Senyum Dari Tuhan

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 2 May 2016

Bukan seorang siswa yang patut dibanggakan. Aku hanya siswa biasa yang cukup menjadi pelengkap di cerita SMA mereka. Terkadang hanya membawa tawa untuk mereka atau hanya ikut tertawa bersama mereka. Ceritanya pun sangat lain. Dengan kehidupanku di kelas yang seperti ini, aku menjadi terpengaruh dengan kebiasaan mereka. Seperti membully sesama atau hanya berkata seenaknya. Dan sering sekali muncul nama-nama samaran yang bakalan menjadi nama abadi mereka. Salah satunya, aku sendiri imbasnya. Karena ulah mereka, muncul nama samaran untukku, “Piton”. Aku tidak tahu dari mana asal muasal nama itu. Yang ku tahu, pertama kali ku dengar dari laki-laki tak ku kenal saat itu, Azam. Sebelum saling mengenal, dengan mudah dia memanggilku Piton, dan bodohnya aku malah menoleh saat dia memanggilku seperti itu.

“Lo nggak kenal sama gue? Lo nggak lihat ini?” tandasku sambil menunjukkan jahitan huruf pada seragam bagian dada sebelah kanan, “Putri Balqis Habilla,”
“Tuan Putri Balqis Habilla slalalalalalaa.. Minta nomor hp-nya dong!” Langsung ku nyengirkan bibirku setelah mendengar ucapannya barusan. Hanya ku nikmati cerita SMA ini tanpa beban. Hingga melupakan bebanku untuk belajar. Sampai ku terima rapor pertamaku di SMA ini. Langsung saja, omelan-omelan halus muncul dari bibir orangtuaku. Setelah melihat namaku yang hanya mampu masuk 10 besar.

“Nggak apa-apa, pah. Kan baru semester awal,” ucapku santai.
Ayahku tidak sudi menatapku, “Kalau semester depan tidak ada perubahan, Papa nggak mau biayain sekolah kamu!”
“Siap!”

Tanpa perlu mengikuti les, aku hanya cukup belajar sendiri di rumah. Aku hanya merasakan sedikit perubahan di semester ini. Hanya sedikit! Atau bahkan tidak ada yang berubah. Aku terlalu merasa nyaman dengan keadaan ini. Tenang bersama teman-temanku yang gila. Tapi kegilaan yang menghasilkan keindahan dalam hidup, tawa. Bersama mereka aku tidak pernah mengenal cinta. Bahkan secuil pun, perasaan itu tidak pernah ku munculkan untuk siapa pun. Hingga kini, entah angin mana yang telah merasuk dalam jiwaku. Kedekatan demi kedekatan mulai terjadi antara diriku dan laki-laki mustahil itu, Azam. Bagaimana mungkin? Padahal hampir setiap hari aku beradu mulut dengannya. Namun mengapa perasaan ini bisa muncul seenaknya. Aku sudah berusaha menutupi kedekatan ini. Namun yang namanya teman, tetap saja mereka tahu apa pun yang terjadi pada teman mereka, hingga pada orangtuaku, mereka juga mengetahuinya. Mereka tahu saat aku mengangkat telepon dari seseorang. Mereka mulai curiga.

“Siapa tadi, Bil?”
“Teman, Ma,”
“Tapi kok suara seperti laki-laki?”
“Memangnya teman Billa hanya perempuan saja? Billa juga punya teman laki-laki,”
“Ada perlu apa dia meneleponmu selama itu?”
“Cuma tanya tugas sekolah,”
“Cuma tanya tapi kok lama,”
“Ya sekalian ngobrol,”
Ibuku mulai menatapku. Aku sudah tidak bisa lagi berbohong. Aku hanya menunduk dan diam.

Malam ini ibuku memanggilku. Aku segera turun. Di sana ku lihat ayahku sudah menyiapkan seribu kalimat untukku. Khusus untukku, “Ada apa?”
“Papa sudah tahu semuanya. Jadi Papa hanya mau bilang kalau kamu itu masih kecil. Belum waktunya untuk berpacaran. Apalagi dalam islam, pacaran itu kan dilarang,”
“Siapa yang pacaran? Billa nggak punya pacar,”
“Lalu, siapa laki-laki yang meneleponmu tadi siang?”
“Itu Azam. Dia teman satu kelas Billa. Billa hanya dekat sama dia. Billa tidak pacaran,”
“Papa hanya nggak mau kedekatan kalian akan mengganggu belajar kamu. Kamu lihat kan kemarin, kamu hanya masuk sepuluh besar. Setelah melihat ini, Papa menjadi tidak yakin kalau kamu bisa merubahnya,”

“Billa bisa!”
“Janji?”
“Insya Allah,”
“Papa tidak memerima jawaban itu,”
“Iy-ya.. Billa janji,” jawabku sangat ragu.

Senyumku memuncak setelah melihat hasilku di semester 2 ini. Orangtuaku hanya tersenyum, melihat namaku berada di urutan kedua. “Hmm .. Bisa liburann!” teriakku bebas. Aku merasa ada tangan yang menarikku. Iya, Azam. Dia membawaku ke taman sekolah.

ADVERTISEMENT

“Ada apa?” aku merasa bingung dengan sikap Azam yang tiba-tiba menyeretku ke taman sekolah.
“Hmm.. Gimana ya? Gue takut, Pit,” masih saja ku dengar nama samaranku terucap olehnya.
“Kenapa?”
“Sebenarnya cuma ragu aja,”
“Soal apa!”
“Tapi lo nanti jangan komentar apa-apa ya?”
“Iya iya,”
“Jangan ketawa!”
“Gue janji!”
“Sebenarnya gue nggak berniat seperti ini, sih. Bahkan gue sendiri nggak berbakat soal beginian,” kalimatnya terpotong.

“Gue boleh nggak ketemu orangtua lo?” lanjutnya yang semakin membuatku bingung.
“Buat apa?”
“Buat melamar lo!” jawabnya lalu berjongkok dengan kemilau cincin di tangannya.
“Gue masih mau sekolah!”
“Ya nggak sekarang. Untuk sepuluh tahun ke depan. Gue nggak mau jika gue nggak segera bilang, pasti lo bakal pacaran sama cowok lain. Gimana?”
“Aku akan menjawabnya setelah sepuluh tahun nanti di pelaminan. Lalu mengatakan bahwa aku bersedia menjadi pendamping hidupmu sampai kamu di surga,”
“Enggak usah sampai di surga. Kan di surga banyak bidadari, mendingan gue sama mereka aja daripada sama lo,”
“Ihh! Lo jahat amat sih!”

Cerita hidupku berlainan. Awalnya aku berpikir, aku tidak akan bisa konsentrasi belajar jika seperti ini. Namun lain lagi, aku malah menjadikan Azam sebagai alasan belajarku. Alasannya simple, aku hanya tidak mau Azam melihat hasil belajarku dengan rendah. Orangtua juga sudah mengetahuinya. Itu juga diriku yang bilang sendiri kepadanya malam itu. Tidak memarahiku, melainkan hanya sedikit berkomentar. Dan tetap saja satu pesannya, “Jangan sampai mengganggu konsentrasi belajar,”

Tidak menyangka, aku sudah menjadi kakak kelas. Di kelas XI ini sedikit beda. Aku tidak lagi sekelas dengan laki-laki yang ku cintai. Namun bukanlah sebuah penghalang. Aku memegang pesan ayahku. Aku semakin bersemangat belajar. Meskipun hasil belajarku di semester ganjil kelas XI ini mengatakan bahwa namaku tetap berada di urutan kedua. Kini ku lihat nama yang lain, Rivano Azam. Bagaimana bisa? Nama yang ku cari selanjutnya menempati nomor pertama di kelasnya. Sedangkan diriku hanya nomor dua di kelasku. Sangat merasa minder dengan kepandaiannya. Padahal sering sekali aku mendapat bantuan darinya. Aku juga sering mengerjakan tugas sekolah bersamanya. Tapi hasilnya tetap saja beda. Aku mengatakan hal ini kepada orangtuaku. Bahwa Azam bisa mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Jadi aku mengatakan kepada mereka agar tak perlu mengkhawatirkanku jika bersama Azam. Namun tetap saja, mereka hanya diam dan malah memarahiku.

“Lihat itu, pacar kamu aja bisa juara kelas, kok kamu tidak?”
“Billa hanya melakukan proses. Semua itu ada prosesnya, Pa.”

Kini kuterima lagi. Hasil belajarku di semester genap kelas XI. Aku melihatnya tak percaya. Namaku berada di urutan pertama. Apa yang bisa ku katakan? Aku hanya berdiri dan diam. Aku lari menuju kelas Azam. Aku mencari namanya. Dia hebat, mampu mempertahankan namanya di urutan pertama.
“Lo hebat ya?” ucapku setelah bertemu Azam.
“Hebat apanya?”
“Semester lalu lo juara satu, sekarang lo lagi yang juara satu,”
“Biasa aja. Lo juga kan? Selamat ya, Piton?”

Aku merasa terbebani kali ini. Hanya satu yang menjadi bebanku, cara mempertahankan posisi pertamaku. Aku takut jika di semester ganjil kelas XII nanti, nilaiku menurun. Masih sama seperti yang dulu. Masih tetap Azam yang menjadi alasanku. Karena bagiku, dengan adanya Azam, aku bisa bergaya di hadapannya. Dengan nilai-nilai yang ku miliki. Aku hanya tidak ingin orang lain melihatku rendah. Mungkin alasan yang sangat aneh, namun tidak lagi untuk sekarang. Sejak Azam meninggalkanku tanpa alasan. Dengan diam dia pergi dari hidupku. Aku mencoba menahan air mataku yang segera meluncur. Aku berusaha meraihnya sendiri. Meraih nilai dan prestasi ini sendiri. Dan tetap yakin, bahwa Azam pasti melihat hasilku ini. Entah kapan, yang pasti tetap saja Azam menjadi alasanku.

Aku merasa bangga dengan diriku. Bisa mempertahankan prestasiku. Aku sangat tidak percaya dan berharap Azam mengamatiku kali ini. Aku selalu menganggap bayangannya ada. Meski tidak pernah ia membayangkan diriku. Hingga kini aku merasakannya. Hingga aku mendapatkan UNS di tanganku. Hingga aku merasakan kesuksesan ini. Kesuksesan yang pernah aku impikan bersamanya. Terkadang tangis ini datang sendiri. Melihat cincin yang masih melingkari jariku. Terkadang aku marah kepadanya. Bagaimana mungkin dia pergi secepat itu.

Pikiranku terulang ke masa lalu. Saat aku menunggu Azam di taman sekolah sore itu. Sangat lama. Hingga aku berpikir bahwa Azam tidak jadi menemuiku. Hingga matahari berganti bulan. Aku sangat marah kepadanya. Namun kemarahanku terhalang, saat ku dengar bahwa Azam mengalami kecelakaan saat akan menemuiku. Aku merasa waktu berhenti saat itu juga. Aku melihat, Tuhan tersenyum kepadaku sambil berkata, “Aku akan mempertemukan kalian lagi di surga. Tempat yang lebih indah dan abadi,” Sekarang aku mulai percaya dengan hidup ini. Aku percaya dengan proses dan segalanya. Dan yang ku ketahui hanya satu, bahwa mendapatkan sesuatu itu mudah, hanya mempertahankannya yang sulit.

Cerpen Karangan: Anjar Desynta Arum
Facebook: Anjar Desynta Arum

Cerpen Senyum Dari Tuhan merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Sampai Jumpa, Surfboard

Oleh:
Ku langkahkan kaki ini menuju tempat yang dipenuhi pasir putih. Ya. Tempat itu adalah pantai. Ku lihat pondok-pondoknya mulai dibongkar karena memang, musim panas kali ini akan segera berakhir.

Liontin Niken (Part 1)

Oleh:
Berita itu pun kini sudah sampai di telinga Niken, bahwa kekasihnya, Rio, mengalami kecelakaan di jalan perempatan Sirandu, Kota Pemalang. Niken yang sedang mengerjakan tugas UAS di rumah salah

Maafkan Aku (Part 1)

Oleh:
Malam ini teman Marsha ulangtahun Vita namanya, Disana seluruh siswa SMA BANGSA MULYA hadir di pesta ulangtahun Vita, termasuk Riko anak kelas XI IPA, dia mantan Marsha setelah putus

Koridor Kenangan

Oleh:
Cerahnya siang hari ini membuat Grandis merasa bahwa langit sedang mengalami mood yang baik ditambah dengan hembusan angin yang membuat beberapa helai rambut perempuan itu berterbangan. Grandis merasa rindu

Pusara Biru

Oleh:
Kamboja putih gugur dan layu, semerbak wanginya sirna bersama hembusan sang bayu. Kutilang menjerit bersahutan, air matanya meleleh. Jangkrik dan Capung diam seribu bahasa. Melihat Andi berjongkok pilu di

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *