Ungu Tanpa Bintang

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Romantis
Lolos moderasi pada: 27 December 2016

“Langitnya ungu,” kataku cepat.
Dari reaksinya di telepon, kubayangkan ia tengah mengernyit tak habis pikir. Bagaimana mungkin langit ungu? Memangnya di Indonesia ada aurora borealis? Ia bertanya. Bagaimana mungkin aku tahu apa itu? Aku parah dalam pelajaran Geografi. Aku yakin ia tak ingat hal itu, bagaimanapun, aku hanya mengatakan yang aku lihat.
“Barusan aku lihat. Gelap, tapi kalau kamu perhatikan, sebenarnya warnanya ungu. Tiada bulan, bintang-bintang pun tak muncul. Kosong. Sepertinya larut malam nanti akan hujan. Tapi, ya, setidaknya itu ungu. Aku suka ungu,” aku refleks tersenyum di kata-kata terakhir yang kuucap.

Yang terjadi adalah, ketika ia meneleponku malam ini, kami entah bagaimana sampai membicarakan bulan. Dia bilang, Luna, kucingku yang ia namai, semestinya senang, full moon alias bulan purnama akan muncul di daerah tempat tinggalnya di Bergamo, lusa. Luna dalam bahasa Itali berarti bulan. Bagaimana langit di Indonesia hari ini? Aku bilang aku tak tahu, sudah cukup lama aku tak pernah memperhatikan langit. Aku tidak menjelaskan yang ini padanya, tapi aku terlalu lelah, sehingga sepulang bekerja tak pernah terpikir olehku untuk mendongak ke atas, seperti yang biasa kulakukan ketika aku kembali dari bepergian, di waktu berjalan kaki ke rumah. Tapi tak bisakah aku mengecek, katanya. Jadi dengan malas aku keluar sebentar dan di teras, aku berpapasan dengan Ibuku yang malam itu baru kembali dari mengobrol penting dengan tetangga sebelah. Ia heran, bertanya aku akan pergi ke mana dengan hanya kaus dan celana pendek di jam 9 malam. Aku menjawab cepat “Mau liat langit!” sambil melihat ke atas sementara Ibuku masuk. Reaksi pertamaku adalah terkejut, yang berubah menjadi kekecewaan demi mendapati kekosongan langit. Tapi ada kesan unik di sana, yang entah mengapa aku sukai. Warna langitnya.

Oh, begitu, katanya. Dia pikir sebentar lagi akhir dunia. Dunia belum boleh berakhir dulu, kataku. Kuteruskan dengan, karena kita belum menyatu. Dia menyembur nyaris tertawa. Dia pikir tadinya aku marah atau apa, tepatnya sebelum mengatakan hal itu. Aku nyaris tersulut, heran mengapa ia sering menyangka aku sedang marah. Apakah ia merasa atau memang berbuat salah, tanyaku dalam hati. Tapi kemudian dia menjelaskan bahwa pembawaanku malam itu begitu serius, kemudian aku mirip dirinya ketika marah pada diri sendiri ketika mendapat nilai 29 untuk ujian, yang tak aku mengerti. Poin ujian tertinggi di perguruan tingginya adalah 30. Dugaannya bahkan lebih salah lagi. Aku baru hendak menjelaskan bahwa aku hanya sedang kelelahan lalu dia menanyakan tentang langit, yang berarti menyuruhku bangkit dan turun dari tempat tidur dan keluar rumah. Tapi itu pun aku tidak marah padanya. Aku baru hendak mengatakan hal itu, ketika ia mengungkapkan kelegaan bahwa ternyata aku tidak marah. Ia sepertinya mengabaikan begitu saja dugaannya, karena perasaan senang mendengarku senang mendapati warna langit. Ya, sudahlah.

Aku pamit sebentar untuk memberi makan kucing-kucing kecilku, aku lupa mereka baru makan 2 kali hari ini. Setelah selesai, aku ke kamar lagi dan meneleponnya balik. Dia bertanya, apa kabar mereka.
“Mereka baik, gak seperti aku. Menderita nih aku berhari-hari, kangen kamu..”
Aku menahan napas menanti semacam tanggapan gombal, tapi seolah yang barusan ia dengar dariku hanya “Mereka baik, nggak seperti aku.”. Dia malah bertanya dengan serius apa yang terjadi sehingga aku tidak merasa baik. Dasar nggak ngeh-an, cuek. Awal kami berhubungan, aku tidak menyangka beginilah karakter aslinya.

Di toilet, di mejaku di sisa waktu istirahat makan siang, di kamar mandi ketika sedang mandi, di kereta, aku sengaja mengingat-ingat pembicaran-pembicaraan kami hanya untuk menemukan ketidak-romantisannya yang terkadang mencapai tingkat garing dan membosankan itu untuk membuat diriku ilfil dan mengecilkan arti dirinya bagi diriku. Aku memang berhasil ilfil, sebentar, kemudian ketika menanyakan pada diri sendiri kenapa tidak mengakhirinya saja, mendadak mood-ku berubah jadi mellow. Aku tak bisa.. Entah kenapa, rasanya sayang untuk menyudahi apa yang telah berlangsung selama 9 bulan ini. Aku pada akhirnya selalu membayangkan ia tertawa oleh leluconku, mengeluh karena sarkasmeku. Dan ketika ia menggerakanku untuk melihat langit di atas rumahku, aku belakangan sadar mungkin saat itu ia sedang romantis-romantisnya, romantis ala orang dingin. Kubayangkan ia di kamar, duduk bersandar di kursi belajarnya yang sesekali berputar setengah ke kanan dan ke kiri tanpa ia sadari, tersenyum. Manis sekali. Itu aku yang bisa dibilang telah merusak suasananya karena kelelahanku. Suasana hati kami sering tak sama, jarang bertemu. Apakah, jika kami berdekatan ruang dan waktu, segalanya akan jauh berbeda?

“Nggak ada apa-apa kok, aku cuma bercanda. Makan malam nanti apa?” tanyaku.
Dia jawab, pasta fredda, kamu tau apa itu pasta fredda? Katanya memastikan. Nggak. Itu pasta dingin. Seperti salad nasi yang ia ceritakan, dengan jagung, jamur yang dicincang kasar, kacang polong, dan sayuran lain, tetapi ini pakai pasta. Aku sangat tidak tertarik untuk mencoba, aku lebih suka makanan hangat, kataku. Ia mengomel. Tak habis pikir ia bagaimana mungkin aku bisa menolak makanan terenak di dunia. Sombong.
“Dasar orang Itali, makanan kalian harga diri kalian,” dia tidak mengacuhkan sindiranku.
Aku agak malas melanjutkan pembicaraan jika ia mulai bersikap seperti itu. Tapi.. Aku tak bisa lupa. Adikku memberitahu kalau-kalau aku mau datang ke festival budaya Jepang di kampusnya hari Sabtu. Itu sudah setahun lalu. Aku tahu sebenarnya ia bukan minta ditemani atau sangat mengharapkan kedatanganku atau apa, hanya ia tahu aku suka anime dan manga, dan rasanya salah jika ia tak menginformasikan acara itu. Di sana, seperti yang aku perkirakan, adikku banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya dan aku secara tidak sengaja menonjolkan peranku sebagai kakaknya dia, bukan membaur bersama mereka seperti yang aku harapkan. Dan saat itu, dia tiba-tiba muncul dan menyapa adikku. Adikku terkejut, sama sekali tidak tahu ia akan berkunjung. Kemudian dia melihatku. Adikku memperkenalkannya sebagai temannya, salah satu mahasiswa asing yang mendapatkan beasiswa di kampus untuk belajar bahasa Indonesia 2 tahun lalu. Ia sengaja menyempatkan diri untuk main ke Indonesia di sela jeda panjang sampai pendaftaran program S3 di kampusnya tiba. Dia sangat.. tampan. Tampan sekali.

Aku tadinya berharap tak pernah mendengar semua yang dia katakan pada adikku, tapi toh adikku menceritakannya juga di kemudian hari. Ember. Tapi akan salah jika ia tak menceritakannya, karena kami biasanya saling menceritakan segalanya satu sama lain. Adikku bilang, dia menanyakan beberapa hal yang terasa sedikit terlalu banyak tentang diriku di saat-saat aku tak bersama adikku di acara itu, sebelum mencoba mengajakku ngobrol. Kami mengobrol dan menjelang akhir acara, dia meminta nomor ponselku yang tentu saja tak aku berikan. Sebagai gantinya aku memberikan kontakku di aplikasi lainnya.

Dia begitu rajin menyapa. Aku sadar ia begitu tampan, tinggi, ditambah kumis tipisnya itu, sikap sopannya, Bahasa Indonesianya yang lumayan… Tapi aku enggan memberinya harapan. Aku sedang tidak ingin jatuh cinta, apalagi pacaran. Masa-masa transisi antara belajar, haha hihi sambil leha-leha, dan sok sibuk urusan organisasi di kampus ke bekerja, basa-basi antar rekan kerja, dan jeda panjang karena tak tahu apa yang harus dikerjakan lagi di kantor sudah menyita sebagian besar diriku. Tapi dia tidak menyerah, bahkan ketika waktunya memang sudah tepat, dia mengajakku keluar, yang pastinya kutolak. Berkali-kali. Mungkin dalam dua bulan lewat beberapa hari, hingga ia pulang ke negaranya dan kemari lagi. Dan ketika ia hendak pulang lagi, ia melakukan hal yang membuatku tak bisa menolaknya.

Awalnya ia kutolak seperti biasa. Tapi aku sudah di depan kantormu, katanya. Terkejut, kesal, kagum. Belum sempat aku berpikir, dia memohon untuk bersedia bertemu, sebab hari itu adalah hari terakhirnya di Indonesia dan dia tidak yakin kapan akan kembali lagi. Lalu kenapa? Ia memohon lagi. Aku tak tega.. Pasti ada yang tidak adikku ceritakan padaku, ia tak mungkin sampai pada tindakan ini. Adikku dekat denganku, tapi ia takut padaku karena baginya dan banyak orang lain, aku galak. Tapi adikku tahu bahwa aku bukannya tidak tertarik pada cowok ini. Dibuang sayang, katanya. Jadi hari itu kami nonton film di bioskop dan makan malam bersama. Itu berkesan buatku.

2 hari setelah telepon-teleponan itu, ia bercerita ia telah berjalan-jalan bersama beberapa teman, menyusuri hutan dan naik ke atas bukit untuk menonton bulan purnama. Betapa cantik dan menakjubkannya bulan itu, katanya. Dikiriminya foto langit hitam dan lingkaran berwarna keperakan itu sesuai permintaanku. Tapi itu bukan apa-apa, katanya, tidak dapat mewakili apa yang ia dan teman-temannya saksikan malam itu. Objeknya terlalu jauh. Dalam hati aku bertanya, apakah akan se-luar biasa ceritanya jika kami melihatnya bersama-sama? Hanya berdua? Mungkin iya. Atau mungkin, akankah jadi lebih indah jika aku memimpikan bulan purnama itu sendiri saja? Saat itu masih pagi buta di sini.

ADVERTISEMENT

Kami mengobrol hingga puluhan menit ke depan, saling menceritakaan apa yang terjadi pada masing-masing di hampir semua waktu ketika kami tidak berhubungan, dan beberapa hal lainnya, kebanyakan tentang negara masing-masing. Tapi tak kuceritakan padanya, bahwa pada malam di mana langit ungu, hujan benar turun. Tak deras, namun cukup lama. Aku tahu persis kapan ia mereda, sebab aku terjaga hingga lewat tengah malam. Jika kuceritakan hal itu padanya, ia akan memberiku ceramah singkat tentang pentingnya tidur cukup, yang akan kusanggah dengan, aku seorang nocturnal, dan dia akan berkata, nocturnal atau bukan, aku tetap butuh tidur, dan pada akhirnya kami akan berdebat… Kami pernah bertengkar kecil karena hal itu, aku menganggap ia menegurku yang belum tidur selarut itu karena ia sudah bosan dan tidak ingin bicara denganku lagi malam itu. Tapi ia bilang, ia khawatir. Sangat khawatir. Jangan hancurkan dirimu, katanya saat itu. Aku baru sadar akhir-akhir ini, begitu-begitu ternyata dia cukup perhatian, hanya saja ia mengungkapkannya dengan cara yang… berbeda. Ya, sudahlah.

Cerpen Karangan: Widiani Larasati
Facebook: facebook.com/widiani.larasati

Cerpen Ungu Tanpa Bintang merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Catatan Alzi Si Berandal

Oleh:
Matahari mulai berayun ke arah barat, sinarnya mulai meredup tapi tetap memancarkan sinar pancarona yang indah terlihat mata. Sepasang pemuda dan pemudi nampak asyik masyuk bercakap-cakap. Mereka adalah Alzi

Ditooo… Apa Lagi (Part 4)

Oleh:
Sore yang dingin, Dito memandang ke langit yang semakin lama beranjak gelap. Tak sampai lima menit kemudian tetes-tetes air hujan mulai jatuh ke bumi. Hiks… hujan lagi… musim apa

1000 Bangau Kertas

Oleh:
“Juki, kau tahu apa itu Senbazuru?” tanyaku pada Yuki. Saat kami berjalan menuju halte. Pohon-pohon mahoni dan munggur tumbuh rindang dan meneduhkan di sisi kanan kiri jalan kecil itu.

Strawberry Rasa Cokelat

Oleh:
Seperti sebuah cokelat yang sangat manis untuk dirasakan. Tak ada satu orang pun yang ingin menjauh dari kemanisan ini. Sebuah kata-kata yang terukir indah pula karenanya. Mungkin aku tertarik

Happy Birthday

Oleh:
Matahari menyapu tiap sudut kamar Ai. Memberikan kiasan cahaya yang menyilaukan. Gadis ini membuka kedua matanya, menyadari esok hari telah tiba. Dengan semangat, ia beranjak turun dari ranjangnya, mengambil

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *