Pantulan Senja di Liuk Serayu

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Romantis, Cerpen Cinta Sedih
Lolos moderasi pada: 27 June 2020

Di petang yang cerah, sepasang muda-mudi asyik bercengkrama di tepi jembatan kereta. Keduanya duduk menjuntaikan kaki ke bawah. Sambil sesekali kaki perempuan berayun pelan di udara.

Seorang lelaki menyuap cenil–yang merupakan jajanan tradisional Nusantara berbahan dasar singkong–merah muda ke mulut kekasihnya. Di tangannya ada cenil warna-warni serupa pelangi terbungkus daun jati.

Dia mengudap cenil hijau dengan taburan gula pasir dan parutan kelapa di dalam kunyahannya. Manis, gurih dan legit bersatu padu memanjakan lidah pemuda itu.

“Apa warna cenil yang baru saja kumakan, Mas?”
“Merah muda.”
“Kenapa merah muda?”
“Karena itu cocok untukmu. Warna merah muda cukup mewakili dirimu yang lembut lagi menawan. Anggun dengan sifat khas kewanitaan yang penyayang.”

Seruni menunduk. Pipinya bersemu merah. Entah darimana kekasihnya belajar melancarkan jurus godaan maut. Seruni tak mengerti.

Di bawah jembatan, mengalir sungai serayu meliuk-liuk dengan air yang tidak deras. Tenang. Batu-batu hitam besar berdiam mematung hayati aliran arusnya.

Senja berlayar menepi pada permukaan air sebening kaca terbias hijau berangsur-angsur tercampuri jingga keemasan bersama pantulan pijar matahari bundar.

Pun biru langit berkolaborasi dengan anggun warna senja. Menyemburat tipis bukti dari kemesraannya.

Kendaraan ramai lalu-lalang sesaki jalan di kelok menuju kota Purwokerto. Sesekali gemuruh kereta melintas di jembatan panjang sebelum tiba di Stasiun Kabasen.

“Mas Bima… seindah apa senja itu?” Mengalun halus suara Seruni bak putri keraton Yogyakarta.

ADVERTISEMENT

Bima–Abimanyu lengkapnya–menoleh. Dipandanginya wajah ayu kekasihnya. Serupa kaca, bola mata Seruni berbinar-binar jernih diterpa mentari sore. Tiada yang lebih indah dari memandang orkestra senja pada manik hitam bidadarinya. Kerling cinta–begitu Bima menyebutnya.

“Seindah dua hati yang bertemu pada titik rasa… cinta,”

Terkagum-kagumlah Bima pada paras menawan Seruni. Lebih-lebih bayu berembus nakal dari arah selatan menerbangkan helaian panjang rambut Seruni-nya.

Tangan pemuda itu bergerak menyelipkan helaian surai di telinga Seruni. Menyingkirkan pengganggu pemandangan indahnya.

“Ceritakan lebih detil, Mas. Aku ingin melihat senja walau hanya dalam bayang saja.”

Bima mengangguk. Diraihnya tangan Seruni yang lebih kecil dari tangannya. Dikaitkannya jemari lentik dengan jemari kokoh miliknya. Hangat. Kebersamaan memang selalu terasa menyenangkan ketimbang sepi yang bergumul dalam hening.

“Pejamkan matamu,”
“Kenapa?” Seruni memandang lurus ke depan. “Aku membuka dan menutup mata pun rasanya… sama saja. Tiada beda. Gelap.” Alisnya turun.
“Beda, Seruni,” Bima mengeratkan genggaman. “Lakukan saja apa yang kukatakan.”

Kali ini Seruni menurut. Dia tak menginterupsi. Disembunyikan manik hitam di balik selimut kelopak matanya.

Giliran Bima memandang langit menakjubkan. Bersih dari gumpalan mega yang menggantung manja padanya. Lazuardi berjingkat pergi. Digantikan kencana berkilau kemerah-merahan.

Mata Bima menajam. Kian dipertegas penglihatannya. Berupaya mengirim gambaran yang ditangkap indranya pada Seruni. Bima semakin berkharisma dengan gurat seriusnya. Ketampanannya ditopang rahang yang kokoh.

Bibir Seruni terangkat ke atas. Membentuk segaris lengkungan. Seolah ia ikut menyaksikan senja, walau jelas Bima yang melihatnya. Berkat hati yang menyatu, keduanya seakan terhubung. Apa yang dirasakan pasangannya seolah dirasakan yang satunya juga.

“Indah, Mas. Aku menyukainya. Persis seperti dirimu.” Paras Seruni melembut. Sorot matanya meneduh.
“Kenapa?”
“Iya, senja menjelma dalam dirimu. Kalian sama. Selalu membuat pasang mata terpukau dengan diamnya. Namun, di situ letak sisi romantisnya. Tanpa banyak kata… keduanya menunjukkan cinta dengan cara sederhana.” Kekata indah serupa penyair ternama terangkai dari bibir gadisnya.

Panas menjalari pipi Bima. Ia malu. Wajahnya memerah. Apa Seruni dendam lantaran dirinya sempat menggodanya dan kini membalasnya habis-habisan?

Namun yang jelas, petang ini Seruni menyanjung Bima hingga makin besarlah cinta tumbuh untuknya. Dia merasa berharga. Beruntung, Bima tidak memiliki sayap. Bila ada, mungkin dia akan terbang ke langit ke tujuh.

“Hiks hiks hiks”
Seruni kecil berjongkok di tengah lima orang anak tanggung yang megerumuninya.
“Ye, cacat, ye. Jalan aja pakai tongkat kayak nenek tua renta!” Salah seorang diantaranya mengejek fisik Seruni.
Sakit. Seruni tak kuasa melawan. Dia tak berdaya berhadapan dengan lima orang anak normal.

“Hei, kalau berani jangan sama anak perempuan, dong! Sini, lawan aku kalau betul-betul lelaki!” teriak lantang seorang anak laki-laki yang kebetulan lewat di jalan yang diapit kebun kelapa sawit.

Anak-anak berandalan itu berang. Mereka geram menjabani tantangan bocah lelaki yang berusia 10 tahun.

Lalu Seruni menangkap suara ribut-ribut. Ia menutup telinga. Ketakutan.

Tak berapa lama kemudian,
“Sudah aman. Aku telah mengalahkan mereka. Lebih baik kamu pulang sekarang, sebelum mereka kembali datang membawa bala bantuan.”

Bima kecil meringis kesakitan begitu tangannya menghapus kasar jejak darah di sudut bibir. Satu matanya lebam. Beberapa bilur keunguan menghiasi tubuhnya.

Biar dia juara silat sekabupaten, Bima tetaplah bocah kecil. Badannya tak sebanding dengan tubuh besar anak-anak berandalan itu. Tak dipungkiri, Bima cukup kewalahan meladeni pertarungan keroyokkan ala anak kampung sebelah. Beberapa luka ia dapat hasil dari pergulatan sengitnya.

Bukannya menuruti perintah, Seruni tak beranjak sejengkal pun dari tempatnya. Ia masih asyik menangis terisak-isak.
“Aku tidak bisa pulang. Tongkatku hilang.”

Bima mengedarkan pandangan. Mencari-cari benda yang dimaksud bocah perempuan merepotkan itu. Ah, itu dia! Teronggok kikuk di atas tanah. Bima berlari memungutnya.

“Ini,”
Seruni menerima. Ketika ia hendak bangun, mulutnya mengaduh.
Terduduklah ia kesakitan. Nampak kulit terkoyak di lututnya. Menampilkan daging beserta cairan merah kental.

“Bagaimana ini? Aku tidak bisa pulang. Pasti Ibu menungguku cemas di rumah.”

Bima berjongkok membelakangi bocah perempuan delapan tahun itu.
“Kamu bisa berdiri sebentar ‘kan?” tanyanya. Belum dijawab, Bima buru-buru berkata, “lingkarkan tanganmu pada leherku!”

Mata Seruni membulat. Awalnya gadis berkepang dua itu hendak menolak, namun kembali diurungkan niatnya. Kalau ia tidak menerima bantuan yang ditawarkan bocah laki-laki, mau sampai kapan dia terdampar di sini? Lagipula bocah itu sudah menolongnya tadi. Jadi, apa salahnya menerima pertolongan darinya sekali lagi.

Seruni menurut. Dirangkulnya leher bocah lelaki yang entah datang darimana itu. Diam-diam hati kecilnya bersyukur. Kehadirannya laksana malaikat yang diutus Allah dari Surga untung menolong gadis malang yang ditimpa kesulitan.

“Katakan jalan mana yang harus kutempuh untuk menuju rumahmu. Supaya aku tidak salah langkah.”

Perlahan rintik-rintik air menambah dingin udara desa Banyumudal. Gerimis. Sebagian berjatuhan di tanah, sebagian bergelayut manja di dedaunan hijau. Kabut tipis menggiring dua bocah lugu berlainan jenis yang saling bekerja sama.

Otak seorang gadis mungil memberi petunjuk arah serupa peta. Sedang kaki anak laki-laki bertugas menapaki jalan sesuai arahan. Sesekali matanya menajam, mengamati sekeliling dan menyamakan dengan interuksi Seruni.

Matahari hampir tergelincir. Sampai akhirnya keduanya tiba di rumah Joglo khas Jawa Tengah.
Senja melatari awal pertemuan mereka hingga berlanjut ke pertemuan-pertemuan berikutnya.

Seorang gadis termenung di sisi kanan jembatan kereta. Ia khidmat mendengar tutur cerita senja. Kelepak sayap burung-burung gereja berterbangan di atas kepala. Beberapa ekor hinggap di besi jembatan. Turut menyimak dengan saksama. Sekaligus menemani si gadis agar tak sendiri.

Mata cokelat kemerahan berbinar-binar saksikan panorama senja yang ditawarkan serayu dengan percuma. Entah kemana manik hitam yang selalu nampak menerawang namun hidup. Kini tak ada lagi.

Alangkah dekatnya gadis itu dengan rel kereta. Tubuhnya turut bergetar tatkala roda besi ular naga bersinggungan dengan rel baja. Seakan tak terganggu, Seruni malah memejamkan mata. Biar bagaimana pun, ini adalah tempat favoritnya bersama calon suaminya dulu.

Sedetik ia menatap lurus ke depan. Nanar. Bak mutiara bulir suci menetes satu-satu di sudut matanya. Diusapnya benda berkilau yang melingkari jari manisnya. Senyum rekah mengembang.

“Aku tahu… kau selalu hadir kala senja tarikan jingganya di langit jembatan Serayu,” lirih Seruni. “Maka itu aku tak pernah absen mengunjungi tempat ini untuk sekadar merasakan hawa keberadaanmu,”

Pelan Seruni menoleh ke samping kanan. Semilir angin meniup dingin wajah purnama terbalut hijab kehijauan.

Dipandanginya wajah Bima. Masih sama… Tampan. Sepintas mirip Fedi Nuril–aktor kondang kelahiran Jakarta–yang guratnya ramai dikagumi kaum hawa. Hanya saja… kulitnya lebih pucat dari biasanya. Seruni menatap dalam mata Bima yang serupa dengannya. Hazel.

“Izinkan aku merekam wajah orang yang kukasihi, sebelum akhirnya Mas Bima benar-benar pergi tinggalkan aku sendiri ”

Kian deras bulir demi bulir berlomba menuruni pipi putih Seruni. Tangannya terangkat hendak menyentuh air muka kalem calon suaminya. Tembus. Seruni tercekat begitu disadari oleh kenyataan.

Setipis bayang, senja berjingkat meninggalkan takhtanya. Langit menggelap. Bersamaan itu sosok Bima mengabur dan kemudian… lenyap.

“Mas Bima,” isaknya.

-Rampung-

Cerpen Karangan: Harni Haryati
Blog / Facebook: Harni Haryati

Cerpen Pantulan Senja di Liuk Serayu merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Apakah Tuhan Akan Memisahkan Kita

Oleh:
Pagi hari yang sangat indah pada pagi hari ini dan aku pun bergegas ke sekolah untuk mengikuti ulangan semester genap terakhir hari ini. Sampai di sekolah pun aku berkumpul

Aku Hanya Ingin Cinta Mu

Oleh:
amaku Ferry Fajrul islam aku sering dipanggil Ferry oleh kerabat ataupun teman-teman. Cerita ini berawal tahun 2013 bulan april, aku dikenalkan dengan seorang wanita, yang tidak lain adalah saudara

Titik Noda

Oleh:
Sampai saat ini, hidupku masih begini saja. Berteman sepi dan air mata, namun aku bersyukur akan hadirnya hujan. Karena dia menutupi kesedihanku yang berkepanjangan ini dari orang-orang. Lelah kaki

Waktu Itu

Oleh:
DETIK demi detik berlalu begitu lamban. Jarum panjang jam paris di pergelangan tanganku tak juga mau bergerak cepat. Entah sudah yang keberapa kali aku melihat, menghitung dan berharap. Adakah

Ketika Pilihanmu Tak Berpihak

Oleh:
Hidup adalah pilihan… Aku mengatakan itu omong kosong. Bagai mana tidak, aku bahkan tak bisa memilih hidup dengan orang yang aku cintai. Aku tak ingin hidup dengan lelaki yang

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *