Petaka

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Penyesalan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 25 May 2014

Sore itu hujan deras membasahi bumi, Guruh bersahut-sahutan. Dengan langkah tergesa Ghea berlari sembari melindungi kepalanya dengan tas ranselnya.

“Ghea, kamu habis darimana dek? Kok gak minta jemput sih? Nanti masuk angin gimana?” ujar kak Ajeng kaget setelah mendapati adik semata wayangnya pulang ke rumah dengan keadaan basah kuyup.
“Gak ada yang ngangkat telepon tuh” Jawab Ghea sembari menaiki tangga.
“Ghe, lain kali kalau mau pulang itu bbm, telepon, atau apalah. Biar mbak bisa jemput kamu” Ujar kak Ajeng
Ghea hanya mengacungkan jempol tanda sepakat

Ghea melirik ke arah kamar kakaknya. Wuih ada gitar baru gumam Ghea dalam hati.

Ghea dan Ajeng adalah anak dari Chandra Tjokroaminoto, pemilik perusahaan termasyhur, etika mereka selalu dijaga untuk menjaga reputasi ayahnya. Bunda mereka adalah ibu rumah tangga seperti yang lainnnya, hanya saja aktifitasnya berbeda, keliling-keliling kota, wisata kuliner, ngobrol bersama sahabat-sahabat karibnya. Ghea dan Ajeng, dua gadis yang terpaut 3 tahun. Keduanya berwajah cantik, Ghea memiliki muka tirus seperti bundanya, alis mata yang tebal dan menyatu, kulit putih, dan senyum yang membentuk bulatan di pipinya. Ajeng adalah jelmaan Srikandi masa millennium, anggun dan feminin. Lesung pipit menghiasi mukanya. Keduanya sama-sama berprestasi di bidang akademik maupun non akademik. Ajeng berbakat menjadi model di majalah-majalah remaja yang terkenal, Ghea adalah atlet Badminton termuda di team sekolahnya. Keduanya sempurna.

Kak Ajeng masuk ke kamar Ghea tanpa mengetuk pintu. ”Gheaaa, ayo cepet ganti bajuuu. Mba Ajeng lomba fashion show di Mall” Ujar Kak Ajeng sembari melompat girang.
“Bunda sama ayah nonton mbak?”
“Iya dooong, ini aku show perdana mamerin baju karya Enno Adma” Kak Ajeng semakin bersemangat menyebutkan kata ‘perdana’

Hati Ghea tersayat-sayat ketika sedang menyisir rambutnya. Ayah dan Bundanya selalu meluangkan waktu hanya untuk kakaknya, benar-benar MELUANGKAN. Apapun rapat penting disaat itu pasti dibatalkan, mungkin Ayah maupun Bunda tidak pernah sadar itu. Awalnya Ghea juga hanya menganggap ini biasa, saat ia menginjak kelas 2 SMP ia baru menyadari bahwa Bunda dan Ayahnya pilih kasih terhadap mereka berdua. Disaat Ghea tanding Badminton tingkat Kota untuk ke Provinsi, Ayah dan Bundanya tidak menyempatkan datang semenit pun. Alasannya harus mendatangi makan malam bersama para kontraktor-kontraktor kaya untuk menjaga nama Perusahannya sendiri, Ghea benar-benar dirundung pilu saat itu.

Klakson kijang innova memanggil Ajeng dan Ghea untuk segera turun dari rumah mereka. Kak Ajeng tampak anggun turun dari tangga dengan menggunakan gaun rancangan Enno Adma.
“Aduuuh, cantik banget anak bunda ini. Ghea foto sama kakaknya dulu” Ujar Bunda sembari mengeluarkan iphonenya dan mulai memotret mereka sepuasnya.

Perjalanan menuju Mall penuh dengan canda dan tawa Bunda dan Kak Ajeng sementara Ayah dan Ghea lebih memilih diam, Ghea mendengarkan lagu menggunakan earphone.
“Ghe, kamu gimana sekolahnnya? Duh, kamu tomboy banget sih Ghe. Gak usah deh ikut Volly lagi, liat tuh tangan kamu jadi belang banget.” Ujar Bundanya sembari menolehkan muka ke arah Ghea.
Jantung Ghea serasa berhenti ketika mamanya mengucakan bahwa ia harus berhenti dari Volly, Ghea jelas menolaknya. Volly sudah merupakan bagian dari hidupnya, memang mungkin Volly lah kemampuannnya, Ghea memang tak mahir bergaya di depan kamera, berlenggak-lenggok seperti kakaknya.
“Bun, biarlah Ghea itu ikut Volly, badannya bagus lagian dia senengnya di situ ya sudah” Ujar Ayah kini mulai membela Ghea, Ghea terkejut ada orang yang membela dirinya.

Mall itu sudah dipadati orang-orang yang ingin melihat keanggunan dan keindahan Karya Enno Adma. Kak Ajeng muncul disaat terakhir bersama Enno Adma, tepuk tangan bergemuruh dimana-mana, mengelu-elukan nama Enno Adma serta Kakakku.

“Eh, itu anak pak Chandra kan?” Salah seorang perempuan paruh baya bertanya kepada teman yang di sebelahnya
“Iya itu anak yang sulung, anggun sekali. Mirip persis sama Mamanya”
“Kalau tidak salah Dia punya adik kan?”
“Iya, adiknya tidak pernah muncul perasaan. Katanya atlet Volly”
“Alaaah, anak bungsu pak Chandra gak ada apa-apanya deh sama yang sulung, jauh beda kayaknya” Ucapan terakir dari ibu paruh baya itu makin membuat hatiku teriris dan lukanya makin menganga.
Lalu mereka berdua berlalu tanpa sedikitpun menoleh ke arahku.
“Ghe, gak mau foto sama Mba Enno Adma?” Ucap kak Ajeng seusai acara selesai
setelah sesi berfoto Ajeng dan Ghea bergegas pulang karena ayahnya yang punya penerbangan ke luar kota

ADVERTISEMENT

Ghea makin minder jika harus berfoto bersama kakaknya. Apalagi Bundanya yang selalu merawat Ajeng dengan memberikan sabun pencuci muka sebelum tidur, atau apalah. Sedangkan aku? Hanya bedak baby yang wangi.
“Muka kamu sudah bersih, jadi enggak suah dikasih pembersih lagi” ungkap Bunda seperti itu ketika aku ingin memiliki penyegar muka serta pembersih muka.
Ghea berusaha agar ia tampak seperti kakaknya.
Ghea benar-benar memperhatikan pola makannya.

Ujian hampir tiba. Ghea tampak makin cantik ketika ia mulai merawat diri, dan mengikuti agency model seperti kakaknya, Bundanya juga makin tidak setuju dengan keputusan Ghea “Kamu itu mesti focus UN Ghe, mending kamu batalin aja deh relasi kamu dengan agency itu”

Ghea seperti mencoba menjadi orang lain, bukan dirinya sendiri, Ghea serba salah. Padahal baru 2 hari ia meniru jejak kakaknya mulai dari cara ia membersihkan muka, cara ia berjalan sampai hobbynya diikuti oleh Ghea hanya untuk ingin dianggap oleh khalayak umum sebagai anak yang anggun juga. Namun usahanya sia-sia. Disaat pemotretan pertamanya, Bundanya tidak menemani, Ayah keluar kota, Mba Ajeng sibuk dengan sekolahnya. Ghea makin merasakan bahwa ia ini anak pungut.

“Ghea coba jangan kaku gitu di depan kamera, senyumlah seolah-olah kamu anak paling bahagia saat ini juga” Ujar fotografer kepada Ghea. Setelah pemotretan Ghea diperbolehkan pulang, beberapa hari kemudian, Ghea muncul di majalah. Bundanya sehabis dari Arisan langsung menemui Ghea.

“Senyum kamu maksa banget sih Ghe, coba minta mba Ajeng ajarin senyum” Ujar Bunda sembari melihat isi majalah
Ghea mengira ia bakalan dipuji dengan kata-katanya yang manis, Ghea mengira ia akan di elu-elukan, ternyata? Tidak sama sekali.

Ujian tiba, sejenak Ghea berhenti berpura-pura bukan menjadi dirinya. Teman-temannya di sekolah juga bertanya-tanya, ada perubahan di dalam diri Ghea, mulai dari rambut sampai kaki. dari cara berbicara semuanya berubah. Lebih terkesan memaksa feminin, jika dimata teman-teman Ghea. Seminggu otak Ghea benar-benar diperas dengan soal-soal yang bisa buat perut melilit dan pingsan, buktinya di hari ketiga ujian ada 2 orang yang ambruk karena terlalu sibuk belajar jadi lupa makan. Hari ke 6 adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh murid murid SMP, pembagian rapor. Pembagian hasil kerja mereka selama ini

Ghea mondar mandir tak karuan, Bundanya ditelepon tidak diangkat, di BBM tidak dibalas, telefon rumah tidak diangkat. Padahal Ghea sudah memberitahukannya sehari sebelumnya.
Bundanya hanya mengangguk sembari minum teh.
Namun sekarang, dimana keberadaan Bunda? Kenapa ia tidak datang kesini. Firasat Ghea tidak enak
Sekali ditelefon setelah terdengar nada sambung yang cukup lama, terdengar suara dari seberang
“Halo, Ghea ada apa sayang?” Ujar yang di seberang telepon
“Halo, Bun. Bun udah nyampe dimana? Aku paling terakhir dibagi nih rapornya”
“Bunda lagi di Caffe temen Bunda yang baru buka nih, emangnya hari ini ya pembagian rapornya?” Ujar Bunda dengan nada yang santai seolah tidak merasakan kekhawatiran yang luar biasa oleh Ghea.
“Oke deh Bunda otw ya”
Ghea mengingat kejadian setahun yang lalu, setelah mengambil raporku. Bunda langsung menelfon Mba Ajeng berkali-kali, dan Bunda melaju di jalan karena tau Mba Ajeng akan naik ke mimbar karena juara umum.
“Ajeng sudah di mimbar?”
“Ajeng sudah di mimbar?”
Berkali-kali itu saja yang ditanyakan, Tahun ini Ghea juga mendapatkan juara umum, tidak ada Bunda/Ayah yang melihatnya sembari tersenyum yang menyiratkan perasaan bangga.

Di sepanjang perjalanan mereka hanya terdiam, Bunda menoleh ke arah Ghea
“Ghea coba kamu diet deh, perut kamu berlemak. Gimana kamu mau perfect kayak mbak kamu kalo kamu gendut gimana. Mba Ajeng itu kurus cantik langsing lagi” Ujar Bunda sembari focus ke jalan
“Bun tau gak sih, apa bunda nyadar perlakuan bunda ke aku itu beda?”
“Beda gimana? Bunda itu adil sayang”
“Bunda gak bangga ya kalau aku ikut lomba gitu?”
“Aduh Ghea, kok kamu nanya gini sih. Ya jelas Bunda bangga lah”
“Kalau Bunda bangga, kenapa bunda gak pernah datang kalau aku kompetisi? Kenapa bunda gak pernah batalin acara hanya demi nonton aku? Kenapa bun? Kenapa bunda seolah-olah secara tidak langsung ingin aku mirip seperti mba Ajeng?” Aku meluapkan seluruh perasaan terpendam itu yang selama ini selalu tersimpan rapi di lubuk hatiku.

Bunda tak bergeming. Sepertinya ia mengerti dengan apa yang dirasakan anaknya, namun Bundanya menganggap kalau Ghea itu anak yang egois, tidak mau membantu orangtuanya menjaga reputasi perusahaan. Kali ini Ghea yang tidak berkutik, Soal reputasi Ghea memang tidak boleh melawan

Sesampainya di rumah mewah nan megah itu Ghea mengunci diri di kamarnya. Sayup-sayup terdengar Bunda sedang tertawa bersama kakaknya di kamar sebelah. Ghea tidak kuat lagi, Ghea tak ingin dipandang sebelah mata.
Ghea segera mengemasi semua barang-barangnya ke sebuah backpack yang cukup besar. Lalu ia pergi berlari menuruni tangga, dan pergi menggunakan sepeda BMXnya
Mungkin dengan pergi, Bundanya akan mengerti kalau pilih kasih itu sangat menyakitkan

Ghea mengebut di jalanan, Bertemu dengan jalanan yang turunan curam, Ghea mengebut, ia gowes sepedanya kencang-kencang.
Namun, ia baru sadar, Ia menarik rem-nya. Tidak ada efeknya ke sepeda, jantung Ghea berdetak keras, ia berusaha mengeremnya secara manual, sia-sia. Ghea melewati polisi tidur yang cukup besar dan terpental kepalanya menabrak pagar besi, Darah mengucur deras dari kepalanya. Dan yang Ghea lihat saat ini hanyalah gelap.. gelap.. gelap dan semakin gelap, Ghea seperti diambang-ambang kematian. Ghea merelakan semuanya, Ghea siap. Dan kegelapan itu berubah menjadi terang benderang, terang sekali.

Ghea dipanggil oleh Allah, Allah menyayangi Ghea.

Bunda dan Ajeng baru menyadari bahwa Ghea hilang disaat jam makan malam, mereka berdua kalang kabut mencari-cari keberadaannya.
“Bu!! Bu Ellin! Bu Ellin!!” Seseorang berteriak dari balik pagar rumah, Ajeng membuka pagar, Matanya terbelalak dan airmata mulai mengucur di pelupuk matanya
“BUNDAAA!!! GHEA PULANG BUUUN” Ajeng berteriak memanggil bundanya, Bundanya berlari ke arah sumber suara. Namun sejenak, Bundanya juga melakukan hal yang sama seperti Ajeng. Semuanya terlambat, sungguh terlambat.

Pagi itu Ghea dikuburkan, dengan perasaan haru mereka mengantar sampai liang lahat.
‘Ghea, maafkan bunda yang banding-bandingin kamu sama kakakmu, sayang. Bunda hanya ingin kamu terlihat cantik seperti kakakmu. Apakah bunda terlalu berlebihan nak? Maafkan bunda nak, Tolong beri Bunda satu kesempatan lagi, tolong bangun nak..’ ujar Bunda sembari menatap nisan yang bertuliskan

Ghea Tjokroaminoto
30 September 1999-28 Agustus 2012

Bulir-bulir air mata terus mengalir dari pipi keluarga Tjokroaminoto, namun apa yang mereka lakukan selama ini ternyata selalu menyakiti hati putri kecil mereka, Putri yang sekarang sudah tenang dialamnya.

Cerpen Karangan: Woro Hanjaya
Twitter: @uwehaa

Cerpen Petaka merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Surat Dari Bapak

Oleh:
“Budi tolong kau ambilkan emak kayu di belakang.” Teriak seorang wanita yang asyik berkutat dengan tungku arangnya. “Iya emak, sebentarlah aku sedang merapikan mainan Adik yang berantakan,” Teriak Budi

Sepi Gelisah

Oleh:
Kaku membiru, begitulah wujud diriku. Entah bagaimana Aku datang ke tempat ini, tanpa tahu angin apa yang membawaku kemari, aku hanya terdiam dan membeku. Aku lupa apa yang terjadi,

Ikatan Tali Sepatu

Oleh:
Jarak dari rumah ke sekolah yang tidak begitu jauh, membuatku pulang dan pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Kadang itu membuatku menyalahkan keadaan. Namun keadaan itulah yang mempertemukanku dengannya.

Cinta Selamanya Untuk Alex

Oleh:
“Kuping lo dimana sih?! Udah gue bilang berkali-kali, JAUHIN GUE. Risih tau gak sih gue di deketin lo terus tiap hari.” Kata-kata itu selalu melekat di telinganya tak pernah

Thank You Ayah

Oleh:
“bangun.. bangun. Apa kamu gak sekolah?” teriak ayah dari luar kamarku. Aku menguap sambil mengucek mata “iya yah, aku udah bangun” sahutku. Oh iya kenalin aku Nurmala Dwi Ningtiyas.

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *