Pelangi Senja

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Segitiga, Cerpen Patah Hati, Cerpen Romantis
Lolos moderasi pada: 5 June 2013

Matahari mulai turun ke tempat persembunyiannya. Semburat awan oranye pun sudah tampak di pinggiran matahari. Rintik hujan masih terus turun membasahi setiap permukaan bumi. Daun-daun meneteskan air hujan yang tergelincir di permukaan.

Sampai detik ini aku masih menunggunya disini. Di tempat yang penuh kenangan bersamanya dan disini aku bisa melihat wajahnya yang melontarkan senyuman manis ke arahku. Namun, itu hanya sekejap dan kemudian hilang entah kemana.

Aku masih tak tahu, apakah keputusanku saat ini benar? Keputusan yang membawaku masuk ke dalam jurang penantian yang tak berujung. Keputusan untuk menunggu seseorang yang kini tak ada kabar sama sekali setelah 3 tahun meninggalkanku. Walaupun sebenarnya dia telah membebaskanku untuk mencari penggantinya. Tapi hati ini tak dapat berpaling darinya dan dalam hatiku telah terukir namanya dan hanya namanya.

Seketika itu lamunanku tentangnya lenyap, saat kurasakan tepukan tangan yang mendarat di bahuku. Awalnya aku sangat berharap yang menepuk bahuku adalah ‘DIA’. Namun, harapan itu sirna saat aku menoleh kearahnya.
“Nadia, ayo pulang! bajumu juga sudah basah. Nanti kamu bisa sakit!” ajak pria itu sembari memayungi tubuhku agar tidak kehujanan.
Pria itu adalah Andreas Gabriel. Orang yang tiba-tiba muncul dalam kehidupanku setelah Rio pergi dari kehidupanku dan kini entah kemana. Gabriel selalu memberi perhatian lebih kepadaku dan caranya menatapku memancarkan sebuah sinar cinta yang amat kuat. Dan kode-kode cinta yang ia berikan padaku tak pernah aku gubris karena aku belum bisa berpaling dari Rio.
“Nadia, ayo pulang!” ajaknya lagi.
“Kamu ini siapa sih? Bukan siapa-siapa aku kan? Tapi bawelnya sudah seperti mamaku. Aku ini sudah besar, aku bisa pulang sendiri!” cerocosku.
“Tapi, Nad ini sudah hampir malam dan masih hujan.” ucap Gabriel khawatir.
“Aku bilang sekarang kamu pulang!!!” usirku.
Gabriel menundukkan kepalanya. Dan raut wajahnya menggambarkan sebuah kekecewaan yang mendalam. Apakah aku terlalu kasar padanya? Apakah kata-kataku tadi telah melukai hatinya? Ekspresi Gabriel itu membuatku bersalah dan setelah perkataanku tadi, dia hanya membisu dan meletakkan sebuah payung disampinku dan langsung pergi begitu saja.

Matahari telah benar-benar ke tempat persembunyiannya dan rembulan mulai naik ke langit untuk menerangi bumi. Bintang-bintang angkasa dan bintang jalanan sudah berkelip. Rintik hujan pun sudah berhenti. Pakaianku yang semula basah sudah mulai mengering. Tapi, ternyata orang yang ku tunggu belum datang dan aku berfikir, mungkin hari ini tidak datang.

Aku berdiri dari tempat duduk dan melangkahkan kaki ini ke arah rumah dan di perjalanan itu. Perasaan bersalahku pada Gabriel muncul kembali. Dengan langkah besar-besar aku masuk ke rumah dan langsung menghampiri mamaku yang sedang asyik menonton televisi.
“Ma, Gabriel tadi kesini?” tanyaku.
“Tadi sih kesini, dia mencari kamu, tapi mama bilang kamu lagi di taman terus mama nyuruh dia buat jemput kamu. Memangnya dia gak kesana?” jawab mamaku yang pandangannya tertuju pada layar televisi yang sedang ditontonnya.
“Kesana kok ma. Tapi, dia cuma ngasih aku payung terus dia langsung pulang.” Jawabku.

Aku berjalan menjauh dari ruangan menonton televisi ke arah kamarku. Perasaan bersalah itu terus berkemelut dalam hatiku. Aku bimbang. Apakah aku harus menelepon Gabriel sekarang? Namun rasanya kurang afdol jika belum meminta maaf secara langsung dan lebih baik aku menemuinya besok di kampus.

Aku mengambil bingkai foto berbentuk love dari dalam laci meja rias. Di dalam pigura itu terpampang jelas wajah Rio yang mengecup keningku 3 tahun lalu.
Tanpa disadari butiran-butiran air menetes tepat di atas kaca pigura itu. Aku rindu wajahnya, aku rindu tawanya, aku rindu kasih sayangnya. Andai dia tau betapa aku mencintainya dan setiap senja aku menunggu kedatanganya di taman itu dengan membawa pelangi yang indah.

Hari sudah berganti dan aku baru tersadar jika semalam aku memeluk erat foto Rio. Tiba-tiba kepalaku sedikit pusing. Mungkin pengaruh aku hujan-hujanan menunggu Rio kemarin. Walaupun aku sedikit pusing, aku tetap memaksakan diri untuk berangkat ke kampus demi meminta maaf pada Gabriel.

Aku menyeret kakiku mendekati mobil SUV yang terparkir di halaman rumah. Aku membuka kenop mobilku dan duduk di depan kemudi. Dengan kecepatan sedang, aku memacu mobilku menyusuri jalanan kota Jakarta yang padat akan lautan kendaraan yang mengejar waktu.

ADVERTISEMENT

Sudah 30 menit aku menempuh perjalanan dan hari ini tidak seperti biasanya, karena hari-hari sebelumnya aku hanya memerlukan waktu 20 menit untuk sampai kampus. Mungkin hari ini begitu banyak orang yang berebut jalan untuk mencapai tempat yang mereka tuju.

Kini aku telah berdiri tepat di depan kampusku. Ku tarik nafas dalam-dalam dan mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam kampus. Sorot mataku yang memandang sekeliling langsung tertuju pada sosok laki-laki yang sedang berdiri di depan pintu fakultas kedokteran. Aku menghampirinya dengan setengah berlari.
“GABRIEL” teriakku sambil menghampirinya.
Panggilan itu tak membuat Gabriel menunggguku disana. Ia malah berjalan menjauh dari fakultas kedokteran. Aku bertambah bingung dengan kelakuannya. Apakah kata-kataku benar-benar melukai hatinya? Atau suara teriakkanku begitu lembut dan tak terdengar olehnya?

Aku mempercepat langkah dan mencengkeram erat tangan Gabriel agar tak menghindar dariku. Cengkraman itu benar-benar berhasil menghentikan langkahnya, kemudian ia menoleh kearahku.
“Kenapa kamu menghindar? Apa kamu tak mendengar panggilanku?” tanyaku.
“Aku tak menghindar. Maaf aku harus cepat-cepat bertemu dosen.” Elak Gabriel dan berusaha melepas cengkramanku namun semakin ia berusaha melepasnya semakin kuat aku mencengkramnya.
“Gabriel tunggu, Aku mau minta maaf.” Ucapku sembari merenggangkan cengkramanku.
“Kamu tak salah apa-apa. Seharusnya aku yang minta maaf karena aku telah mengganggu penantianmu. Seharusnya aku juga tidak terlalu mengharapkanmu, karena di hatimu hanya ada Rio kan?. Aku ini memang orang bodoh yang menunggu cinta seseorang wanita dan wanita itu sama sekali tak mencintaiku. Dan percayalah padaku Rio akan kembali dan penantianmu selama ini tidak sia-sia.” Ucap Gabriel sembari menepuk bahuku dan berlalu pergi meninggalkanku.

Kata-kata Gabriel tadi benar-benar membuatku tersentuh dan tanpa kusadari, buliran-buliran air mata telah membanjiri pipiku. Aku tau saat ia mengatakan itu padaku pasti hatinya teramat sakit. Tetapi begitu tegarnya dia mengatakan hal itu di depanku sambil menatap mataku.

Matahari telah terasa di atas kepala dan mata kuliah hari ini pun telah selesai. Aku berjalan mendekati SUV ku yang terparkir tepat di samping mobil sport milik Gabriel. Dan pada waktu bersamaan Gabriel juga akan masuk ke dalam mobilnya.
‘Nadia, aku pulang dulu!” pamit Gabriel
Aku hanya menatapnya datar. Apakah secepat itu menghapus namaku dalam fikirannya? Ataukah ia memang pintar menyembunyikan perasaan dan tetap tersenyum di depanku padahal hatinya perih?

Mobil sport Gabriel sudah benar-benar menjauh dari parkiran sedangkan aku dari tadi terus berdiri memandangi mobil sport Gabriel yang kian lama kian menjauh.

Aku masuk kedalam mobil SUV ku dan memacunya. Aku memacu mobil itu tanpa arah yang jelas. Aku hanya mengikuti kata hatiku. Setelah beberapa lama aku memacu mobil ini, kata hatiku berkata harus berhenti disini di sebuah taman penantianku.

Aku membuka kenop mobil dan berjalan ke arah tempat duduk yang biasa aku duduki. Dan mulai detik ini aku kembali menanti sosok Rio.

Hari ini cuaca begitu cepat untuk berganti. Apakah mungkin ini pengaruh dari lapisan ozon yang terus menipis setiap hari? Langit yang semula biru langsung tertutup oleh awan abu-abu. Namun cuaca itu tak membuatku berhenti menunggu kehadiran Rio.

Langit mulai menangis meneteskan air yang berguna bagi kehidupan manusia. Aku masih bersabar menunggu kehadirannya. Namun, kepalaku sudah tak dapat berkompromi. Rasa sakit itu terus mendera dan aku sudah tak mampu menahannya. Tubuhku mulai melemas dan perlahan mataku hanya bisa melihat kunang-kunang yang terus berputar di kepalaku. Kemudian mataku terpejam tak dapat melihat apa-apa.

Tubuhku yang tak berdaya ini terkulai lemas di bangku taman dengan air hujan yang terus mengguyurku tanpa henti. Sebuah mobil sport yang melintas jalanan taman ini, melihatku terkulai lemas di bangku taman dan dengan segera pengendara mobil itu menghentikan laju kendaraannya. Ia berlari hendak menolongku, namun ia sudah terlambat. Seorang laki-laki tampan berperawakan tinggi sudah lebih dulu menggendongku dan membawaku ke sebuah gazebo yang ada di taman itu. Pengendara mobil itu yang ternyata adalah Gabriel berhenti melangkah dan bersembunyi di balik pohon besar sembari memandangiku dan laki-laki yang menggendongku dengan miris.

Laki-laki yang menggendongku membaringkanku di gazebo itu dengan kepalaku yang disandarkan di kaki laki-laki itu. Ia mengusap keningku dengan penuh perasaan.
“Nadia, aku mohon sadarlah! Kenapa kamu tetap menantiku? Kenapa kau lebih mementingkan kehadiranku daripada kesehatanmu? Apa cintamu begitu besar padaku? Dan ku akui aku juga mengharapkan kehadiranmu untuk mengisi hari-hariku.” ucap laki-laki itu yang ternyata adalah Rio Pradipta.

Hari mulai senja dan hujan yang deras itu berubah menjadi gerimis dan sebuah pelangi sudah sedikit muncul menghiasi langit. Gabriel masih berdiri mematung disana. Aku mulai membuka mataku. Remang-remang wajah Rio perlahan mulai menjelas dalam pandanganku. Wajah itu tersenyum ke arahku sama persis seperti senyuman terakhir sebelum Rio meninggalkanku.
“Rio?” ucapku lirih.
“Iya. Aku Rio Pradipta orang yang telah tega meninggalkanmu.” jelasnya.
Aku mendudukkan tubuhku menghadap ke arah Rio dan aku langsung memeluk erat tubuh Rio, orang yang sangat kurindukan selama ini dan seketika itu tangisku pecah dalam pelukannya.
“Rio, terima kasih kau telah kembali dalam kehidupanku.” ucapku sembari terisak.
“Aku juga berterima kasih kau setia pada perasaanmu padaku.” ucap Rio seraya mengelus punggungku.
Kini aku merasa bahagia karena belahan jiwaku yang selama ini aku nanti, kembali dalam dekapanku namun lain hal dengan Gabriel yang berdiri mematung memandangiku dan Rio.
“Nadia, aku turut bahagia, kau telah kembali menemukan cinta yang kau nanti. Namun bagiku kau tetap cinta pertama dan terakhirku walaupun aku tak dapat memilikimu.” ucap Gabriel sembari meneteskan air mata namun bibirnya tetap menyunggingkan sebuah senyuman kebahagiaan di atas kepahitan dan sebuah pelangi yang semula tipis, kini semakin menjelas dan pelangi itu menjadi saksi cinta tiga anak manusia.

~Seseorang yang tulus mencintai adalah orang yang mampu tersenyum walaupun hati sakit dan ia mampu bertahan dan ikut bahagia jika orang yang kita cinta juga bahagia~

Selesai

Cerpen Karangan: Diana Kusuma Astuti
Facebook: Diana Kusuma Nuradlani

Cerpen Pelangi Senja merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Demi Sahabatku

Oleh:
Siang itu sepulang sekolah aku dan sahabatku menuju lapangan untuk berkumpul mengikuti kegiatan organisasi sekolah. Saat itu aku melihat seseorang yang asing bagiku, dia seorang cowok yang bisa dibilang

Tuhan Tahu ku Cinta Kau

Oleh:
Langkahku menyusuri menuruni tangga pesawat, sejenak aku berhenti memandang sekeliling. Ini hari pertama aku pulang setelah hampir 5 tahun aku merantau, Aku rindu sekali dengan tempat ini. kota jakarta

Korban PHP

Oleh:
“Kringg.. kringg.. kringg” “Ah berisik! gak tau apa orang lagi mimpiin doi nembak, sialan lo jam beker” keluhku. Yaps. namaku Mega safitri, biasa dipanggil mega. masih 14 tahun sih

Hanya Pelampiasan

Oleh:
Kuawali pagi ini dengan senyuman. Pagi-pagi sekali aku datang ke sekolahanku. Terlihat suasananya masih sepi. Tak banyak siswa yang datang. Aku pun menuju kelas. “Karin” pangggil seseorang di belakangku.

Dua Pilihan

Oleh:
Kisah ini bermula saat aku duduk dikelas 2 SMA. Pertama masuk SMA aku punya dua teman yang baik, namanya Silvi dan Cia. Silvi dan aku menganut agama Islam sedangkan

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

3 responses to “Pelangi Senja”

  1. Ian says:

    bisa minta ijin untuk digunakan dalam tugas? terima kasih

  2. Boleh. Asalkan ada nama penulisnya. Maaf baru sempat balas

  3. tasya says:

    bisa minta izin copas gak? tenang aja kok nama penulis juga akan di sertakan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *