada aku. Aku ini tak pantas menjadi pacarmu, Aku ini cacat dan penyakitan. Yang ada aku akan menyusahkanmu.”

“Kamu gak nyusahin aku. Aku mau menerimamu apa adanya. Siapa orang yang lebih pantas mendapatkan cintaku dari pada kamu?”

Aku tak bisa menjelaskannya sekarang padanya mungkin harus kusimpan dulu siapa orangnya. Tiba-tiba kepalaku terasa pusing dan akhirnya aku pingsan. Rangga membawaku ke kamar rawatku dan segera memanggil dokter. Orang tuaku panik melihatku pingsan.

“Apa yang terjadi Rangga?”

“Maaf Om, saya gak tau apa-apa dia tiba-tiba pingsan.”

”Pa bagaimana dengan putri kita?” seraya menitikkan air mata.

Dokter memeriksaku secara teliti. Dan setelah itu dokter keluar dari ruang rawatku.

“Dok, gimana putri saya?”

“Maaf putri ibu kritis, denyut jantungnya melemah mungkin sebentar lagi…”

Sebelum dokter menyelesaikan perkataannya, Mama ku langsung masuk ke kamarku dengan wajah di banjiri air mata. Aku perlahan-lahan membuka mataku ini dan aku langsung mennuliskan nama di buku yang selalu aku bawa, Mama langsung memanggil orang yang aku maksud.

“Ada apa, Cahya?”

Goresan pena membuat kata-kata di buku itu dan ini adalah permintaan terakhirku kepada Cakka. Kuserahkan buku bersampul biru yang menjadi saksi bisu perjalanan setelah persahabatannya hancur.

To : Rangga

Rangga please! Serahkan buku ini pada Indri. Aku mohon dan aku minta sesuatu sama kamu. Aku mohon, Belajarlah mencintai Indri karena ia cinta sama kamu aku mohon!

“Baik, Cahya apapun yang kamu mau akan aku turuti walau rasanya itu sangat berat.”

Dadaku terasa sesak aku merasa kalau nyawaku sedang di ambil oleh malaikat maut. Dokter langsung memasangiku oksigen dan alat pendeteksi denyut jantung. Tapi, hal itu tidak berhasil. Alat pendeteksi denyut jantung itu berhenti bergerak dan suaranya menjadi….

TUUUTTT

Semua orang yang ada di sekitarku menangis tanpa henti. Aku tau pasti kalian tak rela kalau aku pergi secepat ini. Sebenarnya aku juga tak ingin meninggalkan kalian, tapi aku tak bisa menghindari maut. Aku berharap semoga kepergianku adalah hal yang terbaik untuk kalian semua.

Keesokan harinya aku dimakamkan di tempat pemakaman umum di dekat rumahku. Aku tak melihat batang hidung Shilla di tempat pemakaman itu. Kini Rangga menangis tak henti di atas gundukan tanah yang masih basah. Ingin sekali aku memeluknya dan menghiburnya tapi aku dan dia sudah beda dunia.

Sehari setelah pemakamanku, Rangga menjalankan amanatku yang pertama yaitu memberikan buku bersampul biru kepaada Indri. Dihatinya masih bertanya-tanya apakah Indri mau menerimanya? Dengan tekad yang kuat ia memilih untuk memberikannya.

“Ndri, ini ada titipan buat kamu.” Seraya memberikan buku bersampul biru itu.

“Dari siapa, beibh?”

“Dari seseorang. baca aja buku itu.”

Rangga meninggalkan Indri dan bergegas pergi agar tidak ditanyai macam-macam. Indri mulai membuka dan membaca buku itu. Halaman demi halaman dibacanya, setiap halaman yang dia baca pasti menitikkan air mata. Sampai di suatu halaman yang membuatnya kecewa atas keputusannya dulu.

Dear, Diary

Ndri, seandainya kamu tau hatiku sakit banget ketika kau bilang padaku bahwa persahabatan ini sudah berhenti disini. Hatiku lebih sakit lagi ketika kau selalu menjauhiku. Aku tau kamu cemburu saat aku di gendong dengan pujaan hatimu, Rangga. Aku gak bermaksud mengambil pujaan hatimu. Saat ia menyatakan cintanya padaku, aku menolaknya dan lebih baik aku mengalah untukmu. Karena aku yakin kaulah yang terbaik untuknya. Jagalah Rangga baik-baik ya, ndri!

Indri menangis sambil berlari ke tempat aku dimakamkan. Disana terlihat gundukan tanah yang masih basah dan ditaburi oleh bunga dan dibatu nisan itu tertuliskan namaku Cahya. Ia langsung jongkok di samping makamku

“Cahya, maafkan aku aku telah membuatmu sakit hati dan tersiksa. Aku tak pernah meyemangatimu saat kamu sakit dan sampai ajal menjemputmu pun aku tak peduli. Kau juga rela mengalah demiku. Maafkanlah aku Cahya!” sembari menangis dan mengelus-elus batu nisanku.

1 tahun kemudian…

Kringg…kringg…

Bunyi handphone berdering keras tanda ada panggilan masuk. Indri mengangkat telepon tersebut.

“Hallo, Rangga”

“Indri ada yang mau aku bicarakan penting!!!”

“Apa, beibh?”

“Nanti saja aku jelaskan! Nanti kamu datang ke Cafe indah jam 7 malam.”

“Oke.”

Indri penasaran apa yang ingin dibicarakan oleh Rangga padanya. Ia mulai bersiap-siap karena sekarang sudah pukul 6 sore. Ia akan memakai yang paling bagus yang ia miliki.

Tepat pukul 7 malam , ia sampai di cafe indah disana trlah ada yang menunggunya dengan membawa sekuntum bunga ia kemudian mendekati Rangga dan duduk di depanya.

“Indri ada yang mau aku katakan.”

“Apa? Langsung aja!”

“Aku ingin menjalankan amanat kedua yang disampaikan Cahya sebelum menutup mata. Amanat itu adalah aku harus belajar mencintaimu dan maukah kamu menjadi pengisi hatiku?”

Indri terdiam dan memikirkan sesuatu. “apakah aku harus menerimanya dan akan senang dengan semua ini yang telah diperjuangkan Cahya? Apakah aku harus menolak dan membuat kecewa Rangga yang sudah belajar mencintaiku? Dan jika aku menolaknya apa alasannya?” Indri bingung dengan semua ini setelah beberapa lama ia memutuskan untuk …

“Rangga, keputusanku sudah bulat. Aku menolak cintamu ini. Maafkan aku. Karena aku juga tak mau senang di atas penderitaan sahabatku sendiri. Mungkin ini yang terbaik di antara aku dan dan Cahya untuk tidak ada yang mendapatkan cintamu.

“Tapi bagaimana besarnya cintamu padaku?”

“Itu hanya sebuah perasaan yang bisa tumbuh kembali. Aku minta maaf dan berterima kasih padamu yang telah berjuang mati-matian selama 1 tahun untuk belajar mencintaiku.

Setelah menolak cinta Rangga, Ia langsung pulang ke rumah sambil menangis dan berkata dalam hati “Cahya, aku memutuskan untuk merelakan perasaanku pada Rangga demi membalas pengorbananmu selama ini. Semoga kau tenang dan damai di sisi-Nya.

THE END

Cerpen Karangan: Diana Kusuma Astuti
Facebook: Diana Kusuma Nuradlani

Cerpen Sampul Biru Bermakna merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Sahabat Mungil

Oleh:
Hari itu, ada tugas Bahasa Indonesia, karena tugasnya masih banyak, kami ngadain belajar kelompok di rumah salah satu temanku, yaitu Ella. Karena rumahku jauh, menuju ke rumah Ella, harus

Akhir Penantianku

Oleh:
Rasa ini tak pernah aku sadari kapan ada dan kapan berakhir. Semua berjalan seperti air yang mengalir, seperti daun yang terbawa angin lalu. Namun, aku juga telah banyak belajar

Jangan Mudah Bilang Iyaa (Part 2)

Oleh:
Sejak pembicaraan tadi pagi sikap ibu jadi dingin padaku. Apa salah jika aku menolak keinginannya, aku tahu pasti setiap ibu ingin melihat anaknya hidup mapan, bahagia dan sehat. Tapi

Kenapa Semua Berubah

Oleh:
Pada hari itu aku masih berumur 15 tahun, aku pada saat itu masih kelas 2 sma pada saat itu aku masih culun dan lugu, teman ku sejati ku aldo

Ketika Cinta Terhalang Usia

Oleh:
Terimakasih. Hanya kata itu yang bisa Michella ucapkan. Segala sesuatu yang saat ini ia lihat sungguh tak pernah dibayangkannya. Berdiri di tempat ini dulu hanya sebuah angan. Namun kini

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *