Dirimu Mengalihkan Duniaku (Part 1)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Romantis, Cerpen Cinta Sejati
Lolos moderasi pada: 29 September 2017

Sore itu mendung kelabu menggantung di langit mengantarkan kepergianmu ke peristirahatan terakhir. Lantunan ayat-ayat suci masih menggema di telingaku, menyertaimu dalam damai. Meskipun ulama memakruhkan kalau perempuan tidak boleh mengantar jenazah sampai ke kubur, kali ini aku melanggarnya. Ampuni aku Ya Allah, semua ini kulakukan bukan karena aku ingin melawan hukum yang telah Engkau tetapkan. Tapi semua kulakukan demi bukti setiaku pada suamiku. Aku ingin tetap berada di sampingnya, mendampinginya, sampai jasadnya tertutup oleh tanah.

Rasanya sangat sulit menghadapi ini semua. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya akan menjadi single parent secepat ini. Ini berat sekali. Terlebih jika aku harus melihat polah tingkah Keiza, satu-satunya buah hatiku dan kamu. Hati ini begitu teriris. Gadis kecil tiga tahun itu masih belum bisa mengerti apa-apa. Bahkan tentang kematian. Yang dia tau, kamu, Ayahnya sedang pergi ke luar kota. Dan aku tidak bisa memberi kepastian akan kepulanganmu. Tapi itu yang setiap saat ditanyakan anakmu. Dan menghadapi itu aku hanya bisa menahan sedih.

Namun di sisi lain aku masih ingat pesanmu tiga hari yang lalu sebelum kamu meninggalkanku. Tiba-tiba saja saat itu kamu membicarakan mahar kita. Sambil membersihkan kaca yang melindungi puluhan koin emas lima ratusan yang tersusun indah membentuk kubah masjid kamu berkata, “Mahar ini masih awet ya, Ma?”
“Iya, Pa. Sama seperti cinta kita yang akan selalu awet sampai maut memisahkan.”
“Apa Mama tidak ingin memakai mahar ini? Lumayan Ma, bisa buat beli perhiasan.”
Aku menggeleng. “Mahar ini akan aku simpan selamanya. Bahkan sampai aku mati pun mahar ini akan aku wariskan pada keturunanku agar tetap dirawatnya.”
“Ma, bagaimana jika aku meninggal terlebih dahulu.”
“Ah, Papa ngomong apa. Kita akan panjang umur, Pa. Kita masih akan merawat cucu-cucu kita.”
“Umur kita kan tidak ada yang tau, Ma?”
“Kematian itu pasti. Tapi kapan waktunya kita tidak tau. Yang penting kita selalu banyak mendekatkan diri pada Allah. Udah ah, Papa ada-ada saja.”
“Ma?” panggilmu lirih sambil menggenggam tanganku. “Kalau takdir memisahkan kita dan aku harus pergi terlebih dahulu, berjanjilah, kamu harus tegar. Kamu harus kuat. Kamu harus menjadikan buah hati kita sebagai anak yang sukses dunia akhirat. Dan jangan menangis untuk aku. Terlebih lagi di depan anak kita.”
“Papa omong apa sih, ngaco aja.”
“Berjanjilah, kumohon?” katamu merajuk dengan serius.
“Iya, Pa, aku janji.” jawabku santai.
“Oh iya, kalau suatu saat aku pergi kamu harus menikah lagi, Ma? Kelak kamu butuh sandaran hidup dan juga Ayah untuk Kezia.”
“Tidak, Pa?!” aku setengah marah. “Aku sudah berjanji, apapun yang terjadi, jika aku menjanda aku tidak akan menikah lagi. Aku hanya mencintai Papa dan aku tidak akan menduakannya. Aku menikah hanya sekali. Dan itu dengan Papa. Bukan dengan orang lain.”
Tiba-tiba kamu merengkuh kepalaku dan membenamkannya di dadamu. Kamu kecup keningku dengan lembut. Ada sensasi berbeda di dalamnya. Tidak pernah sehangat ini sebelumnya. Tidak pernah sedamai ini juga selama ini. Dan ternyata semua perbedaan itu baru kuketahui jawabannya ketika kamu meninggalkanku dan Kezia untuk selamanya secara mendadak.

Saat ini aku merasa bahwa aku ini istri yang tidak mengenalimu sepenuhnya. Aku selalu berkeyakinan bahwa aku mengerti segalanya tentang kamu. Namun kenyataannya aku tidak tahu kalau ternyata kamu mengidap penyakit yang membahayakan nyawamu. Dan parahnya aku baru mengetahui semuanya saat dokter mengeluarkan surat kematianmu. Penyesalan apapun sekarang sudah tidak ada gunanya. Kamu sudah menjauh, dan jarak kita sudah tidak bisa terhitung lagi berapa kilometernya. Sekarang tinggal aku dan Kezia.

Satu tahun kemudian.
“Kamu harus menikah lagi, Na?” Susan membuka pembicaraan saat makan siangku dengannya.
“Menikah” kukernyitkan dahiku. “Tidak ada pemikiran seperti itu dalam hidupku.” lanjutku kemudian.
“Kenapa? Kamu butuh seseorang yang bisa menjadi teman hidupmu, Na.”
“Aku sudah punya Kezia untuk teman hidup. Dan aku baik-baik saja dengan keadaan seperti ini.”
“Tapi Kezia juga butuh sosok Papa.”
“Tenanglah, San. Aku sudah bisa menjadi Papa dan Mama bagi Kezia. Dan kurasa Kezia sudah mulai terbiasa dengan kondisi ini. Lagian aku sudah tua San. Tidak ada gunanya menikah lagi. Kalau kata orang-orang aku itu udah expaired.”
Susan tertawa. “Siapa bilang? Jangan salah, Na? Kamu masih muda. Kamu masih cantik. Kamu juga masih punya masa depan yang panjang.” Susan meraih tanganku. “Kamu itu ndak kalah sama gadis-gadis kekinian.” tegas Susan.
Aku menyeruput jus alpukatku. Lalu tersenyum menanggapi perkataan gadis berkacamata di depanku itu. “Apakah ini sebuah sindiran atau hanya sekedar penghibur?” tanyaku kemudian.
“Hei.. aku bicara yang sejujurnya. Perlu kamu tau, di luar sana banyak yang naksir sama kamu. Kamu aja yang tidak peka.”
“Ah.. sudahlah, San. Lagipula aku sudah berjanji sama almarhum Mas Andi kalau aku tidak akan menikah lagi sampai kapanpun.”
“Tapi aku yakin almarhum Mas Andi pasti merestui kamu seandainya kamu menikah lagi. Ini kan demi kebaikan kamu dan Kezia juga.”
Aku hanya tersenyum tipis.

“Mmmmmm.. Na, kamu tau staf bagian promosi yang namanya Andi?” tanya Susan sembari memasukkan nasi ke mulutnya.
Aku diam sejenak. Mengingat siapa yang sedang dimaksud Susan. Memang beberapa tahun terakhir ini banyak karyawan baru di tempat kerjaku. Dan aku tidak bisa menghapalnya satu persatu saking banyaknya.
“Oh ya?” seruku kemudian begitu mengingat orang yang dimaksud Susan. “Yang ceriwis itu kan? Trus orangnya sok kenal sok dekat juga kan?”
Susan mengangguk.
“Memangnya kenapa dengan dia? Dia anak baru kan? Apa dia kena kasus?” kejarku.
“Dia naksir kamu, Na.”
Pernyataan Susan kali ini mampu membuatku tertawa terbahak-bahak. Bisa saja Susan bercandanya. Dan aku pikir ini berlebihan. Membayangkan seorang anak bau kencur menyukai perempuan berumur kaya aku.
“Aku serius, Na?”
“Jangan bercanda. Mungkin kamu yang kegeeran. Yang dia maksud pasti bukan aku.”
Susan menghela nafas kecewa melihat responku.

Satu bulan yang lalu.
Tok.. tok.. tok..
“Iya, silahkan masuk.”
“Bu Susan memanggil saya?”
“Iya Andi, silahkan duduk.”

Lelaki berpostur tinggi dan berkulit putih itu lalu menarik kursi tepat di depan meja Susan. Kali ini wajahnya tampak pucat dan sedikit ketakutan. Dia berpikir kali ini dia terkena kasus yang berat. Maklumlah, Susan adalah kepala HRD yang cukup ditakuti karyawan. Dia kalau membuat peraturan sifatnya selalu tegas dan disertai hukuman yang setimpal. Tapi sebenarnya Susan termasuk salah satu HRD yang adil dan selalu memikirkan nasib karyawannya. Dia bukan tipe orang yang mudah mengambil keputusan tanpa alasan yang pasti.

“Saya ingin membicarakan beberapa hal dengan kamu.”
“Apa ya, Bu? Apa saya membuat pelanggaran?” tanya Andi dengan sedikit gugup.
“Iya. Kamu sudah membuat pelanggaran. Tapi tenang saja. Saya tidak akan memberi kamu SP 3 asal kamu mau jujur.”
“Iya, Bu, saya akan jujur” kata Andi pasti.
“Kamu suka sama Nada, kan?”
Pertanyaan itu membuat Andi diam seribu bahasa. Dia tidak berkutik sedikitpun.
“Kenapa tidak kamu jawab? Katanya kamu mau jujur?” sindir Susan.
Andi nampak memutar otak. Mencari jawaban yang sesuai dengan pertanyaan Susan. Rasanya ini adalah pertanyaan yang sangat sulit baginya. Melebihi pertanyaan interview dan problem pekerjaannya.
“Bagaimana, Ndi? Ini bukan pertanyaan yang sulit, kan?”
Andi masih statis.
“Anggap saja aku ini sahabat, orang tua, atau mungkin kakak. Ya senyamanmu saja. Tidak usah canggung. Aku tidak akan membuat perasaanmu menjadi semakin rumit. Aku hanya ingin kamu jawab pertanyaanku. Itu saja.”
“Tapi Bu, darimana saya harus memulainya?”
“Katakan saja apa yang ingin kamu katakan.”
“Iya, Bu, saya memang memendam perasaan kepada Nada. Mulanya saya hanya menggoda-goda dia seperti saya menggoda teman-teman cewek lainnya. Tapi entah kenapa tiba-tiba perasaan ini berubah. Saya bahagia jika melihat dia tertawa, sedih jika dia terluka, cemburu saat dia bersama laki-laki lain, dan juga tidak terima jika dia sedang dimarahi atasan. Setiap saat rasanya rindu. Terlebih saat saya pernah ditugaskan keluar kota dan tidak melihatnya selama berbulan-bulan. Rasanya rindu ini semakin dalam dan menusuk. Setiap saat saya selalu ingin melihatnya meskipun hanya sesaat. Dan selalu ada keinginan untuk melindunginya. Untuk selalu ada di sampingnya. Melihatnya sangat menyenangkan, damai dan juga nyaman.”
Susan tersenyum lebar.
“Oh, ya, Ibu tau tidak?” Andi balik bertanya. Dan itu cukup membuat Susan kaget. “Saya kan pernah tidak masuk sampai satu minggu. Waktu itu saya sakit. Saya sempat diopname. Tapi dokternya tidak tau pasti apa penyakit saya. Saya pikir itu wajar. Karena saya bukan sakit secara fisik. Tapi perasaan saya yang sakit. Saya selalu tidak bisa menerima kenyataan kalau Nada sudah berkeluarga.”
Susan kembali tersenyum lebar. Anak ini memang masih sangat kekanak-kanakan. Gaya bicaranya santai mengalir begitu saja. Tapi di sisi lain Susan bisa menilai kalau lelaki ini mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi. Semua itu bisa dilihat dari cara dia menyelesaikan setiap pekerjaan yang dipercayakan padanya. Semua selalu dalam nilai sempurna. Bahkan akhir-akhir ini dia sedang dipromosikan untuk menjadi manager pemasaran.

“Tapi kamu kan masih sangat muda, Ndi? Kamu tau kan jarak usia kamu dengan Nada? Kamu bisa lo mencari gadis yang seusia atau mungkin di bawah kamu. Tapi kenapa harus Nada?”
“Bu, kata orang-orang kan kita tidak tau kemana cinta kita akan berlabuh?”
“Lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya? Apakah kamu punya niat untuk menikahinya?”
Andi terbelalak. “T-tapi, Bu? Jangan suudzon sama saya lo ya?” katanya kemudian sambil mengubah posisi duduknya. “Terus terang saya tidak pernah mendoakan kalau suami Nada akan meninggal secepat ini. Saya juga tidak melakukan tindakan-tindakan kriminal untuk menghilangkan nyawa suami dari orang yang saya cintai.”
Susan terbahak-bahak. “Ada-ada saja kamu ini. Tapi, Ndi, kita coba berandai-andai, kalau ternyata Nada itu jodoh kamu. Apa yang akan kamu lakukan?”
“Sejujurnya saya tidak pernah berpikir untuk bisa menikah dengannya. Bisa membuatnya tersenyum saja saya sudah senang. Apalagi semenjak suaminya meninggal dia sudah kehilangan wajah cerianya. Tapi Bu, andai saya berjodoh dengannya, saya berjanji akan membahagiakannya. Saya rela memberikan apapun yang saya miliki asal dia bisa ceria lagi. Saya akan serahkan seluruh hidup saya untuknya. Untuk melengkapi kehidupannya.”
“Meskipun dia sepuluh tahun lebih tua dari kamu?” Susan mengingatkan.
“Bagi saya dia tidak tampak lebih tua dari saya. Dia masih muda, masih cantik. Dan saya tidak akan menuntut apapun dari dia. Saya ikhlas menerimanya. Apapun yang dia miliki.”
“Semoga Tuhan menjawab harapanmu, Ndi.”

ADVERTISEMENT

“Ah, itu makhluk yang sedang kita bicarakan!” seru Susan begitu melihat Andi melintas beberapa meter dari tempatku duduk.
Aku menoleh. Andi tersenyum lebar. Seperti biasa, tampak usil tampangnya. Dia segera menghampiriku dan Susan.
“Siang, Bu Susan, Mbak Nada.” sapanya.
“Mau gabung, Ndi?” tawar Susan.
“Oh, tidak, makasih, Bu. Saya ada janji sama teman. Saya sudah ditunggu di meja sebelah ujung.”
“Oh, ya sudah lain waktu saja.” kata Susan. Andi mengangguk tanda berpamitan kemudian berlalu.
“Dari tadi dia melirikmu.” bisik Susan padaku.
“Ah, jangan geer. Cara memandangnya memang begitu.”
“Beneran?” Susan berusaha meyakinkanku.
“Ah, sudahlah.” tepisku. Tapi kupikir benar perkataan Susan. Sesungguhnya aku merasa dari tadi anak itu memang curi-curi pandang terhadapku. Tapi aku juga tidak mau kegeeran. Mungkin dia hanya ingin menyapaku saja karena sejak aku kehilangan Mas Andi aku memang agak menarik diri dari pergaulan.

Malam itu aku dan Kezia sedang bermain di teras rumah. Tiba-tiba dua orang anak kecil berlari ke arahku. Aku menyambutnya dengan suka cita karena aku sangat mengenal mereka berdua. Mereka adalah Ronald dan Sesa, anak Susan.
“Lah, kamu sama siapa sayang?” aku bertanya pada kedua anak kecil itu. Karena aku tidak melihat ada sosok orangtua mereka.
“Itu?” Ronald menunjuk sepasang laki-laki dan perempuan yang ternyata adalah Susan dan suaminya yang baru saja menutup pintu mobil. Aku tersenyum melihatnya. Namun ternyata ada seorang lagi yang menyusul dari belakang. Kusipitkan mataku karena aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa orang itu. Dan betapa terkejutnya aku kalau ternyata orang itu adalah Andi. Dia tampil sangat berbeda malam ini. Lebih casual. Sangat berbeda dengan penampilannya saat di kantor. Balutan polo shirt dan celana selutut membuat dia tampak ganteng. Sekelebat aku ingat dia mirip aktor korea yang entah aku tidak tau siapa namanya.

“Hai.. melongo aja?” Susan mengelebatkan tangan di depan mataku. Aku baru sadar kalau aku sempat tertarik magnet penampilan Andi.
“Anak itu..” aku bertanya dengan rasa penasaran kenapa Andi bisa sampai ke rumahku.
“Silaturahmi.” jawab Susan menggoda.

Saat aku masih ngobrol dengan Susan dan suaminya aku mencoba mencuri-curi pandang Andi. Bukan karena aku mulai tertarik padanya, tapi aku hanya ingin melihat apa yang sedang dilakukannya bersama Kezia dan anak-anak Susan. Rupanya anak itu bisa membuat Kezia sangat nyaman. Kezia juga tidak malu-malu apalagi rewel. Padahal biasanya gadis kecilku itu sangat sulit beradaptasi dengan orang dewasa khususnya pria.

“Kezia nyaman ya bersama Andi. Dia beradaptasi dengan cepat.” Susan membuka pembicaraan lagi.
“Oh.. I-iya..” jawabku dengan sedikit gugup.
“Harusnya Andi jadi guru PAUD saja. Sepertinya anak-anak suka padanya.” imbuh suami Susan.
Aku dan Susan tertawa.

“Andi?” teriak Susan memanggil Andi. “Minumlah dulu. Anak-anak biar aku dan suamiku yang ajak main.”
Andi mengangguk. Dia berpamitan sejenak dengan anak-anak.
Aku dan Andi masih terdiam. Kami sibuk dengan pemikiran masing-masing.
“Kezia..” “Kezia..” dan kami pun mengatakannya bersama-sama.
“Mbak Nada dulu.” kata Andi kemudian.
Aku tersenyum. “Kezia nyaman sama kamu. Dan kamu orang pertama yang bisa membuat dia cepat beradaptasi.”
“Kezia anak yang menyenangkan.”
“Kamu suka anak-anak?”
“Iya. Aku sangat menyukai dunia mereka. Apakah aku masih boleh main ke sini lain hari?”
“Boleh. Tapi kamu harus membawa teman. Tidak baik seorang janda menerima tamu seorang lelaki yang datang sendirian.”
“Kalau aku datang bersama teman-temanku?”
“Silahkan saja. Tapi temanmu harus ada yang perempuan. Aku cuma tidak ingin menimbulkan fitnah.”
“Baiklah, aku akan membawa ibuku.”
Aku tertawa.
Malam semakin merangkak naik. Dan aku masih mengobrolkan banyak hal dengan Andi. Di tempat lain beberapa pasang mata menyaksikannya dengan sorot bahagia.

Hari pun berlalu. Aku semakin dekat dengan Andi. Dia juga semakin sering main ke rumah. Kalau weekend tiba dia selalu menyempatkan untuk mengunjungiku dan Kezia. Dia juga menepati janjinya. Dia tidak pernah sendirian kalau ke rumah. Dasar ABG, Andi selalu membawa komplotan gengnya. Untungnya teman-temannya itu muda-mudi yang sopan. Kalau tidak bisa kuusir paksa anak itu bersama ceesannya.

Suatu hari ada yang mengejutkan. Andi datang bersama ibunya. Saat itu aku benar-benar dibikin mati kutu. Untung saja aku bisa cepat akrab dengan Ibunya. Dan untungnya Ibunya Andi orang yang mengasyikkan. Dasar ababil, bisa-bisanya bikin aku kelabakan oleh ulahnya.

Satu bulan, dua bulan, satu tahun, dua tahun, dan tiga tahun telah berlalu.
Tak terasa hubungan pertemananku dengan Andi sudah berjalan selama itu. Aku akui sebenarnya aku mulai tertarik dengannya. Meski di mataku dia masih bau kencur, dan terkadang dia suka bermanja-manja denganku, tapi dia selalu bisa menunjukkan kedewasaannya saat denganku. Dia selalu bisa ikut andil untuk menyelesaikan setiap permasalahanku. Tapi ketertarikan ini belum bisa kusebut jatuh cinta. Karena jujur di hatiku masih tersimpan satu nama, Andi, suamiku.

Cerpen Karangan: Diyah Ika Sari

Cerpen Dirimu Mengalihkan Duniaku (Part 1) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Salah Ngasih Bikin Jatuh Hati

Oleh:
Pagi yang cerah memberi mentari sinar yang menyengat. sinar mentari yang membuatmu bersinar di tengah lapangan. tawamu seakan menghusir kesepian yang kurasa. namun kau hanya kutatap dari luar jendela

Hanya Untuk Lili

Oleh:
“Halo..?” Desisku menanggapi orang yang menelphone ku tengah malam seperti ini, sekitar jam 00.30. “Halo Callista Gabriel atau Lili adek sayang, apa kabar malam ini?” sahutnya. “Oh kak Ray,

Takdir

Oleh:
Sore ini hujan kembali jatuh membasahi bumi, kupandangi tetes demi tetes butiran hujan dan sesekali kuulurkan tanganku untuk merasakan dinginnya hujan sore ini dari jendela kamarku. Angin bertiup seakan

Anugerah Terindah

Oleh:
Langkahku semakin pelan, jarak jalanku pun semakin pendek. Aku benar-benar ragu. Hatiku memaksaku untuk terus berjalan, sementara otakku menyuruhku memutar badan. Ketidakkorelasian ini membuatku semakin bimbang. Aku benar-benar merasa

Last Firework’s Festival

Oleh:
Sehari sebelum festival kembang api, aku dan pacarku, Arata, sibuk memilih Yukata yang serasi untuk kami. Festival kembang api tahun ini adalah yang terbaik. Aku sangat mengharapkan momen seperti

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

3 responses to “Dirimu Mengalihkan Duniaku (Part 1)”

  1. INTAN ANGGRAINI says:

    CERITA YG MENARIK. DIBIKIN BAPER KARENANYA.

  2. Wahyu says:

    Ceritanya bagus Kak, nggak bosan dibaca ulang

Leave a Reply to Wahyu Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *